DEMAM TYPHOID Demam typhoid adalah suatu penyakit infeksi sistemik bersifat akut yang disebabkan oleh Salmonella typhi. Penyakit ini ditandai oleh : 1. Panas berkepanjangan. 2. Di topang dengan bakteremia tanpa keterlibatan struktur endothelial atau endocardial. 3. Invasi bakteri sekaligus multiplikasi ke dalam cell-cell mononuclear phagocyt dari liver, lympha, kelenjar lympha usus dan Peyer's patch. Beberapa terminologi lain yang erat kaitannya adalah sebagai berikut : Demam Parathypoid Secara pathologi maupun klinis adalah sama dan biasanya lebih ringan, penyakit ini disebabkan oleh species Salmonella enteritidis. Ada 3 Bio serotype Salmonella enteritidis yaitu Bioserotype para typhi A, paratyphi B (S. Schotsmuelleri) dan paratyphi C (S. Hirschfeldii). Demam Enteric. Dipakai baik pada demam typhoid maupun demam paratyphoid. Pada tahun 1829 orang Perancis yang bernama Pierre Louis mengeluarkan istilah "typhoid" yang berarti seperti typhus. Baik kata typhoid maupun typhus berasal dari kata Yunani "Typhos". Terminologi ini dipakai pada penderita yang mengalami panas disertai kesadaran yang terganggu. Baru pada tahun 1837 William Word Gerhard dari Philadelphia dapat membedakan typhoid dari typhus. Pada tahun 1880 Eberth menemukan Bacillus typhosus pada sediaan histologi yang berasal dari kelenjar lymphamesenteric dan lympha. Pada tahun 1884 Gaffky berhasil membiakkan salmonella typhi, dan memastikan bahwa penularannya melalui air dan bukan udara. Pada tahun 1896 Widal mendapatkan salah satu metoda untuk diagnosis penyakit demam typhoid. Pada tahun yang sama Wright dari Inggris dan Pfeifer dari Jerman mencoba vaksinasi terhadap demam typhoid. Pada era 1970 dan 1980 mulai dicoba vaksin oral yang berisi kuman hidup dilemahkan dan vaksin suntik yang berisi VI capsul polysacharida. Pada tahun 1948 Woodward dkk di Malaysia menemukan bahwa Chloramphenicol adalah efektif untuk pengobatan penyakit demam typhoid. Demam typhoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting pada kebanyakan negara-negara sedang berkembang. Besarnya angka-angka pasti kasus demam typhoid di dunia ini sangat sukar menentukannya, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala yang spektrum klinisnya sangat luas. Diperkirakan incidencenya adalah dari 150/100.000/tahun di Amerika Selatan sampai 900/100.000/tahun di Asia. Umur penderita yang terkena di negara Indonesia (daerah endemis) dilaporkan antara 3 19 tahun mencapai 91% kasus. Angka-angka yang kurang lebih sama juga dilaporkan dari Amerika Selatan.
Salmonella typhi dapat hidup di dalam tubuh manusia (manusia sebagai natural reservoir). Manusia yang terinfeksi dengan salmonella typhi dapat mengekskresikannya melalui secret saluran napas, urine dan faeces dalam jangka waktu yang sangat bervariasi. Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi hanya dapat hidup kurang dari 1 minggu pada "rawsewage", dan mudah dimatikan dengan Chlorinasi dan pasteurisasi (Temp 63oC). Terjadinya penularan dengan salmonella typhi sebagian besar adalah karena tercemarnya minuman/makanan oleh kuman yang berasal dari penderita/pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama dengan faeces. Dapat juga terjadi transmisi secara transplacental dari seorang ibu hamil yang berada dalam keadaan bacteremia kepada bayinya. Pernah dilaporkan juga terjadinya transmisi fecal oral dari seorang ibu pembawa kuman pada saat proses kelahirannya kepada bayinya. Pernah juga dilaporkan adanya wabah demam typhoid dimana sumber kumannya adalah laboratorium penelitian. S. typhi sama dengan salmonella yang lain adalah bakteri gram negatif, mempunyai flagella, tidak berkapsul, tidak membentuk spora dan fakultative anaerobe. Mempunyai somatic antigen (O) yang terdiri dari oligo sacharide, flagelar antigen (H) yang terdiri dari protein dan envelope antigen (K) yang terdiri dari poly sacharida. Mempunyai macro molecular lipopoly sacharida komplek yang membentuk lapis luar dari dinding cel dan dinamakan endotoxin. Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid factor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotika. Diagram skematis sebuah cell salmonella typhose, khususnya lokasi antigen-antigen H (Flagella), O (Salmonella) dan VI (K envelope). (Dari Thompson BM, Cherry WB, Moody MD, J.Bacteriol 74 : 525, 1957). Route Bacteri Bakteri Salmonella typhi bersama makanan/minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada saat melewati lambung dengan suasana asam (PH < 2) banyak bakteri yang mati. Yang masih hidup akan mencapai usus halus, dan di usus halus tepatnya di Ileum (?), Yeyunum (?) akan menembus dinding usus. Mereka ada yang mencapai lymphoid fallicle usus halus, ada yang terus ikut aliran ke kelenjar lymphe mesenterica bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik sampai ke jaringan RES di organ liver dan lympha Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam cell phagocyte mononuclear di dalam lymphoid fallicle, kel. lympha mesenterica, liver dan lympha. Setelah melaui periode waktu tertentu (periode inkubasi), yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan virulensi kuman serta response immunologi host maka salmonella typhi akan ke luar dari habitatnya dan melalui ductus thoracicus akan masuk circulasi sistemik. Dan dengan cara ini organisme dapat mencapai organ manapun, akan tetapi tempat-tempat favorabel salmonella typhi adalah liver, lympha, sumsum tulang, kandung empedu dan Peyer's patch dari ileum terminal.
