1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Karya sastra merupakan hasil renungan seorang pengarang yang dituangkan dalam bentuk tulis. Sastra adalah suatu bentuk dan hasil pekerjaan seni kreatif yang objeknya adalah manusia dan kehidupannya dengan menggunakan bahasa sebagai mediumnya (Semi, 1993:8). Negara Indonesia sangat akrab dengan dunia karya sastra. Perkembangan karya sastra itu sendiri juga mengalami perkembangan pada generasi ke generasi akan tetapi tidak melupakan fungsi utama dari karya sastra itu sendiri yaitu selain sebagai hiburan, karya sastra juga harus berisi pelajaran untuk penikmat karya sastra itu sendiri. Bentuk karya sastra beragam yakni ada jenis prosa dan puisi. Puisi merupakan suatu karangan terikat yang terikat pada aturan-aturan yang ketat (Pradopo, 2007:306). Puisi sebagai salah satu karya seni sastra tentu dapat dikaji dari bermacam-macam aspek. Puisi dapat dikaji struktur dan unsurunsurnya, mengingat bahwa puisi itu adalah struktur yang tersusun dari bermacam-macam unsur dan sarana-sarana kepuitisan Puisi itu dapat dikaji jenisjenis atau ragam-ragamnya, mengingat ada beragam-ragam puisi. Puisi dapat juga dikaji dari sudut kesejarahannya, mengingat bahwa sepanjang sejarahnya, dari waktu ke waktu puisi selalu mengalami perubahan dan perkembangan (Pradopo, 2007:1). Masyarakat Jawa menganal puisi Jawa dengan dengan nama geguritan. Geguritan berasal dari kata gurit yang berarti tulis, jadi geguritan adalah yang
1
2
ditulis atau tembang yang dikarang, tetapi secara luas geguritan berarti membuat atau mengarang tembang atau melagukan tembang. Masyarakat Jawa selain menganal geguritan juga mengenal macapat. Perbedaan antara geguritan dan macapat terletak pada aturan tembang yaitu guru lagu, guru gatra, dan guru wilangan. Geguritan
seringkali
dijadikan
pengarang
sebagai
media
dalam
menuangkan pikiran dan juga kegelisahan yang dialami. Berbagai macam peristiwa yang terjadi mampu diubah dalam bentuk suatu karya sastra, dengan demikian karya sastra yang diciptakan pengarang tidak pernah terlepas dari permasalahan yang dialami seorang pengarang itu sendiri. Hal ini yang dilakukan seorang sastrawan bernama Wieranta. Wieranta merupakan salah satu sastrawan yang aktif dalam membuat karya sastra baik berupa puisi, cerpen, dan geguritan. Hasil karya Wiranta banyak yang diterbitkan dalam bentuk cetak, diantaranya adalah kumpulan geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan. Kumpulan geguritan Dongeng Saka Pabaratan ini berisi tentang perjalanan hidup pengarang serta kritik sosial pengarang terhadap keadaan lingkungan. Bentuk kasih sayang pengarang terhadap sang anak yang terdapat dalam kumpulan Dongeng Saka Pabaratan akan dijadikan sorotan utama dalam penelitian ini. Kumpulan geguritan yang ada akan dikaji secara semiotika. Bentuk kasih sayang yang terdapat dalam geguritan karya Wieranta merupakan bentuk kewajaran antara orang tua terhadap anak. Setiap orang tua akan merasakan sedih apabila anaknya sedang merasakan sakit. Salah satu contoh geguritan karya Wieranta yang bertema kasih sayang orang tua terhadap anak berjudul Lare Lara seperti yang terpapar di bawah ini.
3
Kutipan: Kapan weruh gegambarane Ati kekiris kaya Hem, ngene perihe Ngrasakake lare kang lagi lara
Wus sayah angine Leren ana sangisore wit-witan Hem, ngene lelakone Yen lagi kena kacintrakan Terjemahan: Kapan melihat keadaan Hati seperti teriris Seperti ini perihnya Merasakan anak yang sedang sakit
Sudah lelah anginnya Beristirahat di bawah pepohonan Seperti ini jalannya Kalau sedang mendapat cobaan
Berdasarkan kutipan di atas dijelaskan bahwa seorang ayah merasa sangat sedih apabila sang buah hati sedang dilanda sakit. Tidak hanya sang ayah, tetapi
4
ibu, nenek, dan seluruh keluarga juga ikut merasakan sakit apabila sang anak sedang sakit meskipun sakit yang dirasakan berbeda. Orang tua akan mengupayakan yang terbaik agar sang anak kembali sembuh dan dapat beraktivitas lagi seperti sedia kala. Pemilihan kumpulan puisi karya Wieranta sebagai objek penelitian diantaranya adalah: pertama, geguritan merupakan salah satu karya sastra jawa yang perlu dipertahankan agar tidak punah atau hilang tertelan jaman. Kedua, tema tentang kasih sayang orang tua terhadap anak merupakan tema yang sangat dekat dengan kehidupan sehari-hari karena setiap anak pasti terlahir dari kedua orang tua. Ketiga, wieranta merupakan salah satu pengarang yang produktif dalam berkarya, di sela-sela kesibukannya seagai seorang dosen, beliau masih bisa menyisihkan waktu untuk menciptakan karya sastra. Penelitian terhadap geguritan sudah banyak dilakukan. Geguritan juga sudah cukup banyak dijadikan sebagai objek penelitian skripsi. Diantaranya adalah: 1. Sumari (2014) dalam skripsinya yang berjudul Kritik Sosial dalam Kumpulan Geguritan Puser Bumi Karya Gampang Prawoto (Tinjauan Semiotika
Michael
Riffaterre).
