BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Dari berbagai masalah yang dihadapi manusia, maka masalah manusia dengan manusia itu sendiri yang paling menarik dan tak akan ada habisnya untuk didiskusikan. Karena sifatnya yang dinamis, persoalan yang terkait dengan manusiapun selalu muncul dan berkembang sesuai dengan tuntutan kebutuhan manusia itu sendiri. Seluruh peristiwa yang dialami manusia tidak satupun yang tidak tersangkut dengan
aturan
hukum.
Sejak
manusia
lahir,
menikah
bahkan
sampai
meninggalnyapun, hukum tetap menjamahnya. Ketika kita berbicara masalah hukum, maka kedudukan manusia disamping sebagai subyek juga sekaligus sebagai obyek hukum. Oleh karena itu setiap peristiwa yang menyangkut ruang lingkup kehidupan manusia selalu disebut peristiwa hukum. Dari seluruh hukum, maka hukum perkawinan dan kewarisanlah yang menentukan dan mencerminkan sistem kekeluargaan yang berlaku dalam masyarakat. Hal ini disebabkan, hukum kewarisan itu sangat erat kaitannya dengan ruang lingkup kehidupan manusia. Bahwa setiap manusia pasti akan mengalami suatu peristiwa yang sangat penting dalam hidupnya, yang merupakan peristiwa hukum dan lazim disebut meninggal dunia. Apabila ada peristiwa hukum, yaitu meninggalnya seseorang yang akibatnya keluarga dekatnya kehilangan seseorang yang mungkin
1
Universitas Sumatera Utara
2
sangat dicintainya sekaligus menimbulkan pula akibat hukum, yaitu tentang bagaimana caranya kelanjutan pengurusan hak-hak seseorang yang telah meninggal dunia itu. Penyelesaian dan pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang sebagai akibat adanya peristiwa hukum karena meninggalnya seseorang diatur oleh Hukum Kewarisan. Jadi, Hukum Kewarisan itu dapat dikatakan sebagai “himpunan peraturan-peraturan hukum yang mengatur bagaimana caranya pengurusan hak-hak dan kewajiban seseorang yang meninggal dunia oleh ahli waris atau badan hukum lainnya”.1 Pengertian secara umum mengenai hukum waris adalah hukum waris merupakan hukum yang mengatur mengenai peralihan harta kekayaan yang ditinggalkan oleh seseorang yang telah meninggal dunia kepada ahli warisnya atau keluarganya. Hukum waris di Indonesia masih bersifat pluralistis, karena pada saat ini berlaku 3 (tiga) sistem hukum waris, yaitu Hukum Waris Adat, Hukum Waris menurut Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUHPerdata), dan Hukum Waris Islam. Bilamana disepakati bahwa hukum adalah merupakan salah satu aspek kebudayaan baik rohaniah atau spiritual, maupun kebudayaan jasmaniah, inilah barangkali salah satu penyebab kenapa adanya beraneka ragam sistem hukum terutama hukum kewarisan.
1
Mohd.Idris Ramulyo,Beberapa Masalah Pelaksanaan Hukum Kewarisan Perdata Barat. Penerbit Sinar Grafika, Jakarta: 1993, hal 3
Universitas Sumatera Utara
3
Seperti telah disinggung di atas bahwa hukum waris yang berlaku di Indonesia masih bersifat pluralistis. Namun ketiga hukum waris tersebut mempunyai persamaan yaitu bahwa yang menjadi obyek dari hukum waris tersebut adalah harta warisan yang harus dibagikan kepada ahli warisnya. Namun diantara ketiga hukum itu hanya hukum waris Islam yang memiliki karakteristik yang tidak dimiliki oleh hukum waris yang lain. Hukum Kewarisan Islam bersumber dari wahyu Allah dalam Al-Qur’an, Sunnah Rasul dan Ijtihad, yang berlaku dan wajib ditaati oleh semua umat Islam dulu, sekarang dan di masa yang akan datang. Penggunaan ketiga sumber ini didasarkan kepada ayat Al-Qur’an sendiri dan hadist Nabi. Salah satu ayat yang menyinggung tentang hal ini ialah Al-Qur’an Surat An-Nisa’ (4) : 59, yang terjemahannya: “Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul(Nya) dan ulil amri diantara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Qur’an) dan Rasul (sunnahnya)….” Ayat ini memberikan pengertian bahwa orang mukmin diharuskan untuk mengikuti atau taat kepada Allah, Rasul dan ulil amri. Hal ini dapat diberi pengertian, bahwa seorang mukmin senantiasa dalam memecahkan berbagai aspek harus mengikuti dan didasarkan pada ketiga sumber tersebut. Karena itu, pengertian taat kepada Allah, dimaknakan dengan sumber Al-Qur’an. Sedangkan taat kepada Rasul,
Universitas Sumatera Utara
4
dimaknakan dengan sumber Sunnah, dan ulil amri dimaknakan sebagai sumber ijtihad para mujtahid. 2 Dasar hukum kewarisan Islam diatur dengan tegas dalam Al Qur-an, diantaranya dalam firman Allah dalam surat An-Nisa ayat 7 yang terjemahannya berbunyi: “Bagi laki-laki ada hak bagian dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi wanita ada hak bagian (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit ataupun banyak menurut bahagian yang telah ditetapkan”.3 Selain terdapat dalam Al Qur-an, ketentuan hukum kewarisan Islam juga terdapat dalam hadist Nabi Muhammad S.A.W yang artinya : “Dari Ibnu Abbas r.a dari Nabi S.A.W, ia berkata : Berikanlah faraid (bagian yang telah ditentukan dalam Al Qur-an) kepada yang berhak menerimanya dan selebihnya berikanlah untuk laki-laki dari keturunan laki-laki yang terdekat”. (H.R. Bukhari – Muslim).4 Al-Qur’an merupakan acuan utama hukum dan penentuan pembagian waris, sedangkan ketetapan tentang kewarisan yang diambil dari hadist Rasulullah SAW dan ijma’ para ulama sangat sedikit. Dapat dikatakan bahwa dalam syariat Islam, sedikit sekali ayat Al-Qur’an yang merinci suatu hukum secara detail dan rinci, kecuali hukum waris ini. Hal demikan disebabkan kewarisan merupakan salah satu bentuk kepemilikan yang legal dan dibenarkan Allah SWT. Disamping bahwa harta
2
Abdul Ghofur Anshori, Hukum Kewarisan Islam Di Indonesia. Penerbit Ekonisia, Yogyakarta: 2002., hal 7 3 Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an Dan Terjemahnya, CV. Jaya Sakti, Surabaya : 1989, hal 114. 4 Amir Syarifuddin, Hukum Kewarisan Islam, Kencana Prenada Media Group, Jakarta: 2008, hal 12.
