BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Sinar matahari yang sampai ke bumi terdiri dari berbagai spektrum dengan panjang gelombang yang berbeda, yaitu sinar ultraviolet A (UV A) pada 320-400 nm yang dapat menyebabkan penuaan dini pada kulit dan kerusakan sel secara tidak langsung, dan sinar ultraviolet B (UV B) pada 290-320 nm yang dapat menimbulkan kerusakan langsung pada DNA sel, sunburn, serta kanker kulit (American Cancer Society, 2013; Lowe dkk., 1990). Paparan sinar matahari dengan energi yang tinggi juga dapat menimbulkan reaksi oksidasi yang berlebihan dan menciptakan radikal bebas yang dapat mengakibatkan penuaan dini (Marx, 1987). Kulit manusia sesungguhnya telah memiliki sistem perlindungan alamiah terhadap efek sinar matahari yang merugikan dengan cara penebalan stratum korneum dan pigmentasi kulit. Namun tidak efektif untuk menahan kontak dengan sinar matahari yang berlebih (Depkes RI, 1985). Oleh karena itu, kulit memerlukan suatu perlindungan tambahan yakni dengan menggunakan tabir surya dan antioksidan (American Cancer Society, 2014). Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa yang dapat menyerap, menghamburkan atau memantulkan sinar matahari (Depkes RI, 1979). Sedangkan antioksidan digunakan untuk menetralisir adanya radikal bebas yang dapat disebabkan oleh paparan sinar UV (Deena dkk., 2011). Penambahan antioksidan juga dapat memperbaiki aktivitas fotoprotektif pada tabir surya (Chiari dkk., 2014).
1
2
Sumber antioksidan alami, salah satunya adalah bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) diketahui mengandung pigmen antosianin yang merupakan antioksidan dengan kemampuan menangkap radikal DPPH (2,2-difenil-1-pikril hidrazil) yang cukup baik (IC50 sebesar 74,21 ppm) dan tabir surya karena mempunyai absorbansi pada panjang gelombang antara 250-950 nm (Best, 2004; Lukitaningsih dkk., 2013; Marieta dkk., 2014). Namun, senyawa antosianin tidak stabil pada pH, suhu tinggi, dan cahaya (Cavalcanti dkk., 2011). Oleh karena itu, antosianin tidak dapat diformulasikan langsung ke dalam bentuk gel atau krim, tetapi perlu dienkapsulasi untuk memperbaiki stabilitasnya, salah satunya dengan memformulasikannya dalam bentuk nanoemulgel. Nanoemulgel merupakan nanoemulsi yang dibuat menjadi gel dengan bantuan suatu gelling agent. Sistem nanoemulgel mempunyai keuntungan yakni mempunyai kemampuan penetrasi ke dalam kulit yang tinggi, tiksotropik, mudah menyebar, tidak lengket, serta tampilan yang menarik. Nanoemulsi merupakan campuran air, minyak, surfaktan, dan kosurfaktan yang membentuk sistem homogen, transparan dengan ukuran droplet berkisar (10-100 nm), stabil secara kinetik dan dapat dibuat dengan metode self emulsification, phase inversion method, high pressure homogenizer, atau ultra-sound generator (Chime dkk., 2014; Solans dkk., 2005; Troncoso dkk., 2011). Salah satu minyak yang paling banyak dipakai dalam formulasi nanoemulsi adalah asam oleat (lipid 18:1 cis-9), suatu asam lemak tak jenuh berantai panjang yang merupakan antioksidan kuat serta dapat meningkatkan penetrasi dalam sediaan transdermal (Jusup, 2007; NIST, 2014; Wade dan Weller, 1994). Asam oleat umumnya dikombinasikan dengan
3
surfaktan dan kosurfaktan seperti tween 20 dan propilen glikol untuk membuat nanoemulsi (Surya, 2014). Karbopol merupakan gelling agent yang banyak digunakan untuk membuat nanoemulgel, karena dengan kadar yang kecil dapat menghasilkan gel dengan viskositas yang tinggi, transparan, memberikan sensasi dingin dan tidak lengket (Lieberman, 1989). Oleh karena itu pada penelitian ini, ekstrak etanolik kelopak bunga rosella diformulasikan menjadi nanoemulgel tabir surya dan antioksidan menggunakan asam oleat sebagai fase minyak dengan teknik self emulsification yang memiliki karakter fisik homogen, transparan, mudah menyebar dan tidak lengket.
