BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penisilin merupakan jenis antibiotik β-laktam yang paling banyak diproduksi dan digunakan di dunia, sekitar 19 % dari pasar antibiotik dunia. Hal ini karena penisilin memiliki daya hambat yang kuat terhadap dinding sel bakteri, spektrum aktivitas antibakteri yang luas dengan toksisitas yang rendah, dan merupakan antibiotik yang efektif untuk berbagai jenis bakteri gram positif (Parmar, et al., 2000). Namun, penggunaan antibiotik penisilin secara berlebihan dapat mengarah pada resistensi patogen. Salah satu cara untuk mengatasi masalah resistensi adalah dengan memunculkan produk semisintetik yang memiliki sifatsifat lebih baik dari antibiotik penisilin alami. Produksi antibiotik β-laktam dan produk intermedietnya saat ini telah mengalami transformasi. Produksi yang semula secara konversi kimia tradisional berbasis pada stereokimia, sekarang mulai tergantikan dengan proses produksi yang dikatalisis enzim (Bruggink, et al., 1998). Penggunaan enzim dalam produksi antibiotik memiliki efisiensi yang tinggi dalam mengkatalisis reaksi organik yang kompleks, dapat dilakukan pada kondisi yang lunak, seperti pH netral, suhu dan tekanan yang tidak ekstrem, serta dapat dihindarinya penggunaan pelarut yang toksik. Selain itu, enzim memiliki spesifikasi substrat yang tinggi, sehingga by product yang dihasilkan sedikit serta sifatnya yang stereoselektif. Enzim dapat digunakan dalam bentuk bebas maupun terikat, baik itu terikat pada 1
2
sel atau carrier (immobilized) dengan sifat yang ramah lingkungan serta dapat diproduksi dalam jumlah yang besar. Proses produksi antibiotik β-laktam dengan menggunakan enzim biasanya dilakukan secara fermentasi untuk menghasilkan produk antara 6-APA dari bahan seperti penisilin G, penisilin V dan cephalosporin C (Bruggink, et al., 1998). Penisilin semisintetik kebanyakan diproduksi dari asam 6-amino penisilinat atau 6-Aminopenicillanic acid (6-APA), inti molekul penisilin yang dihasilkan terutama dengan deasetilasi enzimatik penisilin alami (Chisti dan MooYoung, 1991). Perkembangan tentang pengetahuan mengenai jalur biosintesis memungkinkan dilakukannya optimasi yang membuat ruahan produk semaksimal mungkin. Enzim yang digunakan merupakan enzim dengan memiliki mekanisme kerja N-deasilasi pada struktur antibiotik β-laktam, umumnya digunakan enzim penisilin asilase (Bruggink, et al., 1998). Penisilin asilase merupakan enzim anggota serin hidrolase dengan mekanisme aksi transfer gugus asil dari satu nukleofil ke lainnya, mengkatalisis reaksi deasilasi penisilin menjadi 6-APA. Enzim penisilin asilase diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: penisilin G asilase, penisilin V asilase dan ampisilin asilase yang dikelompokkan berdasarkan spesifisitas substratnya. Penisilin G asilase dihasilkan oleh bakteri, aktivitas mengkatalisis hidrolisis dari benzilpenisilin (penisilin G atau Pen-G) lebih cepat daripada fenoksimetil penisilin (penisilin V atau Pen-V). Penisilin V asilase umumnya dihasilkan oleh fungi, beberapa spesies bakteri dan ragi tertentu, aktivitas mengkatalisis hidrolisis dari penisilin V lebih cepat dari penisilin G. Ampisilin asilase secara spesifik
3