Penelitian
tersebut
membahas
mengenai struktur geguritan, makna geguritan, dan kritik sosial. 2. Dessi Apriliya Ningrum (2013) dalam skripsinya yang berjudul Aspek Religius dalam Geguritan Irul S Budianto (Tinjauan Semiotika Michael Riffaterre). Penelitian tersebut membahas mengenai struktur geguritan, aspek religius geguritan, dan makna dari kedua puluh enam
5
geguritan karya Irul S Budianto bagi pembangunan spiritual masyarakat. 3. Nandia Nessa Lestari (2012) dalam skripsinya yang berjudul Religiositas dalam Kumpulan Geguritan Alam Sawegung Karya Sudi Yatmana (Tinjauan Semiotika), yang membahas tentang struktur geguritan, makna geguritan serta keunikan nilai religius yang diungkapkan Sudi Yatmana dalam geguritan karyanya yang terkumpul dalam Kumpulan geguritan Alam Sawegung. Kesamaan antara penelitian ini terhadap penelitian terdahulu adalah tinjauan yang sama. Tinjuan yang digunakan adalah tinjauan semiotika. Dalam penelitian iini penulis akan menganalisis mendalam dan mengungkap makna geguritan secara semiotik. Penulis dalam penelitian ini menghubungkan makna geguritan dan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak. Penelitian ini menggunakan pendekatan semiotik Riffatere karena geguritan Wieranta mengandung berbagai tanda yang merangkai makna. Dengan semiotika Riffatere, tanda-tanda yang ada dalam geguritan dapat diurai dan pemaknaan menyeluruh. Semiotika Riffatere (dalam Pradopo, 1995:318) menyoroti tentang tiga hal yaitu penggantian arti (displacing of meaning), penyimpangan arti (distorting of meaning) dan penciptaan arti (creating of meaning). Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan strukturalisme yang berdasakan konsep semiotika, karena dengan menggunakan konsep ini dapat diketahui tanda-tanda kebahasaan yang terkandung di dalam geguritan. Suatu penelitian haruslah dapat melakukan suatu pendekatan.
6
Pendekatan adalah cara memandang suatu hal, dan pendekatan sastra pada dasarnya adalah memahami jenis sastra tertentu sesuai dengan sifatnya. Berdasarkan konsep semiotika, yaitu dengan menganalisis karya berdasarkan satuan-satuan tanda yang bermakna dengan tidak melupakan hubungan fungsi satuan tanda tersebut (Pradopo, 2005:118). Dalam pendekatan strukturalisme dinamika sastra tidak lepas dari konvensi-konvensi masyarakat, baik masyarakat sastra maupun masyarakat pada umumnya, dan dipandang sebagai suatu sistem tanda yang bermakna. Berdasarkan tema yang diangkat yaitu tentang kacintaan Wieranta terhadap sang anak, maka geguritan Wieranta tersebut akan diteliti lebih lanjut dengan judul Bentuk Kasih Sayang Orang Tua kepada Anak dalam Kumpulan Geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta (Tinjauan Semiotika). B. Perumusan Masalah Berdasarkan dari latar belakang di atas maka dirumuskan masalah penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana ciri ketidak langsungan puisi dalam tujuh geguritan karya Wieranta berdasarkan teori Michael Riffaterre berupa penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti? 2. Bagaimana makna tujuh geguritan dalam kumpulan geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta? 3. Bagaimanakah bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam kumpulan geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta?
7
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini diharapkan mampu mewujudkan beberapa tujuan yang ingin dicapai berdasarkan rumusan masalah di atas. adapun tujuan dalam penelitian ini adalah: 1. Mendeskripsikan ciri ketidak langsungan puisi dalam tujuh geguritan karya Wieranta berdasarkan teori Michael Riffaterre berupa penggantian arti, penyimpangan arti, dan penciptaan arti. 2.
Mendeskripsikan makna tujuh geguritan dalam kumpulan geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta.
3. Mendeskripsikan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam kumpulan geguritan Dongeng Saka Pabaratan Karya Wieranta. D. Batasan Masalah Dalam penelitian ini penulis menitik beratkan pada tinjauan Semiotika, penelitian Semiotika digunakan untuk meneliti geguritan karya Wieranta yang ditulis dalam buku Kumpulan Geguritan dengan judul buku Dongeng Saka Pabaratan. Tinjauan Semiotika dalam penelitian ini guna mengetahui struktur dan keunikan yang ada dalam puisi Dongeng Saka Pambabaran karya Wieranta yang bertemakan kasih sayang orang tua kepada anak. Pemilihan geguritan karya Wieranta sebagai objek dikarenakan Wieranta termasuk penulis geguritan yang aktif. Wieranta merupakan dosen dari Universitas Sebelas Maret sehingga mempermudah untuk mendapatkan data dalam penelitian ini.
