BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Berbagai jenis minyak atsiri telah diketahui memiliki aktivitas sebagai agen antimikroba (Reichling dkk., 2009). Peran minyak atsiri sebagai antimikroba dapat dikembangkan lebih luas menjadi sediaan antimikroba seperti desinfektan maupun antiseptik. Salah satu minyak atsiri yaitu minyak manis-jangan yang diperoleh dari kulit batang tanaman kayu manis-jangan (Cinnamomum burmanni Nees ex. Bl.) telah diketahui dapat menghambat pertumbuhan Bacillus subtilis, Escherichia coli, Staphylococcus aureus, dan Pseudomonas aeruginosa (WHO, 1999). Berdasarkan penelitian Pratiwi dkk. (2015) minyak manis-jangan memiliki nilai MIC50 sebesar 0,12 % v/v sedangkan nilai MIC80 sebesar 0,5 % v/v terhadap P. aeruginosa dan S. aureus. Meskipun memiliki aktivitas yang tinggi sebagai antimikroba, minyak atsiri cukup sulit untuk digunakan secara langsung karena memiliki beberapa kekurangan. Minyak atsiri bersifat mudah menguap dan mudah terdekomposisi oleh panas, kelembaban udara, cahaya, maupun oksigen (Billa dkk., 2014). Oleh karena itu dibutuhkan suatu teknologi dan formulasi yang dapat melindungi minyak atsiri dari degradasi sehingga minyak atsiri akan memiliki efek optimal dalam sediaan. Selain itu pengembangan sediaan antimikroba dari minyak atsiri diharapkan
dapat
memudahkan
pasien
1
dalam
penggunaannya.
2
Salah satu aplikasi nanoteknologi dalam farmasi yaitu nanoemulsi yang dapat diaplikasikan dalam pengembangan formula obat, bahan farmasi, makanan, kosmetik, nutrasetika, serta pengembangan dalam sistem penghantaran obat. Nanoemulsi memiliki ukuran droplet yang lebih kecil dan kestabilan yang lebih baik dibandingkan makroemulsi. Bahkan penggunaan nanoemulsi sangat bermanfaat sebagai pembawa minyak atsiri dan dapat meningkatkan aktivitas anti mikroba baik topikal maupun sistemik (Gupta dkk., 2010). Formulasi minyak manis-jangan menjadi nanoemulsi diharapkan dapat menjaga kestabilan dan aktivitas minyak atsiri dalam sediaan topikal antimikroba seperti antiseptik. Pada pembuatan nanoemulsi, pemilihan fase minyak dan surfaktan merupakan hal yang penting. VCO merupakan salah satu minyak nabati yang dapat digunakan dalam formulasi nanoemulsi. Minyak atsiri juga dapat larut dengan baik dalam minyak lemak (Koensoemardiyah, 2010). Sementara itu, Tween 80 dan PEG 400 banyak digunakan sebagai surfaktan untuk nanoemulsi karena cenderung memiliki toksisitas yang rendah, biodegradable, dan stabil terhadap adanya pengaruh pH (Rowe dkk., 2006). Penggunaan Tween 80 pada konsentrasi 20 hingga 40 % bobot formula dapat membentuk nanoemulsi dengan ukuran tetesan di bawah 100 nm (Salim dkk., 2011). Pada penelitian ini akan dilakukan upaya pengembangan nanoemulsi minyak manis-jangan menggunakan fase minyak VCO, surfaktan Tween 80, dan ko-surfaktan PEG 400. Pengembangan nanoemulsi minyak manis-jangan diharapkan dapat mengoptimalkan aktivitasnya dalam menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa dan S. aureus.
3
B.
Perumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan sebelumnya, berikut perumusan masalah yang diteliti: 1.
Bagaimana formulasi nanoemulsi minyak manis-jangan yang terbaik menggunakan VCO, surfaktan Tween 80, dan ko-surfaktan PEG 400 ?
2. Bagaimana stabilitas fisik dan kandungan kimia dari formula terbaik nanoemulsi minyak manis-jangan ? 3. Bagaimana efektivitas antimikroba nanoemulsi minyak manis-jangan terhadap pertumbuhan P. aeruginosa dan S. aureus ?
C.