B. Rumusan Masalah Permasalahan penelitian ini adalah: 1.
Apakah kombinasi tween 20 dan propilen glikol dapat menghasilkan nanoemulsi ekstrak etanolik kelopak bunga rosella menggunakan asam oleat sebagai fase minyak yang homogen dan jernih?
2.
Apakah nanoemulsi ekstrak etanolik kelopak bunga rosella optimum dapat dibuat menjadi nanoemulgel menggunakan karbopol sebagai gelling agent yang memiliki daya sebar, daya lekat, dan viskositas yang baik?
3.
Apakah nanoemulgel ekstrak etanolik kelopak bunga rosella mempunyai aktivitas sebagai tabir surya dan antioksidan?
4
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk: 1.
Mengetahui kombinasi tween 20 dan propilen glikol dalam formulasi nanoemulsi ekstrak rosella ekstrak etanolik kelopak bunga rosella menggunakan asam oleat sebagai fase minyak yang menghasilkan nanoemulsi homogen dan jernih.
2.
Mengetahui kadar karbopol dalam pembuatan nanoemulgel ekstrak etanolik kelopak bunga rosella yang menghasilkan daya sebar, daya lekat, dan viskositas yang baik.
3.
Mengetahui aktivitas antioksidan dan tabir surya nanoemulgel ekstrak etanolik kelopak bunga rosella.
D. Kegunaan Penelitian Penelitian ini diharapkan untuk memberikan informasi tentang formulasi nanoemulgel ekstrak tanaman khususnya ekstrak kelopak bunga rosella sehingga dapat memberikan alternatif baru dalam memformulasikan ekstrak tanaman yang nantinya digunakan sebagai tabir surya dan antioksidan untuk mengurangi dampak negatif sinar ultraviolet yang lebih efisien.
5
E. Tinjauan Pustaka 1. Rosella a. Morfologi tanaman Tanaman rosella berupa semak yang berdiri tegak dengan tinggi 3-5 m. Ketika masih muda, batang dan daunnya berwarna hijau. Ketika beranjak dewasa dan masih berbunga, batangnya berwarna cokelat kemerahan. Batang berbentuk silindris dan berkayu, serta memiliki banyak percabangan. Pada batang melekat daun-daun yang tersusun berseling, berwarna hijau, berbentuk bulat telur dengan pertulangan menjari dan tepi meringgit. Ujung daun ada yang runcing atau bercangap. Tulang daunnya berwarna merah. Panjang daun dapat mencapai 6-15 cm dan lebar 5-8 cm. Akar yang menopang batangnya berupa akar tunggang (Widyanto dan Nelistya, 2008). b. Klasifikasi tanaman: Divisi
: Spermatophyta
Anak divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Malvales
Suku
: Malvaceae
Marga
: Hibiscus
Jenis
: Hibiscus sabdariffa L.
6
Gambar 1. Rosella (Hibiscus sabdariffa L.)
(Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991) c. Kandungan kimia kelopak rosella Kelopak rosella mengandung banyak senyawa berkhasiat antara lain asam organik (asam sitrat, asam hidroksisitrat lakton), senyawa fenolik (protocatechuic acid), flavonoid (gossypelin-3-glucoside, gossypelin-8-glucoside) dan antosianin (hibiscin,
cyanidin-3-β-D-glucoside,
hibiscetin,
delphinidin,
sabdaretin)
(Prommetta dkk., 2006). d. Aktivitas antioksidan Rosella mengandung pigmen antosianin yang merupakan salah satu komponen flavonoid dan bertanggung jawab memberikan warna merah. Senyawa flavonoid yang ada pada kelopak bunga rosella bertanggung jawab melindungi tanaman dari pengaruh buruk sinar UV dan berperan sebagai pemberi warna pada tanaman. Flavonoid dapat bekerja sebagai antioksidan untuk mengendalikan radikal bebas (Anonim, 2009). Penelitian awal yang dilakukan oleh Pau-Ling Tee dkk. (2002) menunjukkan bahwa 200 ppm ekstrak metanol kelopak bunga rosella (Hibiscus sabdariffa L.) memiliki efek yang lebih kuat dibandingkan dengan BHA dan α-
7
tokoferol sebagai antioksidan yang dilihat dengan metode thiobarbituric acid reactive substance (TBARS) dalam sistem asam linoleat. 2. Tabir surya dan antioksidan a. Tabir surya Tabir surya adalah suatu sediaan yang mengandung senyawa yang dapat menyerap, menghamburkan, atau memantulkan sinar matahari yang mengenai kulit sehingga dapat digunakan untuk melindungi fungsi dan struktur kulit manusia dari kerusakan akibat sinar surya (Depkes RI, 1979). Sinar matahari yang sampai ke bumi terdiri dari berbagai spektrum dengan panjang gelombang yang berbeda, yaitu pada panjang gelombang 320-400 nm yang disebut sinar ultraviolet A (UV A) dan panjang gelombang 290-320 nm yang disebut sinar ultraviolet B (UV B) (Lowe dkk., 1990). Tabir surya dikelompokkan menjadi dua macam, yaitu tabir surya kimia dan tabir surya fisika. Tabir surya kimia bekerja dengan cara mengabsorpsi radiasi UV dan mengubahnya menjadi energi panas, sedangkan tabir surya fisik bekerja dengan memantulkan dan menghamburkan radiasi sinar UV (Nguyen dan Rigel, 2005). Menurut Wilkinson dan Moore (1982), hal-hal yang diperlukan dalam tabir surya adalah: 1) Efektif dalam menyerap sinar eritmogenik pada rentang panjang gelombang 290-320 nm (UV B) tanpa menimbulkan gangguan yang akan mengurangi efisiensinya atau yang akan menimbulkan toksik atau iritasi dan memberikan transmisi penuh pada rentang panjang gelombang 320-400 nm (UV A) untuk memberikan efek terhadap tanning maksimum.
8
2) Tidak mudah menguap dan resisten terhadap air dan keringat. 3) Memiliki sifat-sifat yang memuaskan pada formulasi kosmetik yang sesuai, tidak berbau, stabil dalam penggunaan, dan tidak menimbulkan noda pada pakaian. 4) Tidak toksik, iritan, dan menimbulkan sensitisasi. 5) Dapat mempertahankan daya proteksinya selama beberapa jam. Penilaian SPF mengacu pada ketentuan FDA yang mengelompokkan keefektifan sediaan tabir surya berdasarkan nilai SPF (Wilkinson dan Moore, 1982): a)
Tabir surya dengan nilai SPF 2-4, memberikan proteksi minimal
b) Tabir surya dengan nilai SPF 4-6, memberikan proteksi sedang c)
Tabir surya dengan nilai SPF 6-8, memberikan proteksi ekstra
d) Tabir surya dengan nilai SPF 8-15, memberikan proteksi maksimal e)
Tabir surya dengan nilai SPF ≥15, memberikan proteksi ultra
b. Antioksidan Antioksidan adalah senyawa yang bisa mencegah kerusakan sel yang disebabkan oleh radikal bebas dan bekerja dengan menangkap senyawa reaktif yang dapat menekan reaksi oksidatif (Deena dkk., 2011). Adanya antioksidan pada tabir surya dapat memperbaiki aktivitas fotoprotektif disamping itu adanya antioksidan dapat bereaksi pada radikal bebas yang disebabkan oleh pemaparan sinar UV (Chiari dkk., 2014).
