BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Saat ini yang banyak menjadi perhatian orang tua adalah rendahnya nafsu makan pada anak. Mengingat pentingnya asupan nutrisi untuk pertumbuhan dan perkembangan anak, maka banyak dari orang tua yang bersedia melakukan apapun demi meningkatkan nafsu makan si anak. Terdapat banyak faktor yang dapat menyebabkan nafsu makan anak berkurang, yaitu dapat berupa faktor psikis, faktor fisik, maupun faktor pola makan (Sunarto, 2009). Dorongan untuk makan umumnya didasarkan pada nafsu makan dan rasa lapar. Dua hal tersebut adalah gejala yang berhubungan tetapi memiliki arti yang berbeda. Nafsu makan adalah keadaan yang mendorong seseorang untuk memuaskan keinginannya dalam hal makan, hal ini berhubungan dengan konsep budaya yang berbeda antara satu kebudayaan dengan kebudayaan lainnya. Sedangkan lapar menggambarkan suatu keadaan kekurangan gizi dan merupakan suatu konsep fisiologis (Foster & Anderson,1986). Status gizi seseorang dipengaruhi oleh konsumsi pangan keluarga (Lutviana & Budiono, 2010). Status gizi merupakan bagian penting dari status kesehatan seseorang. Berdasarkan penelitian dari Maryam (2001), terdapat hubungan
1
2
yang positif antara kondisi status gizi dan kesehatan dengan prestasi belajar. Kekurangan gizi pada usia dini dapat mengganggu pertumbuhan fisik, perkembangan mental dan kecerdasan anak (Amelia et al, 1995). Sampai saat ini, masyarakat di negara-negara berkembang biasanya mengatasi sendiri gejala-gejala sakit yang dideritanya dengan pengobatan tradisional, dengan sekedar beristirahat, minum jamu, dan pergi ke dukun atau ahli pengobatan tradisional. Pada masyarakat Jawa upaya menjaga kesehatan, mencegah penyakit, maupun pengobatan suatu penyakit yang diderita biasa dilakukan dengan meminum ramuan tradisional atau lebih dikenal dengan jamu (Hardon, et al, 1995). Kemajuan pengetahuan dan teknologi modern tidak mampu menggantikan peranan obat tradisional, bahkan pada saat ini pemerintah tengah menggalakkan pengobatan kembali ke alam (back to nature) (Wijayakususma, 1999). Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan sumber bahan obat alam yang secara turun temurun telah digunakan sebagai ramuan obat tradisional. Pengobatan tradisional dengan tanaman obat diharapkan
dapat
berperan
dalam
masyarakat.
Dari
beberapa
tanaman obat Indonesia
dikembangkan,
ada
beberapa
upaya
tanaman
peningkatan
yang
kesehatan yang telah
berpotensi
dalam
meningkatkan nafsu makan, salah satunya yang sudah banyak digunakan sebagai bahan dalam pembuatan sediaan penambah nafsu makan yaitu temulawak ( Curcuma xanthorrhiza Roxb).
3
Temulawak adalah tanaman asli Indonesia yang sudah sangat dikenal oleh masyarakat Indonesia karena berbagai macam manfaatnya, yang salah satunya dipercaya dapat meningkatkan nafsu makan. Salah satu penelitian yang telah dilakukan menyebutkan bahwa kandungan minyak atsiri dalam temulawak memiliki sifat koleretik (Sudarsono et al., 1996), yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus (Ozaki dan Liang, 1988). Sediaan penambah nafsu makan berbahan dasar temulawak sudah relatif banyak di pasaran, namun penelitian yang terkait yang mendukung efek farmakologi temulawak sebagai penambah nafsu makan masih sangat terbatas. Oleh sebab itu, saat ini penelitian tentang efek farmakologi temulawak sebagai penambah nafsu makan masih terus dikembangkan, dengan harapan nantinya dapat menjadi dasar ilmiah dalam pemanfaatan temulawak dalam sediaan penambah nafsu makan. Pada penelitian-penelitian sebelumnya yang berkaitan dengan uji efektifitas sediaan penambah nafsu makan, hewan uji yang digunakan merupakan hewan uji yang berada dalam kondisi normal bukan hewan yang mengalami gangguan nafsu makan. Untuk itu diperlukan suatu metode yang sesuai untuk dapat mengetahui secara pasti efek dari sediaan penambah nafsu makan yang diuji dengan menggunakan subjek uji berupa hewan yang mengalami gangguan nafsu makan. Gangguan nafsu makan
4
ini dapat dibuat dengan memberikan perlakuan berupa penurunan nafsu makan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah dalam upaya pengembangan temulawak sebagai penambah nafsu makan, serta dapat menjadi dasar bagi produsen sediaan penambah nafsu makan berbahan dasar temulawak, sehingga nantinya dapat meningkatkan efektifitas dari produk yang diproduksi.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah pengaruh pemberian sediaan Emulsi® dalam berbagai dosis terhadap berat badan, jumlah asupan makanan, dan jumlah asupan minuman pada tikus yang ditekan nafsu makannya dengan dietilpropion HCl ? 2. Adakah keterkaitan antara jumlah konsumsi makanan dan minuman terhadap kenaikan berat badan tikus yang ditekan nafsu makannya dengan dietilpropion HCl ?
C. Tujuan Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh dari pemberian sediaan Emulsi® dalam berbagai dosis terhadap berat badan, jumlah konsumsi makanan pada tikus, serta jumlah konsumsi minuman pada tikus yang ditekan nafsu makannya dengan dietilpropion HCl.
5
D. Luaran yang diharapkan Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar ilmiah dalam pengembangan temulawak sebagai bahan herbal penambah nafsu makan, serta dapat menjadi dasar bagi para produsen dalam upaya pemanfaatan temulawak dalam sediaan penambah nafsu makan sehingga dapat dihasilkan produk yang memiliki kualitas, efikasi, dan keamanan yang sesuai dengan yang dipersyaratkan.