Universitas Sumatera Utara
5
merupakan tonggak penegak kehidupan baik bagi individu maupun kelompok masyarakat. Al-Qur’an menjelaskan dan merinci secara detail hukum-hukum yang berkaitan dengan hak kewarisan tanpa mengabaikan hak seorang pun. Bagian yang harus diterima semuanya dijelaskan sesuai kedudukan nasab terhadap pewaris, apakah dia sebagai anak, ayah, istri, suami, kakek, ibu, paman, cucu, atau bahkan hanya sebatas saudara seayah atau seibu. Dalam rangka upaya pemahaman terhadap ayat-ayat kewarisan tersebut, maka muncullah pendapat-pendapat yang berbeda antara para ahli fara’idl dari golongan satu (ahlussunnah) dengan golongan yang lain (Syi’ah atau dhahiri), bahkan antara para ahli fara’idl yang berada dalam satu golongan seperti antara Imam Hanafi, Imam Malik, Imam Syafi’I, Imam Hambali dan juga para murid atau pengikut-pengikutnya. Diantara pendapat-pendapat tersebut, yang popular (dianut) di Indonesia adalah pendapat Imam Syafi’i sesuai surat edaran kepala Biro Peradilan Agama Departemen Agama RI tanggal 18 Februari 1958 nomor B/I/735.5 Sejalan dengan upaya untuk mengadakan pembaharuan hukum Islam, Hazairin pada pertengahan tahun 50-an telah memperkenalkan teori hukum kewarisan Islam hasil ijtihadnya yang bercorak bilateral. Teori Hazairin ini sudah barang tentu berbeda dengan paham kewarisan syafi’i yang bercorak patrilineal. Ciri dari hukum kewarisan patrilineal Syafi’i adalah pertama ada diskriminasi antara kerabat 5
Ahmad Zahari, Tesis Hukum Kewarisan Kompilasi Hukum Islam Serta Persamaan Dan Perbedaannya Dengan Hukum Kewarisan Syafi’i Dan Hazairin, Program Magister Kenotariatan Fakultas Hukum Universitas Diponegoro, Semarang, 2005, hlm.2
Universitas Sumatera Utara
6
keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli waris bersifat sangat terbatas. Sedangkan ciri dari kewarisan bilateral Hazairin adalah pertama tidak ada diskriminasi antara kerabat keturunan laki-laki dan kerabat keturunan perempuan, dan kedua penggantian ahli waris tidak terbatas.6 Waris pengganti pada dasarnya, adalah ahli waris karena penggantian yaitu orang-orang yang menjadi ahli waris karena orang tuanya yang berhak mendapat warisan meninggal lebih dahulu dari pewaris, sehingga dia tampil menggantikannya. Kenyataan di masyarakat, seringkali ditemukan kasus seseorang meninggal dunia, tetapi harta warisannya tidak segera dibagikan kepada para ahli warisnya yang berhak. Tidak berapa lama kemudian, di antara ahli warisnya ada yang menyusul wafat sebelum harta warisan yang wafat pertama tadi dibagikan. Di kemudian hari, di antara para ahli waris dari yang wafat pertama maupun ahli waris dari yang wafat belakangan tidak jarang terjadi perselisihan karena masing-masing mengklaim harta warisan. Hal yang dapat membawa kepada perpecahan keluarga, bahkan perbuatan kriminal seperti ini seharusnya dapat dihindari atau dicegah. Dalam Islam, pembagian warisan hendaknya disegerakan pelaksanaannya setelah urusan fardhu kifayah atas mayit selesai. Penundaan pembagian warisan yang terlalu lama dapat menimbulkan kesulitan untuk menentukan bagian masing-masing ahli waris. Hal ini wajar terjadi karena mungkin terdapat lebih dari seorang di antara ahli waris yang menyusul wafat sebelum harta warisan dari yang wafat pertama sekali dibagikan. 6
ibid
Universitas Sumatera Utara
7
Masalah ini oleh sebagian ulama dimasukkan dalam bahagian munasakhah yang artinya bila seseorang atau lebih dari kalangan ahli waris mayit pertama meninggal dunia sebelum tirkah mayit pertama dibagi sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain.7 Pada saat pembagian dilaksanakan maka bagian ahli waris yang telah meninggal dunia tersebut kemudian dipindahkan kepada ahli waris (lain) yang berhak menerimanya. Ahli waris (lain) yang berhak menerima pemindahan pembagian kewarisan tersebut bisa ahli waris yang mewaris bersamanya bisa ahli waris yang lain sama sekali, atau bisa juga gabungan keduanya. Dalam hal pemindahan pembagian kewarisan dari ahli waris yang meninggal kepada ahli waris lain yang berhak menerimanya, maka terjadilah penggantian terhadap ahli waris tersebut sehingga biasa disebut dengan ahli waris pengganti. Sedangkan perpindahan hak warisnya dari ahli waris inilah yang disebutkan dengan munasakhah, maka dari itu munasakhah ini tidak bisa diidentikkan sama dengan ahli waris pengganti atau penggantian tempat. Berbicara mengenai munasakhah ini memang tidaklah lepas dari ahli waris pengganti yang merupakan suatu hal yang baru di dalam hukum waris Islam. Di Negara-negara Islam lainnya tidak mengenal adanya ahli waris pengganti. Mereka lebih menekankan konsep wasiat wajibah diberikan terbatas kepada cucu pewaris yang orang tuanya telah meninggal dunia lebih dahulu dan mereka tidak mendapatkan bagian harta warisan disebabkan kedudukannya sebagai dzawil arham atau terhijab oleh ahli waris lain. 7
