1
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Kondisi secara umum prestasi bulutangkis nasional dalam kurun waktu dua belas tahun terakhir (2002-2012) masih memprihatinkan. Minimnya prestasi yang berhasil dicapai lebih-lebih di sektor puteri mundur jauh ke belakang, hampir di setiap kejuaraan seperti Grand Prix (2002-2010), Super Series (2006-2012), All England (2004-2012) Thomas Cup (2004-2014), Uber Cup (1998-2014), Kejuaraan Dunia (2006-2014), Kejuaraan Dunia Beregu Campuran (1991-2013), Kejuaraan Asia dan Kejuaraan Dunia Junior (2006-2013) atlet-atlet Indonesia belum mampu mempersembahkan hasil yang terbaik, masih kalah dari dominasi pemain-pemain China, Korea, dan Denmark. Meskipun demikian, layak diapresiasi dalam dua tahun terakhir terutama tahun 2013, para pemain Indonesia mulai berhasil mengukir prestasi dibeberapa turnamen bergengsi, terutama pasangan Tantowi Ahmad dan Lilyana Natsir yang berhasil secara gemilang menjuarai Yonex All England dan Wang Lao Ji BWF World Championship, serta pasangan Mohammad Ahsan dan Hendra Setiawan yang mengukir prestasinya pada Djarum Indonesia Open Super Series, Li-Ning Singapore Open Super Series, dan Wang Lao Ji BWF World Championship. Sementara pada tahun 2014, meskipun berhasil mempersembahkan dua medali emas pada ajang perhelatan Asian Games di Korea Selatan, tetapi secara tragis gagal menjadi juara Thomas Cup dan Uber Cup setelah Tim Thomas dikandaskan di semi final oleh Malaysia, dan tim Uber untuk pertama kalinya dalam sejarah dunia bulutangkis ditumbangkan oleh India di perempat final. Beberapa praktisi dan pakar bulutangkis menguatkan kondisi ini dengan mengatakan beberapa hal sebagai berikut:
1
2
“…Beberapa tahun terakhir prestasi bulutangkis Indonesia merosot jauh jika dibandingkan dengan prestasi sebelumnya.”(Hadinata, 2012) “…Ini adalah masalah serius karena terjadi penurunan prestasi.” (Hadinata, 2011)”, “…Bulutangkis saat ini ‘memble’. Saya melihat ada persoalan dalam program pembinaan para atlet.” (Kurniawan, 2012) “…Saya sering menggerutu sendiri melihat prestasi pemain Indonesia belakangan ini. Olahraga bulutangkis sudah tidak memberikan kegembiraan dan pesta pora bagi masyarakat seperti dulu lagi.” (Gunarsa (2012) “…Hanya karena pondasi olahraga Indonesia rapuh, prestasi bulutangkis juga ikut merosot. Inilah saatnya menuntut PBSI agar memiliki grand strategy pembinaan prestasi, misalnya hingga tahun 2025.” (Siregar, 2012) Secara umum, rendahnya kualitas pembinaan dianggap sebagai salah satu penyebab pokok kondisi ini (Kurniawan, 2012; Siregar, 2012, Susanti, 2014), selain masalah-masalah lain seperti kurangnya perhatian pemerintah, fasilitas kurang memadai, penerapan teknologi belum optimal, pelatih kurang profesional (Anandito, 2011; Hadinata, 2011), dan masih terlantarnya pembinaan aspek mental/psikologis (Markum, 2012; Susanti, 2014) yang ditengarai sebagai salah satu masalah paling fatal dalam pembinaan prestasi bulutangkis nasional (Anandito, 2011; Kurniawan dikutip dari Mustikasari, 2012). Tiga maestro bulutangkis nasional dari segmen generasi yang berbeda menegaskan: “…Saya melihat ada yang perlu dibenahi, yakni mental pemain yang terkesan manja, cengeng, dan cepat merasa puas menyandang gelar atlet nasional. Mereka tidak sadar kalau hal itu telah menyia-nyiakan kesempatan yang sudah didapat.” (Subagja, 2011) “…Atlet-atlet Indonesia kurang memiliki motivasi untuk menjadi juara sehingga dalam latihan kurang bersemangat dan kurang berdisiplin. Banyak atlet yang sudah merasa puas dengan masuk menjadi anggota tim nasional tetapi juga kurang yakin terhadap kemampuan yang dimiliki.” (Kurniawan dikutif dari Adisasmito, 2007) “…Atlet Indonesia kurang memiliki keyakinan akan kemampuan, kurang memiliki motivasi yang kuat untuk menjadi juara, merasa takut kalah, tegang, dan takut tidak dapat bermain dengan bagus.” (Hadinata, 2012)
Kondisi ini berbeda dengan China yang dalam 12 tahun terakhir telah berhasil mendominasi dan tetap superior diberbagai kejuaraan baik dalam 2
3
kejuaraan khusus bulutangkis maupun multi kejuaraan. Rasmussen (Badminton Information, 2012) menyatakan bahwa China adalah negara terbaik dalam dunia bulutangkis karena memiliki program atau sistem pembinaan yang bagus yang mampu membina dan mengembangkan atlet-atlet muda berbakat yang jumlahnya sangat banyak, dan juga sinergis dengan dukungan penuh pemerintah untuk merealisasikan program tersebut. Kondisi inilah yang mengantarkan China kian konsisten dalam melatih potensi-potensi calon juaranya. Pelatih menanamkan kepada setiap atletnya untuk berlatih secara intensif, fokus pada kelemahan yang dimilikinya, baik secara fisik maupun mental, dan bertekad untuk menjadikan atletnya bugar dan tangguh, dan secara gemilang siap bertempur dalam kancah kejuaraan internasional pada level yang paling tinggi. Alasan lainnya, partisipasi aktif para pendahulunya (mantan atlet) dalam pelatihan dan pemanduan bakat secara langsung, sehingga atlet-atlet muda berbakat memiliki kesempatan untuk melakukan penyetalaan keterampilannya yang akan membangkitkan kebutuhannya untuk sukses, dan para atlet