BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Gaya hidup masyarakat di Indonesia saat ini yang cenderung modern dan konsumtif membawa akibat timbulnya faktor-faktor resiko yang membahayakan kesehatan seperti diabetes, kolesterol tinggi, atherosklerosis, stroke, penyakit jantung koroner, dan sejenisnya. Kolesterol tinggi atau dislipidemia berarti ada ketidakseimbangan lemak (lipid), yang beredar dalam aliran darah (Anonim, 2014a). Dislipidemia merupakan faktor risiko utama untuk timbulnya penyakit jantung (AACE, 2012). Menurut WHO tahun 2011 penyakit jantung merupakan penyebab kematian nomor satu di dunia. Usaha untuk mengatasi hiperkolesterol dapat dilakukan dengan terapi non farmakologi seperti mengatur pola makan, berolah raga secara teratur, banyak mengkonsumsi serat, mengurangi berat badan dan lain sebagainya. Adapun terapi farmakologi yang dilakukan untuk menurunkan kadar kolesterol seperti penggunaan obat golongan statin seperti pravastatin, simvastatin, dan lovastatin. Penggunaan senyawa-senyawa sintesis untuk terapi hiperkolesterol tentu mengandung efek samping yang merugikan dan banyak dari pasien yang tidak tahan terhadap statin (Musselman dkk., 2011), maka diperlukan alternatif lain untuk mengatasi masalah ini, salah satunya adalah menggunakan obat herbal. Beberapa formula obat herbal anti hiperkolesterol dikembangkan di Indonesia salah satunya adalah sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 yang berisi
1
2
campuran beras merah hasil fermentasi atau angkak dengan ekstrak kayu manis. Angkak adalah produk dari fermentasi beras oleh kapang Monascus purpureus (Ma dkk., 2000). Angkak terdiri dari beberapa monakolin yang semuanya memiliki kemampuan menghambat enzim 3-hidroksi-3-metilglutaril koenzim A reduktase (HMG KoA reduktase), dimana enzim ini mempunyai peran yang penting dalam biosintesis kolesterol. Monakolin K adalah bahan aktif dari angkak hasil fermentasi beras yang strukturnya sama dengan lovastatin (Alberts dkk., 1980). Kandungan lain dari angkak adalah plant sterol (β-sitosterol, kampesterol, stigmasterol, dan sapogenin), isoflavon, zink, selenium, dan asam lemak tak jenuh rantai tunggal (Journoud dan Jones, 2004). Penilaian keamanan dari beras merah hasil fermentasi telah dilakukan oleh Kumari dkk. di tahun 2009 pada hewan uji tikus putih jantan dan betina. Hasil uji ketoksikan akut pada dosis 0,5; 1,0; 2,5; dan 5,0 g/kg BB tidak menyebabkan timbulnya gejala toksik atau kematian. Uji ketoksikan subkronis selama 14 minggu dengan dosis 2,0%; 4,0%; 8,0% dan 12% (b/b) tidak menyebabkan perubahan yang signifikan pada konsumsi makan atau bobot hewan uji dibanding dengan kelompok kontrol. Hal yang sama juga ditunjukkan pada bobot relatif organ-organ vital, parameter hematologi, makroskopik dan mikroskopik perubahan pada organ-organ vital dan kimia darah antara kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol. Selain itu tikus yang diberi perlakuan secara signifikan menunjukkan penurunan kolesterol dan trigliserida pada serum dan hepar (Kumari dkk., 2009).
