BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Kehidupan yang baik dan bahagia tidak dapat didasarkan pada kemajuan material semata. Berbagai riset sosial dan psikologi telah dilakukan dan diketahui bahwa kemakmuran ekonomi tidak berhubungan dengan kesejahteraan psikologis penduduk. Menjadi negara kaya tidak berarti menjadi negara yang lebih bahagia. Menjadi orang kaya tidak berarti menjadi orang yang lebih bahagia. Kebahagiaan tidak meningkat seiring dengan meningkatnya affluence (dimilikinya
banyak
uang
dan
dianutnya
standar
hidup
yang
tinggi).
Kecenderungan yang terjadi adalah sebaliknya bahwa dari tahun ke tahun peningkatan kekayaan justru diiringi dengan penurunan kebahagiaan (Inglehart, dalam Myers, 2008). Paradoks
pertumbuhan
ekonomi
tidak
hanya
berkaitan
dengan
rendahnya kebahagiaan, tetapi juga merupakan faktor yang berkontribusi dalam bobroknya moralitas. Mengambil contoh pada kehidupan di Amerika Serikat, diakui oleh Myers (2008) bahwa kelangsungan hidup dan masa depan negara tersebut terancam oleh tingginya materialisme. Masyarakat Amerika yang makmur memiliki rumah-rumah besar, pendapatan yang tinggi, dan serba berkelimpahan, tetapi bersamaan dengan itu bertambah pula keluarga-keluarga yang hancur dan orang-orang yang gagal membangun kehidupan, kehilangan tujuan hidup dan mengalami kelaparan spiritual (Myers, 2008). Di Indonesia, berbagai peristiwa yang terjadi di masyarakat, yang diberitakan di media dan teramati di ruang publik, menampakkan pula fenomena materialisme yang meresahkan itu. Di dunia politik dan pemerintahan misalnya, 1
2
kasus korupsi tak kunjung usai menjerat pejabat negara. Meskipun gaji anggota DPR RI adalah terbesar keempat sedunia, prestasi dan produktivitas kerjanya tidak sesuai dengan besarnya gaji, bahkan mereka banyak yang terlibat korupsi (Tjahjono, 2014). Baru-baru ini diberitakan kasus anak dan menantu yang menggugat ibu mereka Rp 1 milyar gara-gara sengketa tanah (Ramadhan, 2014), menunjukkan bagaimana nilai-nilai moral dan sosial serta ikatan kekeluargaan tergerus materialisme. Di dunia pendidikan persoalan materialisme pun tak kalah pelik. Beberapa tahun yang lalu, muncul berita mengejutkan tentang siswa kelas dua SD yang tewas bunuh diri. Masalah anak tersebut tidak hanya karena sedih tidak punya seragam sekolah di tahun ajaran baru, tetapi juga karena sering diejek teman-temannya sebagai anak orang miskin (“Gara-gara sering diejek”, 2005). Sidharta Susila mengkritik bahwa uang telah berkuasa dan melemahkan militansi dan karakter guru sebagai pendidik, seorang abdi yang murah hati berbagi hidup (Susila, 2014). Persoalan itu berkaitan dengan dampak kebijakan sertifikasi guru yang menyebabkan motivasi utama guru adalah materi. Secara sarkastis dikatakan bahwa guru kini membudak pada uang dan melupakan makna pekerjaannya sebagai seorang pendidik (Susila, 2014). Masalah selanjutnya adalah berkenaan dengan tujuan hidup generasi muda yang semakin menekankan sukses finansial. Sebuah studi di Amerika Serikat yang dilakukan terhadap hampir seperempat juta mahasiswa baru dari tahun 1965-2005 membuktikan terjadinya perubahan nilai di kalangan anak muda dimana materialisme meningkat, sementara spiritualitas menurun. Saat ini, remaja di Amerika Serikat memandang sukses finansial sebagai hal yang sangat penting dan esensial, melampaui nilai penting membangun filosofi hidup, menjadi
3
ahli di bidang yang digeluti, membantu orang lain yang kesusahan, dan membangun keluarga (Dey, Astin, & Korn, dalam Myers, 2008). Di Indonesia, belum terdapat penelitian serupa itu, tetapi orientasi pada sukses finansial cukup menonjol di kalangan mahasiswa. Di masyarakat terdapat pola pikir “lulus, kerja” yang populer. Alasan sekolah adalah untuk mendapatkan pekerjaan, seakan tujuan utama pendidikan adalah mendapatkan uang. Liek Wilardjo (dalam Adaba, 2011) mengemukakan bahwa pendidikan saat ini lebih berorientasi mencetak lulusan dengan orientasi menyuplai pekerja-pekerja yang akan mengabdi kepada kepentingan modal semata, padahal tujuan utama pendidikan adalah membentuk manusia yang beriman dan bertakwa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, dan menjadi warga negara yang bertanggung jawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air. Bagi orang muda usia 18-24 tahun (remaja akhir) yang tengah beranjak dewasa, menginginkan karier yang cemerlang adalah bagian dari perkembangan yang wajar (Newman & Newman, 2012). Namun, apa yang menjadi tujuan bekerja dan mendapatkan uang sangat berpengaruh bagi diri sendiri, orang lain, dan lingkungan. Tujuan hidup yang condong pada materialisme merupakan masalah moral dan karakter karena pemuda seharusnya menganut fokus-fokus etis sebagai tujuan hidup, seperti mengembangkan akal sehat, membantu sesama, menemukan makna hidup, dan membangun integritas (Nucci & Narvaez, 2008). Tujuan, mimpi-mimpi, motivasi, persepsi, dan sensibilitas anak muda sangat dibentuk oleh kekuatan-kekuatan di lingkungannya, mulai dari keluarga, sekolah, komunitas lokal, bahkan dunia (Nucci & Narvaez, 2008). Budaya populer yang dikonsumsi saat ini pun cenderung menanamkan etika materialistis
4
bahwa orang baik adalah yang bisa pergi berbelanja, memiliki barang-barang bagus, berpenampilan menarik, dan terkenal. Adanya persoalan tersebut pun menuntut pada guru, pendidik, orangtua, dan masyarakat yang peduli pada moral dan karakter anak untuk bertindak memberikan pengaruh positif dengan mendorong aspirasi-aspirasi yang lebih mulia, melampaui aspirasi yang materialistis (Nucci & Narvaez, 2008). Agamawan dan ilmuwan sosial bersepakat bahwa orientasi pada materi lebih banyak merugikan ketimbang memberikan manfaat. Hal itu terjadi jika materialisme dijadikan satu-satunya nilai atau nilai yang utama dalam hidup dan mengakibatkan diabaikannya nilai-nilai lain yang juga berperan mewujudkan hidup yang baik dan bahagia. Materialisme adalah pandangan yang berisi orientasi, sikap, keyakinan, dan nilai-nilai hidup yang menekankan atau mementingkan kepemilikan barang-barang material atau kekayaan material di atas nilai-nilai hidup lainnya, seperti yang berkenaan dengan hal-hal spiritual, intelektual, sosial, dan budaya (Kasser, 2002). Dalam
ajaran
agama,
materialisme
identik
dengan
perilaku
memperturutkan hawa nafsu atau hasrat (desire). Tidak seperti kebutuhan yang dapat
dijelaskan
secara
rasional,
hasrat
justru
menguasai
manusia,
mendominasi pikiran, perasaan dan tindakannya, mengarahkannya untuk mencari kesenangan duniawi, mencari dan menimbun harta benda, dan menghalalkan segala cara untuk mencapai kekayaan. Oleh sebab keyakinan itulah, dalam agama misalnya Hindu, menginginkan kekayaan (artha) dan kenikmatan (kama) harus dibarengi dengan memenuhi tugas dan tanggung jawab sosial (dharma). Dalam Islam, perolehan harta harus diimbangi dengan
5
kejujuran, kasih sayang pada sesama, kemurahan hati, dan kesediaan berbagi lewat zakat (Belk, Ger, & Askegaard, 2000). Materialisme adalah isu penting dalam psikologi dan dibahas luas dalam bidang psikologi sosial (Myers, 2008), psikologi konsumen (Antonides & van Raaij, 1998), psikologi positif (Kasser, 2004, 2006b), dan juga psikologi pendidikan (Nucci & Narvaez, 2008). Sudah tiga dekade lebih sejak materialisme pertama kali dikaji secara sistematis lewat penelitian empiris dan kini diperoleh kesimpulan tentang konsekuensi-konsekuensinya (Kasser, 2006b). Materialisme menyebabkan rendahnya well-being, ketidakbahagiaan dan ketidakpuasan hidup, dan tingginya stres dan depresi (Brouskeli & Loumakou, 2014; Dittmar & Kapur, 2011; Garðarsdóttir, Janković & Dittmar, 2008; Karabati & Cemalcilar, 2010; Konow & Earley, 2008; Tatzel, 2002; Tsang, Carpenter, Roberts, Frisch, & Carlisle, 2014), compulsive dan excessive buying (Dittmar, 2005; Müller, dkk, 2011, 2014; Pham, Yap, & Dowling, 2011), sikap negatif terhadap pernikahan dan memiliki anak (Li, Patel, Balliet, Tov, & Scollon, 2010), ketidaksukaan menabung dan sekolah pada anak, rendahnya motivasi belajar intrinsik, meningkatnya motivasi belajar ekstrinsik, dan rendahnya performa akademik (Goldberg, Gorn, Peracchio, & Bamosy, 2003; Ku, Dittmar, & Banerjee, 2012, 2014), dan rendahnya keyakinan, sikap dan perilaku prolingkungan (Hurst, Dittmar, Bond, & Kasser, 2013; Kilbourne & Picket, 2008) Orang yang materialistis meyakini bahwa memiliki lebih banyak dan lebih banyak lagi harta kekayaan dan barang material adalah kunci untuk memiliki hidup yang baik, indikator kesuksesan, sumber kebahagiaan dan definisi diri (Dittmar, 2008; Kasser, 2002). Implikasi dari nilai, keyakinan, dan orientasi yang seperti