akan berusaha mengemulasi apa yang diajarkan pelatihnya. Hal lain yang tidak kalah pentingnya adalah tersedianya pusat-pusat latihan yang memadai yang tersebar sampai ke pelosok-pelosok terkecil yang mewadahi proses pembinaan usia awal latihan dan dilengkapi dengan menu latihan kelas dunia yang akan mengantarkan atletnya memaksimalkan potensi keberhasilannya dimasa-masa yang akan datang. Deskripsi dan analisis kondisi prestasi bulutangkis nasional di atas merefleksikan bahwa kualitas pembinaan olahraga bulutangkis secara nasional, mulai dari jenjang paling bawah yaitu sekolah/klub, cabang, daerah, sampai nasional masih mesut dan memprihatinkan, khususnya pembinaan aspek psikologis. Pembinaan olahraga bulutangkis saat ini terutama di tingkat klub/sekolah masih sangat terkonsentrasi pada pembinaan aspek teknik, fisik, dan taktik, sementara 3
4
pembinaan aspek psikologis masih terabaikan, padahal atlet merupakan satu totalitas sistem psikofisik yang keduanya harus mendapat porsi yang seimbang dalam latihan, dan karena itu pembinaan prestasi olahraga terutama pada masa persiapan harus mengembangkan keempat aspek utama latihan, yaitu aspek fisik, teknik, taktik, dan mental secara simultan (Blumenstein & Lidor, 2007; Lidor, Blumenstein, & Tenenbaum, 2007; Holliday, Burtona, Suna, Naylorc, Hammermeisterb, & Freigand, 2008). Amalgamasi keempat aspek latihan tersebut menjadi faktor yang menentukan kualitas dan keberhasilan latihan serta berkontribusi positif terhadap penampilan atlet, baik secara individual maupun tim (Lidor, et al., 2007). Weinberg & Gould (2011) menguatkan bahwa 50% aktivitas olahraga melibatkan aspek mental dan untuk cabang-cabang olahraga tertentu seperti golf, tennis, dan bermain skats bisa mencapai 80% sampai 90%, bahkan Jimmy Connors seorang atlet profesional tenis yang sangat terkenal dengan keuletan dan ketangguhannya menyatakan bahwa 95% aktivitas atlet-atlet profesional tenis adalah aktivitas mental. Jadi, dari sisi pembinaan aspek utama latihan, bisa jadi salah satu penyebab pokok kondisi stagnan prestasi olahraga nasional secara umum dan cabang bulutangkis khususnya karena psikologi olahraga belum diterapkan secara optimal (Dimyati, 2004, 2006) atau masih terlantarkan (Markum, 2012), khususnya penggunaan teknik atau metode latihan keterampilan psikologis dalam keseluruhan program latihan, terutama di tingkat sekolah/klub. Latihan keterampilan psikologis (Psychological Skill Training / PST) adalah program latihan yang disusun secara metodis sistematis dan komprehensif sebagai sebuah teknik belajar yang ditujukan untuk membina dan mengembangkan keterampilan teknik, taktik, fisiologis, dan psikologis secara simultan pada saat yang bersamaan (Wann, 2002), dan telah menjadi salah satu kajian utama dalam psikologi olahraga (Freitas, Dias, & Fonseca, 2012). PST memiliki dua ciri pokok, yaitu (1) program perlu direncanakan secara konseptual, metodis-sistematis, 4
5
kontinuansi, dan diintegrasikan ke dalam program latihan sehari-hari, jadi bukan merupakan sebuah quick-fix atau instant solving program, (2) bersifat komprehensif, artinya merupakan teknik belajar untuk mengembangkan beragam aspek fisik, teknik, taktik, dan psikologis (Cumming, Nordin, Horton, & Reynolds, 2006; Pavlidou & Doganis, 2008). Bukti-bukti empirik menunjukkan, teknik PST memainkan peranan penting dalam meningkatkan penampilan atlet, antara lain pada cabang olahraga tenis (Mamassis & Doganis, 2004), golf (Cohen, Tenenbaum, & English, 2006), renang (Pavlidau & Dogannis, 2008), berkuda (Blakeslee & Goff, 2007), dan sepak bola (Thelwell, Greenlees, & Weston, 2010; Kar & Bhukar, 2013). PST juga efektif untuk meningkatkan keterampilan psikologis seperti motivasi olahraga (Hamstra, Burke, Joyner, & Hardy, 2004), kepercayaan diri (Mamassis & Doganis, 2004; Pavlidau & Dogannis, 2008), dan mereduksi kecemasan (Hamstra, et al., 2004; Mamassis & Doganis, 2004), serta terbukti dapat digunakan untuk atlet pemula (Terry & Mayer, 1998), atlet muda dan dewasa, individual, beregu, elit maupun non elit (Mamassis & Doganis, 2004; Weinberg & Gould, 2011). Program PST dapat dilakukan dengan menggunakan satu atau lebih teknik PST seperti latihan rileksasi, imajeri mental, konsentrasi, penetapan tujuan, dan self-talk (Thiese & Huddleston, 1999; Cox, 2007; Weinberg & Gould, 2011). Tugas para pelatih dalam kaitannya dengan program PST di atas dalam pembinaan olahraga bulutangkis adalah mengupayakan implementasinya sebagai bagian integral dari keseluruhan proses pembinaan, termasuk dalam proses pembelajaran/latihan keterampilan dasar bermain bulutangkis (KDBB), sebab PST terbukti dapat digunakan baik pada saat latihan maupun pertandingan dan mempengaruhi pengembangan aspek-aspek kemampuan fisik, teknik, taktik dan keterampilan psikologis secara simultan, dan aspek-aspek tersebut seperti
5
6