E. Tinjauan Pustaka 1. Temulawak a. Deskripsi temulawak Temulawak
merupakan
tanaman
asli
Indonesia
yang
penyebarannya merata diberbagai daerah. Oleh Karena itu pula penyebutan tanaman ini pun berbeda-beda di beberapa daerah (Anonim, 1979). Temulawak merupakan terna ( Herbaceous ) berbatang semu, dengan tinggi lebih kurang 2 meter, berwarna hijau atau coklat gelap. Tiap batang mempunyai daun 2 sampai 9 lembar. Bentuk bundar memanjang, berwarna hijau atau coklat keunguan. Perbungaan lateral, tangkai ramping, berbulu, sisik berbentuk garis, berbulu halus. Bentuk bulir bulat memanjang berdaun pelindung yang banyak, mahkota bunga berbentuk tabung berwarna putih atau kekuningan, helaian bunga berbentuk bundar telur sungsang berwarna jingga, serta buah
6
berbulu (Anonim, 1993). Akar berupa umbi beraroma yang agak tajam dan dagingnya berwarna jingga dan mengandung minyak (Aliadi et al., 1996). b. Klasifikasi Klasifikasi temulawak adalah sebagai berikut: Kingdom : Plantae Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi : Angiospermae Kelas
: Monocotyledonae
Ordo
: Zingiberales
Famili
: Zingiberaceae
Genus
: Curcuma
Spesies
: Curcuma xanthorrhiza Roxb. (Tjitrosoepomo, 2004).
c. Nama daerah Penyebutan nama tanaman temulawak di beberapa daerah antara lain : temulawak (Sumatra), koneng gede (Sunda), temulawak (Jawa), temo labak (Madura), dan temulawak (Indonesia) (Anonim, 1979) . d. Kandungan kimia Rimpang temulawak mengandung kurkumin, xanthorizol, kurkuminoid,
minyak
atsiri
dengan
komponen
α-kurkumen,
germakran, ar-turmeron, β-atlantanton, d-kamfor (Anonim, 2010). Fraksi pati merupakan kandungan terbesar, jumlah bervariasi antara
7
48-54% tergantung dari ketinggian tempat tumbuh, makin tinggi tempat tumbuh maka kadar patinya semakin rendah dan kadar minyak atsirinya semakin tinggi. Pati temulawak terdiri dari abu, protein, lemak, karbohidrat, serat kasar, kurkuminoid, kalium, natrium, kalsium, magnesium, besi, mangan, dan cadmium. Fraksi kurkuminoid memiliki aroma khas, tidak toksik, terdiri dari kurkumin yang mempunyai aktivitas antiradang dan demetoksikurkumin (Dalimartha, 2006). Kandungan terpenting temulawak yaitu minyak atsiri (minimal 5%) terdiri dari begamoten, germakren B, kurserenon, dan germakron serta
warna
kuning
difeuloilmetana
yaitu
kurkumin
dan
demetoksikurkumin (Dalimartha, 2006). e. Penggunaan secara tradisional Menurut Tampubolon (1981), secara tradisonal, temulawak telah banyak digunakan sebagai obat diare, ambeian, sembelit, dan menambah pengeluaran cairan empedu. Selain itu temulawak juga digunakan dalam pengobatan sakit ginjal, demam, sakit kuning, penyakit kurang darah, radang lambung, kencing darah, ayan, kurang darah sehabis nifas, exsim, kejang-kejang, jerawat, kurang nafsu makan, cacar air (Aliadi et al., 1996) . Serta sebagai pelancar ASI, pelancar pencernaan, penurun panas, serta menurunkan kolesterol (Sudarsono et al., 2006). Sedangkan menurut Anonim (2010), temulawak dapat digunakan sebagai pengobatan sakit perut karena flu,
8
luka infeksi, cacar, mual, dan mencegah radang rahim pasca melahirkan. f. Penelitian tentang temulawak terkait dengan peningkatan nafsu makan Menurut Anonim (2010), kurkuminoid temulawak dapat menurunkan kadar kolesterol total dan trigliserida darah, serta dapat menaikkan kadar asam empedu darah kelinci dalam keadaan hiperlipidemia. Minyak atsiri temulawak yang telah dijenuhkan dapat menghambat penyerapan glukosa dalam usus halus tikus dan dan penyerapan ini bersifat reversibel. Campuran kurkuminoid dan minyak atsiri menghambat penyerapan glukosa pada mencit, dan ikatan keduanya bersifat reversibel. Cairan infus temulawak yang diberikan
pada dosis rendah
berulang kali akan mempercepat kerja usus halus. Namun sebaliknya pada dosis yang lebih besar akan menghambat atau menghentikan kerja usus halus hewan uji (Sudarsono et al., 2006). 2. Sediaan Emulsi® Sediaan Emulsi® merupakan produk suplemen penambah nafsu makan yang diproduksi oleh PT. Soho. a) Komposisi sediaan Emulsi® i.