itu
adalah
perlombaan
mengumpulkan
barang-barang
material,
6
kekayaan, keindahan, dan kemewahan, dan penghamburan uang untuk membeli demi memelihara hubungan sosial dan identitas diri di antara orang-orang (Ahuvia, 2008; Goldsmith, Flynn, & Clark, 2011; Hudders & Pandelaere, 2012). Orang-orang materialistis saling menilai bukan dari apa yang dilakukan, melainkan apa yang dipunya. Orang menjadi dengan cara memiliki. “To have is to be” (Dittmar, 2008). Kecenderungan pada materialisme pun tidak muncul tanpa sebab. Ada sejumlah faktor eksternal maupun internal tidak sehat yang mengaktivasi materialisme pada diri seseorang, seperti: kondisi psikologis berupa harga diri yang rendah (Park & John, 2011) dan kecemasan akan kematian dan rasa tidak aman (Kasser & Sheldon, 2000; Rindfleisch & Burroughs, 2004), faktor keluarga berupa pengasuhan yang tidak mendukung self-esteem yang positif, orangtua yang tidak nurturant, dan (hanya) menekankan kesuksesan finansial (Chaplin & John, 2007, 2010; Kasser, Ryan, Zax, & Sameroff, 1995), dan stres dan konflik dalam keluarga (Flouri, 2007), faktor pergaulan berupa penolakan teman dan pengaruh teman yang materialistis, serta perbandingan sosial dengan teman atau figur di media (Banerjee & Dittmar, 2008; Chan & Prendergast, 2007), lingkungan yang menggoda dan media yang mendorong konsumerisme (Bauer, Wilkie, King, & Bodenhausen, 2012; Chan, Zhang, & Wang, 2006), dan rendahnya religiositas dan kebersyukuran (Polak & McCullough, 2006; Rakrachakarn, Moschis, Ong, & Shanon, 2013). Perkembangan studi tentang materialisme kini memunculkan pertanyaan: apa yang sebaiknya dilakukan untuk mengatasi materialisme? Penelitian terbaru tentang materialisme oleh Kasser dkk (2014) menghasilkan sejumlah temuan penting bahwa orientasi yang materialistis dapat diubah (diturunkan) dan
7
perubahan itu berdampak pada perubahan (perbaikan) well-being. Cara yang dilakukan adalah dengan memperbaiki urutan prioritas aspirasi hidup dan mengurangi fokus pada kesuksesan finansial, melakukan reorientasi diri, dan penanaman nilai-nilai hidup yang lebih sehat, membentengi diri dengan resiliensi dalam menghadapi pesan-pesan materialistis, dan mengatasi rasa tidak aman (insecurity feeling) yang mendorong orang untuk menjadi materialistis. Sikap hidup tidak materialistis dapat dibangun dengan penanaman nilai-nilai hidup yang melawan materialisme. Penelitian Kasser dkk (2014) memberikan inspirasi tentang apa yang dapat dilakukan untuk memperbaiki keadaan dan kehidupan orang-orang agar tidak terjebak dalam materialisme yang negatif. Secara tidak langsung, penelitian tersebut menunjukkan bahwa materialisme dapat dipengaruhi dengan cara memperbaiki sikap hidup generasi muda, yaitu: meluruskan tujuan hidupnya, menguatkan pendiriannya dalam menghadapi pesan-pesan materialistis dari lingkungan, dan menanamkan serta mendukung nilai-nilai hidup yang lebih sehat dan mampu melawan materialisme (Kasser, 2006b, Kasser dkk, 2014). Dari latar belakang itulah muncullah konsep yang hendak dieksplorasi dalam penelitian ini, yaitu: anti-materialisme atau sikap hidup yang melawan materialisme, sebagai solusi materialisme. Materialisme telah lama dikenal sebagai suatu konsep psikologis dan dikaji secara luas dan mendalam. Sejauh ini terdapat empat teori materialisme, yaitu materialisme sebagai sifat kepribadian (Belk, 1984, 1985), orientasi nilai (Richins & Dawson, 1992), aspirasi finansial (Kasser & Ryan, 1993), dan pengejaran tujuan identitas (Shrum dkk, 2014). Namun, teori-teori tersebut tidak berbicara tentang anti-materialisme. Hanya sedikit literatur yang bisa ditemukan
8
dengan fokus pada nilai, keyakinan, dan aspirasi individu yang berlawanan dan mampu mencegah materialisme. Peneliti memandang bahwa anti-materialisme bukan sekadar negasi (penidakkan) materialisme dan tidak dapat diderivasi dari teori-teori yang ada karena dua sebab: Pertama, teori materialisme yang ada memiliki kelemahan pada
katerbatasannya
mengungkapkan
hal
di
luar
konsepnya.