dijelaskan oleh Omosegaard (1996) saling berkaitan satu sama lain dalam mengembangkan penampilan permainan bulutangkis. Secara umum KDBB dikelompokkan kedalam empat bagian yaitu cara memegang raket, sikap siap, gerakan kaki, dan keterampilan teknik dasar memukul (Kumar, 2006; Subarjah, 2009), dan tiga keterampilan dasar memukul yang paling dasar dan biasanya diajarkan pertama kali kepada para pemula adalah KD-lob bertahan, KD-servis tinggi, dan KD-dropshot (Subarjah, 2007). KD-Lob bertahan merupakan jenis pukulan yang paling mudah untuk dipelajari dan dikuasai, karena itu termasuk jenis pukulan yang pertama kali harus diajarkan kepada siswa-atlet pemula. Urgensi penguasaan KD-lob bertahan didasarkan pada lima alasan pokok, yaitu (1) paling sering digunakan terutama dalam permainan tunggal, (2) menjadi dasar pengembangan pukulan yang lain, (3) sangat bermanfaat untuk mendapatkan kembali paritas ke posisi siap, (4) menyulitkan lawan untuk melakukan pukulan menyerang, dan (5) untuk atlet pemula dapat dijadikan barometer awal bagi kemampuannya untuk dikategorikan sudah mampu atau belum bermain bulutangkis, dalam pengertian pada tingkat yang paling dasar yakni mampu menyeberangkan shuttle cock melewati bagian atas net ke lapangan lawan (Hidayat & Wirawan, 2005). KD-servis tinggi atau servis panjang termasuk salah satu jenis servis yang paling banyak digunakan dan memainkan peranan yang sangat penting dalam permainan tunggal. Servis tinggi mengarahkan shuttle cock tinggi dan jauh ke belakang, shuttle cock akan berbalik dan jatuh tegak lurus sedekat mungkin dengan garis batas lapangan bagian belakang, melalui KD-servis tinggi akan memaksa lawan untuk bergerak ke daerah belakang lapangannya sehingga daerah pertahanan bagian depan terbuka lebar, dan akan menyulitkan lawan untuk memukul servis tinggi apalagi dengan pukulan smash. KD-Dropshot adalah
6
7
jenis pukulan yang meluncurkan shuttle cock ke daerah lawan sedekat mungkin ke net, bertujuan untuk menekan atau mematikan lawan dengan menempatkan shuttle cock sedekat mungkin ke depan net. Menurut Grice (1996), nilai penting pukulan ini terletak pada kombinasinya dengan KD-lob bertahan untuk membuat lawan sibuk dan memaksanya untuk mempertahankan seluruh lapangan. Penguasaan ketiga jenis KD di atas sangat krusial, sebab penguasaannya secara sempurna akan menentukan pengembangan keterampilan pada tahap latihan selanjutnya, menentukan gerak keseluruhan dalam permainan, dan untuk mencapai peningkatan prestasi yang tinggi seorang atlet mutlak membutuhkan penguasaan KD-bermain yang lebih sangkil dan mangkus. Selain itu, penguasaan KD yang sangkil dan mengkus berkovariasi dengan pengembangan keterampilan psikologis, kemampuan fisik dan keterampilan taktis (Omosegaard, 1996; Magill, 2011). Jadi penguasaan KDBB yang bagus memainkan peranan penting karena menjadi dasar pengembangan pukulan yang lain, barometer awal bagi kemampuannya untuk dikategorikan sudah mampu atau belum bermain bulutangkis pada tingkat yang paling dasar, dan juga berperan penting dalam pengembangan aspek-aspek psikologis, kemampuan fisik, dan keterampilan taktis. Proses pembinaan bulutangkis saat ini dilakukan secara berjenjang mulai tingkat klub atau sekolah bulutangkis, pusat pendidikan dan latihan tingkat cabang dan daerah), serta pemusatan latihan nasional (Pelatnas). Klub/sekolah bulutangkis merupakan tempat berlangsungnya proses pembelajaran para siswa-atlet atau calon atlet mulai dari tingkat usia dini, anak-anak, pemula, remaja, taruna dan dewasa yang prosesnya dimulai sejak periode usia dini atau usia awal latihan, yakni antara usia 6-14 tahun. Eksistensi klub/sekolah sebagai lapisan pembinaan yang berperan untuk melanggengkan proses regenerasi menjadi sangat penting, terutama karena klub/sekolah merupakan satu-satunya pusat
7
8
pembinaan atlet-atlet usia awal latihan. Ditegaskan oleh Tarigan (1998) pembinaan olahraga sedini mungkin merupakan salah satu strategi yang paling mendasar dalam upaya meningkatkan prestasi olahraga bulutangkis. Oleh karena itu, pembinaan di tingkat klub/sekolah semestinya dilakukan secara terencana, teratur, dan sistematis dengan memberdayakan semua aspek pendukung terciptanya prestasi setinggi mungkin, terutama aspek yang terkait dengan proses latihan, yaitu aspek kemampuan fisik, keterampilan teknik dan taktik, serta keterampilan psikologis. Kondisi faktual menunjukkan bahwa pembinaan prestasi bulutangkis saat ini terutama di tingkat klub/sekolah, khususnya pembinaan teknik PST masih kurang mendapat perhatian, padahal untuk meningkatkan prestasi bulutangkis semestinya dilakukan pelatihan yang memberi penekanan secara kompatibel pada semua aspek utama latihan. Meskipun program PST diyakini sebagai strategi yang efektif untuk meningkatkan penampilan olahraga dan keterampilan psikologis, tetapi faktanya masih ada sebagian pelatih yang tidak mengimplementasikannya (Freitas et al., 2012), bahkan tidak berhasil mengajarkan kepada atletnya secara sistematis (Gould, Medbery, Damarjian, & Lauer, 1999; Harwood, 2008). Survey terhadap 78 pelatih sekolah/klub bulutangkis di Jawa Barat menemukan, para pelatih umumnya memahami pentingnya aspek dan teknik PST (87.2%), tetapi karena keterbatasan waktu (69.2%), keterbatasan kompetensi (71.85%), dan anggapan harus oleh psikolog olahraga (57.7%), PST masih belum dilaksanakan secara terintegrasi dalam program latihan (Hidayat, 2011). Alasan lainnya, masih terbatasnya pengetahuan dan pemahaman pelatih, adanya kesalahpahaman tentang keterampilan psikologis sebagai potensi yang bersifat bawaan, dan terbatasnya waktu yang tersedia. Kalaupun dilaksanakan hanya ketika dihadapkan pada kondisi krisis atau ketika menghadapi masalah-masalah khusus (Weinberg & Gould, 2011), keterbatasan pengetahuan dan keyakinan pelatih