8
E. Manfaat Penelitian Sebuah penelitian hendaknya mampu memberikan manfaat baik secara teoretis maupun praktis. Adapun manfaat dalam penelitian ini adalah: 1. Manfaat Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan mampu memperkaya khasanah kajian puisi Jawa atau geguritan terutama melalui sudut pandang semiotika menurut Michael Riffattere. Selain itu juga diharapkan mampu menambah wawasan tentang studi analisis sastra Jawa. 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan pembaca mengenai bagaimana bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak yang digambarkan dalam geguritan karya Wieranta. Selain itu hasil dari penelitian ini diharapkan dapat dimanfaatkan untuk penelitian sejenis. F. Konsep Puisi dan Geguritan Puisi adalah kata-kata yang terindah dalam susunan terindah (Samuel dalam Pradopo, 2007:6). Di dalam melakukan suatu penelitian, diperlukan teori dan pendekatan yang tepat agar sesuai dengan objek yang akan diteliti. Teori dan konsep pendekatan yang sesuai
dengan objek yang akan dikaji sangatlah
diperlukan untuk menghasilkan penelitian yang mendekati sempurna. Setiap penyair atau penulis puisi membuat definisi masing-masing tentang puisi, baik definisi, itu dikemukakan secara eksplisit atau tidak. Beberapa ahli yang merumuskan pengertian puisi menggunakan berbagai pendekatan. Slamet Mulyana mengemukakan bahwa puisi adalah sintesis dari pelbagai peristiwa
9
bahasa yang telah tersaring semurni-murninya dan pelbagai proses jiwa yang mencari haikat pengalamannya, tersusun dengan sistem korespondensi dalam salah satu bentuk (dalam Semi, 1993:93). Pendapat lain diungkapkan oleh Altenbernd (dalam Pradopo, 2007:5) yang memberikan definisi bahwa puisi adalah pendramaan pengalaman yang bersifat penafsiran (menafsirkan) dalam bahasa berirama (bermetrum). Pembacaan dalam puisi tidak dilakukan sama seperti membaca pada umumnya. Puisi juga termasuk dalam jenis membaca indah. Hudson (dalam Waluyo, 2012: 29) berpendapat bahwa puisi adalah karya sastra yang bersifat emosional dan imajinatif. Tampaknya Hudson melihat puisi dari perspektif psikologis mengenai komponenkomponen model komunikasi. Puisi adalah karya seni sastra. Puisi merupakan salah satu bentuk karya sastra. Rene Wellek dan Warren mengemukakan bahwa paling baik kita memandang kesusastraan sebagai karya yang di dalamnya fungsi estetikanya dominan, yaitu fungsi seninya yang berkuasa. Tanpa fungsi seni itu karya kebahasaan tidak dapat disebut karya (seni) sastra (dalam Pradopo, 2007:315). Ada tiga aspek yang perlu diperhatikan untuk mengerti hakikat puisi itu. Pertama, sifat seni atau fungsi seni, kedua kepadatan, dan ketiga ekspresi tidak langsung. Brooks berpendapat bahwa puisi adalah cara mengungkapkan sesuatu dengan ciri-ciri tertentu, yaitu: irama, rima, dan bahasa kias. Berdasarkan pendapat tersebut, sebuah definisi tentang puisi dapat disusun berdasarkan jalur sifat dan tumpuan pemaknaannya. Sifat ekspresif melihat puisi dari sudut penciptaannya oleh penyair. Sifat objektif melihat puisi sebagai karya sastra yang otonom, mandiri sebagai sebuah wacana puitik. Sedangkan sifat pragmatik
10
melihat lirik (ragam puisi) dari sudut pola harapan pembaca atau khalayak penikmatnya (dalam Waluyo 2012:30). Secara bahasa, bahasa dalam puisi tentu tidak ajeg (consistent). Artinya, ada bahasa sehari-hari yang bercirikan bahasa puisi. Dan sebaliknya ada bahasa puisi yang bercirikan bahasa sehari-hari. Bahkan ciri-ciri bahasa puisi, prosa dan drama saling tumpang tindih. Dapat ditarik kesimpulan sementara bahwa ciri bahasa puisi menggunakan bahasa yang fungsi estetiknya dominan. Sedang bahasa sehari-hari lebih mengacu pada fungsi kegunaan (pragmatik) (Satoto, 2012:118). Menganalisis sastra jenis puisi sebenarnya peneliti tidak bisa mengabaikan begitu saja faktor penulis (outhor), pembaca (reader), dan hubungan antar keduanya. Riffaterre mengemukakan bahwa strukturalisme puisi tidak mampu menyediakan kriteria untuk kepentingan analisis puisi yang membedakan teks yang punya relevansi stilistika dengan tidak-tidak ada sesuatu hal yang merupakan sarana stilistika yang dapat ditemukan secara intrinsik. Lebih lanjut Riffaterre mengemukakan bahwa sebuah analisis yang mempunyai kriteria secara eksplisit adalah perbuatan semena-mena dan tidak mungkin menghasilkan suatu timbangan (penilaian yang baik) (Satoto, 2012:120). Karya sastra Jawa sendiri terdapat karya sastra Jawa sejenis puisi yang medianya menggunakan bahasa Jawa, puisi bahasa Jawa tersebut sering disebut geguritan. Istilah geguritan berasal dari kata gurit (tulis, tembang), memperoleh akhiran an yang menunjukkan arti “yang di...”. dengan demikian secara harfiah guritan berarti yang ditulis atau tembang yang dikarang, tetapi secara luas guritan berarti
membuat
atau
mengarang
tembang
atau
melagukan
tembang
11
