BAB I PENDAHULUAN
1.1.
LATAR BELAKANG
1.1.1. LATAR BELAKANG UMUM Fenomena Slum Squatters di Perkotaan dan Urgensi Rumah Susun Fenomena ledakan penduduk merupakan problematika yang sudah tidak asing lagi di Indonesia. Menduduki peringkat ketiga dalam kepadatan populasi di dunia, tidak mengherankan jika Indonesia akrab dengan persoalan demografi penduduk tersebut. Menurut sejarah, ledakan penduduk yang pertama di Indonesia terjadi sekitar tahun 19501960. Laju pertumbuhan penduduk juga mengalami lonjakan yang cukup signifikan setelahnya hingga Indonesia kembali mengalami ledakan penduduk kedua pada tahun 1980. Data sensus yang tercatat oleh Biro Pusat Statistik (BPS) tahun 2010, saat ini terdapat kurang lebih 237.641.326 jiwa yang bermukim di Indonesia khususnya di Pulau Jawa, naik 13,2% dalam kurun waktu 10 tahun. Sedangkan, menurut data lain dari BPS, pertumbuhan penduduk Indonesia selalu naik 1,49% per tahun sehingga fenomena babyboom ini sangat mungkin terulang kembali mengingat sejumlah faktor ledakan penduduk seperti urbanisasi terus beranjak naik setiap tahunnya. Pemusatan penduduk di sebuah titik perkotaan inilah yang menjadi akar masalah utama timpangnya demografi kependudukan di Indonesia. Tajamnya kurva pertumbuhan penduduk sayangnya tidak dibarengi dengan pertumbuhan sumber daya dan inovasi sehingga menyebabkan masalah ini berbanding lurus dengan kelangkaan sumber daya dan persaingan yang ketat dalam memperoleh kebutuhan dasar sehari-hari yaitu papan, sandang, dan pangan. Ketatnya persaingan memperebutkan kebutuhan dasar pada akhirnya justru melahirkan problem-problem sosial yang baru seperti meningkatnya kemiskinan, kelaparan, kriminalitas, dan problem sosial lainnya.
1
Imbas dari persaingan kebutuhan dasar yang paling nyata adalah tumbuh suburnya pemukiman kumuh sebagai konsekuensi atas menipisnya ketersediaan lahan untuk tempat tinggal. Padahal, permintaan atas kepemilikan tanah selalu bertambah naik setiap saat sehingga tak ayal harga tanah juga semakin melonjak. Harga tanah yang mahal bukan masalah bagi mereka yang berpenghasilan tinggi, namun meroketnya harga tanah tidak dapat dicukupi oleh sebagian penduduk berpenghasilan rendah sehingga jalan keluarnya adalah mendiami lahan-lahan kosong yang tidak laik huni yang kebanyakan remanen. Lahan kosong yang dimaksud adalah bantaran sungai, kolong jembatan, daerah konservasi, ruang terbuka hijau, dan tempat-tempat lainnya. Masyarakat inilah yang disebut dengan masyarakat marjinal atau terpinggirkan. Dengan demikian, para kaum marjinal ini tidak memiliki legalitas yang akan mengikat kepemilikan lahan mereka. Isu kependudukan ini masih menjadi momok utama di perkotaan dan secara langsung menyentuh ke sendi utama arsitektur. Walaupun lekat dengan stigma kumuh atau slum, sebenarnya kaum marjinal tidak bisa serta-merta dikatakan sebagai slum squatters. Pemukiman kumuh pada hakikatnya lahir dari ketidakdisiplinan warga untuk memperbaiki lingkungannya seperti yang diutarakan oleh Komarudin (1997). Namun, sangat besar kemungkinan bagi masyarakat marjinal ini berkelompok dan pada akhirnya berkembang menjadi pemukiman kumuh akibat gaya hidup yang serba tidak mencukupi dan munculnya berbagai macam sektor non-formal dalam lingkungan permukiman. Untuk itu, indikator yang tepat untuk menunjukkan bahwa lahan tersebut termasuk dalam area kumuh adalah dengan memperhatikan poin-poin sebagai berikut:
Kepadatan penduduk yang tinggi, sehingga penampilan fisik dari permukiman ini tidak teratur
Jalanan antar bangunan yang sempit
Minimnya urban service seperti : air minum, drainase, toilet, area cuci, listrik, dan perlindungan kebakaran
Kepemilikan lahan illegal Adanya pemukiman kumuh tidak memungkiri juga saling berhubungan sebab-akibat
dengan masalah tekanan lingkungan (environment pressure). Tekanan lingkungan merupakan suatu kondisi lingkungan yang menerima beban yang terlalu besar, yang 2
disebabkan fisik, sosial, ekonomi, akibatnya menimbulkan persoalan-persoalan lingkungan, baik secara fisik, sosial, maupun psikologis (Setiawan, 1995). Kota (lingkungan) yang padat dan semrawut akan menghasilkan jiwa warganya yang sakit. Jiwa yang sakit menghasilkan kelalaian, sifat malas, dan rasa tidak peduli terhadap sesama yang berdampak datangnya musibah penyakit bagi diri sendiri, keluarga, dan masyarakat di sekitarnya (Supriatna, 2005).1 Lebih jauh lagi, lingkungan memiliki kapasitas dan limitasi untuk mendukung kehidupan atau disebut dengan dengan daya dukung lingkungan (carrying capacity). Jika pemanfaatan yang dapat didukung lingkungan ini tereksploitasi, tentu saja akan menimbulkan berbagai ketimpangan. Fenomena inilah yang menandai tekanan lingkungan. Pemerintah sendiri sebenarnya telah memberikan beberapa solusi untuk memecahkan masalah pemukiman kumuh ini. Sejumlah alternatif solusi yang ditawarkan meliputi pemugaran rumah, program perbaikan kampung (KIP), pembangunan perumahan, konsolidasi lahan, pengembangan lahan terkendali, dan pengembangan rumah susun.2 Di antara beberapa set alternatif tersebut, pengembangan rumah susun merupakan solusi yang cukup diminati. Konsep rumah susun sebagai vertical housing menjadi opsi menjanjikan karena dianggap efisien dan mampu menjawab tantangan semakin menyempitnya lahan dan daya dukung lingkungan disbanding dengan rasio penduduk. Wacana pembangunan perumahan bertingkat, baik rumah susun, apartemen, maupun kondominium sejatinya telah menjadi trend sejak tahun 1990an, tetapi belum berkembang karena faktor-faktor eksternal seperti penolakan dari warga. Namun jika ditelisik lebih dalam urgensinya dalam dimensi waktu saat ini, pembangunan rumah susun dianggap penting. Sesuai dengan UU No. 16 Tahun 1985 Tentang Rumah Susun, tujuan didirikannya rumah susun adalah untuk memenuhi kebutuhan rakyat terutama yang berpenghasilan rendah, meningkatkan daya guna lahan dan hasil guna tanah dengan memperhatikan lingkungan, dan memenuhi kebutuhan untuk kepentingan lainnya bagi kehidupan masyarakat. Hal tersebut dikuatkan dengan teori Chapin dan Kaiser yang mengungkapkan 1
Anonim, http://repository.usu.ac.id/bitstream/123456789/22314/3/Chapter%20II.pdf, diakses pada 8 Maret 2015, pukul 16.09 WIB 2 Eny Endang Surtiani, “Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Terciptanya Kawasan Permukiman Kumuh di Kawasan Pusat Kota (Studi Kasus : Kawasan Pancuran, Salatiga)”, http://eprints.undip.ac.id/15530/1/Eni_Surtiani.pdf, diakses pada 8 Maret 2015, pukul 19.27 WIB
3
bahwa dalam suatu kota harus bisa memenuhi fungsi lokasi ruang yang terkait dengan living areas yakni perumahan sebagai pemenuhan kebutuhan primer yang juga harus dapat dijangkau oleh masyarakat (Chrisma, 2014). Oleh karena itu, rumah susun menjadi relevan dengan problematika kesejahteraan penduduk saat ini.