3
Kayu manis (Cinnamomum burmanii) telah beberapa kali diteliti dapat menurunkan kadar glukosa darah, total kolestrol, dan kadar trigliserida, serta di sisi lain dapat meningkatkan kadar HDL (Khan dkk., 2003). Hasil dari uji toksisitas akut dan toksisitas subkronis ekstrak metanol kayu manis pada tikus putih tidak menunjukkan efek toksik pada kedua uji tersebut. Ekstrak metanol kayu manis yang terdiri dari 0,07% kumarin dan 0,20% trans-sinamaldehid (b/b), diberikan secara peroral pada dosis 500, 1000, dan 2000 mg/kg BB tidak menunjukkan tanda-tanda toksik atau kematian. Selain itu pada kondisi umum pertumbuhan, bobot organ, parameter hematologi, kimia darah, atau gross dan mikroskopis organ dari kelompok perlakuan dengan kelompok kontrol tidak berbeda signifikan. Hasil LD50 dari ekstrak metanol kayu manis lebih dari 2000 mg/kg BB. Kadar efek toksik yang tidak teramati (NOAEL) telah ditentukan menjadi 2000 mg/kg BB perhari (Ahmad dkk., 2013). Penelitian yang lain mengenai ketoksikan sub kronis kombinasi kayu manis dan ekstrak daun bungur (Lagerstroemia speciosa L. Pers.) menunjukkan tidak terjadi perubahan struktural mikroskopis organ ginjal, paru-paru, limpa, jantung, dan pankreas (Intansari, 2013; Wagiyati, 2013). Penggunaan sediaan penurun kolesterol LIPI 2013 sebagai obat herbal antihiperkolesterol perlu dilakukan uji untuk mengetahui batas keamanannya. Salah satu uji untuk mengetahui keamanan campuran ini adalah uji toksisitas subkronis. Uji toksisitas subkronis ini dilakukan mengingat penggunaan obat antihiperkolesterol bertujuan untuk menurunkan resiko penyakit kardiovaskuler dan umumnya memerlukan waktu yang relatif lama. Selain itu, uji toksisitas
4
subkronis ini perlu dilakukan untuk mengidentifikasi lebih jauh paparan toksikan dari berbagai macam komponen senyawa aktif bahan uji terhadap organ vital hepar, ginjal, dan pankreas.
B. Perumusan Masalah 1. Bagaimanakah gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan sediaan uji penurun kolesterol LIPI 2013 secara berulang selama 90 hari pada tikus putih jantan dan betina galur SD? 2. Bagaimana pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari terhadap berat badan, asupan makanan, dan minum tikus jantan dan betina galur SD? 3. Bagaimana pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari terhadap parameter urin (warna dan pH) tikus jantan dan betina galur SD? 4. Bagaimana pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter histopatologi organ hepar, ginjal, dan pankreas setelah perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-104)?
C. Tujuan Penelitian 1. Mengetahui gejala klinis dan sifat efek toksik yang ditimbulkan akibat pemejanan sediaan uji penurun kolesterol LIPI 2013 secara berulang selama 90 hari pada tikus putih jantan dan betina galur SD.
5
2. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari terhadap kenaikan berat badan, asupan makanan, dan minum tikus jantan dan betina galur SD. 3. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang selama 90 hari terhadap parameter urin (warna dan pH) tikus jantan dan betina galur SD. 4. Mengetahui pengaruh pemberian sediaan uji secara berulang terhadap parameter histopatologi organ hepar, ginjal, dan pankreas setelah perlakuan (hari ke-90) dan reversibilitas (hari ke-104).
D. Manfaat Penelitian 1. Penelitian ini diharapakan dapat bermanfaat bagi pengembangan ilmu kefarmasian khususnya dalam bidang uji praklinik, ilmu kedokteran, dan pengetahuan tentang uji ketoksikan subkronis. 2. Memberikan informasi kepada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia mengenai batas keamanan sediaan uji apabila digunakan dalam jangka waktu yang cukup lama.