(Padmosoekotjo, 1960:19). Meskipun demikian, sebagai suatu bentuk puisi, guritan mempunyai aturan-aturan tertentu yakni: (1) tidak ada ketentuan guru gatra, tetapi biasanya paling sedikit empat larik. Bisa terdiri hanya satu bait atau lebih dan di awal guritan selalu didahului dengan pendahuluan sun nggegurit (aku menulis). (2) tidak ada ketentuan guru wilangan, tetapi jumlah suku kata tiap larik selalu sama. (3) jatuhnya vokal (guru lagu) masing-masing larik selalu sama (Padmosoekotjo, 1960:20). Geguritan berasal dari kata gurit „tembang, kidung, rerepen‟ dan dapat dibentuk menjadi anggurit dan anggegurit. Dilihat dari bentuknya kata geguritan atau geguritan adalah bentuk dwi purwa „perulangan suku awal‟. Maka, sebutan yang paling tepat adalah bentuk yang paling ringkas, yaitu “guritan” jika dibanding dengan “geguritan” (Widodo, 2012:33). Secara sepintas bentuk puisi guritan ini lebih bebas dibanding dengan macapat karena pola persajakan tidak terlampau ketat serta tidak ada aturan pola persajakan berdasarkan metrum-metru tertentu. Bahkan sangat mungkin jika guritan ini kemudian mengilhami geguritan, bentuk puisi bebas, yang kemudian dikenal dan berkembang dalam sastra Jawa masa kini. Suripan menganggap bahwa dalam guritan ciri yang paling menonjol adalah realitas faktual yang diangkat tidak jauh dari kehidupan keseharian. Maka tepatlah jika istilah “guritan” digunakan untuk menyebut puisi Jawa modern (dalam Widodo, 2012:34). G. Struktur Puisi Kajian strukturalisme bertujuan untuk membongkar dan memaparkan secermat, seteliti, semendetail, dan mendalam
mungkin keterkaitan dan
keterjalinan semua unsur dan aspek karya sastra yang bersama-sama menghasikan
12
makna keseluruhan itu adalah keterkaitan dari jalinan yang padu (Winarni, 2013:101). Bila kita menghadapi sebuah puisi dan kita mau menganalisis puisi tersebut maka hal yang harus diperhatikan terlebih dahulu adalah struktur dari puisi tersebut. Struktur di sini dalam arti bahwa karya sastra itu merupakan susunan unsur-unsur yang bersistem, yang antara unsur-unsurnya terjadi hubungan yang timbal balik, saling menentukan. Jadi, kesatuan unsur-unsur dalam sastra bukan hanya berupa kumpulan atau tumpukan hal-hal atau benda-benda yang berdiri sendiri-sendiri, melainkan hal-hal itu saling terikat, saling berkaitan, dan saling bergantung (Pradopo, 2007:119). Strukturalisme itu pada dasarnya merupakan cara berfikir tentang dunia yang terutama berhubungan dengan tanggapan dan deskripsi struktur-struktur. Menurut pikiran strukturalisme, dunia (karya sastra merupakan dunia yang diciptakan pengarang) lebih merupakan susunan hubungan daripada susunan benda-benda. Oleh karena itu, kodrat tiap unsur dalam struktur itu tidak mempunyai makna dengan sendirinya, melainkan makna ditentukan oleh hubungan dengan semua unsur lainnya yang terkandung dalam struktur itu (Hawkes dalam Pradopo, 2007:119). Stuktur
adalah
kaitan-kaitan
antar
kelompok-kelompok
gejala
(Luxemburg, 1982: 36). Pendekatan stuktural merupakan langkah awal dalam membongkar suatu karya sastra. Teori struktural adalah jembatan dalam seorang peneliti dalam mengkaji lebih lanjut. Analisis struktural dalam karya sastra dapat dilakukan dengan mengidentifikasi fungsi dan hubungan antar unsur yang bersangkutan. Analisis struktural pada dasarnya bertujuan untuk memaparkan secermat mungkin fungsi dan keterkaitan antar unsur karya sastra yang
13
menghasilkan keseluruhan unsur. Analisis struktural tidak hanya mendata unsur tertentu dalam karya fiksi tetapi yang lebih penting adalah menunjukkan bagaimana keterkaitan antar unsur itu, dan sumbangan apa yang diberikan terhadap tujuan estetik dan makna keseluruhan yang ingin dicapai (Nurgiyantoro, 2007: 37). Bentik fisik puisi mencakup penampilannya di atas kertas dalam bentu nada dan larik puisi; termasuk di dalamnya irama, sajak, intonasi, pengulangan, dan perangkat kebahasaan lainnya. Bentuk mental sendiri terdiri dari tema, urutan logis, pola asosiasi, semua arti yang dilambangkan, dan pola-pola citra dan emosi. Kedua bentuk ini, yaitu bentuk fisik dan bentuk mental, terjalin dan terkombinasi secara utuh yang membentuk dan memungkinkan sebuah puisi itu memantulkan makna, keindahan, dan imajinasi bagi pembacanya (Semi, 1993:107). Bentuk fisik dan mental sebuah puisi pada dasarnya dapat pula dilihat sebagai satu kesatuan yang terdiri dari tiga lapisan: Lapisan bunyi, yakni lapisan lambang-lambang bahasa sastra. lapisan pertama inilah yang kita sebut sebagai bentuk fisik puisi. Lapis arti, yakni sejumlah arti yang dilambangkan oleh struktur atau lapisan permukaan yang terdiri dari lapisan bunyi bahasa. Lapis tema, yakni suatu “dunia” pengucapan karya sastra, sesuatu yang menjadi tujuan penyair, atau sesuatu efek tertentu yang didambakan penyair. Lapisan arti dan tema inilah yang dapat dianggap sebagai bentuk mental sebuah puisi (Semi, 1993:108). H. Semiotika Michael Riffaterre Semiotik adalah ilmu atau metode analisis untuk mengkaji tanda. Tanda adalah sesuatu yang mewakili sesuatu yang lain yang dapat berupa pengalaman, pikiran, perasaan, gagasan, dan lain-lain. Jadi, yang dapat menjadi tanda
