1
BAB I
PENDAHULUAN A.
Latar Belakang
Katarak adalah keadaan kekeruhan pada lensa yang dapat terjadi akibat hidrasi (penambahan cairan) lensa, denaturasi protein lensa atau terjadi akibat kedua-duanya. Katarak umumnya merupakan penyakit pada usia lanjut, tetapi katarak dapat juga disebabkan oleh proses radang intraokular, trauma, infeksi dalam kandungan dan faktor keturunan(Ilyas, 2006). Menurut The World Health Organization (WHO), jumlah katarak yang menjadi penyebab kebutaan yang reversible mencapai 17 juta (47,8%) dari 37 juta individu buta diseluruh dunia pada tahun 2002 dan angka ini akan mencapai 40 juta pada tahun 2020 (AAO, 2011). Bedah
katarak memiliki tujuan untuk mencegah kebutaan, tetapi
kemudian berkembang menjadi sebuah prosedur refraktif dengan
tujuan
mencapai mata emetrop pasca operasi. Kualitas penglihatan yang baik pasca bedah dan pemulihan tajam penglihatandengan cepat menjadi parameter keberhasilan bedah katarak. Fakoemulsifikasi menjadi populer diseluruh dunia beberapa dekade terakhir sebagai pilihan teknik bedah selain manual small incision cataract surgery (SICS) dan ekstraksi katarak ekstra kapsular. Teknik SICS dan fakoemulsifikasi memberikan hasil yang sama sebagai teknik bedah tanpa jahitan tetapi fakoemulsifikasi membutuhkan biaya investasi yang
2
tinggi.Manual small incision cataract surgery (SICS)memiliki kelebihan yaitu lebih cepat dan tepat untuk kasus katarak matur(Farooq & Ali, 2003). Angka keberhasilan bedah katarak cukup tinggi, tetapi perlu diketahui bahwa komplikasi dapat terjadi meliputi edema kornea, lipatan membran descemet, robek kapsul posterior, hilangnya vitreus dan endoftalmitis(Farooq & Ali, 2003).Komplikasi yang paling sering terjadi adalah peradangan pasca bedah katarak. Uvea (iris, badan siliar, dan koroid) adalah jaringan okular yang paling sering terlibat dalam proses peradangan bahkan pada bedah katarak tanpa penyulit sekalipun terdapat trauma pada jaringan uvea yaitu badan siliar.Kornea memiliki peranan penting dalam penglihatan, dapat menjadi edema dan kehilangan kejernihannya akibat peradangan yang disebabkan oleh bedah katarak (Streilein, 2003). Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi peradangan irigasi, penggunaan viskoelastik, miotik, dan trauma mekanis okular yang dapat
meliputi cairan pada struktur
berasal dari bagian-bagian katarak, instrumen dan lensa
intraokular (IOL)(Holmberg & Maggs, 2004).Tanda peradangan dapat dinilai dari jumlahflare dan cell pada bilik mata depan, konjungtiva yang hiperemis, tingkat kejernihan kornea dan gejala yang muncul yaitu ketidaknyamanan pasien seperti merasakan suatu benda asing, ketidakpuasan pasien dan silau akibat inflamasi pada uvea(Donnenfeld et al., 2007). Peradangan yang tidak terkontrol dengan baik pasca bedah katarak dapat menimbulkan sinekia anterior dan posterior, edema makula kistoid, fibrosis kapsul posterior dan peningkatan tekanan
3
intraokular yang akan mempengaruhi tajam penglihatan pasca bedah (Holmberg & Maggs, 2004). Penggunaan anti-inflamasi
pada bedah katarak telahmenjadi prosedur
standar untuk mencegah peradangan intraokular pasca operasi dan mengurangi rasa nyeri sehingga meningkatkan rasa kenyamanan pada pasien dan mempercepat pemulihan tajam penglihatan. Deksametason merupakan agen yang paling banyak digunakan untuk tujuan tersebut.