8
9
(Harwood, 2008), dan harus dilakukan oleh psikolog olahraga (Jones, Evans, & Mullen, 2007). Survey juga menemukan lima aspek keterampilan psikologis yang paling dibutuhkan dalam latihan bulutangkis, yaitu motivasi olahraga (63,3%), disiplin diri (53,8%), kepercayaan diri (43,6), sikap positif (37,9%), dan rasa cemas (32,6%), serta lima teknik keterampilan psikologis yang paling dikenal oleh para pelatih yaitu imajeri mental (62,2%), self-talk (58,8%), rileksasi (58,7%), penetapan tujuan (54,0%), dan pengelolaan kecemasan sebesar 49,6% (Hidayat, 2011). Temuan ini menguatkan hasil survei nasional yang dilakukan oleh Zizzi, Blom, Watson II, Downey, & Geer (2009) terhadap 54 instruktur olahraga, 64 pelatih, dan 50 psikolog olahraga yang telah menemukan hirarki kebutuhan untuk menggunakan teknik PST. Sesuai dengan pokok-pokok uraian tersebut di atas, sebenarnya ada kesenjangan antara konsepsi pemahaman tentang peran penting aspek dan teknik keterampilan psikologis sebagai das-sollen-what should be dengan implementasinya di lapangan sebagai das sein-what is happening. Secara konseptual, pembinaan prestasi olahraga harus melibatkan semua aspek utama latihan, baik fisik, teknik, taktik, maupun psikologis secara simultan, sebab amalgamasi keempat aspek tersebut menjadi faktor yang menentukan kualitas dan hasil belajar atau latihan serta berkontribusi terhadap penampilan atlet, sementara fakta menunjukkan isi program latihan olahraga bulutangkis saat ini di semua jenjang pembinaan terutama di tingkat sekolah/klub masih lebih terkonsentrasi pada pengembangan aspek kemampuan fisik dan teknik, sementara pengembangan aspek dan teknik keterampilan psikologis masih terabaikan atau belum diimplementasikan sebagai bagian integral dari program latihan secara keseluruhan, dan hal ini antara lain disebabkan keterbatasan kompetensi pelatih dan waktu latihan yang tersedia. 9
10
Salah satu imbasnya kualitas penguasaan kemampuan fisik, teknik, taktik, dan juga psikologis sebagai komponen pokok pencapaian prestasi masih belum tergali secara optimal, dan kondisi ini ditenggarai menjadi salah satu penyebab terjadinya stagnasi prestasi olahraga secara umum termasuk prestasi cabang olahraga bulutangkis di dunia internasional terutama dalam 12 tahun terakhir. Strategi multiteknik merupakan salah satu bentuk strategi PST yang mengkombinasikan tiga teknik PST, yaitu teknik penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental. Secara konseptual-empirik penggunaan istilah strategi multiteknik dan penentuan ketiga teknik PST tersebut didasarkan pada klasifikasi teknik PST dalam bidang kajian psikologi olahraga yang menempatkan penetapan tujuan, selftalk, imajeri mental, dan rileksasi sebagai teknik keterampilan dasar PST untuk atlet pemula (Hardy & Jones, 1994), juga hasil survey tentang hirarki kebutuhan aspek dan teknik PST (Zizzi, et al., 2009) dan analisis kebutuhan aspek dan metode PST pelatih bulutangkis di Jawa Barat yang menempatkan penetapan tujuan, self-talk, imajeri mental, dan rileksasi sebagai empat teknik keterampilan dasar PST yang paling diketahui dan dibutuhkan oleh pelatih (Hidayat, 2011) seperti telah dijelaskan di atas Berdasarkan rujukan konseptual-empirik tersebut, istilah strategi multiteknik pertama kali digunakan dalam sebuah penelitian tentang pengembangan instrumen strategi multiteknik (penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental) pada 1004 atlet usia 11-13 tahun yang berasal dari delapan Kota/Kabupaten di Jawa Barat dan dari 12 cabang olahraga beregu dan perorangan dalam kaitannya dengan penampilan olahraga dan aspek psikologis motivasi olahaga dan kepercayaan diri. Secara umum berdasarkan hasil uji kausalitas model ditemukan secara parsial ketiga komponen strategi multiteknik memberikan pengaruh langsung terhadap motivasi olahraga, kepercayaan diri, dan penampilan olahraga, kecuali 10
11
teknik penetapan tujuan ditemukan tidak memberikan pengaruh langsung terhadap motivasi olahraga dan penampilan olahraga. Adapun secara bersamasama memberikan sumbangan efektif secara simultan sebesar 36,8% terhadap motivasi olahraga, 50,5% terhadap kepercayaan diri, dan 51,1%
terhadap
