BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Leptospirosis merupakan zoonosis yang tersebar di seluruh dunia, terutama di daerah tropis. Penyakit demam akut ini disebabkan oleh bakteri genus Leptospira yang dikeluarkan melalui urin hewan terinfeksi dengan manifestasi klinis bervariasi, mulai dari infeksi sub klinik, demam anikterik ringan seperti influenza sampai dengan berat dan dapat menimbulkan kematian, ditularkan melalui kontak langsung atau tidak langsung melalui urin hewan terinfeksi (Shieh et al., 2011; Faine et al., 1999; Levet, 2001; International Leptospirosis Society, 2000). Indonesia termasuk daerah tropis yang merupakan salah satu negara endemis leptospirosis. Kasus leptospirosis di Indonesia ditemukandi Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Lampung, Sumatera Selatan, Bengkulu, Riau, Sumatera Barat, Sumatera Utara, Bali, NTB, Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Kalimantan Timur dan Kalimantan Barat (Widarso, 2008). Provinsi yang masih melaporkan adanya kasus leptospirosis dari tahun 2005 sampai tahun 2012 adalah Provinsi DKI Jakarta, Jawa Tengah, Jawa Barat, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Jawa Timur (Ditjen PP&PL, 2013). Pada bulan Februari-April 2002 terjadi
KLB
leptospirosis di DKI Jakarta. KLB tersebut akibat banjir yang berkepanjangan (Widarso, 2008). Angka insidensi kejadian leptospirosis secara global belum diketahui secara pasti karena keterbatasan kemampuan diagnostik dan manifestasi klinis
1
2
leptospirosis bervariasi dengan gejala klinis menyerupai penyakit lain, sehingga leptospirosis sering tidak terdeteksi (Shieh et al., 2011; WHO, 2011). Jumlah kasus leptospirosis terlaporkan di Indonesia dari tahun 2004-2012 berfluktuasi. Selama 6 tahun kebelakang terjadi peningkatan jumlah kasus yang tajam pada tahun 2006-2007 (146 kasus dan 664 kasus) dan 2010-2011 (409 kasus dan 857 kasus). Lonjakan kasus pada tahun 2007 terjadi akibat banjir besar di Provinsi DKI Jakarta pada bulan Februari dan pada tahun 2011 terjadi pula peningkatan kasus cukup tinggi di Provinsi DIY. Hal ini terjadi karena adanya KLB di Kabupaten Bantul. Pada tahun 2012 kasus leptospirosis di Indonesia dilaporkan sebanyak 239 kasus (Ditjen PP&PL, 2013). Berdasarkan survei oleh International Leptospirosis Society (ILS) Indonesia berada peringkat 3 tertinggi dalam hal mortalitas, yaitu mencapai 2,5-16,45% dengan rata-rata 7,1%. Pada penderita usia lebih 50 tahun angka kematian meningkat sampai 56% (ILS, 2000; Widarso, 2008). Case Fatality Rate (CFR) leptospirosis di Indonesia pada tahun 2004-2012 mencapai >5%, pada tahun 2004-2008 cenderung menurun dan tahun 2009-2012 cenderung meningkat (6,87%; 10,51%; 9,57%; 12,13%) (Direktorat Jenderal PP-PL, 2013). Reservoir utama leptospirosis adalah mamalia terutama tikus yang merupakan maintenance host Leptospira (Muliawan, 2008, Faine et al., 1999). Penelitian oleh Villanueva et al. (2010) dan Koizumi et al. (2009) menunjukkan bahwa tikus berperan sebagai sumber penularan leptospirosis dan reservoir leptospirosis yang penting. Pada kegiatan penangkapan tikus biasanya juga tertangkap cecurut rumah. Beberapa penelitian menemukan cecurut rumah positif
3
membawa Leptospira dalam tubuhnya (Ristiyanto et al., 2006; Ikawati et al., 2012; Ivanova et al., 2012) sehingga cecurut rumah juga berpotensi menularkan Leptospira pada manusia. Diagnosis leptospirosis biasanya dengan tes serologi, karena kultur membutuhkan media khusus dan perlu inkubasi selama beberapa minggu (Setiawan, 2008). Diagnosis serologi dengan Microscopic Agglutination Test (MAT) merupakan gold standard diagnosis leptospirosis. Diagnosis leptospirosis dengan MAT mengalami kendala terutama di negara berkembang karena memerlukan banyak jenis serovar dan tenaga ahli berpengalaman, memakan waktu terutama jika serovar bakteri yang diperiksa dalam jumlah besar (Saengjaruk et al., 2002; Levett, 2001). MAT kurang sensitif terutama untuk pemeriksaan spesimen yang diambil pada permulaan fase akut, sehingga MAT tidak dapat