E. Tinjauan Pustaka 1. Toksikologi a. Definisi dan ruang lingkup toksikologi Toksikologi adalah suatu ilmu yang mempelajari efek merugikan dari zat kimia, baik saat digunakan ataupun saat berada di lingkungan, dan diutamakan dampaknya pada manusia, baik yang masuk secara sengaja atau tidak sengaja
6
(Priyanto, 2009). Menurut Paracelsus (1493-1541), semua senyawa dapat bertindak sebagai racun. Perbedaan antara obat dan racun terletak pada takaran (dosis) yang tepat (Doull dan Bruce, 1986). Pernyataan ini mengarah pada perkembangan toksikologi modern yaitu toksikologi berkembang menjadi ilmu yang mempelajari pengaruh kuantitatif zat kimia atas sistem biologi, yang pusat perhatiannya terletak pada aksi berbahaya zat kimia itu (Donatus, 2001). Ruang lingkup toksikologi dibagi menjadi tiga kajian pokok berdasarkan sifat pemejanan pada diri makhluk hidup dan cakupan pokok kajiannya yakni toksikologi lingkungan, toksikologi ekonomi, dan toksikologi kehakiman (Donatus, 2001). Toksikologi lingkungan merupakan cabang ilmu toksikologi yang berkaitan dengan pemejanan yang tidak disengaja terhadap jaringan biologi (terutama manusia) dengan zat kimia yang pada dasarnya merupakan pencemar lingkungan, makanan atau air. Toksikologi ekonomi merupakan cabang toksikologi yang menguraikan pengaruh berbahaya zat kimia, yang dengan sengaja dipejankan pada jaringan biologi, dengan maksud untuk mencapai pengaruh atau efek khas (misal obat, zat tambahan makanan, pestisida). Sedangkan toksikologi kehakiman merupakan toksikologi yang membahas tentang aspek medis dan aspek hukum pengaruh berbahaya suatu zat kimia berbahaya (Gallo, 2008; Loomis, 1978). b.
Asas umum toksikologi Berdasarkan atas alur peristiwa timbulnya efek toksik, maka ada empat
asas utama yang perlu dipahami dalam mempelajari toksikologi. Empat asas tersebut meliputi kondisi pemejanan dan kondisi makhluk hidup, mekanisme aksi,
7
wujud, dan sifat efek toksik (Donatus, 2001). Pemahaman mengenai empat asas umum toksikologi dapat digunakan untuk mengevaluasi keberbahayaan suatu zat. Evaluasi ini selanjutnya dapat digunakan untuk menentukan atau memperkirakan batas keamanan suatu zat bila mengenai atau digunakan pada manusia serta caracara menggunakannya supaya tidak menimbulkan efek toksik (Priyanto, 2009). Kondisi efek toksik merupakan keadaan atau faktor yang mempengaruhi efektivitas absorpsi, distribusi, dan eliminasi suatu senyawa di dalam tubuh, sehingga akan menentukan keberadaan zat kimia utuh atau metabolitnya dalam sel sasaran atau keefektifannya dengan sel sasaran (Priyanto, 2009). Kondisi pemejanan adalah semua faktor yang menentukan keberadaan racun di tempat aksi tertentu di dalam tubuh, yang berkaitan dengan pemejanan pada diri makhluk hidup. Yang termasuk kondisi pemejanan meliputi jenis pemejanan (akut, subkronis dan kronis), jalur pemejanan (oral, inhalasi, intravena, subkutan, dermal, dan intraperitoneal), lama dan kekerapan pemejanan, saat dan takaran pemejanan (Donatus, 2001). Kondisi makhluk hidup adalah keadaan fisiologi serta patologi makhluk hidup yang dapat mempengaruhi ketersediaan racun di sel sasaran dan keefektifan antaraksi antara racun dengan sel sasaran. Kondisi makhluk hidup dibagi menjadi dua golongan yakni kondisi normal atau fisiologi dan kondisi tak normal atau patologi. Yang termasuk dalam kondisi fisiologi adalah berat badan, umur, jenis kelamin, kehamilan, suhu tubuh, kecepatan pengosongan lambung, kecepatan alir darah, status gizi, genetika serta irama sirkadian dan diurnal. Sedangkan yang