Pentingnya Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai pengembangan salah satu bentuk sediaan antimikroba dari bahan alam. Selain itu penelitian ini diharapkan akan mendukung pengembangan potensi bahan alam lain sebagai agen antimikroba.
D. 1.
Tujuan Penelitian
Mendapatkan formula terbaik nanoemulsi minyak manis-jangan dengan fase minyak VCO, surfaktan Tween 80, dan ko-surfaktan PEG 400.
2.
Mengetahui kestabilan fisik dan kandungan kimia nanoemulsi minyak manisjangan.
3.
Mengetahui efektivitas antimikroba nanoemulsi minyak manis-jangan dalam menghambat Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus.
4
E. TINJAUAN PUSTAKA 1.
Uraian Tanaman dan Minyak Manis-Jangan a. Tanaman Kayu Manis Tanaman kayu manis tersebar di Malaysia, China, dan Indonesia pada ketinggian 1000 m sampai 1500 m di atas permukaan air laut dengan suhu lingkungan 18 - 23°C. Tanaman ini tumbuh dengan baik pada lingkungan tanah yang subur, gembur, agak berpasir, dan kaya akan bahan organik. Tanaman yang tumbuh di daerah yang tinggi akan menghasilkan kulit yang lebih tebal dan kualitas yang lebih baik (Depkes RI, 1977). Terdapat dua jenis kelompok tanaman kayu manis yaitu kayu manis (cinnamon) dan kayu manis china (Cassia cera). Kayu manis china sendiri dapat dibedakan menjadi 3 jenis spesies yaitu Cinnamomum cassia Bl yang banyak tumbuh di China (cinnamon china), Cinnamomum laurerii (Cassia Saigon) Nees yang banyak terdapat di Vietnam Selatan, serta Cinamommum Burmanii Bl
yang terdapat di Indonesia.
Cinamommum Burmanii Bl biasa disebut juga sebagai cassia Indonesia, cassia Batavia, cinnamom Padang, atau cassia Vera. Wilayah penanaman kayu manis di Indonesia banyak tersebar di beberapa daerah diantaranya Sumatera Barat (Kabupaten Tanah Datar, Agam, dan Pesisir Selatan), Jambi, dan Tapanuli Selatan. Adapun ciri – ciri dari tanaman kayu manis yang mudah dikenali yaitu tinggi 15 sampai 30 meter, batang tinggi dan lurus, kulit berwarna kehitam-hitaman, dan berbau kayu manis yang
5
keras. Tiap pohon bisa menghasilkan 3 sampai 5 kg kulit kayu manis kering (Ketaren, 1985). b. Taksonomi Tanaman ini dikenal dengan nama umum manis-jangan atau kayu manis. Adapun beberapa nama daerahnya yaitu Holim (Batak); Kayu Manis (Melayu); Madang Kulit Manih (Minangkabau); Huru Mentek (Sunda); Manis Jangan (Jawa Tengah) ; Kanyengar (Madura); Cingar (Bali); Onte (Sasak); Kaninggu (Sumba); Pundinga (Flores). Berikut klasifikasi tanaman kayu manis-jangan : divisi
: Spermatophyta
sub divisi
: Angiospermae
kelas
: Dicotyledonae
bangsa
: Laurales
suku
: Lauraceae
marga
: Cinnamomum
jenis
: Cinnamomum burmanni Nees ex. Bl. (BPOM RI, 2008)
6
Gambar 1. Kulit kayu manis-jangan
c. Minyak Manis-Jangan
Gambar 2. Minyak manis-jangan
Minyak manis-jangan (Gambar 2) merupakan minyak atsiri yang dihasilkan dari destilasi kulit batang tanaman kayu manis. Secara umum minyak atsiri memiliki bau khas, indeks bias tinggi, dan mempunyai aktivitas optik dan rotasi spesifik tertentu. Kelarutan minyak atsiri dalam air sangat kecil. Minyak atsiri dapat larut dalam pelarut organik seperti eter, alkohol, serta larut dengan minyak lemak. Beberapa sifat lain minyak atsiri yaitu minyak atsiri tidak akan menjadi tengik seperti
7
minyak lemak jika disimpan dalam waktu lama namun jika terkena sinar matahari, udara atau oksigen akan mengalami resinifikasi sehingga menjadi lebih kental seperti resin. Kandungan minyak atsiri dalam tanaman dapat bervariasi jumlahnya tergantung kelembapan, suhu udara, komposisi mineral, musim, cahaya matahari dan kandungan air di tempat pertumbuhan tanaman (Koensoemardiyah, 2010). Minyak
manis-jangan
mengandung
beberapa
senyawa
diantaranya sinamaldehid 54,70 % (Gambar 3), 1,8-sineol 9,59 %, sinamil asetat 9,58 %, α-pinen 2,90 %, limonen 4,38 %, β-kariofilen 2,32 %, dan hidroksinamaldehid 2,06 % (Ardani dkk., 2010).