1.1.2. LATAR BELAKANG KHUSUS Peningkatan Demand Unit Rumah Susun di Surakarta Surakarta merupakan kota berskala menengah yang sudah banyak mengalami kemajuan dalam kurun waktu 10 tahun terakhir ini. Kemajuan tersebut sangat terasa khususnya di sektor infrastruktur dan sektor non-formal. Peningkatan sektor informal contohnya adalah penggalakan Pasar Malam Ngarsopuro untuk mengakomodasi para pedagang handicraft. Sedangkan di infrastrukturnya sendiri sudah tidak bisa dihitung lagi prestasinya seperti penyediaan ruang terbuka hijau (RTH) di Sekartaji, pemugaran Benteng Vastenburg, re-design seluruh pasar di Solo, pembangunan seluruh kantor pemerintah Kota Surakarta, alokasi rumah susun bagi pemukim kumuh, perluasan Terminal Tirtonadi Sebagai Terminal Bus Percontohan Nasional, dan lain-lain. Letak geografis Surakarta yang strategis dengan sister-city Yogyakarta dan Semarang, fasilitas yang cukup memadai ditambah dengan suasana yang sangat kondusif, menjadikan kota ini kompleks sesuai dengan konsep pemikiran teori sustainable city Chapin dan Kaiser (1979) yang menyebutkan bahwasanya kota berfungsi menjadi tempat untuk bekerja, tempat tinggal, tempat hiburan, sistem ruang terbuka dan perlindungan lingkungan.3 Kondisi inilah yang mengundang para kaum urbanis untuk datang atau bahkan menetap di Surakarta. Pendatang yang umumnya berasal dari daerah ini datang untuk mencari pekerjaan yang lebih layak di Surakarta. Namun, sebagai kota inovatif, persaingan untuk mendapatkan pekerjaan pun menjadi sangat berat. Akhirnya, mereka hanya dapat menyewa rumah seadanya, bahkan di kawasan yang amat rentan akan banjir. Fenomena lainnya menjamurnya pemukiman kumuh adalah akibat otonomi daerah 15 tahun silam yang tidak mengikat dan menjamin kesejahteraan warga Surakarta. Warga diperbolehkan membangun 3
Tety Widyaningrum, http://manajemenpertanahan.blogspot.com/2014/09/vertical-housing.html, diakses 13 Maret 2015, pukul 15.42 WIB
4
rumah semi-permanen bahkan rumah permanen di tanggul sungai. Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) lantas menganggap peraturan yang lemah ini sebagai tameng untuk mempertahankan rumah mereka ini. Pemandangan semacam ini dapat terlihat di salah satu sudut kota Surakarta, tepatnya di Kelurahan Nusukan, di tepian Kali Anyar.
Gambar 1.1. Pemukiman Bantaran Kali Anyar Sumber : Dokumen Pribadi (2014)
Pemerintah Kota Surakarta saat ini tidak pasif setelah melihat keadaan di beberapa kampung di Surakarta. Akhirnya pada 2004 silam, Rusunawa (Rumah Susun Sederhana Sewa) pertama didirikan di Laweyan, Surakarta. Pembangunan rusunawa terus berlanjut hingga kini terdapat beberapa rusunawa tambahan seperti Rusunawa Semanggi, Rusunawa Jurug, Rusunawa Kerkov, dan Rusunawa Mojosongo. Masyarakat Surakarta juga merespon dengan baik pembangunan rusunawarusunawa tersebut. Hal tersebut tercantum dalam catatan sekretaris daerah yang menyatakan bahwa seluruh unit di rusunawa di atas telah terisi penuh. Bahkan, seluruh unit pada Rusunawa Mojosongo yang baru selesai pembangunannya pada Februari 2015 lalu juga telah diantre oleh masyarakat hingga mengakibatkan adanya waiting list sebanyak 200 KK. Tingginya permintaan dan antusiasme warga yang proaktif dengan pembangunan rusunawa ini membuat Pemerintah Kota Surakarta kembali mengajukan proposal pembangunan rusunawa di Kecamatan Banjarsari, mengingat di kecamatan lain telah terakomodasi. Lokasi yang diprioritaskan sejauh ini adalah di Kadipiro, sebuah kawasan Solo bagian utara yang memang kepadatan penduduknya sangat padat dan rasio kemiskinannya masih tinggi.
5
Kajian ini membuktikan bahwa sebenarnya masyarakat sudah sadar akan kebutuhan papan yang lebih aman, nyaman, dan higienis. Kebijakan pembangunan rumah susun di Surakarta juga telah mengalami peningkatan signifikan dengan pemerataan fisik bangunan rusun di setiap kecamatan. Hal tersebut berarti bahwa Pemerintah Kota Surakarta telah menjalankan fungsi fasilitator dan ‘memampukan’ masyarakat. Tantangan terpenting setelah demand warga yang besar adalah bagaimana cara mengalihkan target perencanaan rumah susun dari sasaran kuantitatif menuju sasaran kualitatif, baik dari segi psikologis si penghuni maupun dari segi teknologinya.
