BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Demam tifoid merupakan salah satu penyakit infeksi endemik di negara negara berkembang seperti Asia, Afrika, Amerika latin, Karibia, dan Oceania, termasuk Indonesia. Demam tifoid disebabkan oleh masuknya kuman Salmonella typhi ke dalam tubuh manusia. Sebagian kuman ini akan dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Setelah itu akan menimbulkan gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskuler, pernapasan, dan gangguan organik lainnya pada manusia yang terinfeksi (Bhan dkk., 2005). Bakteri Salmonella typhi merupakan bakteri batang gram negatif yang masuk ke tubuh manusia melalui saluran pencernaan. Ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan tifoid yang lebih sering karier dan terjadi melalui air dan makanan yang tercemar Salmonella typhi (Widodo, 2006). Besarnya angka pasti demam tifoid di dunia ini sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Menurut WHO, pada tahun 2003 terdapat sekitar 900.000 kasus di Indonesia, dimana sekitar 20.000 penderitanya meninggal dunia (WHO, 2003). Kasus demam tifoid di Indonesia cukup tinggi berkisar 354-810/100.000 per tahun. Penyakit demam tifoid termasuk penyakit yang mengakibatkan angka kematian pada semua umur, pada tahun 2007 menempati urutan ke 16 dari 22 (1,6%) dari penyakit yang tercatat (Anonim, 2008b). Tifoid klinis dapat dideteksi
1
2
di seluruh kabupaten/kota di provinsi Jawa Tengah. Pada tahun 2007, Cilacap merupakan salah satu kabupaten di Jawa Tengah yang memiliki prevalensi tertinggi demam tifoid selain kabupaten Wonosobo dan Pemalang (Anonim, 2008c). Hasil survei tersebut membuat peneliti berkeinginan untuk mengkaji seperti apa demografi pasien demam tifoid, pola pengobatan antibiotik yang diberikan pada pasien demam tifoid di PHC dan seperti apa kesesuaiannya dengan standar pengobatan pembanding. Sebagai rumah sakit swasta yang tidak hanya melayani pekerja Pertamina, namun juga melayani kesehatan umum, PHC berperan besar dalam pelayanan kesehatan masyarakat Cilacap, sehingga perlu dilakukan upaya untuk meningkatkan pelayanan kesehatan masyarakat di Cilacap yang pada akhirnya akan menurunkan angka kejadian penyakit demam tifoid. Demam tifoid ditularkan melalui rute oral, dimana hal ini tentunya sangat berkaitan dengan rendahnya tingkat kebersihan, kurangnya ketersediaan air besih, dan sanitasi yang tidak mencukupi. Penyakit ini hampir sebagian besar disebarkan melalui makanan dan kontaminasi air oleh feses dan urin dari pasien maupun karier demam tifoid. Sampai pada pertengahan tahun 1970, kloramfenikol adalah obat yang poten untuk terapi demam tifoid, dan di negara berkembang penggunaan antibiotik ini berperan dalam pengurangan mortalitas dari 10% sampai < 2%. Oleh karena penyakit demam tifoid berasal dari infeksi bakteri maka sebaiknya diberi terapi sesegera mungkin setelah muncul gejala klinis daripada setelah hasil tes kerentanan antimikroba tersedia (Rowe dkk., 1997).