memiliki kemampuan untuk mengkatalisis hidrolisis ampisilin (Crueger dan Crueger, 1984; Shewale dan Sivaraman, 1989; Carrington, 1971). Salah satu contoh dari penggunaan enzim penisilin asilase yang banyak digunakan adalah penisilin G asilase dalam industri farmasi untuk memproduksi 6-APA dari penisilin G, dengan pengeluaran yang mencapai 10-30 ton per tahun di seluruh dunia. Penisilin G asilase umum digunakan dalam konversi antibiotik β-laktam karena merupakan ide baru dalam perindustrian yang lebih aman dan ramah lingkungan (Dolui dan Das, 2010). Penghasil penisilin asilase dalam hidrolisis penisilin G umumnya berasal dari bakteri-bakteri, seperti; Bacillus megaterium, Streptomyces lavendulae, Achromobacter sp., Bovista plumbea, Kluyvera atrophila, Pseudomonas melanogenum, Fusarium sp., dan Chainia (Cascaval, et al., 2002). Salah satu bakteri yang telah dilaporkan menghasilkan enzim penisilin asilase dengan stabilitas yang tinggi, terutama kaitannya dengan pengaruh suhu adalah Alcaligenes faecalis (t1/2 15 menit, suhu 55°C) (Torres, et al., 2012). Kerja penisilin asilase dipengaruhi banyak faktor, penisilin asilase memiliki kondisi optimal untuk mengkatalisis konversi penisilin G. Enzim ini memiliki pH optimal dalam range 6-8 (Bruggink, et al., 1998) dengan suhu kerja optimal pada suhu 3540°C. Penelitian yang dilaporkan oleh Cascaval, et al (2002), terhadap enzim penisilin asilase Eschericia coli yang diimobilisasi, memberikan hasil terbaik dengan penisilin G terhidrolisis melampaui 90% pada suhu 35-40°C dan pH 8,2. Laju reaksi enzim penisilin asilase juga dipengaruhi oleh hambatan substrat dan produk reaksinya, pada konsentrasi substrat tinggi, konversi hanya mencapai 60-
4
80% bergantung pada pH reaksi dan konsentrasi substrat (Cole, 1969). Konsentrasi substrat yang tinggi dapat menghambat laju reaksi secara uncompetitive. Kedua produk, yaitu 6-APA sebagai produk yang diinginkan dan PAA (Asam fenil asetat) sebagai produk samping, menghambat laju reaksi kerja enzim secara non-kompetitif dan secara kompetitif (Erarslan, et al., 1991). Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui pengaruh pH, konsentrasi substrat, dan jenis bufer sebagai pelarut terhadap kinerja enzim penisilin asilase dari bakteri Alcaligenes faecalis (A. faecalis) terhadap katalisis dalam hidrolisis pensilin G menjadi produk 6-APA. Dengan dilakukan penelitian ini, diharapkan akan diketahui kondisi optimal dalam konversi penisilin G menjadi produk 6-APA dengan menggunakan katalis enzim penisilin asilase dari bakteri A. faecalis.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan penjabaran latar belakang, rumusan masalah yang dapat diambil dalam penelitian ini adalah bagaimana kondisi optimal aktivitas penisilin asilase dari bakteri A. faecalis kaitannya dengan pengaruh pH, konsentrasi substrat dan jenis bufer sebagai media, dalam mengkatalisis hidrolisis pensilin G menjadi produk 6-APA?
5
C. Pentingnya Penelitian Penelitian ini diharapkan meningkatkan pengetahuan di bidang produksi antibiotik semisintetik, serta dapat mengetahui kondisi kerja enzimatis yang optimal dari enzim penisilin asilase dalam menghidrolisis penisilin G menjadi 6APA.
D. Tujuan Penelitian Penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut, yaitu mengetahui kondisi optimal kinerja enzim penisilin asilase dari bakteri A. faecalis dengan mengetahui dan mengontrol pengaruh pH, konsentrasi substrat, dan jenis bufer.
6
E. Tinjauan Pustaka 1. Hidrolisis Penisilin G Produksi penisilin semisintetik dalam industri membutuhkan bahan baku 6-APA yang dapat diperoleh dengan beberapa cara, yaitu: fermentasi, hidrolisis penisilin secara kimiawi, dan hidrolisis penisilin secara enzimatik. Namun, metode yang paling mudah dilakukan dan paling menguntungkan adalah hidrolisis penisilin secara enzimatik (Crueger dan Crueger, 1984; Shewale dan Sivaraman, 1989; Carrington, 1971). Beberapa mikroorganisme hasil rekayasa yang dilaporkan memberikan hasil hidrolisis penisilin secara enzimatik terbaik diantaranya adalah adalah Bacillus megaterium, Kluyvera citropholia, Alcaligenes