Agen anti-inflamasi dapat diberikan dalam
bentuk tetes mata topikal, subtenon, subkonjungtiva atau injeksi intravitreal, collagen shiels dan injeksi intrakamera(Paganelli et al., 2004). Pemberian steroid subkonjungtiva menjadi prosedur rutin
pasca
bedahkatarak tetapi saat ini
pemberian steroid intrakamera meningkat dalam penggunaannya (Karalezli et al., 2008). Keuntungan penggunaan injeksi intrakamera adalah obat bekerja langsung pada bilik mata depan, jumlah obat yang digunakan kecil sehingga resiko peningkatan tekanan intraokuler juga kecil, komplikasi yang berkaitan dengan injeksi subkonjungtiva atau subtenon seperti atrofi lemak subdermis, atrofi otot ekstraokuler, dan hipopigmentasi kulit dapat dihindari (Kanski, 2007). Sebuah laporan menyebutkan bahwa pemberian Deksametason subkonjungtiva dapat menimbulkan rasa nyeri dan keluhan ini lebih dirasakan pada operasi katarak dengan bius lokal(Hasnain & Rahman, 2010).Diperlukan penelitian lebih lanjut untuk menilai perbedaanperadangan yang dilihat dari nyeri, hiperemis konjungtiva, blefarospasme, derajat flare dan cell pada bilik mata depan antara pemberian Deksametason subkonjungtiva dengan Deksametason intrakamera.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut : 1. Peradangan merupakan komplikasi yang sering terjadi pasca bedah katarak yang memerlukan penanganan lebih lanjut. 2. Pemberian Deksametasonsubkonjungtiva sudah menjadi prosedur rutin yang dilakukan pada bedah katarak. 3. Perlu
dilakukan
penelitian
untuk
membandingkan
Deksametason
subkonjungtiva dengan Deksametason intrakamera dalam mengatasi peradangan dilihat dari nyeri, blefarospasme, hiperemi konjungtiva dan derajatflare dan cell pada bilik mata depan pasca bedah katarak insisi kecil (manual SICS). C. Pertanyaan Penelitian “Apakah
terdapat
perbedaan
peradangan
pada
pemberian
Deksametasonsubkonjungtiva dengan Deksametason intrakamera pada pasca bedah katarak insisi kecil (manual SICS) ?”
5
D. Tujuan Penelitian 1. Tujuan umum Membandingkan tingkat peradangan pada pemberian Deksametason subkonjungtiva
dibandingkan Deksametason intrakamera pasca bedah
katarak insisi kecil (manual SICS). 2. Tujuan khusus 1. Mengetahui tingkat nyeri, blefarospasme, hiperemia konjungtiva, flare dan
cellpada
pemberian
Deksametason
subkonjungtiva
dan
Deksametason intrakamera pada hari ke-2, 7 dan 28 pasca bedah katarak insisi kecil (manual SICS) 2. Membandingkan tingkat nyeri, blefarospasme, hipermia konjungtiva, flare dan cellpada pemberian Deksametason subkonjungtiva dengan Deksametason intrakamera pada hari ke 2,7 dan 28 pasca bedah katarak insisi kecil (manual SICS). E. Manfaat Penelitian Hasil penelitian diharapkan dapat
sebagai sumber informasi dan
pengetahuanmengenai perbedaan peradangan yang terjadi pada pemberian Deksametason subkonjungtiva dengan Deksametason intrakamera pasca bedah katarak insisi kecil (manual SICS). Hasil penelitian ini diharapkan dapat digunakan untuk menentukan pilihan teknik injeksiobat antiinflamasiyang efektif dalam menekan reaksi peradangan pasca bedah katarak.
6
F. Keaslian Penelitian Beberapa penelitian mengenai pemberian kortikosteroid subkonjungtiva dan kortikosteroid intrakamera pasca bedah
katarak telah dilakukan. Masih
terdapat berbagai perbedaan hasil penelitian mengenai hal tersebut. Hasnain & Rahman meneliti pemberian Deksametason subkonjungtiva dibandingkan dengan Deksametason intrakamera dalam mengontrol uveitis pasca operasi katarak dengan extracapsular cataract extraction (ECCE) pada pasien dengan glaukoma fakomorfik. Hasil dari penelitian ini tidak terdapat perbedaan yang bermakna antara 2 kelompok untuk tanda uveitis pada hari pertama dan ketiga pasca operasi(Hasnain & Rahman, 2010). Ahmad et al. meneliti 60 anak dengan katarak yang menjalani bedah katarak dan dibagi dalam dua kelompok.
Kelompok pertama diberikan
Deksametason subkonjungtiva dan kelompok kedua diberikan Deksametason intrakamera. Hasil dari penelitian ini bahwa pemberiaDeksametason intrakamera memberikan hasil yang lebih baik dibandingkan Deksametason subkonjungtiva dalam mencegah kejadian uveitis pasca bedah katarak (Ahmad et al., 2010) Gungor et al. meneliti 60 pasien yang menjalani bedah katarak dengan fakoemulsifikasi, dibagi dalam 2 kelompok. Kelompok pertama diberikan Deksametason intrakamera dan kelompok kedua diberikan Triamsinolon asetonid intrakamera. Hasil dari penelitian ini bahwa antara dua kelompok memiliki efektifitas yang sama dalam mengontrol peradangan pasca bedah katarak fakoemulsifikasi (Gungor et al., 2014)
7
Perbedaan penelitian kami dengan penelitian sebelumnya adalah membandingkan
perbedaan
peradangan
pada
pemberian
Deksametasonsubkonjungtiva dengan pemberian Deksametason intrakamera pasca bedah katarak insisi kecil (manual SICS) pada penderita katarak senilis.