Peran Endotoxin Peran endotoksin dalam pathogenesis demam typhoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari salmonella typhi menstimulasi macro¬phage didalam liver, lympha, lymphoid fallicle usus halus dan kelenjar lymphe mesenterica untuk memproduksi cytokine dan zat-zat lain. Produk dari macrophage inilah yang dapat menimbulkan nekrosis cell, instabilitas vaskuler, panas, depresi sumsum tulang, kelainan-kelainan pada darah dan juga menstimulasi sistem immunologi. Respon Immunologi Pada demam typhoid terjadi response immunologi humoral maupun cellular baik di tingkat local (gastrointestinal) maupun sistemik. Akan tetapi bagaimana mekanisme immunologi ini dalam menimbulkan kekebalan maupun eliminasi terhadap Salmonella typhi tidak diketahui dengan pasti. Diperkirakan bahwa immunitas cellular lebih berperan. Gejala-gejala Pada anak-anak periode inkubasi demam tifoid antara 5 - 40 hari dan kebanyakan antara 10 - 14 hari. Gejala klinis demam typhoid sangat bervariasi, dari yang ringan dan tidak memerlukan perawatan khusus sampai dengan berat sehingga harus mengalami rawat tinggal di rumah sakit dengan kemungkinan komplikasi macam-macam. Tentang bervariasinya gejala ini disebabkan faktor strain salmonella, status nutrisi dan imunologis host serta perbedaan dimensi waktu sakit penderita pada saat datang ke institusi pelayanan kesehatan. Semua penderita demam typhoid selalu diawali dengan gejala panas. Pada era pemakaian antibiotika belum sebebas sekarang, penampilan panas pada penderita demam typhoid mempunyai istilah khusus yaitu "step ladder temperature chart" yang ditandai dengan panas yang timbulnya insidious, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama, setelah itu panas akan bertahan tinggi dan pada minggu ke empat panas akan turun perlahan secara lysis, kecuali apabila terjadi fokus-fokus infeksi seperti cholecystitis, abces di soft tissue maka penderita tetap panas. Banyak orang tua penderita demam typhoid melaporkan bahwa panas lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya. Pada saat panas sudah tinggi, maka pada penderita demam typhoid bisa didapatkan gejala-gejala pada sistem syaraf central. Ada yang berupa kesadaran yang berkabut atau delirium atau obtundasi, dan ada juga yang berupa penurunan kesadaran mulai dari yang ringan sampai dengan yang berat. Gejala sistemik lain yang menyertai timbulnya panas adalah sakit kepala, malaise, anorexia, nausea, myalgia, nyeri perut dan radang tenggorokan. Pada penderita yang berpenampilan klinis berat maka pada saat panas tinggi akan tampak toksik/sakit berat. Bahkan dapat juga dijumpai penderita demam typhoid yang datang dengan gambaran hypovolemik shock sebagai akibat kurangnya intake cairan dan makanan. Gejala gastrointestinal pada penderita demam typhoid juga sangat bervariasi. Ada yang mengeluh obstipasi, ada yang dengan obstipasi kemudian disusul episode diare, pada sebagian penderita lidah dapat nampak kotor dan putih di tengah sedang tepi dan ujungnya kemerahan.Pada kebanyakan penderita dapat dijumpai adanya meteorismus,