Semangat Mengangkat Nilai Budaya untuk Menciptakan Keadaan Homeostatis Kutipan dari Prof. Eko Budiharjo, M.Sc. (Konstruksi, April 1995:90) mengatakan bahwa masalah terpenting dalam pembangunan rumah susun sederhana bukan konstruksi, melainkan mempersiapkan manusianya, bagaimana membuat saddle sesuai dengan kudanya. Bagaimana wadah bangunan atau tata ruang lingkungan perumahan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan penghuninya.4 Untuk itu, perancangan rumah susun hendaknya benar-benar mengkaji aspek-aspek yang berkenaan seperti filosofi, habit, kontekstual, dan lain-lain untuk menciptakan keadaan yang homeostatis atau kondisi yang akan dipertahankan oleh penghuni karena penghuni puas bermukim. Usaha perwujudan kata ‘homeostatis’ tersebut sebenarnya telah tertuang dalam Strategi Pengembangan Permukiman dan Infrastruktur Perkotaan (SPPIP) Kota Surakarta. SPPIP dalam konteks ini berfungsi sebagai payung kebijakan pembangunan permukiman sektoral sekaligus infrastruktur seperti drainase, persampahan, sanitasi, dan lain-lain di Kota Surakarta. Tidak hanya itu, SPPIP merupakan acuan yang menjembatani dokumen perencanaan menuju aksi nyata pengembangan ruang kota. Homeostatis sebagai state of stability di Kota Surakarta merupakan amalan dari visi dan misi Rencana Pembangunan Jangka Panjang (RPJP) Tahun 2005-2025 dalam mewujudkan Surakarta sebagai Kota Budaya, Mandiri, Maju, dan Sejahtera.
4
Hendro Trilistyo, “Peranan Aspek Tata Ruang pada Kesejahteraan Penghuni Rumah Susun Sederhana (Studi Kasus : Rumah Susun Sombo dan Rumah Susun Menanggal Surabaya)”, http://eprints.undip.ac.id/11818/1/1998MTA228.pdf, diakses 7 Maret 2015, pukul 23.48 WIB
6
Poin detail dari visi dan misi tersebut memiliki wawasan artian yang sangat luas. Salah satunya adalah tuntutan Kota Surakarta yang harus nguri-uri (mempertahankan) budaya Jawa. Obligasi itu sendiri dicerminkan pada seluruh elemen infrastruktur kota yang yang mengharuskan berkarakter Surakarta sebagai usaha dalam City Branding. City Branding tersebut berupa aksentuasi Jawa baik yang tangible (bendawi) maupun intangible (tak bendawi) sehingga hal tersebut dapat berjalan beriringan dengan slogan “Solo’s future is Solo’s past”. Aspek kebudayaan itu kemudian dibawa ke tujuan yang lebih besar, yaitu menciptakan Kota Surakarta sebagai Eco-Cultural City, yang tidak melulu terfokus pada ekonomi dan struktur pertumbuhan, namun juga masalah ekologi dan warisan budaya. Kolaborasi keempat komponen tersebut pada akhirnya adalah sebuah upaya bersama untuk memperbaiki fisik dan kualitas hidup di Kota Surakarta. Penerapan elemen-elemen Jawa saat ini telah menjadi langkah pasti dalam pembangunan kota. Sebagai contoh, re-design pasar-pasar di Solo yang menerapkan aksen regional tersebut menjadi detail yang membentuk wajah bangunan. Selain itu, pembangunan kantor pemerintahan seperti kelurahan dan kecamatan di seluruh penjuru Surakarta yang bernuansa Jawa. Semangat mempertahankan akar budaya tersebut ternyata sangat berpengaruh dalam beraktivitas. Para subjek yang selalu berada di lingkungan tersebut senantiasa seolah-olah berada di rumah sendiri sehingga rasa homeostatis dapat muncul ke tengah-tengah mereka. Regionalisme berupa penambahan nilai-nilai tradisi lokal itulah yang seharusnya dibawa ke perencanaan rumah susun karena tantangan terbesar dari perancangan rumah susun adalah bagaimana membuat para penghuni merasa nyaman dengan unitnya masingmasing tanpa meninggalkan aspek-aspek bertetangga. Dengan diterapkannya regionalisme pada bangunan rumah susun, diharapkan penghuni dapat merasakan homeostatis seperti pada preseden pasar dan kantor sehingga manifesto Eco-Cultural City yang berbudaya, maju, dan sejahtera pada Kota Surakarta dapat diwujudkan dengan nyata.