Bahrun Abubakar, Fiqih Waris, Penerbit Nuansa Aulia, Bandung: 2008, hal. 249
Universitas Sumatera Utara
8
Besarnya wasiat wajibah menurut pasal 71 Undang-Undang Wasiat Mesir menetapkan sebesar bagian yang semestinya diterima oleh orang tuanya apabila masih hidup dengan ketentuan tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan dan harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut : 8 a. Hanya terbatas kepada cucu yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris. b. Cucu tersebut bukan termasuk orang yang berhak menerima harta warisan. c. Pewaris tidak memberikan kepadanya dengan jalan lain sebesar yang telah ditentukan baginya. d. Besarnya wasiat wajibah tidak boleh melebihi sepertiga harta peninggalan. Berdasarkan ketentuan di atas, cucu yang dapat diberikan wasiat wajibah adalah cucu laki-laki maupun perempuan dari anak perempuan maupun dari anak laki-laki. Jika cucu dari garis laki-laki tersebut tidak terhijab oleh anak, mereka tetap menerima bagian harta warisan kakeknya berdasarkan kedudukannya selaku ashabah sebagaimana dalam sistem kewarisan jumhur,9 bukan sebagai penggantian tempat atau ahli waris pengganti sebagaimana dalam Kompilasi Hukum Islam. 10 Menurut Hazairin, bahwa dengan pikiran logis menafsirkan Al-Qur’an surat An-Nisa ayat 33 yang berbunyi sebagai berikut :
8
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, Bulan Bintang, Jakarta: 1979, hal.64 Jumhur adalah kewarisan yang menempatkan semua laki-laki dari jalur laki sebagai ashabah bi nafsih tanpa batas, artinya betapapun jauhnya hubungan dengan pewaris mereka selalu tampil sebagai ashabah jika ahli waris yang dekat perempuan. Lihat T.M. Hasby as-Shiddiqie, Fiqhul Mawaris, Bulan Bintang, Jakarta: 1973, hal.172. 10 ibid 9
Universitas Sumatera Utara
9
“ Bagi tiap-tiap harta peninggalan dari harta yang ditinggalkan ibu bapak dan karib kerabat, Kami jadikan pewaris-pewarisnya. Dan (jika ada) orangorang yang kamu telah bersumpah setia dengan mereka maka berilah kepada mereka bahagiannya. Sesungguhnya Allah menyaksikan segala sesuatu “. Ayat ini yang menunjukkan bahwa dalam hukum kewarisan Islam dikenal adanya sistem ahli waris pengganti. Menurut beliau, tidak ada satu indikator (petunjuk) pun yang membuktikan bahwa cucu dari garis perempuan tidak dapat mewaris. Ahli waris pengganti berarti bahwa dari sejak semula bukan sebagai ahli waris, karena pertimbangan dan keadaan tertentu menerima warisan namun tetap dalam status bukan ahli waris.11 Adanya waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam tidak sejalan dengan pendapat kebanyakan para ulama, terutama pada hukum kewarisan patrilineal Syafi’i dalam arti sesungguhnya tidak mengenal ahli waris pengganti. Cucu dalam hukum kewarisan patrilineal Syafi’i memang dapat menjadi ahli waris yang berhak memperoleh warisan atau dapat menerima perpindahan hak waris atau munasakhah dari orang tuanya atas warisan dari kakeknya yang belum dibagi, tetapi tidak untuk menggantikan tempat, derajat dan hak-hak orang tuanya yang meninggal lebih dahulu dari pada pewaris, melainkan untuk dan atas namanya sendiri dengan menempati tempat, derajat dan hak-hak yang berbeda dengan tempat, derajat dan hak-hak orang 11
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral menurut Qur’an dan Hadith, Tintamas, Jakarta: 1964,
hal. 8
Universitas Sumatera Utara
10
tuanya sebagai ahli waris jika masih hidup. Waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam ini merupakan termasuk dalam bentuk pembaharuan hukum waris Islam di Indonesia, dari itu perlu dibedakan antara munasakhah dalam fiqih Islam dengan waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam yang diilhami dari pemikiran Hazairin.12 Meskipun masih memerlukan analisis lebih lanjut tetapi dapat ditegaskan bahwa hukum kewarisan Islam mengenal dan telah membuat aturan tentang ahli waris pengganti. Selanjutnya yang perlu dianalisis lebih lanjut adalah bagaimana sistem ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam. Pada awalnya, dalam Hukum Kewarian Islam, tidak mengenal adanya ahli waris pengganti atau penggantian tempat seperti telah disinggung sebelumnya, Hukum waris Islam di Indonesia baru mengenal adanya penggantian tempat baru setelah dikeluarkannya Inpres Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam. Hal tersebut dapat dipahami karena di dalam Al Qur’an sendiri tidak secara tegas mengatur mengenai ketentuan ahli waris pengganti. Dengan sifat keumumannya, Al Qur’an bisa mengimbangi setiap kepentingan, keadaan dan memberikan ketentuan hukum terhadap semua peristiwa dengan cara yang tidak keluar dari dasar-dasar syari’at dan tujuan-tujuannya.13 Atas dasar itu pula Al Qur’an memberi kesempatan bagi yang memenuhi syarat untuk berijtihad terhadap suatu peristiwa hukum, baik yang sudah ada
12 13
Ahmad Zahari, Op.cit.hal.75 Ahmad Hanafi, Pengantar dan Sejarah Hukum Islam, Bulan Bintang, Jakarta: 1986, hal. 56