faecalis, dan Proteus rettgeri (van Langen, et al., 2000). Hidrolisis penisilin G memerlukan adanya optimasi agar diperoleh kinerja yang optimal dalam mengkatalisis konversi penisilin G, seperti: pH lingkungan pada range 6,0-8,0 (Bruggink, et al., 1998), suhu 35-40°C, serta pengaruh reagen atau zat-zat lain, seperti: penggunaan derivat asam karboksilat, contohnya: fenilasetilglisin yang dapat meningkatkan kecepatan sintesis benzil penisilin (Kaufmann, et al., 1960). Penelitian hidrolisis penisilin G dengan menggunakan enzim penisilin asilase yang diimobilisasi dari Eschericia coli memberikan hasil terbaik dengan Pen-G terhidrolisis melampaui 90% pada suhu 35-40°C dan pH 8,2 (Cascaval, et al., 2002). Penelitian lain mengungkapkan bahwa proses hidrolisis dengan penisilin asilase Eschericia coli, memberikan
7
hasili terbaik pada rentang pH 7,5-8,0 dan temperatur 30-50oC (Bruggink, et al., 1998). Reaksi secara umum dapat digambarkan dengan skema sebagai berikut: N O
S N
O PENISILIN G
COOH PENISILIN ASILASE 30 - 50oC Buffer fosfat pH 7.5
H2N
S
OH
N
+
O 6- APA
COOH
O ASAM FENILASETAT phenylacetic acid (PAA)
Gambar 1. Hidrolisis enzimatis penisilin G menjadi 6-APA dan asam fenilasetat. (Sebayang, 2005)
Salah satu kendala yang telah dilaporkan pada proses hidrolisis penisilin secara enzimatik, adalah adanya fenomena inhibisi aktivitas enzim oleh asam fenilasetat yang dihasilkan. Sehingga berbagai desain reaktor untuk proses hidrolisis dan pemisahan 6-APA telah banyak dioptimasi, salah satunya adalah dengan menggunakan sistem mengalir dengan enzim yang terimobilisasi pada kolom reaktor seperti yang diaplikasi pada industri Toyo Jo Japan, dimana dalam satu siklus reaksi dapat dihidrolisis sebanyak 200 kg penisilin G dengan efisiensi reaksi sebesar 86% (Bruggink, et al., 1998). Metoda lain yang telah diteliti adalah dengan menggunakan sistem dua fase dari campuran PEG 2000 terkumpul pada fase dasar, yang terpisah dari produk reaksi asam fenilasetat sehingga inhibisi enzim dapat dicegah (Cao Xue, 2004). Selain itu, kendala lain berupa adanya pengaruh konsentrasi substrat yang tinggi dapat menghambat laju reaksi secara
8
uncompetitive. Kedua produk, yaitu 6-APA sebagai produk yang diinginkan dan PAA (asam fenil asetat) sebagai produk samping, menghambat laju reaksi kerja enzim secara non-kompetitif dan secara kompetitif (Erarslan, et al., 1991). 2. Penisilin G Penisilin merupakan suatu senyawa dengan struktur utama cincin βlaktam yang tidak stabil, mudah terdegradasi pada suasana asam maupun basa. Penisilin mengalami reaksi penyusunan ulang dengan cepat membentuk asam penilat pada pH rendah. Pada pH tinggi, cincin β-laktam pada struktur penisilin akan cepat terbuka hingga terbentuk asam penisiloat, yang akan mengalami dekarboksilasi menjadi asam peniloat (Vandamme dan Voet, 1974; Carrington, 1971). Selain itu, penisilin juga memiliki beberapa kekurangan dalam pemakaiannya, yaitu: munculnya gejala alergi, waktu paruh dalam tubuh sempit, tidak tahan terhadap asam dan β-laktamase, serta spektrum kerjanya sempit hanya efektif pada bakteri gram positif (Sebayang, 2005). Penisilin memiliki mekanisme kerja menghambat sintesis dinding sel bakteri, melalui penghambatan kerja enzim D-alanil karboksipetidase yang berperanan pada proses cross-linking antara rantai peptidoglikan penyusun dinding sel bakteri. Struktur penisilin yang mirip dengan struktur peptida D-alilD-alanin pada ujung rantai peptidoglikan, menyebabkan antibiotika ini dapat berikatan dengan enzim D-alanil karboksipeptidase dan menghambat kerja enzim tersebut pada proses pembentukan dinding sel bakteri (Katzung, 1998).