Gambar 3. Struktur kimia sinamaldehid (Baser dan Buchbauer, 2010)
Sinamaldehid dapat bekerja dengan menghambat biosintesis enzim pada bakteri (Walsh dkk., 2003). Berdasarkan penelitian, minyak manis-jangan memiliki aktivitas penghambatan lebih tinggi terhadap bakteri gram positif daripada gram negatif. Hal ini disebabkan karena molekul sinamaldehid dan sinamil mengikat protein membran bakteri dan menghambat sintesis peptidoglikan yang merupakan penting penyusun dinding sel (Bishnu dkk., 2009).
komponen
8
2.
Antimikroba Senyawa antimikroba merupakan senyawa yang dapat menghambat ataupun membunuh pertumbuhan mikroba tertentu. Senyawa antimikroba dapat menghambat maupun membunuh bakteri melalui beberapa mekanisme. Senyawa D-Cycloserine, vancomycin, dan golongan beta laktam dapat bekerja dengan menghambat biosintesis peptidoglikan. Peptidoglikan merupakan komponen penting pada dinding sel bakteri yang menyusun 50 % dinding sel bakteri Gram positif, 30 % mycobacteria, dan 10 - 20 % Gram negatif. Isoniazid dan etambutol menghambat sintesis asam mikolat dan arabinogalaktan yang merupakan komponen penting pada dinding sel mycobacteria. Mekanisme penghambatan sintesis protein dilakukan oleh tetrasiklin, kloramfenikol, dan aminoglikosida, makrolida, dan lincomycin. Sementara itu rifampisin dan golongan kuinolon menghambat metabolisme asam nukleat yakni masing-masing pada RNA dan DNA. Ada juga antimikroba yang bekerja dengan
merusak integritas membran plasma
diantaranya polymyxin, polyene, dan imidazol (Hugo dan Russel, 1998).
3.
Pseudomonas aeruginosa Pseudomonas aeruginosa merupakan bakteri Gram negatif aerob obligat, memiliki kapsul, berukuran 0,5 – 1,0 µm, dan bersifat motil (Toyofuku, 2011). Pseudomonas aeruginosa hidup bebas di lingkungan dan merupakan patogen oportunistik. Bakteri ini memiliki flagel, tidak memiliki bentuk spora, dan tumbuh secara aerob dengan suhu pertumbuhan optimal 37°C. P. aeruginosa
9
dapat memproduksi pigmen fluoresens biru kehijauan dan membentuk biofilm (Denyer dan Baird, 2007). Bakteri ini dapat menyebabkan infeksi sekunder pada luka, infeksi pada penyakit pneumonia, dan jika menginfeksi mata dapat menyebabkan gangguan penglihatan (Hugo dan Russel, 1998).
4.
Staphylococcus aureus Staphylococcus aureus merupakan jenis bakteri Gram positif yang biasa menjadi penyebab infeksi pada saluran telinga, pneumonia, dan osteomyelitis. S. aureus juga dapat berkembang biak pada makanan dan menghasilkan eksotoksin yang dapat membuat makanan beracun. S. aureus merupakan bakteri berdiameter sekitar 1 µm, berbentuk coccus, non motil, tidak memiliki bentuk spora, dan dapat menghasilkan pigmen kuning keemasan. S. aureus dapat tumbuh pada keadaan aerob maupun anaerob dengan komposisi media yang mengandung glukosa, garam-garam esensial, asam amino, tiamin, dan asam nikotinat. Bakteri ini masih dapat hidup pada suhu paling rendah 4°C dan paling tinggi 60°C (Denyer dan Baird, 2007). S. aureus yang menginvasi ke jaringan dapat membentuk enzim koagulase, menghasilkan pigmen kuning, dan menyebabkan hemolisis (Brooks dkk., 2007).