Vitamin A (850 IU) Vitamin A terutama terdapat pada mentega, telur, hati dan daging, dan terdapat dalam beberapa bentuk misalnya retinol
9
(Vitamin A1), dan 3-dehidro-retinol (vitamin A2). Asam retinoat (tretinoin, isotretinoin) merupakan hasil oksidasi grup alkohol dari retinol. Vitamin A juga berasal dari karoten yang merupakan pigmen tumbuh-tumbuhan. Terdapat beberapa jenis karoten yaitu karoten alfa, beta, dan gama, dan bentuk yang paling aktif adalah beta karoten. Hanya 1/3 karoten diubah menjadi vitamin A pada dinding usus halus (Ganiswara, 1995). Vitamin A diperlukan untuk penglihatan, dan untuk pembentukan kulit yang sehat. Vitamin A juga membantu sistem kekebalan tubuh, dan karena sifat antioksidan yang besar dapat untuk melindungi terhadap polusi dan penyebab kanker serta penyakit lainnya. Selain itu juga membantu indera perasa serta membantu pencernaan dan saluran kemih (Meyer, 2013). Dosis vitamin A yang digunakan pada sediaan ini masih dibawah dosis yang seharusnya digunakan. Dimana dosis yang dibutuhkan setiap hari untuk mencegah kekurang zat ini yaitu untuk pria 5.000 IU per hari (setara 1.000 mg), wanita 4.000 IU per hari (setara dengan 800 mg), meskipun 10.000 IU per hari biasanya digunakan dalam suplemen (Meyer, 2013). ii.
Vitamin B1, B2, B6, B12 a) Vitamin B1 (3 mg). Vitamin B1 atau Thiamin, digunakan dalam banyak fungsi tubuh yang berbeda namun vitamin ini sangat sedikit
10
disimpan dalam tubuh, dan pelepasan vitamin ini dapat terjadi dalam waktu 14 hari (Meyer, 2013). Tiamin digunakan untuk berbagai neuritis yang disebabkan oleh defisiensi tiamin, misalnya pada (1) neuritis alkoholik yang terjadi karena sumber kalori hanya alkohol saja; (2) wanita hamil yang kurang gizi; atau (3) penderita emesis gravidum. Pada trigeminal neuralgia, neuritis yang menyertai anemia, penyakit infeksi dan pemakaian obat tertentu, pemberian tiamin dapa memberikan perbaikan. Tiamin juga digunakan untuk pengobatan oenyakit jantung dan gangguan saluran cerna yang disebabkan karena defisiensi tiamin (Ganiswara, 1995). Dosis minimum untuk menjaga kondisi tubuh adala pria 1,4 mg/hari dan wanita 1,0 mg/hari, dan untuk suplemen biasanya digunakan sebanyak 50mg/hari (Meyer, 2013). Dosis vitamin B1 yang digunakan pada sediaan ini yaitu sebesar 3 mg, sehingga dapat dikatakan bahwa dosis ini sesuai dengan dosis yang ditujukan untuk menjaga kondisis tubuh, namun tidak sesuai dengan dosis yang biasa digunakan untuk suplemen. b) Vitamin B2 (2 mg). Riboflavin (vitamin B2) diproduksi dalam tubuh oleh flora usus dan sangat mudah diserap, meskipun jumlah yang
11
sangat kecil disimpan, sehingga ada kebutuhan konstan untuk vitamin ini. Vitamin ini diperlukan oleh tubuh untuk metabolisme asam amino, asam lemak, dan karbohidrat. Riboflavin lebih lanjut diperlukan untuk mengaktifkan vitamin B6
(pyridoxine),
membantu
pembentukan
niasin
dan
membantu kerja dari kelenjar adrenal, selai itu dapat digunakan untuk pembentukan sel darah merah, produksi antibodi, respirasi sel, dan berperan dalam proses pertumbuhan, membantu dalam pencegahan dan pengobatan katarak. Selain itu vitamin B2 diperlukan untuk kesehatan selaput lendir di saluran pencernaan dan membantu penyerapan zat besi dan vitamin B6 (Meyer, 2013). Didalam tubuh, riboflavin diubah menjadi riboflavin fosfat atau flavin mononukleutida (FMN) dan flavin adenosin dinukleutida (FAD), yang keduanya merupakan bentuk aktif dari riboflavin dan berperan sebagai koenzim dalam berbagai metabolism (Ganiswara, 1995). Dosis vitamin B2 yang digunakan pada sediaan ini yaitu sebesar 2 mg, dosis ini juga tidak sesuai dengan dosis umum untuk suplemen, namun cukup untuk tujuan perawatan kondisis tubuh. Dimana dosis normal untuk perawatan kondisi tubuh yaitu pria 1,6 mg/hari dan wanita 1.2 mg/hari , dan dosis paling umum untuk suplemen adalah 50mg/hari (Meyer, 2013).
12
c) Vitamin B6 (5 mg). Dalam alam vitamin ini terdapat dalam tiga bentuk yaitu piridoksin yang berasal dari tumbuh-tumbuhan, serta piridoksal dan piridoksamin yang teruama berasal dari hewan. Ketiga bentuk piridoksin tersebut dalam tubuh diubah menjadi piridoksal fosfat (Ganiswara, 1995). Vitamin B6 diperlukan untuk menjaga keseimbangan hormonal pada wanita serta membantu sistem kekebalan tubuh dan pertumbuhan sel-sel baru. Selain itu juga digunakan dalam pengolahan dan metabolisme protein, lemak dan karbohidrat, serta membantu
mengontrol suasana hati dan perilaku
seseorang. Piridoksin membantu dalam keseimbangan natrium dan kalium serta mempromosikan produksi sel darah merah serta dapat pula membantu anak-anak dengan masalah kesulitan belajar (Meyer, 2013). Dosis pengunaan Vitamin B6 yaitu pada pria 2 mg/hari dan wanita 2 mg/ hari (Meyer, 2013). Dosis yang digunakan pada sediaan Emulsi® ini tidak sesuai dengan dosis yang dianjurkan. Namun, menurut Ganiswara (1995), efek samping dari penggunaan vitamin B6 baru muncul pada penggunaan jangka panjang dengan dosis 50mg-2 gram per hari. Sehingga dapat dikatakan bahwa dosis yang digunakan pada sediaan ini masih aman.