9
Radikal bebas merupakan suatu atom, gugus, atau molekul yang memiliki satu elektron yang tidak berpasangan pada orbit paling luar, termasuk atom hidrogen, logam-logam transisi, dan molekul oksigen. Adanya elektron tidak berpasangan ini, menyebabkan radikal bebas secara kimiawi menjadi sangat aktif. Radikal bebas dapat bermuatan positif (kation), negatif (anion), atau tidak bermuatan (Halliwell dan Gutteridge, 2000). Sumber radikal bebas dapat berasal dari dalam tubuh maupun luar tubuh, salah satunya adalah sinar ultraviolet. Peningkatan radiasi sinar ultraviolet dapat menyebabkan pembentukan radikal bebas dengan penyerapan energi elektronik pada O2, sehingga mengubah struktur O2 dari posisi triplet ke singlet yang bersifat tidak stabil (Suhartono dan Bambang, 2006).
Gambar 2. Mekanisme kerja antioksidan (Simbara, 2009)
Berdasarkan mekanisme kerjanya, antioksidan dapat dibedakan menjadi 3 golongan yaitu: antioksidan primer, sekunder, dan tersier. Antioksidan primer seperti SOD (Superoksida dismutase) dan glutation peroksidase (GPx) berfungsi mencegah pembentukan radikal bebas. Antioksidan sekunder (Vitamin C, Vitamin E, albumin, ubiquinol, karotenoid, dan flavonoid) menghambat terjadinya oksidasi, mencegah rantai propagasi, dan berperan dalam terminasi reaksi radikal.
10
Antioksidan tersier (lipase, protease, transferase) berperan memperbaiki kerusakan membran (Simbara, 2009). Berdasarkan sumbernya, antioksidan dibagi dalam dua kelompok, yaitu antioksidan sintetik dan antioksidan alami. Antioksidan sintetik adalah antioksidan yang diperoleh dari hasil sintesis reaksi kimia, contoh antioksidan sintetik pada makanan dan penggunaannya meluas adalah butyl hidroksi anisol (BHA), butyl hidroksi toluene (BHT), propil galat, dan tert-butil hidroksi quinon (TBHQ). Antioksidan tersebut merupakan antioksidan alami yang telah diproduksi secara sintetis untuk tujuan komersil (Buck, 1991). Sedangkan antioksidan alami adalah antioksidan hasil ekstraksi bahan alami dan pada berasal dari senyawa antioksidan yang sudah ada dalam komponen makanan, yang terbentuk dari reaksi-reaksi selama proses pengolahan, yang diisolasi dari sumber alami dan ditambahkan ke makanan sebagai bahan tambahan pangan (Pratt, 1992). Pengukuran antioksidan dapat dilakukan dengan berbagai cara, salah satunya adalah metode spektrofotometri menggunakan perekasi radikal DPPH. Pereaksi radikal DPPH atau 2,2-difenil-1-pikril hidrazil adalah suatu senyawa organik yang mengandung nitrogen tidak stabil dengan absorbansi kuat pada panjang gelombang maksimum 517 nm, berwarna ungu gelap, dan stabil sehingga dapat digunakan untuk menentukan sifat aktivitas peredaman radikal bebas suatu ekstrak. Setelah bereaksi dengan senyawa antioksidan, DPPH akan tereduksi dan warnanya akan berubah menjadi kuning (Kikuzaki dkk., 2002). Metode ini merupakan metode yang ini dapat digunakan pada sampel yang kecil atau sedikit, cepat, mudah, dan
11