dan berbeda dengan buku-buku bacaan barat, pada anak Indonesia hepatomegali lebih sering dijumpai dibandingkan dengan sple-nomegali. "Rose Spot" suatu rash maculopapular yang berwarna merah dengan ukuran 2 4m yang biasanya didapatkan pada daerah abdomen, thorax, extremitas dan punggung pada orang-orang kulit putih, tidak pernah dijumpai pada anak Indonesia. Bronchitis banyak dijumpai pada penderita demam typhoid sehingga buku-buku lama bahkan menganggap sebagai bagian dari penyakit demam typhoid. Brady Cardy relatif jarang dijumpai pada penderita anak. Pada pengamatan selama 6 tahun (1987 - 1992) di Lab./UPF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSUD Dr. Soetomo Surabaya terha¬dap 434 anak berumur antara 1 s/d 12 tahun dengan diagnosis demam typhoid atas dasar ditemukannya Salmonella typhosa dalam darah, dimana 85% penderita sudah mendapat antibiotika sebelum masuk rumah sakit dan tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit dari penderita, maka didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut; Anoreksia (88%), nyeri perut (49%), Vomit (46%), Obstipasi (43%), Diare (31%) dan Panas (100%).Delirium (16%), apati (5%), somnolence (5%), sopor (1%), lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%). Komplikasi Perforasi usus halus dilaporkan dapat terjadi pada 1/2 - 3%, sedang perdarahan usus pada 1 - 10% penderita demam tifoid anak. Komplikasi ini biasanya terjadi pada minggu III sakit, walau pernah dilaporkan terjadi pada minggu I. Penampilan klinis komplikasi ini biasanya didahului dengan turunnya temperatur, tekanan darah dan meningkatnya frekwensi nadi. Pada perforasi usus halus ditandai oleh nyeri abdomen yang biasanya lokal pada kwadrant bawah kanan akan tetapi dilaporkan juga ada yang difus. Kemudian akan disusul dengan muntah, nyeri pada perabaan abdomen, defance muskulare, hilangnya keredupan hepar dan tanda-tanda peritonitis yang lain. Pernah dilaporkan bahwa ada penderita dengan komplikasi perforasi usus halus yang manifestasi klinisnya sangat tidak jelas. Pada akhir-akhir ini dilaporkan banyaknya timbul komplikasi neuropsykiatri. Sebagian besar penderita manifestasi klinisnya adalah gangguan kesadaran, dapat berupa disorientasi, delirium, obtundansi, stupor bahkan coma. Ada yang mengaitkan manifestasi klinis ini dengan prognosis yang buruk pada penderita. Komplikasi di bidang neurologi yang lain adalah cerebral thrombosi, aphasia, acute cerebellar ataksia, tuli, tranverse myelitis, neuritis perifer maupun cranial, meningitis, en-cephalomyelitis, Guillaim-Barre syndrome. Walaupun macam-macam komplikasi neurologi dapat terjadi, akan tetapi jarang dilaporkan adanya gejala sisa yang permanent (sequelae). Myocarditis dapat timbul, dengan manifestasi klinis berupa arrhytmia, perubahan ST-T pada EKG, shock cardiogenik, infiltrasi lemak maupun nekrosis pada jantung. Asymptomatic hepatitis typhosa sering dijumpai pada penderita demam tifoid dengan ditandai naiknya nilai transaminase yangg tidak mencolok. Icterus dengan atau tanpa disertai kenaikan nilai transaminase, maupun cholecystitis akut juga dapat dijumpai sedang cholecystitis kronis yang terjadi pada penderita setelah mengalami demam tifoid dapat dikaitkan dengan adanya batu empedu dan fenomena pembawa kuman. Sebagian penderita demam tifoid mengeluarkan bakteri salmonella typhosa melalui urine pada saat sakit maupun setelah sembuh.