5.
Nanoemulsi Nanoemulsi merupakan wujud dispersi minyak dan air dengan ukuran partikel dispers 20 – 600 nm. Nanoemulsi memiliki penampakan yang transparan dan translucent. Ada empat komponen penting penyusun
10
nanoemulsi yaitu fase minyak, fase air, surfaktan, dan ko-surfaktan. Tegangan muka antara minyak dan air menjadi semakin kecil dengan penambahan kosurfaktan sehingga nanoemulsi lebih stabil baik secara kinetik maupun fisik dibandingkan dengan makroemulsi. Implikasi dari kestabilan nanoemulsi akan meminimalkan proses creaming, flokulasi, koalesens, dan sedimentasi (Gupta, dkk., 2010). Nanopartikel banyak digunakan di industri kosmetik dan makanan untuk mengontrol pelepasan zat dan melindungi zat aktif dari pengaruh lingkungan. Teknologi nanopartikel sangat bermanfaat sebagai sistem penghantaran minyak atsiri karena dapat meningkatkan stabilitas, aroma, khasiat, meminimalkan photodegradation, mengontrol pelepasan zat aktif, dan memperpanjang shelf life produk dari minyak atsiri (Liang dkk., 2012). Bahkan aplikasi nanoemulsi juga dapat meningkatkan aktivitas anti mikroba baik topikal maupun sistemik (Gupta dkk., 2010). Proses emulsifikasi nanoemulsi memerlukan energi yang lebih tinggi dibandingkan pembuatan emulsi pada umumnya. Secara umum metode emulsifikasi dapat dilakukan menggunakan kecepatan putar tinggi, high pressure
homogenizer,
dan
ultrasound
generators.
High
pressure
homogenizer dapat menghasilkan energi dalam waktu singkat dan menghasilkan nanoemulsi dengan ukuran droplet yang homogenitasnya baik. High pressure homogenizer cukup banyak digunakan dalam metode pembentukan nanoemulsi. Ultrasonikasi juga efisien dalam mengurangi ukuran droplet namun hanya sesuai untuk ukuran batch / volum yang kecil.
11
Proses ultrasonikasi dapat dipengaruhi oleh lamanya proses pada berbagai amplitudo gelombang. Apabila monomer semakin hidrofobik maka dibutuhkan waktu yang lebih lama untuk proses ultrasonikasi (Gupta dkk., 2010). Pembuatan nanoemulsi juga dapat dilakukan dengan mikrofluidisasi. Proses ini dapat menghasilkan ukuran partikel yang sangat kecil sampai skala submikron. Pembuatan nanoemulsi dengan metode ini bisa diawali dengan pembuatan emulsi kasar menggunakan homogenizer selanjutnya emulsi kasar yang terbentuk diproses lebih lanjut menggunakan alat microfluidizer sehingga menghasilkan nanoemulsi yang stabil (Haritha dkk., 2013).
6. Uraian Bahan-bahan yang Digunakan Dalam Formulasi a. Tween 80
w + x + y + z = 20, R= C17H33 Gambar 4. Struktur kimia Tween 80 (Rowe dkk., 2006)
Tween 80 yang dikenal dengan nama kimia polioksietilen 20 sorbitan monooleat merupakan surfaktan non ionik yang banyak digunakan sebagai emulgator dan stabilizer untuk sediaan emulsi. Tween 80 disebut juga dengan Tego SMO 80V, polyoxyethylene 20 oleat, Liposorb O-20, Ritabate 80, Durfax 80. Tween 80 merupakan surfaktan yang hidrofilik dengan nilai HLB 15. Surfaktan ini larut dalam etanol dan
12
air. Tween 80 memiliki rumus molekul C64H124O26 dengan bobot molekul 1310, dan specific gravity 1,08. Tween 80 merupakan surfaktan yang memiliki toksisitas cukup rendah dengan LD 50 pada tikus (oral) yaitu 25 gram/Kg BB. Tween 80 mengandung beberapa rantai asam lemak diantaranya asam miristat ≤ 5%, asam palmitat ≤ 16,0%, asam palmitoleat ≤ 8,0%, asam stearat ≤ 6%, asam oleat ≤ 58,0-85%, asam linolenat ≤ 4% (Rowe dkk., 2006). b. PEG 400
m = 8,7 Gambar 5. Struktur kimia PEG 400 (Rowe dkk., 2006)
PEG yang dikenal dengan nama α-Hydro- ῳ-hydroxypoly (oxy1,2-ethanediyl) juga merupakan agen yang banyak digunakan sebagai emulgator, suspending agent, dan penstabil emulsi. PEG juga dikenal dengan nama Carbowax, Carbowax Sentry, Lipoxol, Lutrol E, Pluriol E, polyoxyethylene glycol. PEG 400 berwujud cair dan larut dalam air, aseton, alkohol, benzen, serta gliserin. PEG 400 memiliki nilai HLB 13,1 dengan densitas 1,14 gram/cm3 (Rowe dkk., 2006). PEG digunakan secara luas dalam formulasi sediaan farmasi parenteral, oral, topikal, maupun rektal. PEG juga berfungsi sebagai polimer yang biodegradable dalam formulasi sediaan controlled release.