8
termasuk kondisi patologi adalah penyakit saluran cerna, penyakit kardiovaskuler, penyakit hati, dan penyakit ginjal (Donatus, 2001). Mekanisme aksi toksik racun dapat digolongkan menjadi tiga, yakni mekanisme berdasarkan sifat dan tempat kejadian, berdasarkan sifat antaraksi antara racun dan tempat aksinya, dan berdasarkan risiko penumpukan racun dalam gudang penyimpanan tubuh. Berdasarkan sifat dan tempat kejadiannya, mekanisme aksi toksik dibedakan menjadi mekanisme luka intrasel dan mekanisme luka ekstrasel. Mekanisme luka intrasel meliputi membran, protein, dan pasokan energi, sedangkan mekanisme luka ekstrasel meliputi pasokan oksigen, pasokan zat hara, cairan, mekanisme pengaturan, sistem syaraf, dan sistem imun. Berdasarkan sifat antaraksinya, mekanisme luka dibedakan menjadi terbalikkan dan tidak terbalikkan. Berdasarkan resiko penumpukan senyawasenyawa sangat lipofil dan sulit dimetabolisme, di dalam tubuh cenderung akan disimpan di dalam gudang penyimpanan yaitu kompartemen lemak. Efek toksik akan timbul apabila secara perlahan racun-racun dalam gudang tersebut dilepaskan menuju sirkulasi darah sehingga kadarnya meningkat hingga melebihi KTM. Hal inilah yang dianggap sebagai risiko penumpukan (Donatus, 2001). Wujud efek toksik pada racun merupakan perubahan biokimia, fungsional, dan struktural. Jenis efek toksik berdasarkan perubahan biokimia berkaitan dengan respon dan perubahan biokimia terhadap luka sel akibat antaraksi antara racun dan tempat aksi yang terbalikkan (Donatus, 2001). Contoh dari perubahan biokimia ini antara lain penghambatan respirasi selular, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, serta gangguan pasokan energi (Priyanto, 2009). Jenis efek
9
toksik berdasarkan perubahan fungsional berkaitan dengan antaraksi racun yang tak terbalikkan dengan reseptor atau tempat aktif enzim, sehingga mempengaruhi fungsi homeostatis tertentu (Donatus, 2001). Respon perubahan fungsional ini antara lain berupa anoreksia, gangguan pernafasan, gangguan system syaraf pusat, hiper atau hipotensi, hiper atau hipoglikemi, perubahan keseimbangan cairan dan elektrolit, dan hipo atau hipertermi, dan perubahan kontraksi dan relaksasi otot (Priyanto, 2009). Jenis efek toksik berdasarkan perubahan struktural diantaranya perlemakan, nekrosis, karsinogenesis, mutagenesis, dan teratogenesis (Donatus, 2001). Sifat efek toksik racun dapat dibagi menjadi dua, yaitu terbalikkan dan tidak terbalikkan. Efek toksik yang terbalikkan adalah apabila kadar racun yang ada dalam tempat aksi atau reseptor tertentu telah habis maka reseptor akan kembali kepada keadaan semula, sedangkan efek toksik yang tak terbalikkan adalah apabila kerusakan yang terjadi sifatnya menetap, pemejanan berikutnya akan menimbulkan kerusakan yang sifatnya sama sehingga menimbulkan terjadinya penumpukan efek toksik sehingga efek yang ditimbulkan antara pemejanan dengan takaran kecil jangka panjang sebanding dengan pemejanan dosis besar jangka pendek. Zat atau racun yang dapat menimbulkan efek toksik tak terbalikkan adalah zat racun yang terakumulasi atau sangat sulit dieliminasi (Priyanto, 2009).