9
Pengembangan penisilin pada saat sekarang ini telah dilakukan hingga ke tahap produksi penisilin semisintetik untuk menanggulangi masalah resistensi dan memperbaiki sifat-sifat penisilin alami. Penisilin semisintetik dibuat dengan cara memodifikasi struktur rantai samping penisilin, yaitu dengan menggabungkan gugus rantai samping tertentu secara langsung melalui reaksi asilasi terhadap inti penisilin yang dikenal sebagai 6-APA. Penisilin semisintetik dibuat dengan bahan baku 6-APA yang dapat dihasilkan melalui proses-proses: fermentasi, hidrolisis penisilin secara kimiawi dan hidrolisis penisilin secara enzimatik. Berdasarkan spesifisitas enzim penghidrolisisnya, penisilin diklasifikasikan menjadi tiga kelompok, yaitu: penisilin G, penisilin V dan ampisilin (Crueger dan Crueger, 1984; Shewale dan Sivaraman, 1989; Carrington, 1971). Penisilin G merupakan substrat yang sering digunakan dalam reaksi penting biokonversi menjadi 6-APA dalam produksi antibiotik semisintetik, yang merupakan bahan baku penisilin semisintetik (Braun, et al, 1988). Penisilin G merupakan penisilin alami dengan nama lain benzil penisilin yang memiliki rumus struktur
C16H18N2O4S (Anonim, 1995). Penisilin G memiliki struktur
utama cincin β-laktam pada strukturnya dengan benzil sebagai rantai samping. Rumus bangunnya sebagai berikut:
Gambar 2. Struktur penisilin G (Sebayang, 2005)
10
Penisilin G dapat diperoleh melalui ekstraksi dari fermentation broth menggunakan solven organik, seperti metil isobutil keton (MIBK), atau butil asetat, pada pH rendah (Harrison dan Gibson, 1984). Kemudian penisilin G dihasilkan kembali ke fase aqueous pada pH yang lebih tinggi, dan dilakukan kristalisasi lebih lanjut menghasilkan garam potasiumnya (KPen-G). Sesudah itu, KPen-G dilarutkan pada medium aqueous dan dihidrolisis dengan penisilin G asilase (PGA) pada pH 7-8 untuk menghasilkan 6-APA dan PAA (van der Wielen, et al., 1997). 3. 6-APA (Asam 6-amino penisilinat) Asam 6-amino penisilinat atau 6-APA adalah produk intermediet dalam produksi penisilin semisintetik, seperti amoksisilin dan ampisilin, yang secara industri dapat diperoleh melalui hidrolisis penisilin G yang dikatalisis oleh penisilin G asilase (De Souza, et al., 2005). 6-APA merupakan prekursor pada pembuatan penisilin semisintetik yang sifatnya lebih baik dari penisilin alam, karena memperbaiki kekurangan yang terdapat pada penisilin alami. Produk penisilin yang dapat dihasilkan dari 6-APA diantaranya: proposilin, ampisilin, metesilin, oksasilin, kloksasilin, karbenesilin, fenetisilin, dan sebagainya (Sebayang, 2005). Biosintesis 6-APA di alam dihasilkan oleh golongan jamur Penicillium yang tumbuh pada media yang kaya akan karbohidrat, asam organik, garam ammonium dan garam sulfat. Jalur biosintesis 6-APA secara alamiah menggunakan asam-asam amino L-sistein, L-valin dan asam L-α-aminoadipat,
11
diubah menjadi L-aminoadipilsisteinilvalin, hingga terbentuk isopenisilin N, yang kemudian diubah menjadi 6-APA dengan enzim asiltransferase (Astuti, 1991). Produksi 6-APA dapat dihasilkan melalui proses-proses: fermentasi, hidrolisis penisilin secara kimiawi, dan hidrolisis penisilin secara enzimatik. Produksi melalui proses hidrolisis penisilin secara enzimatik merupakan cara yang paling mudah dilakukan dan paling menguntungkan (Crueger dan Crueger, 1984; Shewale dan Sivaraman, 1989; Carrington, 1971). Produksi 6-APA yang dilakukan pada saat ini hampir semua dilakukan dengan menggunakan enzim termobilisasi sebagai katalis reaksi hidrolisis penisilin G. Investigasi mengenai prosedur yang lebih efisien dalam produksi 6-APA masih terus dilakukan, serta pengembangan ke arah imobilisasi penisilin G asilase pada matriks polisakarida, seperti chitosan, dengan hemat dan prosedur simpel dapat dilakukan melalui biokatalisis yang menarik (Braun, et al., 1988; Dolui dan Das, 2010). 4. Penisilin Asilase Fungsi suatu enzim ialah sebagai katalis untuk proses biokimia yang terjadi dalam sel maupun di luar sel. Suatu enzim dapat mempercepat reaksi 108 sampai 1011 kali lebih cepat daripada apabila reaksi tersebut tanpa katalis. Enzim dapat menurunkan energi aktivasi suatu reaksi kimia (Dixon dan Webb, 1979). Enzim diketahui memiliki spesifisitas, yaitu hanya dapat mengkatalisis satu jenis reaksi spesifik saja. Suatu enzim dikatakan memiliki spesifisitas nisbi jika dapat bekerja pada beberapa substrat. Untuk dapat bekerja terhadap suatu substrat, harus ada hubungan antara substrat dengan enzim. Hubungan tersebut