peka untuk digunakan sebagai metode uji aktivitas peredaman radikal bebas (Hanani dkk., 2005). 3. Kulit Kulit adalah organ tubuh yang terletak paling luar dan membatasinya dari lingkungan hidup manusia (Djuanda, 1999). Salah satu fungsi kulit adalah sebagai pelindung utama tubuh dari pengaruh luar terutama sengatan sinar matahari. Sinar matahari merupakan faktor utama berbagai masalah kulit mulai yakni sunburn, pigmentasi kulit, penuaan kulit, hingga kanker kulit. Kulit yang terkena radiasi sinar UV akan berwarna lebih gelap, keriput, kusam, kering, dan timbul bercak-bercak coklat kehitaman (melisma). Penyinaran matahari yang singkat pada kulit dapat menyebabkan kerusakan epidermis sementara, gejalanya disebut sengatan surya. Sengatan surya yang berlebihan dapat menyebabkan kelainan kulit mulai dari dermatitis ringan hingga kanker kulit (Theresia, 2011). Pengaruh panjang gelombang sinar ultraviolet pada kulit adalah sebagai berikut: a. Sinar UV A dapat menyebabkan penuaan pada sel kulit dan kerusakan DNA sel secara tidak langsung. Pemaparan sinar UV A dalam jangka panjang mampu menyebabkan kerusakan kulit mulai keriput hingga kanker kulit. b. Sinar UV B menyebabkan kerusakan DNA sel secara langsung, menyebabkan sunburn, dan diduga menyebabkan kanker kulit (American Cancer Society, 2013).
12
4. Nanoemulgel a. Nanoemulsi
Gambar 3. Partikel nanoemulsi (Kendall, 2013)
Nanoemulsi adalah sistem transparan yang terdiri dari dua fase air dan minyak dengan distabilkan oleh penambahan surfaktan dan kosurfaktan dan memiliki ukuran droplet 10-100 nm. Ukuran droplet nanoemulsi yang kecil membuat nanoemulsi stabil secara kinetik sehingga mencegah terjadinya sedimentasi dan creaming selama penyimpanan (Troncoso dkk., 2011). Nanoemulsi dikatakan stabil bila memiliki potensial zeta bernilai ±30 mV (Shah dkk., 2010). Komponen utama Nanoemulsi adalah: 1) Minyak Fase minyak berperan penting dalam nanoemlusi karena dapat mempengaruhi spontanitas proses emulsifikiasi dan ukuran tetesan nanoemulsi (Makadia dkk., 2013). Fase minyak yang dipakai pada penelitian ini adalah asam oleat.
Gambar 4. Struktur kimia asam oleat
Asam oleat (nama IUPAC : cis-9-octadecenoic acid, singktan lipid 18:1 cis-9) adalah asam lemak tak jenuh (monounsaturated fatty acid) yang dapat diperoleh dari sumber nabati atau hewani, memiliki bobot molekul 282,47 gram/mol dan
13
berwarna kuning pucat atau kuning kecoklatan (NIST, 2014). Asam oleat memiliki titik leleh 13oC dan titik didih 300oC (Sciencelab, 2013). Asam oleat dapat bertindak sebagai agen pengemulsi sehingga dapat memperbaiki bioavailabilitas obat-obat yang sukar larut dalam air pada formulasi tablet (Kibbe, 2000). 2) Surfaktan Penambahan surfaktan pada nanoemulsi mampu menjadi emulgator yang dapat melingkupi partikel dalam bentuk lapisan tipis antarmuka air dengan minyak sehingga akan terbentuk nanoemulsi dengan tegangan antarmuka yang rendah tetapi area antarmuka yang luas (Shafiq-un-Nabi dkk., 2007). Surfaktan yang dipakai pada penelitian ini adalah tween 20.
Gambar 5. Struktur kimia tween 20
Tween 20 atau Polyoxyethylene (20) sorbitan monolaurate adalah ester laurat sorbitol dan anhidrannya berkopolimerisasi dengan lebih kurang 20 molekul etilen oksida untuk setiap molekul sorbitol dan anhidrida sorbitol (Depkes RI, 1995). Tween 20 memiliki HLB 16,7 dan bobot molekul sekitar 1225 gram/mol serta merupakan surfaktan nonionik yang sering digunakan sebagai emulsifying agent untuk emulsi tipe minyak dalam air (Sigma, 2014). 3) Kosurfaktan Sebagian besar surfaktan tidak cukup untuk menurunkan tegangan antarmuka minyak dengan air. Untuk itu, pada nanoemulsi diperlukan kosurfaktan untuk membantu menurunkan tegangan antarmuka antara fase air dan fase minyak.