3
Antibiotik digunakan dalam pengobatan demam tifoid dan biasanya penderita mengalami perbaikan kondisi setelah dua atau tiga hari pemberian antibiotik. Tanpa antibiotik satu diantara 10 orang meninggal akan tetapi jika diberikan antibiotik risiko kematian turun menjadi satu dalam 100 (Anonim, 2004). Namun, the emergence of Multi Drug Resistance (MDR) strains mengurangi pemilihan antibiotik di banyak daerah. Ada dua kategori resisten obat yaitu resisten terhadap antibiotik seperti kloramfenikol, ampisilin, trimetoprimsulfametoksazol (MDR strains) dan resisten terhadap obat-obat fluorokuinolon. Penyebab terjadinya MDR pada kasus demam tifoid diduga karena : pemakaian antibiotik yang berlebihan (over-use), penggunaan antibiotik yang salah (mis-use), pemberian antibiotik yang kurang tepat (in-appropiate), dan adanya faktor intrinsik mikrobiologi yaitu plasmid mediated. Dengan ditemukannya MDR Salmonella typhi, maka pemilihan antibiotik yang tepat akan menjadi masalah (Hadinegoro, 1999). Berdasarkan uraian di atas, penyakit demam tifoid perlu mendapat perhatian khusus terutama dari kalangan masyarakat, karena besar kemungkinan munculnya pandemik terhadap penyakit ini, mengingat tempat tinggal kita di Indonesia yang memiliki iklim tropis yang merupakan daerah endemik munculnya demam tifoid. Penanganan yang tepat juga diperlukan karena angka kejadian yang tinggi serta mulai adanya informasi mengenai resistensi terhadap antibiotik yang selama ini digunakan sebagai pengobatan utama terhadap pasien demam tifoid. Hasil yang diperoleh dari penelitian ini akan dibandingkan dengan Standar Pelayanan Medis (SPM) pengobatan demam tifoid yang dikeluarkan oleh PHC
4
dan standar pengobatan demam tifoid yang dikeluarkan oleh Keputusan Menteri Kesehatan (KMK) tahun 2006. Selain itu hasilnya nanti dapat digunakan untuk memberikan informasi kepada para klinisi guna peningkatan pelayanan kesehatan khususnya mengenai pemilihan antibiotik yang tepat dalam pengobatan demam tifoid.
B. Perumusan Masalah Dari latar belakang di atas maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Seperti apa demografi pasien demam tifoid di instalasi rawat inap PHC tahun 2011? 2. Seperti apa pola penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap PHC tahun 2011? 3. Seperti apa kesesuaian jenis antibiotik demam tifoid terhadap Standar Pelayanan Medis (SPM) untuk terapi pengobatan demam tifoid di PHC dan Keputusan
Menteri
Kesehatan
(KMK)
Republik
Indonesia
Nomor
364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan : 1. Mengetahui demografi pasien demam tifoid di instalasi rawat inap PHC tahun 2011.
5
2. Mengetahui pola penggunaan antibiotik pada pasien demam tifoid di instalasi rawat inap PHC tahun 2011. 3. Mengetahui kesesuaian jenis antibiotik pasien demam tifoid terhadap SPM untuk terapi pengobatan demam tifoid di PHC dan KMK Republik Indonesia Nomor 364/MENKES/SK/V/2006 tentang Pedoman Pengendalian Demam Tifoid.
D. Manfaat Penelitian Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat : 1. Bermanfaat sebagai masukan bagi tenaga kesehatan dalam upaya peningkatan pelayanan kesehatan terutama dalam pemilihan antibiotik untuk pengobatan penyakit demam tifoid di PHC. 2. Bermanfaat sebagai bahan evaluasi terhadap pemberian antibiotik untuk demam tifoid di rumah sakit. 3. Bagi peneliti, untuk menambah ilmu pengetahuan dan pengalaman.
E. Tinjauan Pustaka 1. Definisi Demam tifoid dan demam paratifoid adalah penyakit infeksi akut usus halus yang disebabkan kuman Salmonella typhi dengan gejala demam lebih dari satu minggu, gangguan pada saluran pencernaan dan gangguan kesadaran. Penyakit ini termasuk penyakit menular endemik yang dapat menyerang banyak
6
orang dan masih merupakan masalah kesehatan di daerah tropis terutama di negara - negara berkembang (Musnelina dkk., 2004). Menurut World Health Organization (2003), ada tiga definisi kasus dari demam tifoid, yaitu pasien yang benar-benar menderita demam tifoid (pasien dengan demam 38oC atau lebih minimal 3 hari, hasil laboratorium menunjukkan kultur positif Salmonella typhi), kemungkinan menderita demam tifoid (pasien dengan demam 38oC atau lebih, dengan tes serodiagnosis atau deteksi antigen positif tetapi tanpa isolasi Salmonella typhi), dan karier kronis (pasien dengan ekskresi Salmonella typhi di feses atau urin selama lebih dari 1 tahun setelah onset demam tifoid akut, beberapa pasien yang mengekskresi Salmonella typhi tetapi tidak mempunyai riwayat demam tifoid). 2. Etiologi Etiologi demam tifoid dan demam paratifoid adalah S.typhi, S.paratyphi A, S.paratyphi B dan S.paratyphi C (Juwono, 2002). S. typhi adalah bakteri gram negatif, berflagel, tidak berkapsul, non sporulasi, basil anaerobik, fakultatif yang menfermentasi glukosa, mereduksi nitrat menjadi nitrit dan mensintesis flagel peritrik saat motil. S.typhi mempunyai antigen H dan O, antigen envelope (K), dan komplek makromolekul polisakarida (endotoksin) yang membentuk sisi luar dari dinding sel (Corales dan Schmitt, 2004). Masa inkubasi tergantung pada banyaknya agen penginfeksi, dari 3 hari sampai 3 bulan dengan rata-rata 1-3 minggu. Pada demam paratifoid, lebih cepat yaitu 1 sampai 10 hari (Anonim, 2005).