14
sebenarnya bukan hanya bahasa saja, melainkan berbagai hal yang melingkupi kehidupan ini walaupun harus diakui bahwa bahasa adalah sistem tanda yang paling lengkap dan sempurna. Tnda-tanda itu dapat berupa gerakan anggota badan, gerak mata, mulut, bentuk tulisan, warna, bendera, bentuk dan potongan rumah, pakaian, karya seni, sastra, lukisan, patung, film, tari, musik, dan lain-lain yang berada di sekitar kehidupan kita. Dengan demikian, teori semiotik bersifat multi disiplin sebagaimana diharapkan oleh Pierce agar teorinya bersifat umum dan dapat diterapkan pada segala macam tanda. Semiotik dapat diterapkan pada (atau: menjadi bidang garapan) linguistik, seni (dengan berbagai subdisiplinnya), sastra,
film,
filsafat,
antropologi,
arkeologi,
arsitektur,
dan
lain-lain
(Nurgiyantoro, 2013:67). Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tnda. Ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial/ masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik itu mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tnda tersebut mempunyai arti. Dalam lapangan kritik sastra, penelitian semiotik meliputi analisis sastra sebagai sebagai sebuah penggunaan bahasa yang bergantung pada (sifat-sifat) yang menyebabkan bermacam-macam cara (modus) wacana mampunyai makna (dalam Winarni, 2013:121). Pendekatan semiotik pada dasarnya adalah pengembangan dari pendekatan strukturalisme. Semiotik adalah ilmu tanda-tanda. Tanda mempunyai dua aspek yaitu penanda (signifier) dan petanda (signified). Penanda adalah bentuk formalnya yang menandai sesuatu yang disebut petanda, sedangkan petanda adalah sesuatu yang ditandai oleh petanda yakni artinya (Winarni, 2013:121).
15
Strukturalisme terbangun oleh unsur-unsur karya sastra, teori semiotika Michael Riffaterre tentang ketidaklangsungan pernyataan puisi dapat digunakan sebagai pembedah struktur puisi. Michael Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:281) mengungkapkan
bahwa
puisi
merupakan
ekspresi
tidak
langsung.
Ketidaklangsungan ekspresi puisi tersebut disebabkan oleh tiga hal: 1) penggantian arti (displacing of meaning), 2) penyimpangan arti (distorting of meaning), dan 3) penciptaan arti (creating of meaning). Ketidaklangsungan ekspresi puisi Riffaterre tersebut membedah unsur-unsur dalam puisi, seperti bunyi, irama, dan kata (termasuk di dalamnya kata-kata kiasan). Maka dapat disimpulkan bahwa ketidaklangsungan pernyataan puisi Riffaterre dapat digunakan sebagai analisis struktural puisi. Ketidaklangsungan pernyataan puisi tersebut yaitu. a. Penggantian Arti (displacing of meaning) Kata-kata kiasan puisi menggantikan arti sesuatu yang lain lebih-lebih metafora dan metonimi. Penggantian arti suatu kata (kiasan) berarti yang lain tidak (tidak menurut sesungguhnya) (Pradopo, 1995:210). Metafora merupakan pergeseran dari suatu sifat ke dalam sifat lain berdasarkan asosiasi kaitan atau asosiasi perbandingan. Sedangkan metonomi merupakan kiasan pengganti nama. b. Penyimpangan Arti (distorting of meaning) Menurut Riffaterre (dalam Pradopo, 1995:213) bahwa penyimpangan arti disebabkan oleh tiga hal, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. 1) Ambiguitas Ambiguitas adalah keragu-raguan atau ketidakpastian dalam menafsirkan makna kata atau ungkapan dalam karya sastra karena adanya beberapa
16
kemungkinan. Adanya ambiguitas ini akan memberikan efek pada pembaca dan efek yang timbul pada setiap pembaca berbeda-beda dikarenakan perbedaan pengalaman batin pembaca. 2) Kontradiksi Kontradiksi adalah salah satu cara menyampaikan sesuatu dengan menggunakan pertentangan atau secara berlawanan. Hal ini disebabkan oleh paradoks dan ironi. Paradoks adalah pernyataan yang tampaknya berlawanan dengan dirinya sendiri, atau bertentangan dengan pendapat umum, akan tetapi kalau dilihat lebih dalam, sesungguhnya mengandung sesuatu kebenaran. Ironi atau sindiran adalah suatu acuan yang ingin mengatakan sesuatu dengan makna atau maksud berlainan dari apa yang terkandung dalam rangkaian kata-katanya. 3) Nonsense Nonsense adalah kata-kata yang secara linguistik tidak mempunyai arti, sebab tidak terdapat dalam kamus bahasa. Meskipun tidak mempunyai arti secara linguistik, tetapi mempunyai makna (significance) dalam puisi karena konvensi puisi. c. Penciptaan Arti (creating of meaning) 1) Simetri Simetri adalah keseimbangan berupa persejajaran antara bait-bait atau antara baris-baris dalam bait (Pradopo, 1995:220). Karya sastra secara umum merupakan suatu rangkaian yang tersusun sehingga tercipta sesuatu yang indah.