digunakan untuk diagnosis pada penderita berat yang meninggal sebelum terjadinya serokonversi (Levett, 2001; Setiawan, 2008). Sejauh ini, telah dikembangkan suatu diagnosa laboratorium yang cepat dan lebih mudah untuk mendeteksi DNA (deoxyribonucleic acid) Leptospira menggunakan teknik Polymerase Chain Reaction (PCR). Teknik ini telah digunakan dalam kegiatan surveilans leptospirosis (Setiawan, 2008; Villanueva, 2010). Metode ini sangat berguna untuk mendiagnosis leptospirosis terutama pada fase permulaan penyakit. Metode ini dapat mendeteksi Leptospira beberapa hari setelah munculnya penyakit (Setiawan, 2008). Beberapa tahun terakhir dikembangkan protokol PCR yang menggunakan target gen lipoprotein LipL32 untuk mendeteksi Leptospira patogenik. LipL32
4
dengan struktur yang highly conserved, hanya terdapat pada strain patogen dan merupakan faktor virulensi yang penting (Levett et al., 2005; Lucas et al., 2011; Yang et al., 2002; Vivian et al., 2009). Provinsi Jawa Tengah merupakan salah satu provinsi yang masih melaporkan adanya kasus leptospirosis dari tahun 2005-2012. Pada tahun 2012 proporsi kasus leptospirosis Provinsi Jawa Tengah sebesar 53,97% terhadap total kasus di Indonesia (Ditjen PP&PL, 2013). Pada tahun 2013 kasus leptospirosis Provinsi Jawa Tengah terjadi di Kota Semarang, Demak, Klaten, Purworejo, Pati, Wonogiri, Jepara, Banyumas, Magelang, Boyolali dan Sukoharjo. Selama tahun 2008 – 2013 kasus leptospirosis paling banyak terjadi di Kota Semarang (Dinkes Provinsi Jawa Tengah, 2013). Pada tahun 2014 hingga bulan Februari – Maret kasus leptospirosis meningkat di Kabupaten Pati dan Kabupaten Boyolali. Kasus leptospirosis di Kabupaten Pati meningkat dari 14 di tahun 2013 menjadi 27 hingga bulan Februari tahun 2014 dengan 4 orang meninggal (CFR : 14,8%). Kasus paling banyak terjadi di Kecamatan Juwana (P2 Dinkes Kabupaten Pati, 2014). Kabupaten Boyolali melaporkan peningkatan kasus leptospirosis 4 kejadian pada tahun 2013 menjadi 6 kasus dengan 5 kematian (CFR = 83,33%) hingga bulan Maret pada tahun 2014. Selama tahun 2012-Maret 2014 kasus terjadi di Kecamatan Nogosari dan Kecamatan Ngemplak. Berdasarkan hal tersebut maka perlu dilakukan pemeriksaan Leptospira pada hewan penular terutama tikus sebagai reservoir utama leptospirosis dan sebagai sumber infeksi bagi manusia.
5
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian di atas, permasalahan yang timbul adalah : 1. Apakah primer LipL32 dapat mendeteksi Leptospira patogenik dan apakah terdapat bakteri Leptospira patogenik pada tikus dan cecurut di Kabupaten Pati dan Kabupaten Boyolali sebagai sumber infeksi bagi manusia ? 2. Leptospira patogenik jenis apa yang menginfeksi tikus dan cecurut di Kabupaten Pati dan Kabupaten Boyolali ? C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Umum Mengetahui adanya bakteri Leptospira patogenik pada tikus dan cecurut menggunakan metode PCR dengan target gen LipL32 di Kabupaten Pati dan Kabupaten Boyolali. 2. Tujuan Khusus a. Mengetahui adanya DNA Leptospira patogenik pada tikus dan cecurut menggunakan metode PCR dengan target gen LipL32 di Kabupaten Pati dan Kabupaten Boyolali. b. Mengetahui jenis Leptospira patogenik yang menginfeksi tikus dan cecurut dengan konfirmasi hasil PCR positif menggunakan sekuensing. D. Keaslian Penelitian Penelitian sejenis yang pernah dilakukan sebagai berikut : 1. Koizumi et al. (2009) melakukan studi mengenai kasus leptospirosis pada manusia dan prevalensi tikus sebagai reservoir Leptospira di daerah urban Tokyo Jepang. Deteksi antibodi anti-Leptospira pada serum pasien melalui
6