Teori
materialisme sebagai sifat kepribadian (Belk, 1984), orientasi nilai (Richins & Dawson, 1992), aspirasi finansial (Kasser & Ryan, 1993), dan pengejaran tujuan identitas (Shrum dkk, 2014) memiliki sudut pandang sendiri-sendiri terhadap materialisme. Kedua, sedikit banyak konsep materialisme tersebut mengandung bias kultural karena dibangun dalam konteks masyarakat Barat (Eropa Barat dan Amerika Utara) yang pandangan dan cara hidupnya memiliki perbedaan dengan masyarakat Asia pada umumnya dan Indonesia pada khususnya. Dengan mempertimbangkan faktor budaya, penelitian yang dilakukan di Indonesia diduga kuat akan menghasilkan temuan yang berbeda tentang apa itu materialisme dan apa yang melawannya atau anti-materialisme. Terdapat beberapa hal yang menguatkan dugaan tersebut. Pertama, Indonesia termasuk negara
berkembang
yang
belum
lepas
dari
persoalan
ekonomi
dan
kesejahteraan. Ketimbang berorientasi pada pemuasan hasrat yang tidak masuk akal, aspirasi material orang Indonesia ditujukan untuk memenuhi kebutuhan dasar dan memperbaiki kesejahteraan. Materialisme yang berbasis kebutuhan ini lantas akan cenderung diterima, sesuai dengan temuan Garðarsdóttir dkk (2008) dalam studinya di Inggris dan Islandia bahwa orientasi pada materi yang rasional seperti itu berdampak positif bagi well-being.
9
Kedua, Indonesia adalah negara yang menjunjung tinggi nilai-nilai ketuhanan dan agama. Dari survei yang dilakukan Pew Research Center’s Global Attitudes Project (2008), Indonesia termasuk negara yang penduduknya memandang agama sebagai hal yang penting dan merupakan sentral kehidupan. Adanya peran agama tentu akan memberikan corak dalam sikap terhadap materi dan nilai materialisme. Ketiga, pada Oktober 2014, peneliti melakukan studi pendahuluan untuk mendapatkan gambaran awal tentang orientasi dan aspirasi mahasiswa di lingkungan Fakultas Psikologi UGM. Penelitian menggunakan Material Values Scale/ MVS (Richins, 2004) dan Aspiration Index/ AI (Kasser & Ryan, 1996) dan menemukan bahwa mahasiswa cenderung menganut nilai material di level sedang mendekati rendah. Mereka memberikan nilai penting bagi aspirasi ekstrinsik hanya di aspek kesuksesan finansial (dua aspek lainnya adalah penampilan dan ketenaran), sementara mendukung sepenuhnya aspirasiaspirasi intrinsik berupa penerimaan diri, afiliasi sosial, dan kontribusi pada komunitas dengan skor rata-rata lebih tinggi daripada kesuksesan finansial. Peneliti menyimpulkan adanya petunjuk bahwa mahasiswa cenderung tidak materialistis dan hal ini menjanjikan untuk dilakukan eksplorasi lebih jauh terhadap sikap hidup yang tidak materialistis, yang merupakan bahan antimaterialisme. Berdasarkan latar belakang dan permasalahan tersebut, maka ingin dilakukan eksplorasi tentang anti-materialisme dengan judul “Eksplorasi AntiMaterialisme pada Mahasiswa dalam Konteks Indonesia”. Pengetahuan tentang anti-materialisme akan bermanfaat bagi upaya mencegah dan mengatasi materialisme
yang
merugikan
beserta
dampak-dampaknya,
terutama
di
10
lingkungan pendidikan dan bagi mahasiswa. Dikarenakan anti-materialisme adalah konsep yang belum pernah diselidiki sebelumnya, maka dilakukan studi kualitatif eksploratif dengan pendekatan grounded theory untuk mengungkapkan sikap hidup yang dianut orang-orang muda yang menilai diri mereka tidak materialistis, dalam hal ini adalah mahasiswa (usia 18-24 tahun). Antimaterialisme dikembangkan berdasarkan pengetahuan tentang sikap hidup tidak materialistis ini.
B. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan utama penelitian ini adalah: seperti apa sikap hidup yang tidak materialistis, yang selanjutnya dari pengetahuan itu konsep antimaterialisme dapat dikembangkan? Secara khusus, penelitian ini mencari tahu tentang: 1. Apa aspek-aspek dari anti-materialisme? 2. Bagaimana dinamika proses anti-materialisme? 3. Apa faktor-faktor yang mempengaruhi anti-materialisme?
C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian grounded theory ini adalah mengeksplorasi sikap hidup tidak materialistis untuk membangun konsep tentang anti-materialisme, mengetahui aspek-aspek anti-materialisme dan dinamikanya, serta mengetahui apa saja faktor-faktor yang mempengaruhinya.
11
D. Manfaat Penelitian Kontribusi teoretis yang hendak diberikan lewat penelitian ini adalah pengetahuan tentang anti-materialisme sebagai suatu konsep psikologis. Penelitian ini berusaha mengikuti arah baru studi tentang materialisme yang menyarankan agar dimulai suatu upaya untuk mengerem materialisme yang merugikan. Pengetahuan tentang anti-materialisme akan bermanfaat melengkapi teori materialisme yang ada dan menjadi masukan bagi upaya mencegah dan mengatasi materialisme, terutama yang terjadi di Indonesia. Pada praktiknya bagi para pendidik, hasil dari penelitian ini mendukung upaya-upaya pendidikan karakter dan pembangunan mental anak bangsa. Penelitian ini menghasilkan pengetahuan tentang sikap hidup yang sehat yang dapat dijadikan acuan untuk mengarahkan tujuan, aspirasi, dan cita-cita anak didik agar terhindar dari materialisme yang merugikan. Bagi mahasiswa, hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan dalam program-program pembinaan karakter. Mahasiswa akan masuk ke dunia kerja dan berperan besar pada pembangunan negara. Jika orientasi mahasiswa dilandasi oleh aspirasi yang materialistis semata, maka yang akan muncul adalah masalah-masalah yang lebih berat di berbagai aspek kehidupan masyarakat. Hal itu dapat dicegah dengan menanamkan sikap hidup yang tidak materialistis. Bagi masyarakat, belajar dari penduduk negara-negara kaya dan maju yang semakin tidak bahagia dan tidak sehat kehidupannya karena gaya hidup yang materialistis, masyarakat perlu mengenal manfaat dari mengerem kecenderungan-kecenderungan
materialistis.
Cara
awal
untuk
berusaha
12
mengerem materialisme adalah dengan mengetahui tentang seperti apa sikap hidup yang tidak materialistis.
E. Originalitas Penelitian Penelitian dengan fokus pada anti-materialisme belum pernah dilakukan sebelumnya. Meskipun demikian, terdapat sejumlah penelitian yang berkaitan karena mengungkap sejumlah variabel nilai dan orientasi yang menjadi “penawar”
materialisme,
seperti
nilai-nilai
self-transcendence
(Kilbourne,
Grünhagen, & Foley, 2005) dan aspirasi intrinsik (Kasser & Ryan, 1993, 1996). Kekurangan penelitian tersebut adalah penelitian-penelitian tersebut dilakukan dalam kerangka teoretis materialisme sehingga belum memberikan pengetahuan yang memuaskan tentang anti-materialisme. Selain itu, di Indonesia anti-materialisme adalah konsep yang belum tereksplorasi. Hal itu diketahui dari belum adanya penelitian yang berfokus pada anti-materialisme. Penelitian yang pernah dilakukan di Indonesia barulah tentang materialisme, tetapi itu pun dalam bidang ilmu pemasaran dan perilaku konsumen, bukan psikologi (Arli & Tjiptono, 2013; Lu & Lu, 2010).