1.2.
RUMUSAN MASALAH
7
Kesejahteraan masyarakat merupakan harga mati dalam sebuah susunan kota yang kompleks. Namun di tengah lapisan masyarakat yang heterogen, masih terdapat masyarakat yang kekurangan papan yang layak. Oleh karena itu, permasalahan yang akan dikaji dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
Bagaimana menciptakan rumah susun yang mampu mengakomodasi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) sekaligus mampu meremajakan kawasan kumuh di perkotaan?
Bagaimana merancang rumah susun yang berwawasan budaya dan memuat nilainilai lokal dengan pendekatan arsitektur regionalisme?
1.3.
TUJUAN DAN SASARAN PENULISAN Tujuan dari tulisan ini adalah untuk mencermati sekaligus menjawab permasalahan
dalam penanganan slum squatters di Kota Surakarta. Pada tulisan ini tujuan yang akan dikaji lebih lanjut adalah sebagai berikut:
Mengarahkan pemecahan masalah atas slum squatters di Surakarta dengan cara merancang rumah susun sehingga tercipta lingkungan layak huni sebagai living areas. Sedangkan sasaran dari tulisan ini adalah sebagai berikut:
Menciptakan rancangan rumah susun yang aman, nyaman, higienis bagi Masyarakat Berpenghasilan Rendah (MBR) dengan konsep arsitektur regionalisme.
Merumuskan elemen-elemen regionalisme yang membuat kesan Jawa dalam rancangan rumah susun sehingga memenuhi tolok ukur homeostatis.
1.4.
LINGKUP PEMBAHASAN Masalah dalam perancangan rumah susun sangat kompleks, namun lingkup
pembahasan dalam tulisan ini lebih terkonsentrasi pada pemecahan masalah arsitektur dan aspek perilaku, seperti yang dijabarkan sebagai berikut:
Tipologi rumah susun
Fungsi dan kegiatan pada bangunan rumah susun
Pendekatan regionalisme
8
Tampilan bangunan
Standar-standar bangunan rumah susun
Peraturan-peraturan yang mengikat tentang perancangan rumah susun
1.5.
METODOLOGI PEMBAHASAN
1.5.1. METODE PENELUSURAN MASALAH Pada tahapan penelusuran masalah ini, terbagi atas beberapa sekuen yang berlangsung secara beriringan. Tahapan yang dimaksud adalah sebagai berikut :
Observasi Observasi dimulai dengan pengumpulan data dan berita menyusul gencarnya paparan wacana pembuatan sejumlah Rusunawa di Surakarta. Selain itu, fenomena ledakan penduduk yang menyebabkan adanya backlog juga turut menstimulasi ide untuk mendesain melalui kejadian aktual yang ada di tengah-tengah masyarakat.
Studi Literatur Studi literature pada tahapan ini digunakan untuk memperkuat isu serta menemukan keterkaitan isu tersebut dengan literatur acuan.
1.5.2. PENCARIAN DATA DAN INFORMASI Pada tahapan pencarian data dan informasi, digunakan dengan beberapa pendekatan yaitu :
Pendekatan Kualitatif Pendekatan kualitatif dalam konteks tahapan ini adalah survey lapangan. Survey adalah kegiatan mengamati secara langsung obyek site terpilih untuk menentukan aspek-aspek yang dibutuhkan pada proses desain nantinya. Pada tahapan ini digunakan cara pengamatan visual dan pengukuran.
Pendekatan Kuantitatif Pada pendekatan kuantitatif ini, digunakan literatur-literatur tambahan sebagai uraian data primer dan sekunder (referensi) untuk mengolah data-data dari tinjauan lapangan. Salah satu cara untuk mengumpulkan data primer maupun sekunder adalah dengan melakukan wawancara terbuka secara langsung.
9
1.5.3. TAHAPAN ANALISIS DAN PENYAJIAN Tahapan analisis dan penyajian juga terbagi menjadi beberapa fase seperti diuraikan berikut ini :
Tahap Analisis Deskripsi Kuantitatif Dalam tahap analisis ini, identifikasi dan analisis yang dilakukan bertujuan untuk mengetahui faktor-faktor urgensi perancangan rumah susun dan korelasinya terhadap persepsi masyarakat sebagai subyek utama penghuni berupa aspek sosial dan fisik.
Tahap Analisis Deskripsi Normatif Analisis pada tahap ini diidentifikasi berdasarkan standar-standar yang ada dalam perancangan rumah susun yang mengatur sarana dan prasaranya.