12
hanya terjadi pada tempat tertentu, yang dinamakan sisi aktif (active site). Hubungan mungkin terjadi pada bagian aktif yang memiliki ruang yang tepat untuk menampung substrat. Bila substrat mempunyai bentuk atau konformasi lain, maka tidak dapat ditampung pada bagian aktif suatu enzim. Dalam hal ini, enzim itu tidak dapat berfungsi terhadap substrat. Hubungan atau kontak antara enzim dengan substrat menyebabkan terjadinya kompleks enzim-substrat. Kompleks ini merupakan kompleks yang aktif, yang bersifat sementara dan akan terurai lagi apabila reaksi yang diinginkan telah terjadi (Poedjiadi, 1994). Namun, dalam kinerjanya, enzim dipengaruhi oleh berbagai faktor. Menurut Poedjiadi (1994), faktor-faktor yang mempengaruhi kerja enzim secara umum diantaranya; konsentrasi enzim, konsentrasi substrat, suhu, pengaruh pH dan pengaruh inhibitor. Pengaruh konsentrasi enzim sebagaimana penambahan suatu katalis, bertambahnya konsentrasi enzim akan menaikan kecepatan reaksi pada konsentrasi substrat tertentu. Perngaruh konsentrasi substrat ditunjukkan pada sebuah hasil eksperimen, bahwa pada konsentrasi enzim yang tetap, pertambahan konsentrasi substrat akan menaikkan kecepatan reaksi, hingga pada batas konsentrasi tertentu, dimana penambahan substrat tidak menaikkan kecepatan reaksi. Suhu berpengaruh terhadap energi kinetik enzim, dimana pada suatu titik yang disebut titik optimal, suhu akan menaikkan kecepatan reaksi. Pada suhu yang rendah, reaksi akan berjalan lambat karena energi kinetik yang diperoleh oleh molekul enzim dengan substrat untuk melakukan benturan kecil, sedangkan pada suhu yang terlalu tinggi, akan menyebabkan proses denaturasi yang dapat merusak
13
bagian aktif enzim, sehingga konsentrasi efektif enzim menjadi berkurang dan kecepatan reaksinya akan menurun. Pengaruh pH adalah pada bentuk struktur ion enzim yang dapat berbentuk ion positif, ion negatif atau ion bermuatan ganda (zwitter ion) (Poedjiadi, 1994). Inhibitor dikemukakan oleh Poedjiadi (1994) sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi kerja enzim. Inhibitor merupakan molekul atau ion yang dapat menghambat reaksi enzimatis. Hambatan yang dilakukan oleh inhibitor dapat berupa hambatan tidak reversibel atau hambatan reversibel. Hambatan tidak reversibel pada umumnya disebabkan oleh proses destruksi atau modifikasi sebuah gugus fungsi atau lebih yang terdapat pada molekul enzim. Hambatan reversibel dapat berupa hambatan bersaing atau hambatan tidak bersaing, yang diuraikan sebagai berikut: 1.) Hambatan bersaing (competitive inhibitor); merupakan hambatan karena molekul mirip substrat, yang dapat membentuk kompleks enzim inhibitor (EI) melalui pengikatan inhibitor pada bagian aktif enzim. 2.) Hambatan tidak bersaing (non competitive inhibitor); merupakan hambatan dimana inhibitor bergabung dengan enzim
pada suatu
bagian di luar bagian aktif enzim, yang menyebabkan inaktifasi enzim. Hambatan pada kerja enzim dapat pula terjadi secara uncompetitive. Hambatan uncompetitive terjadi melalui pengikatan suatu inhibitor pada
14
kompleksi enzim substrat yang telah terbentuk. Hal ini mengakibatkan terjadinya inaktivasi enzim. Penisilin asilase merupakan enzim yang mengkatalisis reaksi hidrolisis benzil penisilin menjadi asam 6-amino penisilinat dan asam fenil asetat (Sebayang, 2005). Penisilin asilase merupakan enzim anggota serin hidrolase dengan mekanisme aksi transfer gugus asil dari satu nukleofil ke lainnya, mengkatalisis reaksi deasilasi penisilin menjadi 6-APA. Penisilin asilase juga dikenal dengan penisilin amidase, yang dalam biosintesis dapat dihasilkan dari bakteri seperti: Bacillus megaterium, Streptomyces lavendulae, Achromobacter sp., Bovista plumbea, Kluyvera atrophila, Pseudomonas