13
d) Vitamin B12 (5 mcg). Vitamin
B12
atau
cyanocobalamin,
cobolamin
diperlukan dalam pembuatan sel darah merah dan pemeliharaan sel-sel darah merah serta
merangsang nafsu makan, dan
mempercepat pertumbuhan dan pelepasan energi. Vitamin B12 sering digunakan oleh orang-orang usia lanjut sebagai suplemen
untuk
penambah
energi,
membantu
dalam
pencegahan gangguan kerusakan mental dan membantu mempercepat proses berpikir. Selain itu, vitamin B12 dapat memberikan perlindungan terhadap alergi dan kanker, serta berfungsi pula dalam metabolisme lemak, protein dan karbohidrat (Meyer, 2013). Dosis yang digunakan pada sediaa Emulsi® sesuai dengan dosis normal yang dianjurkan yaitu dosis minimum pria dan wanita sebanyak 3 mcg/hari (Meyer, 2013). iii.
Dekspantenol (3 mg). Dekspantenol adalah
bentuk
alkohol
dari
asam
pantotenat (vitamin B3) yang berguna sebagai anti aging (Elizabeth, et al., 2013). Dekspanteol setelah berpenetrasi ke kulit segera diubah menjadi asam pantothenat. Asam pantotenat akan berikatan dengan koenzim A (CoA) pada jalur biokimiawi (Siklus Krebs) dan menjadi sumber energi sel. Energi disimpan dalam
14
bentuk ATP, berperan pada proliferasi sel epidermis, fibroblas, dan kolagen pada saat terjadi proses penyembuhan luka. Kebutuhan manusia akan asam pantotenat adalah sebesar 5-10 mg per hari, sehingga dosis yang digunakan pada sediaan Emulsi® belum mampu memenuhi kebutuhan asam pantotenat pada manusia. iv.
Vitamin D (100 IU). Vitamin D juga disebut sebagai calciferol atau dapat disebut juga sebagai vitamin sinar matahari, karena tubuh dalam iklim yang cerah dapat memproduksi nutrisi ini dari sinar matahari pada kulit dengan menggunakan kolesterol dari tubuh. Vitamin D membantu meningkatkan penyerapan kalsium, membantu dalam pertumbuhan tulang dan integritas tulang dan dapat membantu dalam pembentukan gigi yang kuat. Selain itu vitamin ini juga membantu mengatur jumlah fosfor dalam tubuh serta membantu dalam kesehatan jantung dan sistem saraf (Meyer, 2013). Absorpsi vitamin D melalui saluran cerna cukup baik. Vitamin D3 diabsopsi lebih cepat dan lebih sempurna. Gangguan fungsi hati, kandung empedu, dan saluran cerna seperti steatore akan mengganggu absorbs vitamin D (Ganiswara, 1995). Dosis minimum yang direkomendasikan dalam keadaan normal adalah pada pria 400 IU, dan wanita 400 IU (Meyer, 2013).
15
Sehingga dosis yang digunakan pada sediaan ini belum memenuhi dosis vitamin D yang dianjurkan. v.
Asam arakidonat (AA), Asam dokosaheksaenoat (DHA), Frukto oligosakarida (FOS). Asam Arakidonat adalah sebuah asam lemak esensial jenuh, yang dapat ditemukan pada hewan dan lemak manusia serta dalam hati, otak, dan organ kelenjar, dan merupakan konstituen dari fosfatida hewan. Asam arakidonat dibentuk oleh sintesis dari asam linoleat dan merupakan prekursor dalam biosintesis prostaglandin, tromboksan, dan leukotrien (Anonim, 2011). Asam dokosaheksaenoat adalah asam lemak omega-3 yang merupakan komponen struktural utama dari otak manusia, korteks
serebral,
kulit,
sperma,
testis
dan
retina.
Asam
dokosaheksaenoat dapat disintesis dari asam alfa-linolenat atau diperoleh langsung dari air susu ibu atau minyak ikan (Guesnet dan Alessandri , 2011). Menurut Horrocks (1999), konsumsi harian rutin setidaknya 200 mg DHA dapat mencegah penyakit kardiovaskular. Dosis DHA yang digunakan pada sediaan belum memenuhi dosis DHA yang dapat meberikan efek farmakologi. Frukto oligosakarida adalah campuran oligosakarida yang terdiri dari glukosa terkait dengan unit fruktosa. Mereka tidak dicerna dalam usus kecil manusia tetapi difermentasi dalam usus besar, di mana mereka secara khusus dapat mempromosikan
16
pertumbuhan beberapa jenis mikroflora normal dalam tubuh, terutama bifidobacteria (Bouhnik et al., 1996). FOS berfungsi sebagai prebiotik dengan dosis penggunaan 4 gram/hari (Gibson, 1998). Pada sediaan digunakan FOS dengan dosis sebesar 500 mg, dosis ini masih sangat kurang dari dosis yang dianjurkan. vi.
Minyak ikan kod Menurut Moghadasian,2008 dan Cleland, 2006 minyak ikan adalah minyak yang berasal dari jaringan ikan berminyak. Minyak
ikan
mengandung
asam
omega-3
asam
lemak
eikosapentaenoat (EPA) dan asam dokosaheksanoat (DHA), yang merupakan prekursor eikosanoid tertentu yang dikenal untuk mengurangi peradangan dalam tubuh. vii.
Ekstrak Curcuma (10 mg) Ekstrak Curcuma yang dimaksud disini adalah ekstrak dari Curcuma xanthorrhiza , Roxb, sebagaimana dapat dilihat pada Anonim (1979), bahwa secara umum disebut sebagai curcuma. Kandungan bertanggung
jawab dalam
efek
Curcuma xanthorrhiza temulawak yang diduga
peningkatan
nafsu
makan
adalah minyak atsirinya (Awalin,1996). b)
Indikasi sediaan emulsi® Membantu memenuhi kebutuhan vitamin pada masa pertumbuhan, membantu memperbaiki nafsu makan, membantu memelihara daya tahan tubuh.