Tahap Penyajian Setelah data-data selesai diolah dan dianalisis, kemudian memasuki tahapan finishing berupa penyajian. Penyajian ini berupa uraian lengkap ditambah dengan grafik, tabel, dan diagram untuk mempermudah dalam pemahaman.
1.6.
SISTEMATIKA PENULISAN
Gambaran tentang sistematika penulisan yang digunakan pada laporan ini adalah sebagai berikut : BAB I
: PENDAHULUAN Berisi latar belakang mengapa judul dipilih, disertai dengan rumusan masalah, tujuan dan sasaran, ruang lingkup pembahasan, metodologi pembahasan, sistematika penulisan, dan kerangka berpikir.
BAB II
: TINJAUAN PUSTAKA Berisi tentang kumpulan teori yang mendukung dan berkaitan dengan judul yang meliputi tentang pemukiman kumuh, tipologi rumah susun, peraturan dan standar-standar perencanaan rumah susun, dan arsitektur regionalisme. Selain itu, disertakan pula studi kasus sebagai preseden untuk merencakan desain rumah susun.
10
BAB III
: TINJAUAN LOKASI Berisi alternatif site yang direncanakan sebagai obyek rumah susun yang dilengkapi dengan analisis kawasan berupa potensi, kelemahan, opportunity, dan ancaman.
BAB IV
: PENDEKATAN KONSEP PERANCANGAN Berisi tentang analisis dari tinjauan pustaka dan kajian standar untuk merancang sebuah rumah susun.
BAB V
: KONSEP PERENCANAAN DAN PERANCANGAN Berisi tentang jabaran konsep perancangan rumah susun, baik konsep filosofis, kontekstual, programatik ruang, serta struktur bangunan yang akan disematkan pada rancangan rumah susun nantinya.
1.7.
KEASLIAN PENULISAN Beberapa karya skripsi Tugas Akhir pernah membahas tentang rumah susun.
Namun, belum ditemukan karya yang mengacu pada arsitektur regionalisme. Karya skripsi tentang rumah susun yang pernah ada antara lain:
Rumah Susun Sederhana Milik / RUSUNAMI (Hendra Budi Prasestya; 07/258687/ET/05713) Hendra mencoba untuk mengkaji masalah kurangnya kebutuhan perumahan di kota-kota besar, khususnya bagi masyarakat marjinal. Solusi yang dianggap tepat adalah dengan merancang RUSUNAMI bagi penduduk marjinal tersebut. Konsep yang ditekankan pada RUSUNAMI tersebut adalah sustainability dan siap bangun.
Rusunawa Kerkov di Purwodiningratan dengan Pendekatan Green Architecture untuk Mewujudkan Tema Solo Masa Depan Bercermin Solo Masa Lalu (Ita Dwijayanti; 07/252321/TK/32849) Pada skripsi ini, Ita ingin merancang sebuah rumah susun yang mencerminkan budaya Kota Solo melalui slogan “Solo Masa Depan Adalah Solo Masa Lalu”. Untuk itu, titik berat rumah susun yang dirancang memiliki nilai-nilai tradisi yang tidak ditinggalkan. Selain itu, ditambahkan pula konsep arsitektur hijau untuk menanggapi isu global warming.
11
Rumah Susun dengan Konsep Arsitektur Melayu Kalimantan Barat untuk Relokasi Masyarakat di Kawasan Kumuh di Pontianak (Wisnu Suriel; 08/266621/ET/05954) Karya skripsi ini mencoba untuk memecahkan masalah akan rumah susun yang dianggap kurang cocok bagi para penghuninya. Indikator cocok pada skripsi ini diukur dari konfigurasi tata ruang, bentuk, dan konsep. Hal itulah yang dijadikan latar belakang permasalahan yang bersetting di Pontianak. Untuk itu, rumah susun pada konteks ini dirancang menggunakan konsep arsitektur melayu khas Kalimantan Barat.
Rumah Susun Sewa Buruh Pabrik di Kawasan Industri Cikarang Bekasi dengan Pendekatan
Arsitektur
Ekologis
(Kadek
Arini
Stepitula
Gayatri;
09/281415/TK/34979) Bekasi, kota industri yang sedang berkembang, membutuhkan banyak fasilitas hunian bagi para buruhnya. Hal tersebut dipecah dengan perancangan rusunawa yang berwawasan ekologis.
12