2. Ketoksikan Subkronis Metode OECD Guideline 408 Uji toksisitas subkronis merupakan uji ketoksikan suatu senyawa yang dipejankan dengan dosis berulang pada hewan uji tertentu selama kurang dari tiga
10
bulan. Uji ini ditujukan untuk mengevaluasi spektrum efek toksik sediaan uji serta untuk mengetahui apakah spektrum efek toksik tersebut berkaitan dengan takaran dosis (Donatus, 2001). Uji ketoksikan subkronis dapat dilakukan dengan durasi bervariasi, namun pada umumnya uji ketoksikan ini dilakukan selama 90 hari (Eaton dan Gilbert, 2008). Pedoman dalam melakukan pengujian ketoksikan sub kronis mengacu pada Guideline OECD 408 Repeated Dose 90-day Oral Toxicity Study in Rodents. Guideline ini dikeluarkan oleh sebuah lembaga yang bernama OECD (Organization for Economic Co-Operation and Development), yang secara bertahap melakukan proses revisi terhadap Guideline OECD 408. Revisi terbaru Guideline OECD 408 adalah pada 21 September 1998 dan memuat informasi yang lebih spesifik berkaitan dengan hewan uji yang digunakan dalam penelitian ketoksikan subkronis dibandingkan metode uji ketoksikan sebelumnya (OECD, 2013). Prinsip dari metode uji ketoksikan subkronis OECD 408 adalah hewan uji dipejani secara peroral dengan sediaan uji selama 90 hari. Selama periode perlakuan dilakukan pengamatan terhadap gejala klinis yang muncul, perubahan berat badan, asupan makanan dan minuman untuk masing-masing hewan atau kelompok hewan uji paling tidak 7 hari sekali, pemeriksaan hematologi dan kimia darah paling tidak diperiksa dua kali, yaitu pada awal dan akhir masa pengujian, pemeriksaan urin, paling tidak sekali, pemeriksaan histopatologi organ pada hewan yang mati pada masa pengujian dan pada seluruh hewan pada akhir masa pengujian (Donatus, 2001; Loomis, 1978; OECD, 1998).
11
3. Parameter Urin Urin merupakan cairan biologis yang dikeluarkan oleh tubuh makhluk hidup untuk mengekskresikan sisa-sisa metabolisme. Parameter urin dalam penelitian ini meliputi pemeriksaan fisik sederhana yang berupa warna dan pH. Urin dengan konsentrasi yang tinggi umumnya berwarna pekat dan mempunyai berat jenis yang tinggi. Sebaliknya pada urin konsentrasi rendah memiliki warna yang pucat dan mempunyai berat jenis yang rendah. Urin yang berwarna bisa timbul pada penyakit tertentu atau pada gangguan metabolisme, juga setelah pemakaian obat-obatan tertentu. Kondisi normal, urin akan bersifat asam dengan kisaran pH sekitar 5,5-8,0. Diet sayuran dan tumbuhan menyebabkan kecenderungan urin bersifat alkali (Baron, 1982).
4. Paramater Histopatologi Histopatologi merupakan cabang dari ilmu patologi yang fokus untuk menemukan dan mendiagnosis penyakit dari hasil pemeriksaan jaringan. Pemeriksaan tersebut meliputi pemeriksaan makroskopik jaringan disertai seleksi sampel jaringan untuk pengamatan mikroskopik. Pemeriksaan histopatologis penting untuk mengetahui kerusakan struktural yang tidak terlihat, karena tidak adanya gangguan fungsional (Underwood, 1994). Pemeriksaan histopatologis juga berguna untuk melihat ada tidaknya kecenderungan suatu senyawa untuk merusak organ tertentu (Balazs, 1970). Mayoritas diagnosis histopatologis dilakukan dari potongan
jaringan
blok
parafin
dengan
pewarnaan
hematoksilin-eosin
12
(Underwood, 1994). Organ-organ vital
yang digunakan untuk
analisis
histopatologi dalam penelitian ini adalah hepar, ginjal, dan pankreas. a.