17
c)
Takaran pemakaian sediaan Emulsi® Dewasa
: sehari 3 x 1 sendok makan (15 mL)
Anak-anak
: 6 - 12 tahun, sehari 2 x 1 sendok makan 1- 6 tahun, sehari 1 x 1 sendok makan 6 bulan - 1 tahun, sehari 1 x ½ sendok makan
d)
Sediaaan yang tersedia dipasaran
: dus/botol 120 mL,
175 mL, 200 mL 3.
Dietilpropion Hidroklorida
Gambar 1 . Struktur Dietilpropion Hidroklorida
Senyawa dengan rumus molekul C13H19NO. HCl
ini
memiliki nama kimia 1-Propanon, 2-(dietilamino)-1-fenil-, hidroklorid, serta nama IUPAC dari dietilpropion adalah 2-(dietilamino)-1-fenilpropan1-on (Anonim, 2009). Dietilpropion adalah senyawa cincin feniletilamin dengan sifat simpatomimetik
dan dengan efek stimulan yang lebih ringan dari
amfetamin (Cercato et
al.,
2009).
Dietilpropion telah disetujui
penggunaanya sebagai antiobesitas sejak 1959 (Kang et al., 2012), dan sampai saat ini masih merupakan obat pilihan dalam penanganan obesitas,
18
hal ini dapat dilihat dari MIMS yang masih merokemendasikan penggunaan obat ini. a. Pemerian Dietilpropion HCl berupa serbuk kristal yang halus, dengan warna putih atau tidak berwarna, dengan bau yang sedikit khas. Dietilpropion HCl memiliki berat molekul 241,76, titik lebur sebesar 168˚, dapat larut denan baik di air, kloform, dan alkohol, dan tidak larut dalam eter (Anonim, 2009). b. Absorbsi, metabolisme, dan ekskresi Dietilpropion dengan cepat diserap dari saluran pencernaan setelah pemberian oral. Secara ekstensif dimetabolisme melalui jalur kompleks biotransformasi melibatkan N-dealkylation dan reduction. Banyak
metabolitnya
yang
aktif
secara
biologis
dan
dapat
berpartisipasi dalam tindakan terapi dari dietilpropion. Dietilpropion dan / atau metabolit aktif diyakini melintasi sawar otak dan plasenta. Dietilpropion dan metabolitnya diekskresikan terutama oleh ginjal (Anonim, 2008). c. Efek farmakologi Obat-obatan anoreksia bertindak terutama pada pusat kenyang di hipotalamus untuk menghasilkan anoreksia. Mereka juga memiliki berbagai efek metabolik yang melibatkan metabolisme lemak dan karbohidrat, tapi banyak diantaranya yang dapat memberikan efek sekunder sebagai penurun berat badan. Sebagian besar obat yang
19
terkait langsung maupun tidak langsung dengan amfetamin bertindak dengan meningkatkan aktivitas fisik secara umum. Obat-obatan anoreksia cenderung kehilangan efeknya setelah beberapa bulan, dan sebagian dari pengurangan efek ini terjadi mungkin karena perubahan kimiawi yang dihasilkan oleh obat-obatan di otak. Dietilpropion menjadi obat pilihan utama dari kelas amfetamin karena insiden efek sampingnya yang lebih ringan bila dibandingkan dengan obat sejenisnya (Craddock, 1976). Obat untuk mengobati obesitas dapat dibagi menjadi tiga kelompok: obat-obat yang mengurangi asupan makanan, yang mengubah metabolisme, dan yang meningkatkan termogenesis. Monoamina yang bekerja pada reseptor noradrenergik, reseptor serotonin, reseptor dopamin, dan reseptor histamin dapat mengurangi asupan makanan. Sejumlah peptida juga mempengaruhi asupan makanan. Dietilpropion yang merupakan salah satu obat noradrenergik disetujui hanya untuk penggunaan jangka pendek (Bray, 2000), dengan dosis terapi yang biasanya digunakan adalah 75 – 150 mg perhari (Anonim, 2009). Dietilpropion HCl bekerja dengan merangsang pelepasan norepinefrin dari saraf prasinaptik sehingga terjadi peningkatan konsentrasi
neurotransmitter
adrenergik
yang
mengaktifkan
hipotalamus.