17
2) Rima Rima merupakan pengulangan bunyi dalam puisi untuk musikalitas dan dalam mengulang bunyi ini penyair juga mempertimbangkan lambang bunyi. Dengan cara ini, pemilihan bunyi-bunyi mendukung perasaan dan suasana puisi (Waluyo, 2003:90). Rima dalam larik dapat diperinci menjadi tiga yaitu: aliterasi, asonansi, desonansi, dan anafora. (a) Aliterasi dimaksudkan sebagai runtutan konsonan dalam larik, seperti: disir, kenari, lari, menari. (b) Asonansi yaitu runtutan paroh suku kata terakhir dalam larik, seperti: berjuang, terbang, berkembang. (c) Desonansi adalah runtun ragangan konsonan kata dalam larik, seperti: compang-camping, sorak-sorai. (d) Anafora ialah runtun suku kata yang sama dengan larik, seperti: bernyanyi, bergembira, bersama. Rima bisa juga dibedakan menjadi rima awal, rima tengah, dan rima akhir, ketiga rima itu diperhatikan menjadi rima terus (a a a a), rima berpasangan (a a b b), rima bersilang (a b a b), rima berpeluk (a b b a), dan rima putus (a a a b atau a b a c). 3) Homologues Homologeus (persamaan posisi) ini sama dengan oersajakan dalam pantun. Misalnya makna yang mengeras (intensitas arti) dan kejelasan yang diciptakan oleh ulangan bunyi dan pararelisme (Pradopo, 1995: 220). Penciptaan arti telah mencakup aspek formal puisi. Homologues tampak dalam bentuk sajak pantun yang berisi baris-baris yang sejajar,
18
baik bentuk visual ataupun kata-katanya, persejajaran suara itu menyebabkan timbulnya arti yang sama. 4) Enjambemen Enjambemen adalah pemutusan kalimat untuk diletakkan pada baris berikutnya. Pemutusan atau pelompatan kalimat ke baris berikutnya pada puisi ini berfungsi untuk membangun satuan kata atau kalimat yang menunjukkan suatu kandungan tertentu, atau untuk memberi tekanan makna baris tersebut. 5) Tipografi Tipografi merupakan pembeda yang paling penting antara puisi dengan prosa. Ciri yang demikian menunjukkan eksistensi sebuah puisi. Cara sebuah teks ditulis sebagai larik-larik yang khas menciptakan makna tambahan. Kata-kata yang disusun yang panjang dan pendek sedemikian bervariasi secara harmonis menimbulkan ritma yang padu. (Waluyo, 2003:97). d. Pembacaan Heuristik dan Hermeneutik Dalam memahami dan mengungkap “sesuatu” yang terdapat dalam karya sastra, dikenal dengan adanya istilah heuristik (heuristic) dan hermeneutik (hermeneutic). Kedua istilah itu, yang secara lengkap disebut sebagai pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik, biasanya dikaitkan dengan pendekatan semiotik. Hubungan antara heuristik dan hermeneutik dapat dipandang sebagai hubungan yang bersifat gradasi sebab kegiatan pembacaan dan atau kerja hermeneutik haruslah didahului oleh pembacaan heuristik. Kerja hermeneutik, yang oleh Riffaterre disebut juga sebagai pembacaan berkali-kali dan kritis
19
(Nurgiyantoro, 2013:46). Kerja heuristik merupakan pembacaan karya sastra pada sistem semiotik tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa (yang bersangkutan). Orang sering menyebutnya sebagai makna yang ditunjuk kamus. Bekal yang dibutuhkan adalah pengetahuan tentang sistem bahasa itu, kompetensi terhadap kode bahasa. Penafsiran hermeneutik yaitu berupa pembacaan dan pemahaman pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, dicobatafsirkan kemungkinan makna tersirat, konotasi, atau signifikasinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang kode sastra (Nurgiyantoro, 2013:47). Teeuw (1988:123) mengemukakan bahwa cara kerja hermeneutik untuk menafsirkan karya sastra, dilakukan dengan pemahaman keseluruhan berdasarkan unsur-unsurnya,
dan
sebaliknya,
pemahaman
unsur-unsur
berdasarkan
keseluruhan. Bermula dari sinilah kemudian, antara lain, muncul istilah hermeneutik (hermeneutic circle). Pemahaman karya sastra dengan tehnik tersebut dapat dilakukan secara bertangga, dimulai dengan pemahaman secara keseluruhan walau hal itu hanya bersifat sementara. Kemudian, berdasarkan pemahaman yang diperoleh itu dilakukan kerja analisis dan pemahaman unsur-unsur intrinsiknya, jadi bagian per bagian. Hasil pemahaman unsur-unsur intrinsik tersebut dipergunakan untuk memahami keseluruhan karya yang bersangkutan secara lebih baik, luas, dan kritis. Pembacaan secara berulang-ulang sampai membuat peneliti dapat menafsirkan pertautan makna keseluruhan dan bagian-bagiannya dan makna intensionalnya secara optimal.