melanogenum, Fusarium sp., dan Chainia (Cascaval, et al., 2002). Selain itu, terdapat beberapa bakteri yang menghasilkan enzim penisilin asilase dengan stabilitas yang tinggi, terutama kaitannya dengan pengaruh suhu seperti; Alcaligenes faecalis (t1/2 15 menit, suhu 55°C), Bacillus badius (t1/2 20 menit, suhu 55°C) and Achromobacter xylosoxidans (t1/2 55 menit, suhu 55°C) (Torres, et al., 2012). Klasifikasi enzim penisilin asilase dibagi menjadi tiga kelompok berdasarkan spesifisitas substratnya, yaitu penisilin G asilase yang dihasilkan oleh bakteri, mengkatalisis hidrolisis benzilpenisilin (penisilin G) lebih cepat daripada fenoksimetil penisilin (penisilin V), penisilin V asilase yang umumnya dihasilkan oleh fungi dan beberapa spesies bakteri dan ragi tertentu, mengkatalisis hidrolisis penisilin V lebih cepat dari penisilin G, dan yang terakhir adalah ampisilin asilase yang secara spesifik memiliki kemampuan untuk mengkatalisis hidrolisis
15
ampisilin (Crueger dan Crueger, 1984; Shewale dan Sivaraman, 1989; Carrington, 1971). Kinerja penisilin asilase dipengaruhi oleh banyak faktor, penisilin asilase memiliki kondisi optimal yang dibutuhkan untuk mengkatalisis konversi penisilin G. Enzim ini memiliki pH optimal dalam range 6-8 (Bruggink, et al., 1998) dengan suhu kerja
optimal pada suhu 35-40°C. Penelitian terhadap enzim
penisilin asilase yang diimobilisasi dari Eschericia coli memberikan hasil terbaik dengan penisilin G terhidrolisis melampaui 90% pada suhu 35-40°C dan pH 8.2 (Cascaval, et al., 2002). Laju reaksi enzim penisilin asilase juga dipengaruhi oleh hambatan substrat dan produk reaksinya, pada konsentrasi substrat tinggi, konversi hanya mencapai 60-80% bergantung pada pH reaksi dan konsentrasi substrat (Cole, 1969). Konsentrasi substrat yang tinggi dapat menghambat laju reaksi secara uncompetitive. Kedua produk, yaitu 6-APA sebagai produk yang diinginkan dan asam fenil asetat sebagai produk samping, dapat menghambat laju reaksi kerja enzim penisilin asilase, secara non-kompetitif dan kompetitif (Erarslan, et al., 1991). Penisilin asilase dari bakteri Alcaligenes faecalis merupakan salah satu enzim penisilin asilase yang paling termostabil. Sifat termostabil ini terbatas pada kisaran waktu tertentu (Stepashkina, et al., 2010). Secara struktural, penisilin asilase termasuk dalam kelas N-terminal nukleofilik hidrolase yang tidak memiliki serangkaian katalitik, tetapi N-terminal serin diaktivasi oleh molekul jembatan air, melalui ikatan hidrogen (gambar 3).
16
Gambar 3. Gambaran skematik sisi aktif penisilin asilase, menunjukkan ikatan hidrogen (Duggleby, et al., 1995)
Mekanisme kerja penisilin asilase adalah dengan memfasilitasi donor asil dari penisilin G, melalui pengikatan pada pada acyl-donor binding site pada enzim. Penisilin asilase merupakan enzim yang fragil, enzim ini akan kehilangan aktivitas katalitiknya oleh dehidrasi. Oleh karena itu, dibutuhkan air untuk melakukan reaksi, atau sebagai alternatif reaksi dilangsungkan pada media aqueous. Penelitian terkini menunjukkan bahwa penisilin asilase dari A. faecalis dilaporkan memiliki enantioselektivitas yang lebih tinggi dari E. coli (Ismail, 2007). 5. Larutan Bufer Bufer adalah senyawa-senyawa atau campuran senyawa yang dapat mencegah perubahan pH terhadap penambahan sedikit asam dan basa. Peniadaan perubahan pH tersebut dikenal sebagai aksi bufer (Ernawati, 1991). Kombinasi asam lemah dengan basa konjugasinya yaitu garamnya, atau basa lemah dengan asam konjugasinya bertindak sebagai bufer. Jika 1 mol 0,1 N larutan HCl ditambahkan dalam 100 mL air murni, pH air akan turun dari 7,0
17
menjadi 3,0. Jika asam kuat ditambahkan ke dalam 100 mL 0,01M larutan mengandung asam asetat dan natrium asetat dalam jumlah yang sama, pH larutan itu hanya berubah sebesar 0,09 satuan pH, karena basa (Ac-) mengikat ion hidrogen sebagai berikut:
Jika suatu basa kuat, NaOH misalnya, ditambahkan ke dalam campuran bufer, asam asetat akan menetralisir ion hidroksilnya sebagai berikut:
Kemampuan menyangga perubahan pH suatu bufer untuk asam lemah dan garamnya yang dikenal persamaan Handerson-hasselbalch.