penampilan olahraga (Hidayat & Sukadiyanto, 2012). Untuk kepentingan aplikatif, strategi multiteknik ini perlu dikembangkan lebih lanjut dalam beragam situasi dan kondisi latihan dan pertandingan, dalam beragam cabang olahraga dan tingkat keterampilan atlet, termasuk dalam proses latihan permainan bulutangkis dalam kaitannya dengan penguasaan KDBB dan pengembangan motivasi olahraga dan kepercayaan diri melalui sebuah program intervensi yang diintegrasikan dalam proses dan struktur program latihan secara keseluruhan, dan karena itu digunakan istilah intervensi psikologis strategi multiteknik (IPSM) yang menggambarkan sebuah program intervensi PST yang mengkombinasikan tiga teknik PST, yaitu teknik penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental secara simultan dan interaktif. Secara metodologis, IPSM merujuk pada proses pendekatan intervensi PST yang dilakukan secara multitahap dimulai dari menentukan fondasi filosofis, model, strategi, sampai teknik intervensi yang digunakan (Vealey, 2007). Fondasi filosofis dibedakan kedalam kategori pendekatan filosofis pendidikan dan klinis, selanjutnya berdasarkan kedua pendekatan tersebut dikembangkan model-model PST sebagai sebuah model intervensi. Tahap selanjutnya adalah menentukan strategi yang akan diterapkan yang secara logis merupakan emanasi dari satu filosofi atau model intervensi, dan tahapan proses diakhiri dengan penentuan teknik yang akan digunakan sebagai sebuah prosedur spesifik yang digunakan dalam sebuah strategi PST, antara lain teknik penetapan tujuan, self-talk, imajeri mental, relaksasi, bio-feedback, manajemen kecemasan dan perilaku, dan lain11
12
lain. Secara spesifik dalam kaitannya dengan IPSM, intervensi didasarkan pada pendekatan filosofis pendidikan, jenis model keterampilan psikologis pendidikan, strategi kombinasi multiteknik, dan tiga diantara teknik PST yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah teknik penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental. Penetapan tujuan adalah sebuah teknik untuk menentukan orientasi tujuan belajar/latihan yang ingin dicapai yang memobilisasi perilaku individu terhadap pencapaian tujuan dan memainkan peranan penting karena dapat mempengaruhi kondisi psikologis individu seperti meningkatkan motivasi belajar, kepercayaan diri, memfokuskan perhatian pada aspek-aspek penting dari tugas yang dipelajari, memobilisasi usaha, meningkatkan persistensi usaha, dan mengembangkan strategi baru dalam belajar (Locke & Latham, 2002). Dari dimensi orientasi, penetapan tujuan dibedakan menjadi tujuan yang berorientasi pada hasil / PThasil (outcome goals), berorientasi pada performa / PT-performa ( performance goals), dan berorientasi pada proses/PT-proses (process goal), berorientasi pada kombinasi tujuan proses dan hasil / PT-dinamik (dynamic atau shiffting goals), dan interfusi multi-tujuan atau multiple-goal (Zimmerman & Kitsantas, 1996, 1997; Gould, 2001; Cox, 2007, Weinberg, 2010). Self-talk adalah pernyataan atlet yang ditujukan kepada diri sendiri, bersifat multidimensional dalam bentuk terbuka atau tertutup, positif atau negatif, dan memiliki fungsi instruksional dan motivasional (Hidayat & Budiman, 2014). Selftalk terkait dengan beragam dimensi baik secara umum maupun spesifik dalam domain olahraga, salah satu diantaranya adalah dimensi fungsi yang membagi self-talk kedalam fungsi instruksional dan motivasional (Theodorakis, Weinberg, Natsis, Douma, & Kazakas, 2000; Weinberg & Gould, 2011; Kolovelonis. Goudas, & Dermitzaki, 2011). Bukti-bukti menunjukkan self-talk dapat digunakan untuk meningkatkan penampilan gerak dalam beragam cabang olahraga seperti bola 12
13
basket (Theodorakis, Chroni, Laparidis, Bebetsos, & Douma, 2001; Perkos, Thedorakis, Chroni, 2002), tenis (Latinjak, Torregrosa, & Renom, 2011), Golf (Harvey, Van Raalte, & Brewer, 2002; Malaoff & Murphy, 2006), bola voli (Zetou, Vernadakis, Bebetsos, & Makraki, 2012), Renang (Mousa Ay, Halaweh, Al-Taieb, 2013), softball (Chang, Ho, Horng Lu, Chieh Ou, & Song, 2014), meningkatkan motivasi (Hardy, Gammage, & Hall, 2001a; Hardy, Hall, & Alexander, 2001b; Hardy, Hall, & Hardy, 2005b), mengendalikan fokus perhatian (Papaioannou, Ballon, Theodorakis, & Auwelle, 2004), dan meningkatkan kepercayaan diri (Zinsser, Bunker, & Williams, 2006; Chang, et al., 2014). Imajeri mental adalah aktivitas mental untuk membayangkan atau memunculkan kembali sebuah pengalaman di dalam pikiran dengan menggunakan satu atau lebih aspek penginderaan dan merupakan bagian integral dari komponen intervensi psikologis yang digunakan oleh atlet dalam berbagai cabang dan situasi olahraga (Weinberg, 2008). Imajeri mental memiliki dua fungsi aplikatif yaitu fungsi kognitif dan motivasional (Paivio, 1985), atlet menggunakan imajeri mental dalam aktivitas olahraga untuk beragam kepentingan fungsional terkait dengan penampilannya, antara lain untuk meningkatkan penampilan olahraga (Murphy, Nordin, & Cumming, 2008; Hidayat, 2010a), meningkatkan motivasi (Cumming, Hall, Harwood, & Gammage, 2002), meningkatkan kepercayaan diri (Callow, Hardy, & Hall, 2001; Short, Bruggeman, Engel, Marback, Wang, Willadsen, & Short, 2002; Callow, Roberts, Fawkes, 2006), dan mereduksi kecemasan (Evans, Jones, & Mullen, 2004), dapat digunakan secara soliter (Nicholls, Polman, & Holt, 2005; Watt, Spittle, Jaakkola, & Morris, 2008; VaezMousavi & Rostami, 2009) atau dikombinasikan dengan teknik keterampilan psikologis yang lain dalam satu paket program intervensi (Cumming, Nordin, Horton, & Reynolds, 2006; Thelwell, Greenless, & Weston, 2010; Afsanepirak & Bahram, Dana, & Abdi, 2012).