20
I. Bentuk Penelitian Bentuk penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menjadikan karya sastra sebagai objek penelitian. Penelitian kualitatif menekankan pada analisis induktif, dengan deskripsi yang kaya dengan deskripsi yang kaya dengan beragam nuansa, dan riset tentang persepsi manusia. Hal yang perlu ditekankan dalam penelitian kualitatif adalah mencerminkan fenomenologis. Model penelitian tersebut bertujuan untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh subjek penelitian misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, secara holistik dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan manfaat berbagai metode alamiah (Moleong, 2007:6). Metode kualitatif yang digunakan dalam penelitian ini dinilai sesuai dengan teori yang diterapkan yakni semiotika sastra. Makna karya sastra sebagai tanda dan semiotikanya. Makna yang bertautan dengan dunia nyata. Bentuk penelitian deskriptif kualitatif diharapkan mampu menjabarkan deskripsi dari objek yang sedang diteliti yaitu geguritan karya Wieranta. J. Data dan Sumber Data 1. Data Data adalah bahan suatu penelitian (Sudaryanto, 1993:5). Data dalam penelitian ini meliputi data primer dan data sekunder. Data primer dalam penelitian ini yaitu unsur struktural makna serta bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak yang ditulis dalam tujuh geguritan karya Wieranta yang dimuat dalam buku Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan yang ditulis pada tahun 2014 dan sudah dipilih sesuai dengan tema yang menjadi bahan
21
penelitian. Ketujuh geguritan tersebut yaitu, (1) Kang Lagi Nandang Roga 1, (2) Kang Lagi Nandang Roga 2, (3) Kang Lagi Nandang Roga 3, (4) Panglocitaku, (5) Lare Lara 1, (6) Lare Lara 2, (7) Nalika Anak Kena Lara. Adapun data sekunder dalam penelitian ini diambil dari wawancara dan buku yang relevan. 2. Sumber Data Sumber data adalah segala sesuatu yang mampu memberi informasi mengenai data (Sutopo, 2005: 56). Sumber data yang digunakan adalah tujuh geguritan karya Wieranta yang dimuat dalam buku Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan tahun 2014. Geguritan yang dipilih berdasarkan tema kasih sayang orang tua kepada anak yaitu: , (1) Kang Lagi Nandang Roga 1, (2) Kang Lagi Nandang Roga 2, (3) Kang Lagi Nandang Roga 3, (4) Panglocitaku, (5) Lare Lara 1, (6) Lare Lara 2, (7) Nalika Anak Kena Lara. Data lain juga didapatkan dari informan penulis buku Kumpulan Geguritan Dongeng Saka Pabaratan yaitu bapak Wieranta. K. Teknik Sampling Sampel penelitian merupakan sebagian populasi atau wakil dari populasi (Arikunto, 2010:117). Teknik sampling yang digunakan dalam penelitian ini adalah purposive sampling, yaitu sampel dipilih berdasarkan pertimbanganpertimbangan tertentu sesuai dengan objek formal penelitian yang dilakukan (Sangidu, 2004:3). Tehnik ini digunakan, untuk memilih dari kumpulan geguritan karya Wieranta yang ditulis dalam buku Dongeng Saka Pabaratan yang berisikan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak.
