BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Bensin diperoleh dari penyulingan minyak bumi. Produk minyak bumi mengandung ratusan komponen organik rantai pendek, senyawa rantai pendek volatile dan rantai panjang hidrokarbon. Meskipun terdapat berbagai macam produk minyak bumi, hanya sedikit senyawa yang dapat bersifat toksik bagi manusia. Produk minyak bumi yang bersifat toksik terutama senyawa aromatik seperti benzena, toluena, ethylbenzena dan xylena (BTEX). BTEX adalah senyawa organik yang mudah menguap atau volatile organic compounds (VOCs). Senyawa tersebut merupakan senyawa neurotoksik dan iritan yang kuat, benzena dan ethylbenzena berdasarkan International Agency for Research in Cancer (IARC) diklasifikasikan sebagai karsinogen grup 1 (bahan tersebut/campuran sebagai karsinogen pada manusia) dan 2b (kemungkinan karsinogen terhadap manusia) (Azari et al., 2012). Senyawa BTEX dapat terbentuk pada berbagai aktivitas pemrosesan minyak dan gas seperti pembakaran, pengeboran, dan pengoperasian mesin. Para pekerja stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) terpajan secara langsung melalui inhalasi, ingesti dan kontak dengan kulit, namun jalur utama paparan adalah melalui sistem respirasi (Tunsaringkarn et al., 2012). Sekitar tahun 1990 benzena digunakan sebagai indikator terhadap paparan bahan bakar bensin terutama pada pekerja di SPBU. Kadar volume benzena dalam bahan bakar bensin berkisar antara 2 – 6% di Negara Nordic. Waktu kerja yang
1
2
diperbolehkan adalah 8 jam sehari, para petugas SPBU di Nordic terpajan benzena sekitar 0.5-1 mg/m3. Paparan terhadap uap
bensin di SPBU terutama saat
pengisian bahan bakar bensin ke tangki mobil. Pengisian 30 liter yang mengandung 5% volume benzena ke dalam mobil, terdapat sekitar 700 mg benzena yang terhirup. Konsentrasi total hidrokarbon di udara saat proses pengisian bahan bakar bensin adalah 10 sampai 100 kali lipat benzena. Petugas SPBU juga dapat terpajan gas emisi kendaraan, termasuk polisiklik aromatik hidrokarbon, aldehid, dan 1,3-butadiene (Lynge et al., 1997). Hasil studi yang dilakukan oleh Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit menular dan Penyehatan Lingkungan, tahun 1992 hasil pemeriksaan kualitas udara disekitar stasiun kereta api dan terminal di kota Yogyakarta sudah dibawah diatas baku, yaitu kadar debu rata-rata 699 ug/m3, kadar SO2 sebesar 0,03-0,086 ppm, kadar NOx sebesar 0,05 ppm dan kadar hidrokarbon sebesar 0,35-0,68 ppm. Hidrokarbon di udara akan bereaksi dengan bahan-bahan lain dan akan membentuk ikatan baru yang disebut polisiklik aromatik hidrokarbon (PAH) yang banyak dijumpai di daerah industri dan padat lalu lintas. Bila PAH ini masuk dalam paru-paru akan menimbulkan luka dan merangsang terbentuknya sel-sel kanker. Salah satu jenis PAH adalah benzena (C6H6) yang pada konsentrasi 100 ppm dampaknya dapat menyebabkan iritasi membran mukosa (Soemarno, 2007). Pekerja pengisian bahan bakar di stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) terpajan oleh VOCs konsentrasi tinggi. Beberapa penelitian telah dilakukan untuk membuktikan kemungkinan kelompok pekerja tersebut terhadap paparan VOCs. Hasil penelitian terkini menunjukkan adanya paparan toluene
3
yang bermakna pada pekerja SPBU di Teheran, Iran.