14
Penambahan kosurfaktan berperan dalam meningkatkan solubilisasi gugus non polar dan meningkatkan mobilitas ekor hidrokarbon sehingga penetrasi minyak pada bagian ekor menjadi lebih besar (Swarbrick, 2007). Kosurfaktan yang dipakai pada penelitian ini adalah propilen glikol. Propilen glikol merupakan cairan kental tidak berwarna dan transparan yang umum digunakan sebagai kosolven (Rowe dkk., 2009). Propilen glikol mengandung tidak kurang dari 99,5% C3H8O2, dapat bercampur dengan air, aseton, dan kloroform (Depkes RI, 1995). Zat ini memiliki HLB 3,4 dan diklasifikasikan sebagai GRAS oleh FDA Amerika Serikat sehingga dapat digunakan untuk bahan tambahan makanan, obat-obatan, dan kosmetik (Ansel dkk., 2011). 4) Air Pembuatan nanoemulsi dapat dilakukan dengan dua cara yaitu dengan metode energi tinggi dan metode energi rendah. Kedua metode ini dapat menghasilkan sistem nanoemulsi yang stabil. Metode energi tinggi dapat dilakukan dengan Highpressure Homogenizer dan Ultra-sound generator. Sedangkan metode energi rendah dapat dilakukan dengan cara self emulsification, phase inversion methodphase inversion temperature, dan phase inversion composition. Metode energi rendah didasarkan atas sifat bahan dan kemampuannya membentuk partikel yang berukuran nano. Emulsifikasi dapat terjadi karena perubahan suhu dan komposisi, yang akan mempengaruhi HLB (Hydrophilic Lipophilic Balance) sistem (Chime dkk., 2014).
15
b.
Gel Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi partikel anorganik yang
kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Depkes RI, 1995). Keuntungan dari sediaan gel adalah kemampuan penyebarannya baik pada kulit, memberikan efek dingin, tidak menghambat fungsi rambut secara fisiologis, kemudahan pencucian dengan air yang baik, pelepasan obatnya baik, mampu membentuk massa gel yang baik dengan kadar bahan pembentuk gel sedikit, viskositas gel tidak berubah pada suhu penyimpanan (Lieberman, 1989; Voight, 1994). Dasar gel yang umum digunakan adalah: 1) Dasar gel hidrofobik Dasar gel hidrofobik umumnya terdiri dari partikel-partikel anorganik, bila ditambahkan ke dalam fase pendispersi, hanya sedikit sekali interaksi antara kedua fase. Bahan hidrofobik tidak secara spontan menyebar, tetapi harus dirangsang dengan prosedur yang khusus (Ansel, 1989). 2) Dasar gel hidrofilik Dasar gel hidrofilik umumnya terdiri dari molekul-molekul organik yang besar dan dapat dilarutkan atau disatukan dengan molekul fase pendispersi. Istilah hidrofilik berarti suka pada pelarut. Sistem koloid hidrofilik biasanya lebih mudah untuk dibuat dan memiliki stabilitas yang lebih baik (Voight, 1994).
16
Gel dibuat dengan proses peleburan, atau diperlukan suatu prosedur khusus berkenaan dengan sifat mengembang gel. Polimer-polimer yang biasa digunakan untuk membuat gel-gel farmasetik meliputi gom alam tragakan, pektin, karagen, agar, asam alginat, serta bahan-bahan sintetis dan seperti metil selulosa, hidroksietilselulosa, karboksimetilselulosa, dan karbopol (Lachman dkk., 1994). Gelling agent yang digunakan pada penelitian ini adalah karbopol.