13
14
Selain pertimbangan konseptual-empirik dan metodologis, penentuan ketiga teknik PST tersebut di atas didasarkan juga pada konstelasi hubungan secara teoretis ketiga teknik tersebut. Ketiganya terintegrasi sebagai indikator dari dimensi sistem sosial-ekologis dalam teori aksi atau lingkungan sosial dalam teori kognisi sosial yang memainkan peranan penting dan memiliki fungsi sinergis dan komplementer pada setiap level regulasi gerakan dalam konstruksi struktur dan proses pelaksanaan keterampilan gerak (Schack & Hackfort, 2007). Pada proses antisipasi gerakan, penetapan tujuan berada pada level kendali mental yang bertanggung jawab untuk mendefinisikan standar gerakan tertentu yang harus dicapai dan berfungsi sebagai strategi regulasi diri yang mengarahkan semua perhatian dan usaha siswa-atlet pada proses relalisasi atau penampilan gerakan, bahkan sampai pada proses interpretasi setelah gerakan dilakukan. Sedangkan pada proses realisasi gerakan, self-talk dan imajeri mental berada pada level representasi mental yang berfungsi sebagai strategi latihan kognitif yang akan menjabarkan standar gerakan yang telah ditetapkan baik secara independen maupun komunal pada level teori maupun terapan dan memediasi proses antara tahap kendali mental dengan tahap representasi sensorimotor untuk memfasilitasi proses belajar keterampilan gerak melalui proses representasi mental. Bahkan sebagai spesimen dari PST, ketiga teknik tersebut dapat mempengaruhi pengembangan kemampuan fisik, taktik, dan psikologis secara simultan Penentuan ketiga teknik PST tersebut, dikuatkan juga oleh beberapa penelitian sebelumnya tentang penggunaan kombinasi beberapa teknik PST dalam konteks olahraga dan dikemas dalam terminologi yang berbeda. Misalnya program intervensi multimodal penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental ditemukan efektif memfasilitas intensitas kecemasan somatik dan kognitif serta meningkatkan penampilan empat atlet renang dewasa putera (Hanton & Jones, 14
15
1999), program latihan mental teknik penetapan tujuan, berfikir positif, self-talk, konsentrasi, regulasi arousal, dan imajeri mental ditemukan berhasil mereduksi kecemasan kognitif dan somatik sebelum kompetisi, serta meningkatkan kepercayaan diri, dan penampilan sembilan atlet elit junior tenis (Mamassis & Doganis, 2004), program latihan mental penetapan tujuan, self-talk, rileksasi, pengelolaan arousal, dan imajeri mental ditemukan efektif menurunkan tingkat kecemasan kognitif dan somatik, motivasi ekstrinsik, dan amotivasi, meningkatkan kepercayaan diri, motivasi instrinsik, dan personal coping dua atlet renang puteri usia (Hamstra, et al., 2004), program latihan mental penetapan tujuan, imajeri mental, kontrol kesiagaan, self-talk, dan rileksasi berhasil meningkatkan penampilan olahraga dan aspek mental kemampuan imajeri, kemampuan persiapan mental, kepercayaan diri, kemampuan berkonsentrasi, kemampuan rileksasi, dan menurunkan kecemasan empat atlet putera cabang olahraga atletik usia 18-24 tahun (Kar & Bhukar, 2013), paket intervensi PST teknik self-talk, rileksasi, dan imajeri mental terbukti efektif untuk meningkatkan keterampilan gerak mengumpan, sentuhan pertama, dan mentekel pada tiga pemain sepak bola amatir usia 20-23 (Thelwell, et al., 2010). Penelitian-penelitian di atas menguatkan alasan penentuan ketiga komponen teknik IPSM dalam penelitian ini, sebab ternyata ketiganya digunakan hampir dalam semua program intervensi PST dengan menggunakan terminologi yang berbeda. Namun demikian, penelitian-penelitian tersebut umumnya dilakukan dengan menggunakan pendekatan ideografik yang melibatkan partisipan tunggal atau kecil, dan partisipan yang dilibatkan terdiri atas atlet-atlet elit muda dan dewasa, termasuk atlet mahasiswa yang telah memiliki keterampilan tingkat lanjut dan mahir, sementara pada partisipan pemula tidak ditemukan. Selain itu, program 15
16
intervensi dilakukan secara serial sehingga inferensi efektivitasnya lebih bersifat generik atau kurang spesifik. Adapun penelitian yang menggunakan pendekatan monotetik antara lain dapat ditemukan dalam penelitian tentang pengaruh program intervensi psikologis rileksasi, imajeri mental, penetapan tujuan, konsentrasi, dan self-talk terhadap kepercayaan diri, kecemasan somatik dan kognitif serta penampilan berenang 14 perenang senior dan 29 perenang junior (Pavlidou & Doganis, 2008) dan pengaruh aplikasi program latihan mental kombinasi teknik rileksasi, imajeri mental, self-talk, dan konsentrasi terhadap penguasaan keterampilan dasar bermain bola voli 40 mahasiswa putera (Al-Haliq, et al., 2013). Jadi sejauh diketahui, pada partisipan pemula, belum atau tidak ditemukan penggunaan kombinasi beberapa teknik PST dalam penelitian, khususnya yang melibatkan ketiga komponen teknink IPSM. Bahkan untuk di Indonesia tidak hanya pada partisipan pemula, tetapi juga pada partisipan lanjut dan elit, serta pada setiap jenjang usia pembinaan. Oleh karena itu, mempertimbangkan beberapa alasan penggunakan ketiga komponen teknik IPSM, baik dari aspek konseptual-empiris, metodologis, konstelasi teori, dan aplikasi penggunaannya sebagaimana dijelaskan diatas, maka akan dilakukan penelitian intervensi yang mengkaji hubungan kausalitas antara ketiga komponen teknik IPSM dengan hasil belajar KDBB, motivasi olahraga, dan kepercayaan diri pada siswa-atlet pemula usia 10-12 tahun dan merumuskannya dalam sebuah judul “Pengaruh intervensi psikologis strategi multiteknik terhadap hasil belajar keterampilan dasar bermain bulutangkis, motivasi olahraga, dan kepercayaan diri”. Dalam penelitian ini, IPSM akan dikembangkan sebagai sebuah program intervensi yang terintegrasi dengan program latihan secara keseluruhan dalam bentuk pendidikan dan latihan keterampilan psikologis untuk para pelatih tingkat dasar di klub-klub dan atau sekolah-sekolah bulutangkis dan juga siswa-atlet anak