Universitas Sumatera Utara
11
ketentuan nashnya yang bersifat dzanny (samar-samar) maupun yang belum ada nashnya sama sekali, sepanjang itu dilakukan semata-mata dengan tujuan kemaslahatan umat. Dengan dikeluarkannya Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang pelaksanannya diatur berdasarkan Keputusan Menteri Agama Republik Indonesia Nomor 154 Tahun 1991 tentang Pelaksanaan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1991, maka Kompilasi Hukum Islam menjadi acuan untuk ahli waris pengganti ini. Dan khusus di dalam Buku II Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang mengatur mengenai kewarisan terdapat beberapa hal yang merupakan kemajuan di dalam hukum Islam terutama bidang ilmu waris. Salah satunya adalah mengenai adanya ahli waris pengganti atau penggantian tempat yang di atur di dalam Pasal 185 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut :14 Ayat 1: “Ahli waris yang meninggal dunia lebih dahulu daripada pewaris, maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang disebut dalam Pasal 173.” Ayat 2: “Bagian bagi ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.” Melihat bunyi pasal tersebut dapat diketahui letak kemajuan yang dimaksud. Hal
tersebut cukup penting dan mendasar bila dilihat dari ketentuan mengenai ahli waris pengganti berdasarkan madzhab Syafi’I yang menganut sistem kewarisan yang bercorak patrilinial, dalam mana kelompok ahli waris mencakup: dzul fara’id, ashabah, dan dzul 14
Pasal 185 ayat (1) dan (2) Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
12
arham, yang ajarannya dianut oleh sebagian besar ulama-ulama di Indonesia sejak dahulu
kala dan merupakan pengembangan dari kewarisan munasakhah. Dari ketentuan tersebut dapat dikatakan bahwa semua cucu baik laki-laki maupun perempuan yang berasal dari anak laki-laki maupun perempuan ada kemungkinan untuk mewarisi harta peninggalan kakeknya.15
Pada umumnya di masyarakat, masalah kewarisan diselesaikan sendiri oleh orang-orang
yang
bersangkutan
melalui
musyawarah
dalam
keluarganya.
Penyelesaian masalah kewarisan melalui musyawarah dalam keluarga ini yang paling banyak terdapat dalam masyarakat Indonesia karena penyelesaian dengan cara musyawarah dalam keluarga ini dibenarkan oleh hukum kewarisan Islam. Kecuali bila
terjadi
persengketaan
diantara
ahli
waris,
maka
barulah
mereka
menyelesaikannya melalui Pengadilan, meskipun ada juga para ahli waris yang tidak bersengketa tetapi tetap meminta penetapan keahliwarisannya
serta bagiannya
masing-masing ahli waris akan harta peninggalan pewaris ke Pengadilan yang disebut penyelesaian non litigasi.16 Apabila makna hukum sama dengan perundang-undangan, maka menurut Bentham, tujuan akhir dari perundang-undangan adalah untuk melayani kebahagiaan yang paling besar dari sejumlah terbesar rakyat. Begitu juga halnya dengan hukum Islam, yang biasa disebut dengan istilah syariat, menurut Abdul Wahab Khallaf,
15
Amir Hamzah, A. Rachmad Budiono, Sri Indah. S, Hukum Kewrisan Dalam Kompilasi Hukum Islam, IKIP Malang, 1996: hal. 34. 16 Abdul Ghofur Anshori, Op.cit.hal. 20
Universitas Sumatera Utara
13
mempunyai tujuan untuk mewujudkan kebaikan-kebaikan bagi kehidupan orangorang yang terkena ketentuan hukum (Mukallaf).17 Berpindahnya kedudukan ahli waris kepada ahli waris nya yang lain atau dalam istilah faraid disebut Munasakhah, sehingga bagiannya ikut terbagi. Seperti kasus sengketa warisan yang telah ditetapkan oleh Pengadilan Agama Medan No. 77/ Pdt.P/ 2009/PA Mdn. Dalam kasus Munasakhah ini, dimana seorang atau lebih dari ahli waris yang meninggal dunia sebelum harta warisan dibagikan sehingga bagiannya (porsinya) berpindah kepada ahli waris yang lain, karena ahli warisnya sudah bertingkat-tingkat akibat berlarut-larutnya pembagian harta warisan, dimana ahli waris mayit pertama yang meninggal dunia sebelum tirkah mayit pertama tersebut dibagiwariskan. Dalam kasus ini, dari pemohon meminta agar ditetapkannya sebagai ahli waris yang mustahiq (yang berhak) dari keturunan si pewaris. Dalam hal ini si pewaris tidak mempunyai ahli waris baik dari keturunan keatas maupun kebawah, tetapi mempunyai 2 (dua) saudara kandung yang masing-masing memiliki ahli waris. Warisan yang diwariskan kepada ahli waris dari saudara kandung si pewaris tersebut (keponakan), tetapi keponakan dari sipewaris tersebut juga telah meninggal dunia dan meninggalkan ahli waris juga, sehingga anak-anak atau ahli waris dari keponakan si pewarislah yang menggantikan atau terjadi pemindahan atau munasakhah dari orang tuanya dan bahkan cucu dari salah seorang ahli waris dari saudara sekandung si pewaris (cucu dari keponakan) yang menggantikan orang tuanya. Dalam kasus 17
Dede Rosyada, , Hukum Islam Dan Pranata Sosial, Rajawali Pers, Jakarta: 1993, hal. 29
Universitas Sumatera Utara
14