Pengaktifan saraf di hipotalamus mengakibatkan
20
penurunan nafsu makan dan asupan makanan (Khairuddin et al., 2012). Dietilpropion HCl secara spesifik menstimulasi sistem syaraf pusat, Efek samping penggunaan dietilpropion HCl yang sering muncul adalah pusing, mulut kering serta konstipasi. Efek samping seperti euforia, insomnia dan tremor jarang dijumpai pada pasien yang menggunakan obat ini. Obat ini dapat menimbulkan masalah pada jantung jika terjadinya overdosis. Selain itu dapat menimbulkan ketergantungan (Anonim, 2009). Dietilpropion merangsang pelepasan norepinefrin dan / atau dopamin dari situs penyimpanan di terminal saraf di pusat makan hipotalamus lateral, sehingga menghasilkan efek penurunan nafsu makan. Diethilpropion bekerja dipusat berpikir yang bertindak terutama melalui jalur katekolamin di otak (Reimer et al., 1995). Dietilpropion
HCl
yang
merupakan
derivat
amfetamin
ini
menstimulasi neuron untuk melepaskan sejumlah kelompok partikel neurotransmiter yang tinggi dikenal sebagai katekolamin (termasuk dopamine dan norefenefrin), kadar yang tinggi dari katekolamin ini akan memberikan sinyal untuk menekan lapar dan nafsu makan. Selain itu, juga bisa secara tidak langsung memberikan pengaruh pada kadar leptin di otak. Secara teori,
dietilpropion HCl bisa meningkatkan
kadar leptin yang memberikan sinyal kenyang, serta meningkatkan kadar katekolamin yang ikut bertanggung jawab untuk menghentikan
21
aksi neurotransmiter lain yaitu NPY yang memiliki efek untuk memulai makan, mengurangi pengeluaran energi, dan meningkatan penimbunan lemak (Anonim, 2006). 4. Olanzapin Olanzapin adalah antipsikotik atipikal (antipsikotik generasi kedua dengan efek samping yang lebh ringan dari generasi sebelumnya), yang telah disetujui penggunaannya oleh FDA pada tahun 1996, yang digunakan untuk mengobati baik gejala positif dan negatif dari skizofrenia, kegilaan akut dengan gangguan bipolar, agitasi, dan gejala psikotik pada demensia (Anonim, 2013), dan merupakan salah satu anggota dari kelas thienobenzodiazepin (Prommer, 2012)
Gambar 2. Struktur Olanzapin (Jenkins dan Raaf., 1998)
Nama IUPAC untuk olanzapin adalah 2-metil-4-(4-metilpiperazin-1il)-5H-tieno[3,2-c][1,5]benzodiazepin,
dengan
rumus
molekul
C17H20N4S, dan dengan berat molekul sebesar 312,43 . a. Pemerian Olanzapin berbentuk serbuk Kristal tanpa warna atau putih sampai dengan kekuningan, tidak berbau dengan pH 6,1. Titik lebur olanzapin adalah 192.8° - 195 °C, dan titik didihnya 462,6°
22
C. Olanzapin praktis tidak larut dalam air, namun larut dalam dimetil formamida dan diklorometana (Anonim, 2009). b. Absorbsi, metabolisme, dan ekskresi Olanzapin diserap dengan baik, dimetabolisme dihati, dan dieliminasi secara luas oleh first pass metabolism, dengan sekitar 40% dari
keseluruhan dosis telah dimetabolisme sebelum
mencapai sirkulasi sistemik, dan 7% dari dosis olanzapin telah mencapai urin sebagai bentuk yang tidak berubah, menunjukkan bahwa metabolisme olanzapin sangat tinggi (Anonim, 2013). c. Efek farmakologis Olanzapin mengikat reseptor alpha (1), dopamin, histamin H1, muskarinik, dan serotonin tipe 2 (5-HT2). Olanzapin sebagai antipsikotik dikarenakan kombinasi dari antagonisme pada reseptor D2 di jalur mesolimbik dan reseptor 5HT2A di korteks frontal. Antagonisme pada reseptor D2 mengurangi gejala positif sementara antagonisme pada reseptor 5HT2A mengurangi gejala negatif skizofrenia (Anonim, 2013). Pada penderita gangguan skizofrenia gangguan penggunaan dosis awal adalah 10 mg/hari. Pada pasien gangguan maniak dosis awalnya 15 mg sebagai dosis harian tunggal dalam monoterapi atau 10 mg sehari dalam terapi kombinasi. Dalam pencegahan kambuhnya gangguan bipolar dosis awalnya 10 mg/hari. Dosis harian dapat disesuaikan 5-20 mg/hari. Pada lansia, pasien yang
23
mengalami gangguan ginjal atau hati dosis awal adalah 5 mg/hari (Anonim, 2013). Kenaikan berat badan merupakan efek samping yang paling umum yang terkait pengobatan dengan olanzapin. Penyebab yang memungkinkan dalam
perangsangan nafsu makan
diduga
melibatkan serotonin 5-HT2C dan histamin antagonis reseptor H-1, yang dapat meningkatkan keinginan untuk makan. Melkersson & Hulting (2001), menyatakan
bahwa pengaruh olanzapin pada
perubahan
mungkin
tingkat
leptin
berhubungan
dengan
kemampuannya untuk menginduksi kenaikan berat badan. Terjadi lonjakan tingkat
regulasi leptin sebelum kenaikan berat badan
selama pengobatan olanzapin. Selain itu, peningkatan BMI (Body Mass Index) didahului oleh peningkatan yang signifikan dari tingkat leptin. Meskipun mekanisme tetap tidak diketahui, mereka berspekulasi bahwa elevasi pesat dalam tingkat sirkulasi leptin diatur oleh efek langsung dari olanzapin pada sistem saraf simpatis manusia, tidak hanya dalam
peningkatan lemak tubuh, karena
mungkin terdapat interaksi antara leptin dan sistem saraf simpatik manusia (Wang et al ., 2006). Median tingkat insulin secara signifikan lebih tinggi pada pasien yang menerima olanzapin dibandingkan mereka yang menerima agen konvensional, meskipun BMI yang sama, hal ini
24
menunjukkan kemungkinan penaruh olanzapin pada sekresi insulin. Leptin adalah hormon protein yang dikode oleh gen obesitas (ob gene) dan telah ditemukan dalam cumulus dan sel granulose (Kakisiana, 2008). Perbedaan gender berpengaruh terhadap jumlah leptin, yaitu perempuan biasanya memiliki tingkat leptin lebih tinggi daripada laki-laki. Namun pada penelitian yang telah dilakukan oleh Melkersson & Hulting (2001), menunjukkan bahwa tingkat leptin secara signifikan lebih tinggi pada wanita dibandingkan pada laki-laki dalam kelompok agen konvensional, tapi tidak pada kelompok olanzapin. Hal ini menunjukkan bahwa terjadi perubahan regulasi pada leptin selama perlakuan dengan olanzapin. Penelitian lain yang sejenis dilakukan oleh Wetterling (2000), menunjukkan terjadinya peningkatan berat badan yang sangat tinggi pada pasien yang diobati dengan olanzapin. Peningkatan berat badan yang paling sering terjadi pada mingguminggu pertama pengobatan. Pasien underweight berada pada risiko tertinggi dalam penambahan berat badan. Afinitas reseptor relatif antipsikotik atipikal untuk histamin H1 serta finitas reseptor 5-HT2 / D2 tampaknya berkorelasi terhadap berat badan. Selain itu, induksi sekresi leptin mungkin memiliki dampak penting pada kenaikan berat badan pada subyek diobati dengan neuroleptik atipikal .