16
17
pemula usia 10-12 tahun. Hal ini dimaksudkan untuk menghasilkan inferensi kausal tentang efektivitas IPSM dalam penguasaan keterampilan gerak dan efek implikatifnya pada pengembangan motivasi olahraga dan kepercayaan diri. Sebab, sejauh ini upaya awal pengembangan strategi multiteknik masih relatif terbatas pada kajian konseptual dan penelitian cross sectional, karena itu perlu pengembangan lebih jauh dalam bentuk rancangan penelitian intervensi. Selain untuk memenuhi kebutuhan akselerasi penguasaan KDBB secara sangkil dan mangkus, serta pengembangan keterampilan psikologisnya, pengujian hubungan kausalitas ini ditujukan pula untuk menginisiasi dan mengoptimalkan pemberdayaan siswa-atlet pemula dalam menguasai teknik-teknik PST yang selama ini masih terabaikan, (khususnya penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri) yang diyakini dapat membantu siswa-atlet merealisasikan potensi yang dimilikinya dan membantu meningkatkan kualitas hidupnya. Siswa-atlet yang mempelajari strategi multiteknik sejak awal, tidak hanya akan akan memiliki waktu lebih banyak untuk menerapkannya di dalam kehidupannya dan untuk mencapai tujuan-tujuan hidupnya, tetapi juga diharapkan dapat membantu meningkatkan kualitas pembinaan prestasi bulutangkis, terutama pembinaan usia dini latihan yang diyakini menjadi salah satu strategi paling mendasar untuk mencapai prestasi internasional dan dinilai krusial sebab anak usia dini latihan merupakan aset yang ideal dan memiliki nilai strategis untuk dibina dan dikembangkan. Ideal karena berbagai aspek fisik dan sosial psikologis mempunyai masa peka pada periode usia tersebut dan strategis karena cukup prospektif dari segi usia dan kuantitas. Lebih-lebih pada cabang olahraga bulutangkis yang telah terbukti kreditabel dalam mengusung kejayaan nama Indonesia dipanggung olahraga dunia yang dalam dua belas tahun terakhir menunjukkan kondisi stagnan dan menuntut upaya-upaya kongkrit untuk melakukan pembibitan dan pemasalan secara lebih 17
18
terpadu. Jadi, program IPSM yang diberikan kepada siswa-atlet anak tidak hanya strategis untuk meningkatkan penguasaan KDBB, motivasi olahraga, kepercayaan diri, dan aspek-aspek psikologis lainnya, tetapi juga untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan, serta meningkatan kualitas hidup siswa-atlet, sekaligus tempat belajar orang dewasa untuk lebih peduli terhadap kebutuhan siswa-atlet.
B. Rumusan Permasalahan Berdasarkan pokok-pokok uraian pada latar belakang masalah di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dirumuskan sebagai berikut “apakah IPSM dapat menjelaskan variabilitas hasil belajar KDBB, motivasi olahraga dan kepercayaan diri siswa-atlet pemula usia 10-12 tahun?” Sesuai dengan rumusan permasalahan tersebut dan untuk kepentingan efektivitas dan efisiensi proses dan hasil penelitian, maka ruang lingkup penelitian ini meliputi: (1) variabel independen IPSM terdiri atas tiga teknik PST, yaitu teknik penetapan tujuan (PT-proses dan PT-dinamik), self-talk (ST-instruksional dan ST-motivasional), dan imajeri mental (IM-kognitif dan IM-motivasional), (2) variabel dependen hasil belajar KDBB dibatasi hanya pada KD-lob bertahan, KD-servis tinggi, dan KD-dropshot, (3) variabel dependen keterampilan psikologis hanya pada variabel motivasi olahraga dan kepercayaan diri, (4) kemampuan gerak dasar sebagai kovariabel, (5) partisipan adalah siswaatlet pemula putera dan puteri usia 10-12 tahun yang belum pernah bermain bulutangkis dan atau belum memiliki KDBB, (6) pelatih dan observer adalah pelatih tingkat dasar cabang olahraga bulutangkis lulusan Fakultas Pendidikan Olahraga dan Kesehatan (FPOK) Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) dan mahasiswa FPOK UPI semester 8, 9, atau 10 spesialisasi permainan bulutangkis dan psikologi olahraga yang telah dan sedang magang di sekolah atau klub bulutangkis yang ada di Jawa Barat. 18
19
C. Tujuan dan Manfaat
1.
Tujuan Secara umum, penelitian ini didasarkan pada tujuan untuk menguji secara
empirik hubungan kausalitas antara program IPSM dengan variabilitas hasil belajar KDBB, motivasi olahraga dan kepercayaan diri siswa-atlet pemula putera dan puteri usia 10-12 tahun baik secara bersama-sama maupun independen.
2.
Manfaat Sesuai dengan rumusan permasalahan dan tujuan penelitian tersebut di
atas, maka dua manfaat pokok penelitian ini adalah: a.
Secara praktis-metodologis dapat memberikan panduan kepada para praktisi dan pembina olahraga untuk menerapkan program IPSM secara terintegrasi dengan program latihan secara keseluruhan untuk meningkatkan variabilitas hasil belajar KDBB, motivasi olahraga dan kepercayaan diri baik dalam bentuk modul, program, maupun model aplikatif.
b.