munasakhah pada ahli waris ini sebelumnya dinyatakan bahwa ada termasuk kelompok dzawil arham yang berdasarkan hukum kewarisan patrilineal menurut ulama syafi’i tidak mendapatkan hak waris. Yang mana munasakhah ini, lebih cenderung dengan ajaran hukum kewarisan patrilineal menurut ulama syafi’i. Berdasarkan uraian diatas, maka penulis melakukan penelitian sesuai dengan latar belakang tersebut, untuk mengkaji dasar-dasar hukum tentang pembagian harta warisan terhadap harta warisan yang belum dibagikan kepada ahli warisnya, yang mana ahli warisnya yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya digantikan oleh anaknya bahkan cucunya (Munasakhah) dalam Penetapan Pengadilan Agama Medan, dengan judul penelitian : “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan
Munasakhah
Dalam Perspektif Hukum Waris Islam
(Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No.77/ Pdt.P/2009/PA Mdn.) B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang diatas, maka permasalahan yang dirumuskan untuk dapat dilakukan pembahasan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Bagaimanakah menetapkan ahli waris dalam keadaan munasakhah ? 2. Bagaimanakah menyelesaikan kasus munasakhah ? 3. Apakah yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan kasus munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/ Pdt.P/ 2009/ PA Mdn ?
Universitas Sumatera Utara
15
C. Tujuan Penelitian Sehubungan dengan perumusan masalah yang akan dikaji, maka yang menjadi tujuan penelitian tesis ini adalah : 1. Untuk mengetahui penetapan ahli waris dalam keadaan munasakhah 2. Untuk mengetahui penyelesaian kasus pada munasakhah 3. Untuk mengetahui yang menjadi dasar-dasar pertimbangan hakim dalam menetapkan munasakhah dalam penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/ Pdt.P/ 2009/ PA Mdn. D. Manfaat Penelitian Melalui penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat, secara teoritis dan secara praktis. 1. Secara Teoritis Secara Teoritis, diharapkan dengan adanya pembahasan mengenai pembagian harta warisan terhadap kewarisan munasakhah yaitu menggantikan ahli waris yang meninggal sebelum pembagian harta warisan sehingga bagiannya berpindah kepada ahli waris lainnya yang ditinjau dalam perspektif hukum Islam, setidaknya tesis ini dapat menambah wawasan berfikir dan kajian pembaca mengenai aturan dan besarnya bagian warisan terhadap ahli waris pengganti dalam kasus munasakhah tersebut. 2. Secara Praktis
Universitas Sumatera Utara
16
Secara Praktis, penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan, ataupun setidaknya menjadi bahan acuan bagi para hakim, ulama, cendikiawan muslim, profesi Notaris, akademisi, pengacara serta mahasiswa dalam menyelesaikan perselisihan mengenai pembagian harta warisan terhadap kasus munasakhah dan dikaitkannya dengan Kompilasi Hukum Islam. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran kepustakaan yang khususnya di lingkungan Universitas Sumatera Utara, menunjukkan bahwa penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Terhadap Kewarisan Munasakhah
Dalam Perspektif
Hukum Waris Islam ( Studi Kasus Penetapan Pengadilan Agama Medan No.77/ Pdt.P/2009/PA Mdn.)”, ternyata penelitian ini belum pernah dilakukan oleh peneliti lain dalam judul dan permasalahan yang sama. Permasalahan ini perlu dibahas, mengingat Negara Kesatuan Republik Indonesia terdiri dari beragam agama dan suku budaya yang sangat rentan dengan persoalan warisan. F. Kerangka Teori Dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Teori berasal dari kata theoria dalam bahasa latin yang berarti perenungan,
yang pada gilirannya berasal dari kata thea dalam bahasa Yunani yang secara hakiki menyiratkan sesuatu yang disebut realitas. Dalam banyak literature, beberapa ahli
Universitas Sumatera Utara
17
menggunakan kata ini untuk menunjukkan bangunan berfikir yang tersusun sistematis, logis (rasional), empiris (kenyataan) dan juga simbolis.18 Menurut M. Solly Lubis, bahwa : “teori yang dimaksud disini adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik tersebut tetap merupakan suatu abstraksi intelektual dimana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Artinya teori ilmu hukum merupakan suatu penjelasan rasional yang bersesuaian dengan objek yang dijelaskannya. Suatu penjelasan walau bagaimanapun meyakinkan, tetapi harus didukung oleh fakta empiris untuk dapat dinyatakan benar.”19 Dalam penelitian ini, menetapkan suatu kerangka teori adalah suatu keharusan. Hal ini dikarenakan kerangka teori itu digunakan sebagai landasan berfikir untuk menganalisa permasalahan yang dibahas. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori keadilan. Adil dalam arti seimbang dalam arti proporsional yang biasanya diperlukan pada hukum kewarisan Islam. Berdasarkan Al-Qur’an Surat Infithar (6): 7, yang terjemahannya yaitu : “Wahai manusia, apakah yang memperdayakan kamu (berbuat durhaka) terhadap Tuhanmu yang maha pemurah ? yang menciptakan kamu lalu menyempurnakan kejadianmu dan menjadikan kamu (menjadikan) susunan tubuhmu seimbang.” Misalnya hak anak laki-laki dua kali bahagian anak perempuan karena tanggung jawab anak laki-laki lebih berat. Anak laki-laki bakal jadi ayah, bakal jadi suami tentu saja kewajiban mengeluarkan harta lebih banyak dibandingkan anak