Cystitis bahkan pyelonephritis dapat juga merupakan komplikasi demam tifoid. Transient protein uria sering dijumpai, sedang glomerulo nephritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal maupun nefrotic syndrome mempunyai prognosis yang buruk. Pneumonia adalah bentuk komplikasi yang sering dijumpai pada demam tifoid. Keadaan ini dapat ditimbulkan oleh kuman salmonella typhosa sendiri, tapi seringkali sebagai akibat infeksi sekunder oleh kuman lain. Bentuk-bentuk komplikasi lain yang dapat dijumpai adalah thrombocytopenia, DIC, HUS, fokal infeksi di sembarang lokasi sebagai akibat bacteremia seperti infeksi pada tulang, otak, liver, lympha, otot, kelenjar ludah, persendian dsb. Relaps yang didapat pada 5 sampai 10% penderita demam tifoid saat era preantibiotika, sekarang sudah lebih jarang ditemukan. Kalau terjadi relaps, panas kembali timbul seminggu setelah penghentian antibiotika. Akan tetapi pernah juga dilaporkan relaps timbul pada stadium convalesence, pada saat penderita sudah tidak panas akan tetapi gejala yang lain masih jelas dan masih dalam pengobatan antibiotika. Biasanya relaps lebih ringan dibanding gejala demam tifoid sebelumnya. Pada pengamatan penderita demam tifoid di Lab./UPF I.Kes.Anak FK. Unair RSUD Dr. Soetomo angka kejadian komplikasi adalah sebagai berikut kejang (0,3%), encephalopathy (11%), shock (10%), carditis (0,2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0,7%), icterus (0,7%). Gambaran Laboratorium Gambaran darah tepi Anemia normochromic, normocytic mungkin sebagai akibat hilangnya darah dari usus atau supresi toxic pada sungsum tulang. Hitung leukosit biasanya rendah, tapi jarang di bawah 3000/mm3. Sedang apabila abses pyogenik terjadi maka leukosit dapat meningkat sampai 20.000 - 25.000/mm3. Trombocitopenia sering dijumpai, kadang-kadang berlangsung beberapa minggu. Berdasarkan gejala klinis berupa panas, gangguan gas¬trointestinal dan mungkin disertai perubahan atau gangguan kesadaran, maka seorang klinisi dapat membuat diagnosis suspek demam tifoid. Diagnosis pasti ditegakkan melalui isolasi S.typhi dari darah penderita. Pada dua minggu pertama sakit, kemungkinan menangkap S.typhosa dari dalam darah penderita lebih besar. Kultur yang dilakukan pada urine dan faeces penderita, kemungkinan positipnya lebih kecil. Kultur spesimen yang berasal dari aspirasi sungsum tulang mempunyai sensitivitis tertinggi, hasil positip didapat pada 90% kasus. Akan tetapi prosedur ini sangat invasive, sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup bagus. Widal test suatu metode serologi yang memeriksa antibodi aglutinasi terhadap antigen somatik (O), Flagella (H) banyak dipakai untuk membuat diagnosis demam tifoid. Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin > 1/40 dengan memakai test widal "slide aglutination" (yang prosedur pemeriksaannya membutuhkan waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positip 96%. Artinya apabila hasil test positip, 96% penderita betul-betul sakit demam tifoid, akan tetapi apabila negatip tidak menyingkirkan. Yang banyak dianut adalah dengan pemeriksaan aglutinasi, yang membutuhkan waktu sehari, apabila titer O aglutinin sekali periksa > 1/200 atau titer
sepasang terjadi kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat dibuat. Aglutinin H banyak dikaitkan dengan post imunisasi atau infeksi masa lalu, sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S.typhi (carrier). Banyak peneliti mengemukakan bahwa test serologi widal kurang dapat dipercaya sebab dapat timbul positip palsu pada daerah endemis, dan sebaliknya dapat timbul negatip palsu pada kasus demam tifoid yang terbukti kultur darahnya positip. Akhir-akhir ini banyak dimunculkan beberapa jenis test untuk memberikan deteksi antibodi terhadap S.typhi dalam serum, antigen terhadap S.typhi dalam darah, serum dan urine bahkan DNA S.typhi dalam darah dan faeces. Walaupun laporan-laporan pendahuluan menunjukkan hasil yang bagus tapi sampai sekarang tidak salah satupun dipakai secara luas. Sampai sekarang belum disepakati adanya test yang dapat menggantikan test serologi widal. Diagnosa Banding Pada stadium dini demam tifoid, beberapa penyakit kadang secara klinis dapat merupakan diagnosis banding yaitu influenza, gastroenteritis, bronchitis dan bronchopneumonia. Beberapa penyakit yang disebabkan oleh mikroorganisme intraselular seperti tuberculosis, infeksi jamur sistemik, brucellosis, tularemia, shigellosis dan malaria juga perlu dipikirkan. Pada demam tifoid yang berat, sepsis, leukemia, lymphoma dan Hodgkin disease dapat sebagai diagnosis banding. Terapi / Pengobatan Sebagian besar penderita demam tifoid dapat diobati di rumah dengan bedrest, isolasi yang memadai, pemenuhan kebutuhan cairan, nutrisi serta pemberian antibiotika, sedang untuk kasus yang tampil berat harus di rawat di rumah sakit agar pemenuhan cairan, elektrolit serta nutrisi disamping observa¬si kemungkinan timbul komplikasi dapat dilakukan dengan seksama. Chloramphenicol masih merupakan pilihan pertama pada pengobatan penderita demam tifoid. Dosis yang diberikan adalah 50 - 100mg/Kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10 sampai 14 hari, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau komplikasi, pengobatan dapat diperpanjang sampai 21 hari. Salah satu kelemahan Chloramphenicol adalah tingginya angka relaps dan status pembawa kuman. Ampicillin memberikan respons perbaikan klinis yang kurang apabila dibandingkan dengan Chloramphenicol. Dosis yang dianjurkan adalah 100 - 200mg/Kg BB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian secara suntikan intravena. Ammoxicillin dengan dosis 100mg/Kg BB/hari dalam 4x pemberian memberikan hasil yang setara dengan Chloramphenicol. Kombinasi Trimethopin Sulfa methoxazole memberikan hasil yang kurang baik dibanding Chloramphenicol. Di beberapa negara sudah dilaporkan kasus-kasus demam tifoid yang resisten terhadap Chloramphenicol. Ceftriaxone dan Cefoperazone dapat memberikan angka kesembuhan 90% dan relaps 0 - 4%.