Larutan bufer pada mulanya tidak dibuat dari basa lemah dan garamnya karena ketidakstabilan basanya dan pH basa tergantung pada pKw yang seringkali dipengaruhi oleh perubahan temperatur. Namun demikian larutan obat seperti larutan efedrin basa dan efedrin HCl seringkali merupakan kombinasi basa lemah dan garamnya. Persamaan bufer untuk larutan yang terdiri dari basa lemah dan garamnya dapat dikatakan hampir sama dengan dengan persamaan bufer untuk asam lemah:
18
Dan dengan menggunakan hubungan
persamaan
bufer ini menjadi:
Dimana Ka
: konstanta ionisasi asam
Kb
: konstanta ionisasi basa
Kw
: hasil kali ion asam Sistem bufer yang efektif berkisar diantara dua unit pH yang bertitik
pusat pada harga pKa nya. Sistem bufer polibasis dapat memiliki lebih dari satu harga pH yang bermanfaat. Rentang nilai pKa untuk bufer yang berkhasiat biologis adalah 3,0-11,0 dan oleh karena itu larutan dapat secara efektif disangga antara pH 2,0-12,0 (Ernawati, 1991). a. Bufer Fosfat Bufer fosfat merupakan bufer anorganik yang terdiri dari campuran monobasik dan dibasik monohidrogen fosfat dalam perbandingan tertentu, sesuai dengan konsentrasi bufer yang diinginkan. Salah satu contoh yang lazim digunakan adalah campuran K2HPO4 dan KH2PO4. Bufer ini memiliki kapasitas bufer yang tinggi dan larut baik dalam air, tetapi bufer ini memiliki beberapa kekurangan, yaitu:
19
1). Banyak dari substansi bufer fosfat yang kurang inert dan menimbulkan efek yang mengganggu pada pengamatan, seperti menghambat reaksi enzimatis (inhibisi dari karboksipeptidase, urease, fumarase, enzim dengan ester fosfat tersubstitusi, berbagai macam kinase, dan dehidrogenasi), interaksi dengan substrat, dan lain sebagainya. 2). Pembentukan kompleks dengan ion logam bivalen, seperti Ca2+ dan Mg2+ yang membentuk garam yang tidak larut. 3). Pengendapan dengan adanya etanol. Bufer fosfat diketahui memiliki banyak variasi pKa yang berpengaruh pada keefektifan dalam menjaga range pH. Contoh dari variasi pKa bufer fosfat pada suhu 25°C dapat dilihat pada tabel I: Table I. Variasi pKa bufer fosfat pada suhu 25ºC (Anonim, 2008) Range pH efektif
pKa (25ºC)
1,70 - 2,90
2,15
5,80 - 8,00
7,20
9,70 - 11,10
12,33
Pengaplikasian bufer fosfat banyak dilakukan pada industri farmasi. Selain itu, penerapannya juga berkembang hingga pada ranah immunoassay, immuno-histochemical, mikrobiologi, kultur sel dan pelarutan sampel (Anonim, 2008).
20
b. Bufer Tris Bufer Tris-(hidroksimetil)-aminometan atau bufer tris, merupakan bufer yang dipreparasikan dengan mencampurkan basa Tris dengan HCl dengan perbandingan tertentu. Tris dan amina primer yang lain dapat membentuk basa Schiff dengan aldehid dan keton. Bufer Tris sangat dipengaruhi oleh suhu, yang berarti dengan adanya perubahan suhu akan mengubah nilai pKa bufer Tris. Bufer Tris sering digunakan karena beberapa alasan, yaitu: harga relatif terjangkau, sangat larut dalam air, inert dalam banyak sistem enzimatis, dan memiliki kapasitas bufer yang tinggi. Namun, bufer Tris memiliki beberapa kekurangan, yaitu: 1). Harga pKa dari Tris adalah 8,06 pada suhu 25ºC, yang berarti berada di atas range pH dari banyak sistem biologis (pH 6,0 – 8,0), dan secara relatif memiliki kapasitas bufer yang rendah pada pH fisiologi aktual (7,0 – 7,5). 2). Sangat sensitif terhadap perubahan temperatur. 3). Tris bereaksi dengan elektroda yang memiliki penghubung serat fiber. 4). Harga pH bufer Tris bergantung pada konsentrasi larutan. 5). Toksik, karena sifatnya yang juga sangat larut lemak, sehingga dapat melakukan penetrasi ke dalam sel.