Hepar Hepar adalah organ terbesar kedua dalam tubuh setelah kulit dan
merupakan kelenjar terbesar (Junqueira dan Carneiro, 2005). Berat hepar pada tikus kira-kira 10 g/250 g tikus, sedangkan volumenya 19,6 mL/250 g tikus dengan kecepatan aliran empedu 22,5 ml/hari/ 250 g tikus. Hepar tikus terdiri dari empat lobus yakni lobus tengah, samping kanan dan kiri serta bagian ekor. Tikus tidak memiliki kantung empedu. Empedu dari tiap lobus mengalir melalui suatu saluran. Saluran ini kemudian membentuk saluran empedu biasa yang memasuki duodenum dengan jarak kira-kira 25 mm ke sfingter pylorus (Sharp dan La Regina, 1998). Hepar adalah organ target yang biasa untuk menerima efek toksik dari senyawa toksik terutama efek toksik langsung. Sebagian besar zat toksik yang tertelan melalui mulut dan diabsorbsi di saluran pencernaan kemudian diangkut oleh aliran darah menuju hepar melalui vena porta. Oleh karena itu hepar merupakan organ pertama yang terkena zat toksik setelah saluran cerna itu sendiri. Hepar menerima sekitar 25 % darah dari jantung. Begitu sampai di hepar zat toksik akan diambil masuk ke sel-sel hepar atau hepatosit baik melalui transport aktif atau dengan difusi pasif tergantung pada struktur kimia (Timbrell, 2002). Struktur morfologi sel hepar terdiri dari hepatosit, liposit (sel penyimpan lemak), sel kupffer (fagosit), sel endotel dan jaringan ikat (Greaves, 2007). Hepatosit adalah penyusun mayoritas dari struktur hati yang secara metabolisme
13
sangat aktif. Hepatosit melakukan berbagai reaksi biokimia penting seperti sintesis protein, detoksifikasi ammonia sebagai urea, dan metabolisme lipid. Gangguan terhadap metabolisme perantara seperti aktivitas oleh senyawa kimia eksogen dapat mengakibatkan toksisitas bagi hepar. Hepatosit juga sangat aktif dalam metabolisme senyawa eksogen atau xenobiotik dan ini merupakan alasan lain mengapa hepar sebagai target ketoksikan. Alasan terakhir mengapa hepar menjadi target ketoksikan xenobiotik adalah karena hepar juga memiliki fungsi ekskretoris yang memproduksi empedu. Empedu berfungsi mengumpulkan dan mengangkut produk limbah termasuk xenobiotik atau metabolitnya. Konsentrasi xenobiotik yang dicapai dalam empedu itu sendiri mungkin cukup tinggi, hal ini dapat menyebabkan kerusakan pada saluran empedu (Timbrell, 2002). b. Ginjal Ginjal merupakan salah satu organ penting yang berperan dalam menjaga homeostasis tubuh (Junqueira dan Carneiro, 2005). Manusia dan mamalia memiliki sepasang ginjal yang masing-masing tersusun atas tiga bagian utama, yaitu korteks, medula, dan papilla (Schnellmann, 2008). Berat ginjal pada tikus kira-kira 2 g/250 g tikus, sedangkan volumenya 3,7 mL/250 g tikus. Ginjal tikus secara langsung berhubungan dengan ureter atau saluran urin dan terdiri dari satu papila (unipapillate) dengan hanya satu calyx (Sharp dan La Regina, 1998). Fungsi keseluruhan dari ginjal mamalia sangat vital pada total homeostasis tubuh karena ginjal memegang peranan penting dalam pengaturan ekskresi dari sampah metabolik dan pengaturan dari volume ekstraseluler, komposisi elektrolit, dan keseimbangan asam dan basa. Fungsi lain dari ginjal adalah memproduksi hormon
14
seperti renin dan eritropoetin, serta memetabolisme vitamin D3 menjadi bentuk aktif dihidroksi vitamin D3. Ginjal menjadi sasaran senyawa toksik karena ginjal banyak menerima aliran darah dari khususnya bagian korteks yang menerima aliran darah dengan presentase tinggi dibandingkan medula dan papilla yakni 90 %. Hal ini menyebabkan tingginya peluang senyawa toksik yang mungkin terbawa aliran darah untuk berikatan pada bagian korteks (Schnellmann, 2008). c. Pankreas Pankreas adalah kelenjar campuran eksokrin dan endokrin yang memproduksi enzim dan hormon pencernaan. Enzim disekresi oleh sel bagian eksokrin, dan diatur pada bagian sel asini. Hormon disintesis pada kluster dari sel epitel endokrin yang dikenal sebagai Langerhans islet (Junqueira dan Carneiro, 2005). Enzim pencernaan yang disekresikan oleh kelenjar pankreas adalah insulin dan glukagon. Insulin disekresikan oleh sel B dari sel-sel di pulau Langerhans dan menstimulasi pengambilan glukosa darah ke jaringan adiposa atau sel otot. Glukagon disekresikan oleh sel A pada sel-sel pulau Langerhans dan menstimulasi glukogenolisis untuk meningkatkan glukosa darah. Somatostatin disekresikan oleh sel D dari pankreas islet dan penting pada kontrol metabolisme, tetapi mekanisme pengaturannya tidak diketahui secara penuh (Ohkura dkk., 2000).