7
Salmonella merupakan genus pada family Enterobacteriaceae yang mempunyai lebih dari 2300 serotipe. Genus tersebut diambil dari nama seorang patologis yaitu Salmon, yang pertama kali mengisolasi Salmonella choleraesuis dari usus babi (Corales dan Schmitt, 2004). Salmonella typhi yang berada di luar tubuh manusia dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada di dalam air, es, debu, atau kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi Salmonella typhi hanya dapat hidup kurang dari satu minggu pada bahan baku limbah, dan mudah dimatikan dengan klorinasi dan pasteurisasi (temperatur 63o C). Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui makanan/minuman yang tercemar oleh kuman yang berasal
dari penderita atau pembawa kuman, biasanya keluar bersama-sama
dengan tinja (melalui rute oral fekal = jalur oro-fekal). Dapat juga terjadi transmisi transplasental dari seorang ibu hamil yang berada dalam bakteremia kepada bayi (Anonim, 2008a). Salmonella typhi juga dapat memperoleh plasmid faktor-R yang berkaitan dengan resistensi terhadap multiple antibiotik (Soedarmo dkk., 2002). Resistensi bakteri gram negatif biasanya disebabkan adanya plasmid khusus yang didapat pada konjugasi (Wattimena dkk., 1991). 3. Epidemiologi Demam tifoid terdapat di seluruh dunia tetapi lebih banyak dijumpai di negara - negara berkembang di daerah tropis. Hal ini disebabkan karena penyediaan air bersih, sanitasi lingkungan, dan kebersihan individu yang kurang baik (Juwono, 2002). Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia ini
8
sangat sukar ditentukan, sebab penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinisnya sangat luas. Di Indonesia, insidensi demam tifoid berkisar pada 900.000 kasus per tahun dengan lebih dari 20.000 kematian. Sebanyak 91% kasus demam tifoid menyerang penduduk Indonesia yang berusia 3-19 tahun, dan angka kejadian demam tifoid kultur positif adalah 1026 per 100.000 tiap tahun. Kurang lebih 1% sampai 5% pasien dengan infeksi akut tifoid dilaporkan menjadi karier kronik infeksi pada kandung empedu, yang tergantung pada usia, jenis kelamin, dan aturan pengobatan (WHO, 2003). 4. Patogenesis Meminum air yang terkontaminasi S.typhi merupakan penyebab utama infeksi demam tifoid. Masa transit yang singkat dalam lambung saat lambung kosong merupakan faktor lain. Segera setelah S.typhi lolos masuk duodenum ia akan bermultiplikasi sebelum mencapai kelenjar limfe di ileum (plak Peyer). Di dalam plak Peyer multiplikasi dilanjutkan, kemudian masuk sirkulasi darah, sampai di hati dan kandung empedu (bakteremia ke-1). Multiplikasi S.typhi dipacu oleh empedu yang merupakan media yang baik untuk pertumbuhan. Selanjutnya bersama empedu kuman S.typhi turun ke dalam usus/ileum dan invasi lagi ke dalam plak Peyer. Pada saat ini S.typhi mulai dikenali oleh neutrofil dan fagosit yang memfagositnya. Namun S.typhi mempunyai kemampuan untuk bertahan, bahkan berkembang dalam fagosit dan sel sistem retikuloendotelial. Bakteremia ke-2 terjadi pada saat terdapat S.typhi bebas dan intrasel. Diperkirakan 60% S.typhi berada di dalam intrasel makrofag dan 40% berada bebas di luar sel.