13
PEG bersifat hidrofil, tidak mengiritasi kulit, dan tidak berpenetrasi melalui kulit (Rowe dkk., 2006). c. VCO (Virgin Coconut Oil) VCO diperoleh dari daging buah kelapa segar (Cocos nucifera) yang sudah matang baik dengan cara mekanik maupun alami, dengan atau tanpa pemanasan, dan tanpa penyulingan secara kimia maupun bleaching. VCO dapat diperoleh dengan beberapa metode seperti pemanasan, ekstraksi tradisional, fermentasi, dan sentrifugasi (Bawalan dan Chapman, 2006). Proses pembuatan VCO yang tidak melibatkan pemanasan tinggi akan lebih mempertahankan komponen-komponen di dalamnya seperti vitamin E, pro-vitamin A, dan fenol (Rohman dkk., 2010). VCO terdiri dari trigliserid dengan rantai sedang yang tahan terhadap peroksidasi. Asam lemak jenuh yang terdapat pada VCO berbeda dengan rantai asam lemak hewani yang banyak mengandung asam lemak jenuh rantai panjang. Komposisi asam lemak VCO diantaranya asam kaproat 0,7 %, asam kaprilat 4,6 – 10,0 %, asam kaprat 5,0 – 8,0 %, asam laurat ≥ 45,1 0 %, asam miristat 16,8 - 21,0%, asam palmitat 7,5 - 10,2 %, asam stearat 2,0 – 4,0 %, asam oleat 5,0 – 10,0 %, asam linoleat 1,0 – 2,5 %, dan asam linolenat 0,2 %. VCO yang berkualitas baik bersifat tidak berwarna, jernih, bebas endapan, memiliki aroma seperti kelapa, serta tidak memiliki bau tengik dan rasa yang masam (Bawalan dan Chapman, 2006).
14
VCO
digunakan
secara
luas
misalnya
untuk
pembuatan
conditioner rambut, sebagai basis minyak pada pembuatan kosmetik dan produk untuk kulit, minyak pembawa untuk aromaterapi, serta produk nutrasetika dan makanan (Bawalan dan Chapman, 2006). VCO juga diketahui memiliki aktivitas antimikroba. Asam laurat dalam VCO dapat menghambat pertumbuhan S. aureus karena sifatnya yang hidrofobik dan mudah menembus membran bilayer (Tangwatcharin dan Khopaibool, 2014). Asam laurat diketahui lebih aktif melawan bakteri Gram positif dibandingkan Gram negatif (Kitahara dkk., 2004).