Pada kasus dengan tampilan yang berat seperti delirium, koma dan atau renjatan, dexamethasone dosis tinggi disamping antibiotika yang memadai dapat menurunkan angka kematian. Penderita demam tifoid dengan komplikasi perdarahan usus kadang memerlukan transfusi darah. Sedang apabila diduga terjadi perforasi, adanya cairan pada peritoneum dan udara bebas dalam foto abdomen dapat menegakkan diagnosis. Laparatomi yang segera dilakukan disertai penambahan antibiotika gentamicin dapat memperbaiki prognosis. Penderita demam tifoid yang mengalami relaps obati sebagai penderita demam tifoid serangan yang pertama. Sedang kasus pembawa kuman kronis dapat diobati dengan memakai Ampicllin/Amoxicillin dengan dosis 100mg/Kg BB/hari ditambah dengan pro-benecid. Apabila didapatkan batu kandung empedu atau cholecystitis, maka colecystectomi dapat menghilangkan status pembawa kuman. Secara umum dapat dikatakan bahwa untuk memperkecil kemungkinan terkena demam tifoid, maka setiap individu harus memperhatikan kwalitas makanan dan minuman yang mereka konsumsi. Salmonella typhi didalam air akan mati apabila dipanasi setinggi 57oC untuk beberapa menit atau dengan proses iodinasi/chlorinasi. Untuk makanan pemanasan setinggi 57oC selama beberapa menit dan secara merata juga dapat mematikan kuman salmonella typhi. Penurunan endemisitas suatu negara/daerah tergantung pada baik buruknya pengadaan sarana air dan pengaturan pembuangan sampah serta tingkat kesadaran individu terhadap hygiene pribadi. Dikatakan bahwa imunisasi dapat membantu menekan angka kejadian demam tifoid. "Vaksin Demam Tifoid" Saat sekarang dikenal tiga macam vaksin untuk penyakit demam tifoid yaitu yang berisi kuman yang dimatikan, kuman yang masih hidup dan komponen Vi dari Salmonella Typhi. Vaksin yang berisi kuman Salmonella Typhi, S. paratyphi A, S. paratyphi B yang dimatikan ("TAB Vaccine") sudah puluhan tahun digunakan dengan cara pemberian subkutan dan hanya memberikan daya kekebalan yang terbatas, disamping memberikan efek samping lokal pada tempat suntikan yang cukup sering. Vaksin yang berisi kuman Salmonella typhi hidup yang dilemah¬kan (Ty 21a) dengan cara pemberian per oral. Pada penelitian di lapangan didapat hasil efikasi proteksi yang berbanding terbalik dengan derajat transmisi penyakit. Vaksin yang berisi komponen Vi dari Salmonella typhosa diberikan secara parenteral memberikan perlindungan 60 - 70%.
1. Behrman RE, Kliegman RM, Nelson WE, Vaughan III VC. Ty- phoid Fever. Dalam : Nelson Textbook of Pediatrics. 14 Philadelphia : WB Saunders Co, 1992 : 731 - 34. 2. Butler T. Typhoid Fever. Dalam : Warren K.S., Mahmoud A.F Eds. Tropical and Geographical Medicine Edisi 2 New York Mc Graw-Hill Information Services Co 1990, 753 - 57. 3. Hayani C.H, Pickering LK. Salmonella Infections. Dalam : Feigin RD, Cherry JD. Eds. Textbook of Pediatric Infectious Diseases. Edisi 3 Tokyo : WB Saunders Co, 1992 : 620 33. 4. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT Eds. Hunter's Tropical Medicine. Edisi 7 Philadelphia WB Saunders Co 1991 : 344 - 58.