25
5. Nafsu makan , Kenyang, dan Lapar Istilah nafsu makan sering dinyatakan sebagai hasrat akan jenis makanan spesifik, bukan makanan pada umumnya. Oleh karena itu, nafsu makan membantu seseorang memilih kualitas makanan yang dimakan. Istilah kenyang berarti perasaan pemenuhan dalam pencarian makanan. Kenyang biasanya akibat dari pengisian makanan, khususnya bila depot cadangan makanan, jaringan adiposa dan cadangan glikogen telah terisi ( Guyton,1990). Nafsu makan dapat dipengaruhi oleh beberapa faktor hedonik (palatabilitas atau derajat kesukaan terhadap makanan tertentu, rasa, tekstur, bau), kesukaan dan keengganan yang diketahui (bait shynes, selera makan yang tidak spesifik), pengaruh
farmakologis (obat-obatan
anoreksia dan naloxone), selera makan spesifik (NaCl), perubahan psikologis akibat pengaruh dari penyakit (diabetes, obesitas, kanker), pengaruh metabolik (kebutuhan kalori tingkat neuro transmitter, hormon adrenalin, hormon seks), pengaruh lingkungan (temperatur) dan pengaruh sosial (kebudayaan, agama) (Olson, 1987). Sedangkan lapar berarti sangat membutuhkan makanan, dan hal ini dihubungkan dengan sejumlah sensasi objektif. Hal ini menyebabkan perasaan tercekik atau perih pada lambung dan kadang-kandang menyebabkan rasa nyeri yang dinamakan “hunger pangs”. Selan itu orang yang lapar lebih tegang dan gelisah daripada biasanya ( Guyton,1990).
26
Lapar merupakan satu rangkaian isyarat dari dalam tubuh yang mengandung usaha untuk meperoleh dan mengkonsumsi makanan. Isyarat-isyarat ini berasal dari otak atau syaraf perifer atau dapat berkembang sebagai suatu kebiasaan. Faktor-faktor tersebut membantu sistem kontrol yang mengatur system keseimbangan kalori. Rasa lapar timbul dari beberapa faktor yang menimbulkan inisiatif makan dengan merangsang apa yang disebut a final common path. Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya lapar yaitu system syaraf pusat, syaraf perifer, pengaruh lingkungan, status penyakit dan faktor emosi (Olson,1987). Oleh sebab itu, apabila terjadi gangguan pada nafsu makan nantinya akan menimbulkan banyak masalah, yang salah satunya adalah kekurangan gizi. Gangguan pada nafsu makan telah menjadi masalah yang sering terjadi pada anak-anak. Gangguan nafsu makan terjadi pada 25%45% anak yang berkembang normal dan 80% pada anak yang terlambat perkembangannya (Waugh, 2010). Gangguan nafsu makan umumnya dialami anak-anak usia 1-3 tahun atau usia prasekolah. Pada usia ini anak menjadi sulit makan karena pertumbuhan fisiknya melambat dibanding ketika ia masih bayi. Fase sulit makan ini di negara Barat dikenal sebagai fase Johnny won’t eat. Selain itu periode usia 1-3 tahun disebut juga usia food jag, yaitu anak hanya mau memakan makanan yang disukai sehingga terkesan terlalu pilih-pilih dan sulit makan. Sulit makan dianggap wajar selama tidak mengganggu
27
kesehatan dan pertumbuhan anak dan akan hilang dengan sendirinya. Akan tetapi keadaan sulit makan yang berkepanjangan dapat berdampak pada pertumbuhan fisik dan perkembangan intelektual anak (Limananti & Triratnawati, 2003). 6. Pengaturan Pemasukan Makanan Perangsangan hipotalamus lateral menyebabkan binatang makan dengan lahap, sedangkan perangsangan nuclei ventromedialis hipotalamus menyebabkan kenyang total dan bahkan dengan adanya makanan yang sangat merangsang nafsu
makan, binatang tetap tidak mau makan.
Sebaliknya, lesi desdruktif pada nukleus ventromedalis menyebabkan efek yang sama seperti perangsangan pada nukleus lateral hipotalamus, yaitu makan dengan lahap dan terus menerus sampai binatang menjadi sangat kegemukan. Lesi pada nukleus lateral hipotalamus menyebabkan efek yang sangat belawanan, yaitu tidak ada hasrat sama sekali terhadap makanan dan secara progresif binatang menjadi kelaparan. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa nuklei lateralis hipotalamus sebagai pusat lapar atau pusat makan, sedangkan nuklei ventromedalis hipotalamus sebagai pusat kenyang (Guyton, 1990). 7. Kromatografi Saat ini kromatografi merupakan teknik pemisahan yang paling umum dan paling sering digunakan dalam bidang kimia analisis dan dapat dimanfaatkan untuk melakukan analisis, baik analisis kualitatif, kuantitatif, atau preparatif dalam bidang farmasi, lingkungan, industri, dan
28
sebagainya. Kromatografi merupakan suatu teknik pemisahan yang menggunakan fase diam (stationary phase) dan fase gerak (mobile phase). Berdasarkan pada mekanisme pemisahannya, kromatografi dibedakan menjadi : kromatografi absorbsi, kromatografi partisi,
kromatografi
pasangan ion, kromatografi penukar ion, kromatografi eksklusi ukuran, dan kromatografi afinitas. Berdasarkan pada alat yang digunakan. Kromatografi dapat dibgi atas : kromatografi kertas, kromatografi lapis tipis; yang keduanya sering disebut kromatografi planar, kromatografi cair kinerja tinggi (KCKT), dan kromatografi gas (KG) (Gandjar dan Rohman, 2007). a. Kromatografi lapis tipis (KLT) Ide penggunaan kromatografi serapan dalam bentuk lapisan tipis yang dilekatkan pada suatu penyokong telah diutamakan penggunaannya pada tahun 1983. Stahl mengembangkan kromatografi jenis ini dengan membuat cara-cara pembuatan potongan gelas dengan cara melapiskannya dan menunjukkan bahwa kromatografi lapis tipis dapat digunakan untuk keperluan yang luas dalam berbagai pemisahan. Selain memberikan hasil pemisahan yang lebih baik, kromatografi lapis
tipis
juga
(Sastrohamidjojo,
membutuhkan 2002).