Penelitian lain yang
meneliti tentang paparan senyawa BTEX terhadap pekerja SPBU di Iran didapatkan hasil bahwa paparan yang tinggi terhadap pekerja adalah senyawa benzena (Azari et al.,2012). Hidung secara fisiologis berfungsi sebagai pertahanan lini pertama dalam membersihkan udara inspirasi dari partikel debu, bakteri, virus dan membawa partikel-partikel tersebut yang tertangkap di lapisan mukosa ke arah nasofaring dan orofaring. Fungsi tersebut dilakukan oleh silia dan selimut mukus yang dikenal
sebagai
sistem
mukosiliar
(Ballenger,
1997;
Soetjipto
dan
Mangunkusumo, 2007). Sistem mukosiliar dapat bekerja efektif jika produksi mukus dan aktivitas silia dalam keadaan normal. Bersihan mukosiliar yang baik akan mencegah terjadinya infeksi di dalam hidung dan sinus paranasal (Ballenger, 1997; Cohen, 2006). Bersihan mukosiliar atau transpor mukosiliar (TMS) dapat dipengaruhi oleh berbagai faktor, diantaranya adalah faktor fisiologis, penyakit dan lingkungan. Penggunaan bahan bakar bensin yang semakin meningkat mengakibatkan penurunan kualitas lingkungan akibat polusi udara. Karena manusia merupakan penghirup udara melalui hidung, rongga hidung merupakan tempat awal yang terluka diinduksi oleh iritan hirup, tempat partikel terdeposisi, dan tempat absorbsi gas dan uap yang potensial berbahaya (Houtmeyers et al., 1999; Gluck et al., 2003). Menurut National Institute on Drug Abuse (NIDA) menghirup uap bensin kemungkinan dapat mengakibatkan membran mukosa hidung iritasi dan nekrosis
4
(NIDA, 1977). Senyawa iritan yang paling sering adalah aldehid dan VOCs. Paparan mukosa hidung terhadap senyawa iritan menyebabkan hiper-reaktifitas membran mukosa dan terjadinya inflamasi pada mukosa hidung. Adanya hiperreaktifitas dan inflamasi mukosa hidung ini akan mengganggu TMS (Riechelmann, 2004). Penelitian mengenai TMS pada perokok membuktikan adanya penurunan waktu TMS pada kelompok perokok dengan perbedaan yang bermakna dibandingkan dengan kelompok yang bukan perokok (Stanley, 1986; Darmawan, 2010). Asap rokok mengandung senyawa yang dapat mengiritasi saluran nafas yang diantaranya adalah benzena dan toluena (Tirtosastro, 2010). Penelitian TMS dan frekuensi gerakan silia karena paparan formaldehid didapatkan hasil penurunan bermakna frekuensi gerakan mukosiliar pada 2 jam setelah paparan dibanding sebelum paparan pada dosis tinggi, 5000 mikrogram/m3 (Schäfer, 1999). B. Perumusan Masalah Para pekerja di SPBU bekerja dekat dengan zat volatil bahan bakar bensin yang mempunyai kadar BTEX yang lebih tinggi dibanding bukan pekerja yang tidakterpajan. Senyawa BTEX bersifat iritan yang dapat menyebabkan inflamasi danhiper-reaktifitas membran mukosa. Inflamasi dan hiper-reaktifitas mukosa hidung mengakibatkan gangguan pada TMS. C. Pertanyaan Penelitian Apakah terdapat perbedaan waktu TMS hidung pada pekerja SPBU dibanding bukan pekerja SPBU?
5
D. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai pengaruh polutan udara terhadap TMS dengan uji sakarin telah banyak dilakukan. Stanley (1986) dengan uji sakarin pada perokok dan kelompok bukan perokok, Darmawan (2010) mendapatkan nilai rata-rata waktu TMS hidung pada kelompok perokok an pada kelompok bukan perokok, FerreiraCeccatoet al. (2011), melakukan uji sakarin pada pekerja pabrik gula saat masa memproduksi dansetelah masa produksi, Priscilla et al. (2011) pada penduduk yang memasak dengan bahan bakar biomassa dan pada penduduk yang memasak dengan bahan bakar gas. Penelitian berkaitan dengan waktu TMS hidung pada pekerja SPBU di kota Yogyakarta, sepanjang pengetahuan penelitibelum pernah dilaporkan dalam literatur yang ada. E. Tujuan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan untuk menentukan bukti medis perbedaan waktu TMS hidung pada pekerja SPBU dibanding bukan pekerja SPBU. F. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan acuan untuk kesehatan dan keselamatan kerja bagi pekerja SPBU yang ada di Indonesia.