5. Angkak Angkak adalah produk hasil fermentasi beras oleh kapang Monascus purpureus (Ma dkk., 2000). Negara-negara di kawasan Asia telah menggunakan
15
angkak sebagai perasa, pengawet, dan pewarna dalam makanan dalam ikan atau daging (Li dkk., 1998). Akhir-akhir ini pigmen angkak yang telah dimurnikan secara luas telah digunakan pada pemrosesan seafood, sosis, dan saus (Kumari dkk., 2009). Secara langsung tidak ada efek yang merugikan bagi kesehatan, namun pada beberapa spesies M. purpureus dapat memproduksi mycotoxin citrinin (Blanc dkk., 1995). Kandungan dari angkak yang berperan dalam penghambatan enzim HMGKoA reduktase diketahui sebagai monakolin. Enzim HMG-KoA reduktase mempunyai peran yang esensial dalam biosintesis kolesterol. Monakolin K adalah bahan aktif dari angkak hasil fermentasi beras yang mempunyai struktur yang sama dengan lovastatin (Alberts dkk., 1980). Angkak mengandung sembilan turunan monakolin yang berbeda, yang semuanya memiliki kemampuan untuk menghambat HMG-KoA reduktase. Bahan aktif lainnya dalam angkak merah termasuk sterol (betasitosterol, kampesterol, stigmasterol, sapogenin), isoflavon, dan asam lemak tak jenuh rantai tunggal (Heber dkk., 1999).
Gambar 1. Angkak hasil fermentasi Monascus purpureus (Sulistyorini, 2008).
16
6. Kayu manis (Cinnamomum burmanii) Divisi
: Spermatophyta
Sub divisi
: Angiospermae
Kelas
: Dicotyledonae
Bangsa
: Ranales
Suku
: Lauraceae
Marga
: Cinnamomum
Jenis
:Cinnamomum burmanii Ness (Syamsuhidayat dan Hutapea, 1991).
Gambar 2. Kulit kayu manis (Cinnamomum burmanii Ness) (Dwijayanti, 2011).
Kayu manis telah beberapa kali diteliti dapat menurunkan kadar glukosa darah, total kolestrol, dan kadar trigliserida, serta di sisi lain dapat meningkatkan kadar HDL (Khan dkk., 2003). Kayu manis mengandung methyl hydroxy chalcone polymer (MHCP), senyawa aktif yang dapat berfungsi sebagai mimetic insulin. Mekanisme yang dipengaruhi oleh MHCP melingkupi fosforilasi reseptor insulin, glucose uptake, sintesis glikogen (Jarvill-Taylor dkk., 2001). Kandungan MHCP akan menurunkan resistensi insulin pada penderita diabetes mellitus tipe 2. Penurunan resistensi insulin akan membantu mengendalikan pelepasan asam lemak yang tidak teresterifikasi dari jaringan adiposa, dan juga peningkatan aktivasi dari lipoprotein lipase pada jaringan adipose (Khan dkk., 2003).
17
F. Keterangan Empiris Penelitian ini bersifat eksperimental eksploratif untuk mendapatkan gambaran efek toksik pemberian sediaan uji penurun kolesterol LIPI 2013 secara per-oral selama 90 hari pada tikus jantan dan betina galur SD dilihat dari gejala toksik dan wujud efek toksik serta pengaruh dosis terhadap luas spektrum efek toksik ditinjau dari parameter: berat badan, asupan makanan, asupan minuman, urin, dan histopatologi.