7. Stabilitas Nanoemulsi Stabilitas suatu sediaan emulsi dapat dilihat melalui tidak adanya penggabungan fase internal, creaming, serta tidak berubahnya tampilan, bau, warna, dan sifat fisik lainnya. Beberapa klasifikasi dari ketidakstabilan emulsi diantaranya flokulasi dan creaming, penggabungan dan pemecahan, perubahan fisika dan kimia, dan inversi fase (Sinko, 2011). Berbeda dengan emulsi, nanoemulsi lebih bersifat stabil baik secara kinetik maupun fisik sehingga dapat meminimalkan terjadinya creaming, flokulasi, koalesens, dan sedimentasi (Gupta dkk., 2010). Pengujian stabilitas fisik nanoemulsi dapat dilakukan melalui uji stabilitas termodinamik. Ada beberapa jenis uji yang dapat digunakan untuk mengetahui kestabilan nanoemulsi (Srilatha dkk., 2013), diantaranya :
15
1) Heating-cooling cycle : nanoemulsi disimpan selama 6 siklus antara suhu 4°C dan 45°C dengan lama penyimpanan pada masing-masing suhu tidak kurang dari 48 jam, selanjutnya formula nanoemulsi dilihat kestabilannya selama uji ini. 2) Centrifugation test
: nanoemulsi disentrifugasi pada 3500 rpm selama
30 menit, selanjutnya dilihat apakah terjadi pemisahan nanoemulsi. 3) Freeze-thaw cycle
: nanoemulsi disimpan secara bergantian pada suhu
-21°C dan 25°C masing-masing selama 24 jam dan selanjutnya diamati apakah terjadi pemisahan sampel.
Uji ini bisa dilakukan sebanyak 3
sampai 6 siklus.
8.
Uji Aktivitas Antimikroba Uji aktivitas antimikroba dilakukan dengan tujuan untuk mengukur pertumbuhan populasi mikroba setelah pemberian agen antimikroba. Ada beberapa metode yang dapat digunakan dalam uji aktivitas antimikroba, diantaranya : 1) Metode Difusi Padat Pada metode difusi padat digunakan paper disk yang mengandung zat uji. Paper disk ditanam pada permukaan media padat yang sebelumnya telah diinokulasi bakteri uji. Setelah diinkubasi, diamati dan diukur zona jernih di sekitar paper disk yang menunjukkan besarnya kemampuan zat uji dalam menghambat
pertumbuhan
bakteri.
Keberhasilan
metode
ini
dapat
16
dipengaruhi oleh kondisi medium, kemampuan sampel berdifusi, serta stabilitasnya (Brooks dkk., 2007). 2) Metode Dilusi Pada metode ini dilakukan uji agen antimikroba dengan konsentrasi bertingkat yang dilakukan dalam media cair. Konsentrasi yang didapat dari metode ini adalah jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat maupun membunuh bakteri uji. Namun penggunaan metode dilusi untuk penentuan kepekaan bakteri terhadap antibiotik memiliki kelemahan yakni memerlukan waktu sedikit lama, volume besar, dan tidak praktis (Brooks dkk., 2007). 3) Metode Mikrodilusi Metode mikrodilusi cair merupakan pengembangan dari metode dilusi sebelumnya. Metode ini memberikan hasil kuantitatif dalam menunjukkan jumlah antimikroba yang dibutuhkan untuk menghambat maupun membunuh suatu bakteri. Metode ini juga memudahkan peneliti untuk menguji berbagai jenis agen antimikroba dengan berbagai konsentrasi dalam satu microplate (Brooks dkk., 2007). Metode mikrodilusi dilakukan menggunakan 96-well polystyrene panel dengan volume masing-masing well bisa mencapai 100 µL. Media Mueller Hinton Broth biasanya digunakan dalam uji mikrodilusi ini. Meskipun demikian, beberapa aspek tetap perlu dikontrol diantaranya yaitu konsentrasi inokulum, suhu inkubasi, waktu inkubasi, komposisi media, dan pH media (American Society for Microbiology, 2005).
17
9.