Gambar 6. Struktur kimia karbopol
Polygel-Ca atau yang sering disebut karbopol adalah asam poliakrilik hidrofilik dan gugus karboksinya menjadi mudah terionisasi setelah dinetralisasi, membentuk gel selama reaksi elektrostatik di antara perubahan rantai polimer (Flory, 1953). Adapun sifat fisik karbopol yaitu berbentuk serbuk halus putih, sedikit berbau khas, higroskopis, memiliki titik lebur pada 260oC selama 30 menit dan mempunyai berat jenis 1,76-2,08 gram/cm3. Karbopol dapat larut dalam air, etanol, dan gliserin. Kadar lazim kabopol sebagai gelling agent yaitu 0,5-2,0% (Rowe dkk., 2006). Karbopol merupakan basis gel yang pembentukan gelnya tergantung pada pH (Allen, 2002). Ionisasi gugus karboksil dalam molekul karbopol pada pH 7 menghasilkan rantai polimer tak bergulung dan membentuk gel yang kaku, yang dapat mempengaruhi difusi obat dalam matriks polimer. Nilai difusi yang tinggi terjadi pada pH 5,1 (Lu dan Jun, 1998).
17
5. Metode optimasi menggunakan Simplex Lattice Design dan Design Expert® a.
Metode Simplex Lattice Design Metode Simplex Lattice Design merupakan suatu cara untuk menentukan
optimasi pada berbagai jumlah komposisi bahan yang dinyatakan dalam beberapa bagian. Profil respon dapat ditentukan melalui persamaan berdasarkan Simplex Lattice Design (Bolton, 1997). Implementasi Simplex Lattice Design dengan cara menyiapkan berbagai macam formula yang mengandung kadar berbeda dari beberapa bahan. Kombinasi disiapkan dengan satu cara yang mudah dan efisien sehingga data penelitian dapat digunakan untuk memprediksi respon yang berbeda dalam simplex (simple space). Persamaan matematika yang dapat menggambarkan simplex lattice design adalah linear, quadratic, dan special cubic model dengan bentuk persamaan sebagai berikut (Bolton, 1997): 1) Linear model Y=β1 X1 +β2X2 +β3X3
(1)
2) Quadratic model Y=β1 X1 +β2X2 +β3X3 +β12 X1 X2 +β13X1 X +β23 X2 X3 3
(2)
3) Special cubic model Y=β1 X1 +β2X2 +β3X3 +β12 X1 X2 +β13X1 X +β23 X2 X3 +β123X1 X2 X3 3
(3)
Keterangan : X1, X2, X3 = fraksi campuran homogen β1, β2, β3 = koefisien regresi
b.
Software Design Expert® Software Design Expert® adalah salah satu program komputer yang bisa
digunakan untuk optimasi produk atau proses. Software ini menawarkan empat
18
jenis rancangan desain seperti Factorial Designs yang digunakan untuk mengidentifikasi faktor penting yang mempengaruhi proses atau produk, Response Surface Methods (RSM) yang ditujukan untuk menetapkan proses yang ideal untuk mencapai kinerja yang optimal, Mixture Design Techniques yang digunakan untuk mencari formula optimum, dan Combine Design yang ditujukan khusus untuk optimasi yang menggabungkan antara komponen dengan proses dalam suatu rancangan. Design Expert® versi 7.1.5 menyediakan rancangan percobaan dengan lebih dari 99 blok, 21 faktor, dan 512 run (Yudha, 2008). Faktor adalah variabel atau fungsi kendala yang mempengaruhi proses optimasi. Run adalah formula atau banyaknya rancangan percobaan yang bisa dihasilkan, didasarkan pada fungsi kendala (banyaknya dan rentang nilai) yang diberikan. Ketelitian program ini secara numerik mencapai 0,001. Terdapat lima model matematika yang dapat diolah dalam program ini, yaitu mean, linier, quadratic, cubic, dan special cubic (Yudha, 2008).