22
L. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis isi (Content Analysis) dan wawancara. Analisis isi atau content analysis yaitu penganalisisan terhadap isi termasuk aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Teknik content analysis merupakan metodologi penelitian yang memanfaatkan seperangkat prosedur untuk menarik kesimpulan yang sahih dari sebuah buku atau dokumen (Moleong, 1990: 61). Teknik analisis isi dokumen ini digunakan untuk memperoleh data tentang bentuk kasih sayang orang tua kepada anak dalam Kumpulan Geguritan Dongeng Saka Pabaratan yaitu bapak Wieranta. Cara kerja teknik analisis isi dokumen adalah peneliti menghimpun data dari diawali dengan membaca tujuh geguritan karya Wieranta yang dimuat dalam buku Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan secara berulang-ulang dengan tujuan agar dapat memahami keseluruhan isi geguritan secara maksimal. Teknik membaca dilakukan secara heuristik dan hermeneutik. Kerja heuristik merupakan pembacaan tingkat pertama. Ia berupa pemahaman makna sebagaimana yang dikonvensikan oleh bahasa. Hermeneutik yaitu pembacaan dan pemahaman pada tataran semiotik tingkat kedua. Artinya, berdasarkan makna dari hasil kerja heuristik di atas, dicoba tafsirkan kemungkinan makna tersirat, konotasi, atau signifikasinya. Jika pada tataran kerja heuristik dibutuhkan pengetahuan tentang kode bahasa, pada tataran kerja hermeneutik dibutuhkan pengetahuan tentang kode sastra (Nurgiyantoro, 2013:47). Selanjutnya yaitu dilakukan proses pencatatan. Pencatatan dilakukan sambil memberikan tanda pada kalimat-kalimat dalam geguritan yang meliputi
23
bentuk kasih sayang orang tua kepada anak terutama ketika sang anak sedang sakit dalam geguritan. Terakhir adalah analisis dokumen, data yang sudah terkumpul kemudian dianalisis dengan mengelompokkan menurut kelompok masing-masing. Wawancara menurut Moleong (1990:186) adalah percakapan dengan maksud tertentu, serta dilakukan oleh dua pihak yaitu pewawancara yang mengajukan pertanyaan dan terwawancara yang memberikan jawaban atas pertanyaan tersebut. Tujuan wawancara adalah untuk menyajikan konstruksi saat sekarang dalam suatu konteks mengenai pribadi, peristiwa, aktivitas, organisasi, perasaan, motivasi, tanggapan atau persepsi, bentuk maupun tingkat keterlibatan, dan sebagainya (Sutopo, 2006:68). Wawancara dilakukan dengan mengajukan pertanyaan mengenai bentuk kasih sayang dan maksud di balik cerita penulisan geguritan. M. Analisis Data Berdasarkan objek penelitian yang diteliti, peneliti menggunakan pendekatan semiotika milik Michael Riffaterre. Kajian menggunakan teks sastra sebagai data penelitian. Setelah data terkumpul, tahap pertama yang dilakukan adalah membedah sisi struktur teks sastra dengan strukturalisme dinamik. Setelah terlihat struktur yang membentuk teks sastra tersebut, tahap selanjutnya analisis karya sastra melalui teori semiotik Michael Riffaterre. Analisis diakukan dengan pemaparan bentuk deskriptif terhadap masing-masing data secara fungsional dan relasional. Penelitian agar lebih terarah dan sistematis, maka tahap penelitian ini adalah sebagai berikut:
24
1. Membaca secara cermat ketujuh geguritan yang dijadikan oebjek penelitian. Geguritan yang dijadikan objek penelitian adalah Kang Lagi Nandang Roga 1, Kang Lagi Nandang Roga 2, Kang Lagi Nandang Roga 3, Panglocitaku, Lare Lara 1, Lare Lara 2, Nalika Anak Kena Lara 2. Menganalisis kata-kata sebagai data yang akan digunakan untuk penelitian, yaitu ungkapan-ungkapan atau penggambaran bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak sebagai tematik penelitian. 3. Menganalisis secara cermat terhadap penggambaran bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dalam ketujuh geguritan karya Wieranta dengan menggunakan paradigma teori semiotika Michael Riffaterre. Langkahlangkah yang digunakan adalah: a. Penggantian Arti, yaitu menganalisis dan mendeskripsikan metafora dan metonimi yang terdapat dalam ketujuh geguritan karya Wieranta. b. Penyimpangan arti, yaitu menganalisis dan mendiskripsikan penyimpangan yang terjadi dalam geguritan. Penyimpangan didiskripsikan dalam tiga penyebab, yaitu ambiguitas, kontradiksi, dan nonsense. c. Penciptaan arti, yaitu memaparkan ruang teks yang secara linguistik tidak memiliki mana. Penciptaan arti ini dapat dijabarkan dalam rima, enjabement, homologue, dan tipografi. 4. Penelitian ini menggunakan srtukturalisme dinamik, setelah strukturalisme dinamik dipahami, selanjutnya menafsirkan geguritan menggunakan
25
pembacaan semiotik. Dua proses pembacaan semiotik yaitu pembacaan heuristik dan pembacaan hermeneutik. 5. Melalui data strukturalisme dinamis dan pengungkapan makna yang diperoleh maka dapat digunakan untuk mengungkapkan bentuk kasih sayang orang tua terhadap anak dari geguritan karya Wieranta yang ditulis dalam Kumpulan Geguritan berjudul Dongeng Saka Pabaratan. N. Sistematika Penulisan Penulisan dalam bentuk laporan ini, penulis menyusun urutan-urutan dari bab pertama sampai terakhir sebagai berikut: BAB I PENDAHULUAN. Merupakan sebuah pengantar yang menguraikan tentang latar belakang maslah, pembahasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, sistematika penulisan, pengertian puisi, struktur puisi, bentuk penelitian, sumber data dan data penelitian, teknik pengumpulan data, dan teknik analis data, dan validitas data. BAB II PEMBAHASAN. Merupakan bagian yang memaparkan hasil analisis dari permasalahan yang dibahas dalam penelitian. BAB III PENUTUP. Berisi kesimpulan dan saran, pada bagian akhir disertakan daftar pustaka dan lampiran.