9
Gejala klinis mulai nyata saat makrofag rusak (disrupsi), membebaskan sitokin, dan S.typhi ke dalam sirkulasi (Zulkarnain, 2001). 5. Manifestasi klinis Orang dengan demam tifoid biasanya mengalami demam tinggi yang terus – menerus setinggi 103o – 104o F (39o – 40o C) (Anonim, 2010). Periode inkubasi biasanya 8-14 hari, tetapi mungkin 3 hari sampai 1 bulan. Gejala klinis umumnya ringan atau tidak terlihat, terutama pada daerah endemik, dan dengan adanya demam dan malaise. Simptom yang parah mulai dari demam terus menerus, sakit kepala, mual, kehilangan nafsu makan, dan kadang-kadang disertai batuk dan konstipasi atau diare. Komplikasi ulserasi usus dapat terjadi meliputi perforasi usus atau perdarahan. Menurut WHO (2003), Ada 3 macam keadaan demam tifoid dengan perbedaan gejala klinik, yaitu: a. Demam tifoid akut non komplikasi : demam tifoid ini dikarakterisasi dengan adanya demam berkepanjangan, abnormalitas fungsi bowel (konstipasi pada pasien dewasa dan diare pada anak-anak), sakit kepala, malaise, dan anoreksia. Batuk bronchitis biasa terjadi pada awal fase penyakit. Selama periode demam, sampai 25% penyakit menunjukkan adanya rose spot pada dada, abdomen, dan punggung. b. Demam tifoid dengan komplikasi : pada demam tifoid akut, keadaan mungkin dapat berkembang menjadi komplikasi parah. Hal ini bergantung pada kualitas pengobatan dan keadaan kliniknya, hingga 10% pasien
10
mengalami komplikasi, mulai dari melena (3%), perforasi usus (3%), dan peningkatan ketidaknyamanan. c. Keadaan karier : terjadi pada 1-5% pasien, tergantung umur pasien demam tifoid. Bersifat kronis dalam hal sekresi Salmonella typhi di feses (WHO, 2003). 6. Penegakan diagnosis Demam tifoid dan paratifoid kebanyakan ditunjukkan sebagai penyakit mirip demam akut, dan diagnosis akurat bergantung pada pemeriksaan laboratorium. Kultur sumsum tulang tetap menjadi tes diagnosis gold standar untuk demam tifoid. Usaha – usaha untuk mengembangkan metode serologi sebagai tes diagnosis demam tifoid yang memperbaiki kekurangan dari tes widal masih menghadapi keterbatasan substansial baik dalam hal sensitivitas maupun spesifisitas. Pendekatan serologi kepada diagnosis S.paratyphi A,B, dan C telah dikembangkan namun belum dievaluasi atau diadaptasi untuk penggunaan di lapangan. Akibatnya, kultur darah, suatu metode yang kurang sensitif daripada kultur sumsum tulang, seringkali menjadi pilihan pertama dalam praktik untuk diagnosis dan evaluasi epidemiologi S.typhi dan S.paratyphi. Namun, kebanyakan demam tifoid terjadi di negara berpendapatan rendah dan menengah dimana kultur darah seringkali tidak tersedia, tidak terjangkau, dan tidak konsisten diaplikasikan. Untuk mengurangi kesenjangan pemahaman tentang insiden, komplikasi, dan tingkat kasus fatal demam tifoid, maka dibutuhkan studi dengan populasi besar yang menggunakan konfirmasi kultur darah (Crump dan Mintz, 2009).