waktu
Keuntungan
lain
yang
lebih
cepat
dari
KLT
adalah
pelaksanaannya yang lebih mudah dan murah dibandingkan dengan kromatografi kolom, serta peralatan yang digunakan pada kromatografi ini lebih sederhana (Gandjar dan Rohman, 2007).
29
Pada kromatografi lapis tipis, fase diamnya berupa lapisan yang seragam (uniform) pada permukaan bidang datar yang didukung oleh lempeng kaca, pelat aluminium, atau pelat plastik. Fase gerak pada KLT akan bergerak sepanjang fase diam karena pengaruh kapiler pada pengembangan secara menaik (ascending), atau karena pengaruh gravitasi pada pengembangan secara menurun (descending) (Gandjar dan Rohman, 2007). Kromatografi Lapis Tipis sekarang digunakan secara universal karena kecepatannya dan penggunaan analit yang relatif sangat sedikit sehingga kromatografi lapis tipis sangat ideal untuk laboratorium apotek. Prosedur ini dapat digunakan untuk : pemeriksaan identitas dan kemurnian senyawa obat, untuk pemeriksaan simplisia tanaman dan hewani, pemeriksaan komposisi dan komponen aktif sediaan obat menurut label deklarasi, serta untuk penentuan kuantitatif masingmasing senyawa aktif campuran senyawa obat (Roth, 1981). b. Kromatografi gas (KG) Kromatografi gas adalah suatu cara untuk memisahkan senyawa atsiri dengan meneruskan arus gas melalui fase diam. Bila fase diam berupa zat padat, kita menyebutnya sebagai kromatografi gas padat (KGP). Bila fase diam berupa zat cair, maka disebut kromatografi gas cair (KGC). Dasar pemisahan kromatografi gas adalah penyebaran culikan di antara dua fase. Alasan utama meluasnya penggunaan kromatografi gas adalah karena kepekaannya. Alasan lain
30
yaitu karena analisisnya yang relatif cepat, daya pisah yang tinggi, dapat digunakan sebagai analisis kuantitatif maupun kualitatif, serta cara pengoprasiaannya yang mudah (McNair & Bonelli, 1968). KG dapat diotomatisasi untuk analisis sampel-sampel padat, cair, dan gas. Sampel padat dapat diekstraksi atau dilarutkan dalam suatu pelarut sehingga dapat diinjeksikan ke system KG, demikian juga sampel gas dapat langsung diambil dengan penyuntik (syringe) yang peka terhadap gas (Gandjar dan Rohman, 2007). 8. Spektrometri Massa Spektrometri massa telah digunakan secara luas dalam kimia organik sejak tahun 1960. Sejak saat itu terjadi kenaikan penggunaan yang sangat besar terhadap metode ini. Hal tersebut terjadi karena dua alas an, yaitu yang pertama, telah ditemukannaya alat yang dapat menguapkan hamper semua senyawa organik dan mengionkan uap; kedua, fragmen bermuatan yang dihasilkan dari molekul dapat dihubungkan dengan struktur molekulnya (Sudjadi, 1983) . Dalam spektometri massa, molekul-molekul organik ditembak dengan berkas elektron dan diubah menjadi ion-ion bermuatan positif yang bertenaga tinggi (ion-ion molekuler atau ion-ion induk), yang dapat pecah menjadi ion-ion yang lebih kecil (ion-ion pecahan atau ion-ion anak); dimana lepasnya elektron dari molekul menghasilkan radikal kation dan proses ini dapat dinyatakann sebagai M
M+ . Ion molekul M+ biasanya
terurai menjadi sepasang pecahan atau fragmen, yang dapat berupa radikal
31
dan ion, atau molekul yang kecil dan radikal kation (Sastrohamidjojo, 1991). F. Landasan Teori Menurut Afifah (2005),
senyawa germakron pada temulawak
memiliki efek farmakologi berupa anti-inflamasi dan penghambat oedema, senyawa p-toluilmetillkarbinol dan seskuiterpen d-kamfer memiliki efek farmakologi berupa peningkatan produksi dan sekresi empedu, sedangkan senyawa turmeron memiliki efek farmakologi berupa antimikroba (antibiotik). Kandungan
temulawak yang diduga bertanggung jawab dalam
efek peningkatan nafsu makan adalah minyak atsirinya (Awalin, 1996). Efek
peningkatan
nafsu
makan
oleh
minyak
atsiri
temulawak
dimungkinkan karena sifat koleretiknya yaitu mempercepat sekresi empedu sehingga mempercepat pengosongan lambung serta pencernaan dan absorpsi lemak di usus yang kemudian akan mensekresi berbagai hormon yang yang dapat menimbulkan rasa lapar dan meregulasi peningkatan nafsu makan (Ozaki dan Liang, 1988); (Wijayakusuma, 2003).
32
G. Hipotesis Pemberian sediaan Emulsi® berpengaruh terhadap nafsu makan tikus yang ditekan nafsu makannya dengan parameter perubahan berat badan tikus yang diukur setiap minggu, serta jumlah asupan makanan dan minuman setiap harinya dibandingkan dengan kontrol negatif yaitu dietilpropion HCl sebagai penekan nafsu makan.