F. Landasan Teori Rosella (Hibiscus sabdariffa L.) mengandung pigmen antosianin yang dapat bekerja sebagai antioksidan untuk mengendalikan radikal bebas dan tabir surya, sehingga bermanfaat dalam melindungi kulit dari pengaruh buruk sinar UV (Anonim, 2009). Penelitian awal yang dilakukan oleh Lukitaningsih dkk. (2013) menunjukkan bahwa ekstrak metanol kelopak bunga rosella mempunyai nilai IC50 sebesar 74,21 ppm. Antosianin juga mempunyai absorbansi pada panjang gelombang antara 250-950 nm (Marieta dkk., 2014). Namun, senyawa antosianin
19
tidak stabil pada pH, suhu tinggi, dan cahaya (Cavalcanti dkk., 2011). Untuk mengatasi masalah tersebut maka dilakukan enkapsulasi pada ekstrak kelopak bunga rosella. Penelitian sebelumnya oleh Juniarka (2012) telah dilakukan enkapsulasi ekstrak metanol kelopak bunga rosella dalam bentuk liposom. Hasil uji stabilitas liposom dengan penyimpanan selama 30 hari pada suhu rendah (0-50oC) dalam wadah jenuh nitrogen menunjukkan penurunan sebesar 0,93%. Nilai ini lebih kecil dibanding stabilitas ekstrak metanol kelopak bunga rosella dengan perlakuan yang sama, yaitu 11,25%. Nanoemulgel merupakan nanoemulsi yang dibuat menjadi gel dengan bantuan suatu gelling agent (Chen dkk., 2006). Nanoemulsi adalah sistem transparan yang terdiri dari dua fase air dan minyak dengan distabilkan oleh penambahan surfaktan dan kosurfaktan dan memiliki ukuran droplet 10-100 nm (Troncoso dkk., 2011). Asam oleat dipilih sebagai fase minyak karena merupakan minyak yang sering dipakai untuk emulgator, sebagai antioksidan kuat, dan dapat meningkatkan penetrasi dalam sediaan transdermal (Jusup, 2007; Wade dan Weller, 1994). Sedangkan kombinasi tween 20 dan propilen glikol pernah digunakan oleh Abdelaziz dkk. (2014) pada formulasi nanoemulsi indometasin untuk sediaan transdermal menghasilkan ukuran droplet antara 30-140 nm. Gel merupakan sistem semipadat terdiri dari suspensi partikel anorganik yang kecil atau molekul organik yang besar, terpenetrasi oleh suatu cairan (Depkes RI, 1995). Penambahan gelling agent pada nanoemulsi akan meningkatkan stabilitas dan viskositas nanoemulsi dengan menurunkan tegangan antar muka sehingga dapat diaplikasikan pada kulit
20
(Eid dkk., 2014). Karbopol dengan kadar 1,0% pernah digunakan oleh Andayani (2014) pada formulasi gel nanokitosan menghasilkan diameter daya sebar sebesar 5,44±0,83 cm dan daya lekat sebesar 0,39±0,07 detik. Selain itu, karbopol dengan kadar 1,0% juga pernah digunakan pada formulasi gel ekstrak etanolik kembang sepatu dengan viskositas sebesar 150±0 dPa.s dan daya sebar sebesar 4,35±0,73 cm (Nailufar, 2013).
G. Hipotesis 1.
Kombinasi tween 20 dan propilen glikol dalam formulasi nanoemulsi ekstrak etanolik kelopak bunga rosella menggunakan asam oleat sebagai fase minyak mampu menghasilkan nanoemulsi homogen dan jernih.
2.
Kadar karbopol 1,0-2,0% mampu menghasilkan nanoemulgel ekstrak etanolik kelopak bunga rosella yang memiliki daya sebar, daya lekat, dan viskositas yang baik.
3.
Nanoemulgel ekstrak etanolik kelopak bunga rosella mempunyai aktivitas antioksidan dan tabir surya.