11
Pemeriksaan laboratorium untuk penggunaan demam tifoid dapat berupa : a. Pemeriksaan bakteriologis Spesimen biakan dapat diambil dari darah, sumsum tulang belakang, feses, urin. Spesimen darah diambil pada minggu I sakit saat demam tinggi. Spesimen feses dan urin pada minggu ke II dan minggu-minggu selanjutnya. Pembiakan memerlukan waktu kurang lebih 5-7 hari. Bila laporan hasil biakan “Basil salmonella tumbuh” maka penderita sudah pasti mengidap demam tifoid. Spesimen darah dari sumsum tulang mempunyai sensitivitas yang lebih tinggi. Biakan untuk spesimen feses dan urin dimulai pada minggu ke 2 demam yang dilaksanakan setiap minggu. Bila pada minggu ke 4 biakan feses masih positif maka pasien sudah tergolong karier (Anonim, 2006). b. Serologis widal Tes serologi widal adalah reaksi antara antigen (suspensi Salmonella yang telah dimatikan) dengan aglutinin yang merupakan antibodi spesifik terhadap komponen basil Salmonella di dalam darah manusia (saat sakit, karier atau pasca vaksinasi). Prinsip tes adalah terjadinya reaksi aglutinasi antara antigen dan aglutinin yang dideteksi yakni aglutinin O dan H. Aglutinin O mulai dibentuk pada akhir minggu pertama demam sampai puncaknya pada minggu ke 3 sampai ke 5. Aglutinin ini dapat bertahan sampai lama 6-12 bulan. Aglutinin H mencapai puncak lebih lambat minggu ke 4-6 dan menetap dalam waktu lebih lama, sampai 2 tahun kemudian.
12
Diagnosis demam tifoid dianggap diagnosis pasti adalah bila didapatkan kenaikan titer 4 kali lipat pada pemeriksaan ulang dengan interval 5-7 hari. Perlu diingat bahwa banyak faktor yang mempengaruhi reaksi widal sehingga mendatangkan hasil yang keliru baik negatif palsu atau positif palsu. Hasil tes negatif palsu seperti pada keadaan pembentukan anti bodi yang rendah yang dapat ditemukan pada keadaan – keadaan gizi jelek, konsumsi obat – obat imunosupresif, leukemia, dan lain – lain. Hasil tes positif palsu dapat dijumpai pada keadaan pasca vaksinasi, mengalami infeksi subklinis beberapa waktu yang lalu, dan lain – lain (Anonim, 2006). 7. Penatalaksanaan Langkah - langkah pendukung penting dalam penatalaksanaan demam tifoid, seperti hidrasi intravena atau oral, penggunaan antipiretik, dan nutrisi yang sesuai dan transfusi darah jika diindikasikan. Lebih dari 90% pasien dapat dirawat di rumah dengan antibiotik oral, perawatan handal, dan tindak lanjut medis untuk komplikasi atau kegagalan terhadap respon terapi. Namun, pasien dengan muntah persisten, diare parah dan distensi perut, mungkin membutuhkan rawat inap di rumah sakit dan terapi antibiotik parenteral (WHO, 2003). Penderita yang dirawat dengan diagnosis praduga demam tifoid harus dianggap dan dirawat sebagai penderita demam tifoid yang secara garis besar ada 3 bagian, yaitu: a. Perawatan Penderita demam tifoid perlu dirawat di rumah sakit untuk isolasi, observasi, serta pengobatan. Penderita harus istirahat 5-7 hari bebas panas,
13
tetapi tidak harus tirah baring sempurna seperti pada perawatan demam tifoid di masa lalu. Mobilisasi dilakukan sewajarnya, sesuai dengan situasi dan kondisi penderita. Pada penderita dengan kesadaran yang menurun harus diobservasi supaya tidak terjadi aspirasi. Tanda komplikasi demam tifoid yang lain termasuk buang air kecil dan buang air besar juga perlu mendapat perhatian. Mengenai lamanya perawatan di rumah sakit, sampai saat ini sangat bervariasi dan tidak ada keseragaman hal ini sangat bergantung pada kondisi penderita serta adanya komplikasi selama penyakit berjalan (Rampengan, 2006). b. Diet Pertama pasien diberi