18
H. R. Otje Salman dan Anton F. Susanto, Teori Hukum, PT. Refika Aditama, Bandung, 2004, hal. 21 19 M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, CV. Mandar Maju, Bandung, 1994, hal. 27
Universitas Sumatera Utara
18
perempuan yang bakal menjadi istri atau ibu yang selalu mendapatkan haknya dari calon suami atau anak-anaknya.20 Agama Islam mengatur cara pewarisan itu berasaskan keadilan antara kepentingan anggota keluarga, kepentingan agama dan kepentingan masyarakat. Hukum Islam tidak hanya memberi warisan kepada pihak suami atau isteri saja, tetapi juga memberi warisan kepada keturunan kedua suami isteri itu, baik secara garis lurus kebawah, garis lurus ke atas, atau garis ke samping, baik laki-laki atau perempuan. Dengan alasan demikian maka hukum kewarisan Islam bersifat individual. Di samping sifat hukum waris Islam tersebut diatas, prinsip yang mendasari sistem pewarisan Islam dalam simposium hukum waris nasional tahun 1983 di Jakarta adalah sebagai berikut : 21 a. Hukum waris Islam tidak memberikan kebebasan penuh kepada seseorang untuk pengosongkan harta peninggalannya dengan jalan wasiat pada orang yang disayanginya. Sebaliknya juga tidak melarang sama sekali pembagian hartanya semasa ia masih hidup. b. Oleh karena pewarisan merupakan aturan hukum maka pewaris tidak boleh meniadakan hak ahli waris atas harta warisan. Sebaliknya ahli warispun berhak atas harta peninggalan tanpa syarat pernyataan secara sukarela atau melalui Putusan Pengadilan (hakim).
20
Hasballah Thaib dan Zamakhasyari Hasballah, Tafsir Tematik Al-Qur’an II, Pustaka Bangsa, Medan, 2007, hal.247 21 Imam Sudiyat, Peta Hukum Waris di Indonesia, Simposium hukum Waris Nasional , Jakarta: 1983, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
19
c. Pewarisan terbatas dilingkungan kerabat baik berdasarkan hubungan perkawinan maupun ikatan keturunan yang sah. d. Hukum waris Islam cendrung membagikan harta warisan kepada ahli waris dalam jumlah yang berhak diterimanya untuk dimiliki secara perorangan menurut kadar bagian masing-masing, baik harta yang ditinggalkan itu sedikit atau banyak jumlahnya. e. Perbedaan umur tidak membawa pembedaan dalam hak mewarisi bagi anakanak. Perbedaan besar kecilnya bagian warisan berdasarkan berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab si anak dalam kehidupan kerabat. Kewarisan munasakhah pada hukum kewarisan Islam ini juga adanya untuk memberi rasa keadilan terhadap ahli waris, karena ahli warisnya sudah bertingkattingkat dan adanya ahli waris pengganti dalam hal ini akibat berlarut-larutnya pembagian harta warisan, sehingga bagian (porsi) nya lebih diatur secara adil lagi. Di dalam KHI (Kompilasi Hukum Islam) pasal 185 ayat (1) disebutkan: "Ahli waris yang meninggal lebih dahulu daripada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam pasal 173".22 Dalam pembagiannya ahli waris pengganti, bagiannya tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang diganti sebagaimana bunyi pasal 185 ayat (2) KHI : "Bagian Ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti".23
22 23
Pasal 185 ayat (1) Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 ayat (2) Kompilasi Hukum Islam
Universitas Sumatera Utara
20
Ketentuan ahli waris pengganti sebagaimana diatur dalam pasal 185 tersebut, menurut Yahya Harahap bahwa ketentuan ini merupakan terobosan terhadap penyelewengan hak cucu atas harta warisan ayah, apabila ayah meninggal lebih dahulu dari pada kakek. Hal yang perlu diperhatikan dari Pasal 185 ini adalah bahwa isi pasal tersebut tidak bersifat imperatif (selalu digantikan) oleh anaknya. Tetapi pasal 185 ini bersifat tentatif atau alternatif. Hal mana diserahkan kepada pertimbangan hakim Pengadilan Agama menurut kasus demi kasus. Hal ini bisa dilihat dari kata dapat dalam pasal tersebut. Sifat alternatif atau tidak imperatif dalam Pasal 185 sudah tepat, sebab tujuan dimasukkannya ahli waris pengganti dalam KHI karena melihat pada kenyataan dalam beberapa kasus, kasihan terhadap cucu atau cucu-cucu pewaris.24 Hal lain yang perlu diingat adalah bahwa bagian ahli waris pengganti tidak boleh lebih dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti, bahwa pengganti ahli waris sebenarnya bukan ahli waris, tetapi mendapat waris karena keadaan atau pertimbangan tertentu. Kalau mereka itu sejak dari semula dianggap sebagai ahli waris yang kini menjadi pengganti ahli waris, tentu tidak diperlukan pembahasan khusus seperti yang disebutkan dalam ayat (2). Adanya ayat (2) ini sudah tepat sekali sehingga ahli waris yang sesungguhnya tidak akan terlalu dirugikan.