Kromatografi Lapis Tipis Kromatografi merupakan suatu metode analisis untuk memisahkan senyawa berdasarkan kepolarannya. Pada kromatografi lapis tipis terdapat dua fase yaitu fase diam berupa bidang datar dan fase gerak yang mengembang sepanjang fase diam. Kromatografi lapis tipis dikembangkan oleh Izmailoff dan Schraiber pada tahun 1938. Kromatografi lapis tipis banyak digunakan dalam analisis karena peralatan yang digunakan sederhana, cepat, dapat digunakan untuk kualitatif maupun semi kuantitatif, dapat digunakan untuk pencocokan suatu senyawa, mendeteksi adanya pengotor pada suatu bahan, serta identifikasi hasil pemisahannya dapat dilakukan dengan pereaksi warna, fluoresensi, maupun radiasi dengan sinar ultraviolet (Gandjar dan Rohman, 2007; Wagner dan Bladt, 1996). Elusi atau pengembangan dilakukan dengan menotolkan sampel pada fase diam yang kemudian dimasukkan ke dalam suatu bejana yang telah jenuh dengan uap fase gerak. Pada awal elusi, totolan sampel pada fase diam tidak boleh tercelup ke dalam fase gerak. Parameter yang bisa diperoleh dari KLT yakni Rf. Nilai Rf merupakan perbandingan antara jarak yang ditempuh solut dari titik awal bercak dengan jarak yang ditempuh fase gerak dari titik awal elusi (Gandjar dan Rohman, 2007). Nilai Rf berkisar antara 0,00 sampai 1,00 dan hanya dapat ditentukan 2 desimal, sedangkan hRf adalah angka Rf dikalikan faktor 100 (h) sehingga nilainya antara 0 sampai 100 (Stahl, 1970). Bercak yang dihasilkan dari pemisahan sampel pada umumnya tidak berwarna dan untuk mengidentifikasinya dapat dilakukan dengan cara fisika,
18
kimia dan biologi. Cara fisika dapat dilakukan dengan melihat bercak pada plat KLT dibawah sinar ultraviolet maupun dengan pencacahan radioaktif. Sementara itu, cara kimia dapat dilakukan dengan menyemprotkan berbagai macam reagen kromogenik. Pemanasan plat KLT juga terkadang diperlukan untuk mempercepat pembentukan warna. Hasil identifikasi kimia juga dapat dibedakan dengan mengamati plat di bawah lampu UV 254 nm maupun 366 nm (Gandjar dan Rohman, 2007).
F.
Landasan Teori
Minyak manis-jangan (Cinnamomum burmanni Nees ex. Bl.) merupakan minyak atsiri yang telah diketahui memiliki aktivitas dalam menghambat pertumbuhan Pseudomonas aeruginosa dan Staphylococcus aureus. Minyak manis-jangan dapat menghambat kedua jenis mikroba ini pada kadar MIC50 0,12 % v/v dan MIC80 0,5 % v/v (Pratiwi dkk., 2015). Aplikasi nanoemulsi sangat bermanfaat dalam menjaga stabilitas dan aktivitas minyak atsiri dalam sediaan (Gupta dkk., 2010). Formulasi nanoemulsi salah satu minyak atsiri lain seperti peppermint oil ternyata dapat menghasilkan stabilitas yang baik dan memberikan efek antibakteri yang lebih lama (Liang, 2012). Nanoemulsi minyak kayu putih juga memberikan aktivitas antibakteri yang lebih efektif dibandingkan minyak atsiri saja (Saranya dkk., 2012). Pemilihan surfaktan dan ko-surfaktan merupakan hal yang penting dalam formulasi nanoemulsi. Tween 80 dan PEG 400 banyak digunakan dalam formulasi nanoemulsi karena bersifat stabil, tidak toksik, dan biodegradable.
19
Tween 80 dapat digunakan sebagai emulgator pada kadar 1-15 % bobot formula (Rowe dkk., 2006). Sementara itu, PEG 400 dapat menstabilkan emulsi jika digunakan bersama surfaktan lain. Penggunaan PEG 400 sebagai ko-surfaktan dapat menstabilkan lapisan film dari globul nanoemulsi (Suciati dkk., 2014). Apabila dikombinasikan, Tween 80 dan PEG 400 juga dapat bercampur dengan baik pada suhu 40 - 100°C (Tejwani dkk., 2000). VCO yang tidak mengiritasi kulit akan bermanfaat jika digunakan dalam sediaan topikal (Bawalan dan Chapman, 2006). Pemilihan komposisi minyak, surfaktan, dan ko-surfaktan yang tepat akan dapat menghasilkan formula nanoemulsi yang stabil, memiliki ukuran droplet yang berada dalam skala nanometer, serta menjaga stabilitas dan aktivitas minyak atsiri dalam sediaan antimikroba.
G. 1.
Hipotesis
Minyak manis-jangan dapat diformulasi menjadi nanoemulsi menggunakan fase minyak VCO, surfaktan Tween 80, dan ko-surfaktan PEG 400.
2.
Nanoemulsi minyak manis-jangan bersifat stabil dari segi fisik dan kandungan kimia.
Nanoemulsi minyak manis-jangan efektif menghambat pertumbuhan bakteri P. aeruginosa dan S. aureus