pemeriksaan MAT sedangkan deteksi DNA Leptospira pada darah dan urin pasien serta sampel tikus menggunakan PCR dengan mendeteksi adanya gen flaB. Identifikasi serogroup Leptospira pada sampel tikus dilakukan dengan MAT menggunakan panel anti-Leptospira serovar Australis, Canicola, Copenhageni, Hebdomadis dan Icterohaemorrhagiae. Leptospira interrogans serovar Copenhageni dan Icterohaemorrhagiae merupakan serovar yang paling banyak ditemukan pada sampel tikus dan antibodi terhadap serovar tersebut ditemukan pada pasien. Sehingga tikus merupakan reservoir leptospirosis yang penting di daerah urban Tokyo. 2. Villanueva, S. Y. A. M. et al. (2010) mengidentifikasi serovar Leptospira pada tikus di Pilipina. Penelitian dilakukan dengan mengisolasi Leptospira dari ginjal tikus. Kemudian menentukan tipe isolat dengan menggunakan Pulsed-field gel electrophoresis (PFGE), analisis sekuens gen gyrase subunit B (gyrB) dan MAT. Hasil pemeriksaan MAT menemukan 92% serum tikus positif mengandung antibodi anti-Leptospira terutama serovar Manilae, Hebdomadis, dan Losbanos. Berdasarkan pemeriksaan PFGE dan analisis sekuens gen gyrB ditemukan L. interrogans serovar Manilae, serovar Losbanos, serogrup Gryppotyphosa dan L. borgpetersenii serogrup Javanica. Hal ini menunjukkan bahwa tikus merupakan sumber penularan leptospirosis di Pilipina. 3. Romero-Vivas, C. M. E. et al. (2013) melakukan studi seroprevalensi Leptospira patogen pada manusia, tikus, mencit dan anjing. Pemeriksaan MAT menggunakan panel 19 Leptospira patogen, 1 intermediate patogen
7
dan 1 Leptospira saprofit. Untuk mengkonfirmasi adanya Leptospira patogen menggunakan PCR konvensional dengan mendeteksi gen lipL32, sedangkan untuk mengidentifikasi serovar dilakukan dengan cara analisis PFGE. Pada pemeriksaan MAT ditemukan 20,4% mencit, 12,5% R. rattus, 25% R. norvegicus bereaksi terhadap 1 sampai 7 serogrup Leptospira. Sebanyak 12,5% R. rattus terdeteksi adanya DNA Leptospira patogen. 4. Julie Perez, Fabrice Brescia, Jerome Becam, Carine Mauron, Cyrille Goarant (2011) melakukan penelitian berjudul “Rodent Abundance Dynamics and Leptospirosis Carriage in an Area of Hyper-Endemicity in New Caledonia”. Variabel yang diteliti meliputi kelimpahan tikus dan prevalensi bakteri Leptospira di daerah hiperendemis yang diukur dua kali setahun yaitu pada musim panas dan musim dingin. Penelitian menggunakan desain cross sectional dan menemukan bahwa dinamika tikus dan bakteri Leptospira berubah selama survei, kemungkinan karena pengaruh cuaca/musim. Pada musim hujan tikus yang ditemukan lebih beragam dan lebih banyak membawa bakteri Leptospira, serta berhubungan dengan banjir yang mempunyai risiko kontak dengan air dan tanah lebih tinggi. Kejadian luar biasa (outbreaks) di daerah hiperendemis timbul karena kondisi cuaca yang mengarah pada peningkatan risiko keterpaparan dan peningkatan jumlah tikus. 5. Piedad Agudelo-Florez et al. (2009) melakukan penelitian Prevalence of Leptospira spp in Urban Rodents from a Groceries Trade Center of Medellin, Colombia. Penelitian ini menggunakan rancangan cross sectional
8
untuk mengetahui prevalensi Leptospira sp pada tikus di pusat perdagangan bahan makanan. Variabel yang diteliti meliputi spesies, jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan tikus. Spesies tikus yang tertangkap adalah Rattus norvegicus dengan 4 isolat menunjukkan mengandung L. interrogans. Berdasarkan uji statistik tidak ditemukan hubungan yang signifikan secara statistik antara jenis kelamin, umur dan kondisi kesehatan tikus dengan adanya bakteri Leptospira hasil pemeriksaan dengan metode kultur dan microagglutination test. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian yang sudah dilakukan sebelumnya terdapat pada perbedaan tempat, primer yang digunakan, asal isolat dan faktor risiko sumber penularan leptospirosis yaitu deteksi Leptospira patogenik menggunakan pemeriksaan PCR dengan target gen LipL32 pada sampel tikus (rat dan mus) serta sebaran tikus terinfeksi Leptospira di Kabupaten Pati dan Kabupaten Boyolali. E. Manfaat Penelitian 1.
Manfaat Keilmuan Pengembangan keilmuan dengan memperkuat teori yang ada dan sebagai masukan untuk penelitian lebih lanjut.
2.
Manfaat Praktis Sumber informasi sebagai masukan bagi peneliti, pengambil kebijakan kesehatan untuk perbaikan pengendalian leptospirosis.
9
3.
Bagi Instansi Terkait Diharapkan menjadi dasar pertimbangan kebijakan kesehatan dalam diagnosis dan pengendalian leptospirosis.