24
Yahya Harahap, “Informasi Materi KHI, Mempositifkan Abstraksi Hukum Islam” Dalam Mimbar Hukum : Aktualisasi Hukum Islam, No.5, Al Hikmah, Jakarta: 1992, hal.25
Universitas Sumatera Utara
21
Konsep dari ahli waris pengganti ini sebagaimana yang berlaku di Indonesia berdasarkan Kompilasi Hukum Islam (KHI) tidaklah terlepas dari masalah kewarisan munasakhah, sebenarnya berasal dari kontribusi pemikiran dari
Hazairin.25 Ide
pembaharuan dalam hukum kewarisan Islam yang ditawarkan oleh Hazairin secara mendasar meliputi: pertama, ahli waris perempuan sama dengan laki-laki dapat menutup ahli waris kelompok keutamaan yang lebih rendah. Jadi, selama masih ada anak, baik laki-laki maupun perempuan, maka kakek ataupun saudara baik laki-laki maupun perempuan sama-sama ter-hijab. Kedua, hubungan kewarisan melalui garis laki-laki sama kuatnya dengan garis perempuan. Karenanya penggolongan ahli waris menjadi ashabah dan zawu al-arham tidak diakui sistem kewarisan bilateral. Ketiga, ahli waris pengganti selalu mewaris, tidak pernah tertutup oleh ahli waris lain (utama). Jadi, cucu dapat mewaris bersama dengan anak manakala orang tuanya meninggal lebih dulu daripada kakeknya dan bagian yang diterimanya sama besarnya dengan yang diterima oleh orang tuanya (seandainya masih hidup). Adapun yang dapat menjadi mawali yaitu keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris, ataupun keturunan orang yang mengadakan semacam perjanjian (misalnya dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris. Masalah ahli waris pengganti ini muncul karena Hazairin merasakan adanya ketidakadilan dalam pembagian warisan yang ada selama ini, yaitu dengan menemukan dasar hukum permasalahan mengenai ahli waris pengganti di dalam nashnya, sehingga penggantian ahli waris dapat diterapkan dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, dengan tidak keluar dari 25
Hazairin, Op.cit. hal.54
Universitas Sumatera Utara
22
nashnya yakni bahwa cucu perempuan yang ayahnya meninggal terlebih dahulu tidak mendapat harta warisan dari harta warisan yang ditinggalkan kakeknya. Hazairin mengartikan kata mawali dengan “pengganti ahli waris”, sehingga menurutnya berarti, “Bagi mendiang anak, Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan ayah atau ibu, dan bagi mendiang aqrabun (kerabat), Allah mengadakan mawali sebagai ahli waris dalam harta peninggalan sesama aqrabunnya.”26 Abu Zahrah menambahkan kenyataan sering anak-anak yang kematian ayah tersebut hidup dalam kemiskinan, sedang saudara-saudara ayahnya hidup dalam kecukupan. Anak yatim tersebut menderita karena kehilangan ayah dan kehilangan hak kewarisan. Memang biasanya seseorang berwasiat untuk cucu yatim itu. Tetapi sering pula ia meninggal sebelum melakukannya, karena itulah Undang-Undang mengambil alih aturan mengenai ahli waris pengganti atau penggantian tempat ini. Ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan Islam untuk melengkapi hukum-hukum yang telah ada dan juga bertujuan untuk mencari rasa keadilan bagi ahli waris. Jadi bagian ahli waris pengganti sebesar bagian ahli waris yang digantikannya, untuk itu ahli waris pengganti perlu dikembangkan dalam hukum kewarisan Islam. Apalagi hal ini tidak akan merugikan ahli waris lainnya. Anggapan di sebahagian pihak bahwa hukum Islam tidak mengenal ahli waris pengganti dalam hukum kewarisan, hal ini dirasa tidak adil bila dihubungkan kepada seorang cucu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku anak pewaris, 26
Ibid. hal.56
Universitas Sumatera Utara
23
keponakan menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku saudara pewaris, saudara sepupu menggantikan orang tuanya dan menempati tempat orang tuanya selaku paman pewaris, dan seterusnya.27 Dalam hukum kewarisan Islam ada ahli waris pengganti, yang dalam beberapa hal berbeda dengan penggantian tempat ahli waris (plaatsvervulling) dalam hukum kewarisan KUH Perdata. Pencantuman ahli waris pengganti dalam kompilasi hukum Islam ini dengan tujuan untuk memenuhi rasa keadilan hukum. 2.
Konsepsi Dalil Al-Quran surah Al-Baqarah ayat 10628 dapat dipahami bahwa
bermunasakhah telah diatur sebelumnya dalam ketetapan agama yang harus dilaksanakan dan bukan semata-mata karena adanya keputusan hakim. Konsep-konsep yang dipergunakan dalam penelitian ini, sebagai berikut: a. Harta warisan adalah semua harta benda yang ditinggalkan oleh seseorang yang meninggal dunia baik berupa benda bergerak maupun benda tetap, termasuk barang/uang pinjaman dan juga barang yang ada sangkut pautnya dengan hak orang lain, misalnya barang yang digadaikan sebagai jaminan atas hutangnya ketika pewaris masih hidup.