Secara teoretis-praktis diharapkan dapat menemukan proposisi-proposisi yang menjelaskan hubungan kausal antara strategi multiteknik mental olahraga baik secara keseluruhan, soliter, maupun pada setiap level kategorik dengan pengembangan hasil belajar KDBB, motivasi olahraga, dan kepercayaan diri. Proposisi-proposisi tersebut dapat menjadi dasar teoritik untuk merancang program pelatihan dan pembinaan yang lebih terpadu sekaligus melengkapi perencanaan strategi pembinaan olahraga usia dini latihan, terutama dalam rangka implementasi pembibitan dan pemasalan bulutangkis sebagai cabang olahraga yang wajib diberikan pada semua siswa Sekolah Dasar di Indonesia. 19
20
D. Keaslian Penelitian tentang hubungan kausalitas antara program intervensi teknik PST dengan hasil belajar, penampilan olahraga, dan pengembangan aspek-aspek mental telah banyak dilakukan. Penelitian-penelitian tersebut berbeda dalam hal dasar-dasar filosofi yang digunakan (pendidikan atau klinis), termasuk juga dalam pendekatan (nomotetik atau idiografik), desain (sampel besar atau kecil), subjek (pemula, lanjutan, top/elit, non atlet, siswa, atau mahasiwa), teknik atau metode PST yang digunakan (soliter atau kombinasi dua atau lebih), dan konteks atau latar penelitian (olahraga perorangan atau beregu). Beberapa penelitian yang telah dilakukan terkait aplikasi kombinasi PST antara lain penelitian tentang pengaruh multimodals intervention program penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental terhadap tingkat kecemasan kognitif dan somatik empat atlet elit cabang olahraga renang dengan menggunakan pendekatan idiografik (Hanton & Jones, 1999), penelitian tentang pengaruh psychological interventions program teknik rileksasi, imajeri mental, penetapan tujuan, konsentrasi, dan self-talk terhadap penampilan, kepercayaan diri, dan kecemasan 43 atlet renang junior usia 11-16.5 tahun dengan menggunakan pendekatan nomotetik (Pavlidou dan Doganis, 2008), penelitian hubungan kausalitas antara mental training program teknik penetapan tujuan, berfikir positif, self-talk, konsentrasi, regulasi kesiagaan, dan imajeri mental terhadap kecemasan kognitif dan somatik sebelum kompetisi, kepercayaan diri, dan penampilan sembilan atlet elit junior tenis di Yunani dengan menggunakan pendekatan ideografik (Mamassis & Doganis, 2004), penelitian tentang efek psychological intervention skills program teknik self-talk, rileksasi, dan imajeri mental terhadap penampilan keterampilan teknik tiga pemain tengah sepak bola dengan menggunakan pendekatan ideografik (Thelwell, Greenless, & Weston, 2010), penelitian hubungan kausalitas
20
21
antara mental training program teknik penetapan tujuan, imajeri mental, kontrol kesiagaan, self-talk, dan rileksasi dengan penampilan olahraga dan aspek mental kemampuan imajeri, kemampuan persiapan mental, kepercayaan diri, kecemasan, kemampuan berkonsentrasi, dan kemampuan rileksasi empat atlet putera cabang olahraga atletik (Kar & Bhukar, 2013), dan lain-lain. Beberapa penelitian lain mengkombinasikan dua teknik PST, misalnya pengujian hubungan kausalitas antara kombinasi penetapan tujuan dan imajeri mental terhadap keterampilan lemparan bebas 12 atlet elit wanita bola basket dengan menggunakan pendekatan idiografik desain ABA (Lerner, Ostrow, Yura, & Etzel, 1996), pengaruh teknik imajeri mental dan self-talk terhadap penampilan 32 atlet golf dewasa (Thomas & Fogarti, 1997), pengaruh kombinasi teknik imajeri mental (positif dan negatif) dengan self-talk (positif dan negatif) terhadap keterampilan gerak melempar anak panah dan kepercayaan diri 95 mahasiswa (Cumming, et al., 2006), pengujian hubungan kausalitas antara self-talk dan imajeri mental dengan keterampilan gerak melempar anak panah (Afsanepurak & Bahram, 2012) dan efikasi diri 75 atlet remaja (Afsanepurak, et al., 2012), pengaruh kombinasi teknik self-talk dengan penetapan tujuan terhadap tugas gerak menembak 41 pemain sepak bola professional dan semi-profesional (Papaioannou, Ballon, Theodorakis, & Auwelee, 2004) dan juga terhadap belajar regulasi diri keterampilan melempar anak panah, efikasi diri, kepuasaan, dan kesenangan dalam kelas pendidikan jasmani siswa putera dan puteri kelas lima dan enam (Kolovelonis, Goudas, Dermitzaki, 2012a). Khusus dalam cabang olahraga bulutangkis, sejauh diketahui pernah dilakukan penelitian tentang pengaruh self-talk instruksional dan motivasional terhadap akurasi KD-servis pendek permainan bulutangkis mahasiswa yang mengikuti Unit Kegiatan Mahasiswa cabang olahraga bulutangkis (Theodorakis, 21
22
Weinberg, Natsis, Douma, & Kazakas, 2000), perbandingan pengaruh latihan mental imajeri dengan latihan fisik terhadap akurasi KD-servis pendek (Abdi, Mahmoodifar, Zaudi, & Abdi, 2012) dan KD-servis tinggi (Salehian & Hosseini, 2014), dan perbandingan kemampuan imajeri dan akurasi servis permainan bulutangkis berdasarkan struktur intelektual (Anuttaranggoon, Boon-veerabut, & Siripatt, & Boonveerabut, 2014). Adapun di Indonesia sejauh diketahui masih sangat terbatas, terlebih untuk kombinasi lebih dari dua teknik PST dan setiap teknik menyertakan dua level atau kategori. Satu-satunya studi yang pernah dilakukan adalah tentang pengaruh kombinasi teknik penetapan tujuan dan imajeri mental pada 50 orang atlet pemula bulutangkis (Hidayat & Wirawan, 2005). Berdasarkan uraian sumir di atas, penelitian yang mengembangkan program IPSM, khususnya teknik penetapan tujuan, self-talk, dan imajeri mental dalam kaitannya dengan pengembangan variabilitas hasil belajar KDBB, motivasi olahraga, dan kepercayaan diri baik secara bersama-sama maupun independen belum ditemukan di Indonesia terutama pada cabang olahraga bulutangkis untuk siswa-atlet pemula, dan inilah yang menjadi alasan pokok pentingnya dilakukan penelitian ini. Adapun perbedaan penelitian ini dibandingkan dengan penelitianpenelitian lain yang telah dilakukan terletak pada kelengkapan dalam menjelaskan pengaruh setiap faktor dan kategorinya baik secara independen maupun bersamasama dalam hubungannya dengan variabilitas hasil belajar KDBB, aspek motivasi olarhaga dan kepercayaan diri, sehingga diharapkan dapat menghasilkan proposisiproposisi atau deskripsi kausal yang lebih banyak.
22
23
23