21
6). Tris adalah amina primer, sehingga tidak dapat digunakan bersama reagen fiksasi seperti glutaraldehid dan aldehid dan bereaksi dengan reaksi enzimatis (Anonim, 2008). 6. HPLC (Kromatografi Cair Kinerja Tinggi) Kromatografi cair kinerja tinggi atau HPLC (High Performance Liquid Chromatography) merupakan salah satu teknik kromatografi, yang merupakan teknik dimana solut atau zat-zat terlarut terpisah oleh perbedaan kecepatan elusi, dikarenakan solut dilewatkan pada suatu kolom kromatografi. Pemisahan solut ini diatur oleh distribusi solut dalam fase gerak dan fase diam. Penggunaan HPLC secara sukses terhadap suatu masalah yang dihadapi membutuhkan penggabungan secara tepat dari berbagai kondisi operasional, seperti: jenis kolom, panjang dan diameter kolom, ukuran partikel fase diam, suhu kolom, fase gerak dan kecepatan aliran fase gerak (Gandjar dan Rohman, 2009). HPLC memiliki kegunaan umum antara lain: pemisahan sejumlah senyawa organik, anorganik, maupun senyawa biologis, analisis ketidakmurnian (impurities), analisis senyawa-senyawa non volatil, penentuan molekul-molekul netral, ionik, maupun zwitter ion, isolasi dan pemurnian senyawa, pemisahan senyawa-senyawa yang memiliki struktur hampir sama, pemisahan trace element, pemisahan senyawa dalam jumlah banyak dan dalam skala proses industri. HPLC merupakan metode yang tidak destruktif dan dapat digunakan untuk analisis kualitatif dan kuantitatif. Keterbatasan HPLC adalah terkait dengan sulitnya
22
memperoleh senyawa dengan resolusi yang baik jika sampelnya kompleks (Gandjar dan Rohman, 2009). Instrumentasi HPLC terdiri dari delapan komponen pokok, yaitu: wadah fase gerak, sistem penghantaran fase gerak, alat untuk memasukkan sampel, kolom, detektor, wadah penampung buangan fase gerak, tabung penghubung dan suatu komputer atau integrator atau perekam (Gandjar dan Rohman, 2009). Analisis hasil hidrolisis penisilin G lazim menggunakan HPLC. Penelitian Cascaval, et al (2002), menganalisis fraksinasi dari campuran hasil hidrolisis enzimatik penisilin. Sistem yang digunakan merupakan sistem fase terbalik, dimana digunakan fase diam yang cenderung lebih non polar dibandingkan fase geraknya, sebagai contohnya adalah Lichrospher®100 RP-18 (5µm). Fase gerak yang digunakan adalah campuran bufer fosfat dan asetonitril dengan perbandingan 4:1. Hal ini berdasarkan pada sifat dari fraksinasi yang dihasilkan. Struktur 6-APA yang memiliki karakteristik amfoterik, dengan adanya gugus amina dan karboksilat, yang mengalami mekanisme kesetimbangan melalui disosiasi yang bergantung pada pH (gambar 4). Hal ini membuat 6-APA cenderung bersifat polar dibandingkan penisilin G.
23
Gambar 4. Kesetimbangan disosiasi 6-APA terkait dengan pengaruh pH (Cascaval, et al., 2002)
F. Landasan Teori Hidrolisis penisilin G sercara enzimatis dipengaruhi oleh reagen-reagen dan lingkungan, seperti pH, suhu serta konsentrasi substrat (Bruggink, et al., 1998; Kaufmann, et al., 1960). Hidrolisis penisilin G secara enzimatis diketahui berjalan optimal pada lingkungan pH 6,0–8,0 (Bruggink, et al., 1998). Van Langen, et al (2000) melaporkan, hidrolisis penisilin G menjadi 6-APA, menghasilkan hidrolisis yang terbaik dengan menggunakan penisilin asilase yang dihasilkan oleh Bacillus megaterium, Kluyvera citropholia, Alcaligenes faecalis, dan Proteus rettgeri pada suhu 35-40°C (van Langen, et al., 2000). Lamanya hidrolisis penisilin G secara enzimatis akan mempengaruhi produk 6-APA dan PAA yang dihasilkan. Apabila produk 6-APA dan PAA terjadi secara berlebihan, akan menghambat kerja penisilin asilase, secara kompetitif dan non kompetitif. Konsentrasi substrat penisilin G juga berpengaruh terhadap kerja enzim, karena adanya penghambatan secara uncompetitive (Erarslan, et al., 1991).
24
G. Hipotesis 1.
Hidrolisis penisilin G secara enzimatis menggunakan penisilin asilase dari bakteri A. faecalis diperkirakan berjalan optimal pada pH 6-8 pada suhu 3540°C.
2.
Konsentrasi substrat dalam hidrolisis penisilin G secara enzimatis menggunakan penisilin asilase dari bakteri A. faecalis, diperkirakan mempengaruhi aktivitas enzim, sehingga terdapat konsentrasi substrat tertentu dimana hidrolisis akan berjalan optimal.
3.
Komponen-komponen di dalam sistem seperti jenis media, contohnya bufer yang digunakan, diperkirakan mempengaruhi hidrolisis penisilin G secara enzimatis menggunakan katalis enzim penisilin asilase dari bakteri A. faecalis.