27
Ibid. Quran dan Terjemahannya, Surat Al-Baqarah ayat 106, yang artinya “ayat mana saja yang Kami nasakhkan, atau Kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, Kami datangkan yang lebih baik darip adanya atau yang sebanding dengannya. Tiadakah kamu mengetahui bahwa sesungguhnya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu ?” 28
Universitas Sumatera Utara
24
b. Kompilasi Hukum Islam adalah sebuah buku rangkuman dari tiga buku yang berisikan : Buku I tentang Hukum Perkawinan, Buku II tentang Hukum Kewarisan, Buku III tentang Hukum Perwakafan. c. Hukum Kewarisan Islam adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan harta peninggalan (Tirkah) pewaris, menentukan siapa-siapa yang berhak menjadi ahli waris dan berapa bagiannya masing-masing. d. Pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan. e. Ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris. f. Munasakhah adalah berpindahnya bagian sebagian ahli waris kepada ahli warisnya karena yang bersangkutan meninggal sebelum warisan dibagikan, contohnya bila seseorang atau lebih dari kalangan ahli waris mayit pertama meninggal dunia sebelum tirkah mayit pertama dibagi sehingga bagiannya berpindah kepada ahli warisnya yang lain. G. Metode Penelitian Metodelogi merupakan suatu logika yang menjadi dasar suatu penelitian ilmiah. Oleh karenanya pada saat melakukan penelitian seseorang harus memperhatikan ilmu pengetahuan yang menjadi induknya. Penelitian merupakan
Universitas Sumatera Utara
25
salah satu cara yang tepat untuk memecahkan masalah. Selain itu penelitian juga dapat digunakan untuk menemukan, mengembangkan dan menguji kebenaran. Dilaksanakan
untuk
mengumpulkan
data
guna
memperoleh
pemecahan
permasalahan, sehingga diperlukan rencana yang sistematis.29 Untuk mendapatkan hasil yang baik dan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah, maka diperlukan suatu metode penelitian yang tepat. Metode penelitian yang tepat diperlukan untuk memberikan pedoman serta arah dalam mempelajari serta memahami tentang objek yang diteliti. Dengan demikian penelitian yang dilakukan akan berjalan dengan baik dan lancar sesuai dengan rencana yang ditetapkan.30 1.
Sifat dan Jenis Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan metode penelitian normatif, karena tesis ini
didukung oleh data yang diperoleh dari kepustakaan dengan jalan mengumpulkan data sekunder baik berupa bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tertier. Berdasarkan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian, maka dapat dilihat bahwa sifat penelitian ini adalah deskriptif. Penelitian yang bersifat diskriptif merupakan suatu “penelitian yang menggambarkan, menelaah, menjelaskan dan
29
Ronny Hanintijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurumetri, Ghalia Indonesia, Jakarta: 1998, hal 9 30 Komarudin, Metode Penulisan Skripsi dan Tesis, Remaja Rosdakarya, Bandung: 1979, hal 27.
Universitas Sumatera Utara
26
menganalisis suatu peraturan hukum baik dalam bentuk teori maupun praktek pelaksanaannya”.31 2.
Sumber Data Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini bertujuan untuk
memperoleh informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari peneliti pendahulu baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya. Sumber data tersebut terdiri dari : a. Bahan Hukum Primer, yang merupakan bahan hukum yang mengikat berupa peraturan perundang-undangan yang antara lain dari: 1) Al-Qur’an dan Hadist. 2) Kompilasi Hukum Islam. 3) Penetapan Pengadilan Agama Medan No. 77/Pdt.P/2009/PA Mdn b. Bahan Hukum Sekunder yang merupakan bahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, berupa: 1) Buku-buku; 2) Jurnal-jurnal; 3) Majalah-majalah; 4) Artikel-artikel media; 5) Dan berbagai tulisan lainnya.
31
Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, UI Press,Jakarta :1986, hal.63
Universitas Sumatera Utara
27
c. Bahan Hukum Tersier
yang merupakan bahan-bahan hukum
yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, serperti : 1) Kamus Inggris-Indonesia; 2) Kamus Hukum Arab-Indonesia; 3) Kamus Besar Bahasa Indonesia. 4) Ensiklopedi Hukum Islam. 3.
Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan
metode penelitian kepustakaan (Library Research) yang dilakukan berdasarkan atas karya tertulis, termasuk hasil penelitian baik yang telah maupun yang belum dipublikasikan. 4.
Analisis Data Penelitian hukum normatif pada hakekatnya berarti kegiatan untuk
mengadakan sistematis terhadap bahan-bahan hukum yang tertulis. Sistematis berarti membuat klasifikasi terhadap bahan-bahan hukum tertulis tersebut, untuk memudahkan pekerjaan analisis dan konstruksi. Sebelum analisis dilakukan, terlebih dahulu diadakan pemeriksaan dan evaluasi terhadap semua data yang dikumpulkan (primer, sekunder maupun tersier), untuk mengetahui validitasnya. Sehingga analisis yang digunakan adalah secara kualitatif yang diartikan sebagai kegiatan menganalisis
Universitas Sumatera Utara
28
data secara komprehensif, yaitu data sekunder dari berbagai kepustakaan dan literatur baik yang berupa buku, peraturan perundangan, tesis dan hasil penelitian lainnya. Oleh karena itu, kegiatan analisis data ini diharapkan akan dapat memberikan kesimpulan dari permasalahan dan tujuan penelitian yang benar dan akurat serta dapat dpresentasikan dalam bentuk deduktif.
Universitas Sumatera Utara