diet bubur saring, kemudian bubur kasar, dan akhirnya nasi sesuai tingkat kesembuhan pasien. Namun beberapa penelitian menunjukkan bahwa pemberian makanan padat dini, yaitu nasi dengan lauk pauk selulosa (pantang sayuran dan serat kasar) dapat diberikan dengan aman. Juga diperlukan pemberian vitamin dan mineral yang cukup untuk mendukung keadaan umum pasien. Diharapkan dengan menjaga keseimbangan dan homeostasis, sistem imun akan tetap berfungsi dengan optimal. Pada kasus perforasi dan renjatan septik diperlukan perawatan intensif dan nutrisi parenteral total (Rampengan, 2006). Pemberian makanan padat dini memberikan banyak keuntungan, seperti dapat menekan turunnya berat badan selama perawatan, masa di rumah sakit lebih diperpendek, dapat menekan penurunan kadar albumin dalam serum, dan
14
dapat mengurangi kemungkinan infeksi lain selama perawatan (Rampengan, 2006). c. Pengobatan dengan antibiotik Pengobatan antibiotik meupakan pengobatan utama karena pada dasarnya patogenesis infeksi Salmonella typhosa berhubungan dengan keadaan bakteriemia (Anonim, 2008a). Antibiotika yang sering digunakan antara lain : 1) Kloramfenikol Meskipun telah dilaporkan adanya resistensi kuman Salmonella terhadap kloramfenikol di berbagai daerah, kloramfenikol tetap digunakan sebagai obat pilihan pada kasus demam tifoid. Sejak ditemukannya obat ini oleh Burkoder sampai saat ini belum ada obat antimikroba lain yang dapat menurunkan demam lebih cepat, disamping harganya murah dan terjangkau oleh penderita. Kekurangan kloramfenikol ialah reaksi hipersensitivitas, reaksi toksik, kolaps, tidak bermanfaat untuk pengobatan karier, dan grey syndrome (Rampengan, 2006). Gray-baby syndrome : terjadi pada bayi yang lahir prematur dan pada bayi umur 2 minggu dengan gangguan hepar dan ginjal. Klormafenikol terakumulasi dalam darah pada bayi khususnya ketika pemberian dalam dosis tinggi ini yang menyebabkan Gray-baby syndrome. Dosis yang diberikan adalah 100 mg/kgBB/hari dibagi dalam 4 kali pemberian selama 10-14 hari atau sampai 5-7 hari setelah demam turun, sedang pada kasus dengan malnutrisi atau penyakit, pengobatan dapat
15
diperpanjang sampai 21 hari, 4-6 minggu untuk osteomielitis akut, dan 4 minggu untuk meningitis (Anonim, 2008a). 2) Kotrimoksasol Trimetoprim dan Sulfametoksasol menghambat reaksi enzimatis obligat pada dua tahap yang berurutan pada mikroba, sehingga kombinasi kedua obat memberikan efek sinergi. Penemuan sediaan kombinasi ini merupakan kemajuan penting dalam usaha meningkatkan efektivitas klinik antimikroba. Kombinasi ini lebih dikenal dengan nama kotrimoksasol. Kotrimoksasol efektif untuk karier Salmonella typhosa dan Salmonella spesies lain. Kelebihan kotrimoksasol antara lain dapat digunakan untuk kasus yang resisten terhadap kloramfenikol, penyerapan di usus cukup baik, dan kemungkinan timbulnya kekambuhan pengobatan lebih kecil dibandingkan kloramfenikol. Kelemahannya ialah dapat terjadi skin rash (1-15%), sindrom Steven Johnson, agranulositosis, trombositopenia, anemia megaloblastik, hemolisis eritrosit terutama pada penderita defisisensi G6PD. Dosis oral yang dianjurkan adalah 30-40 mg/kgBB/hari untuk sulfametoksasol dan 6-8 mg/kgBB/hari untuk Trimetoprim, diberikan dalam 2 kali pemberian, selama 10-14 hari (Rampengan, 2006). 3) Ampisilin dan Amoksisilin Ampisilin memiliki aktivitas spektrum luas terhadap bakteri gram negatif seperti E. coli dan Salmonella. Aktivitas amoksisilin hampir sama dengan ampisilin tetapi resorpsinya lebih lengkap dan pesat dengan kadar di dalam darah yang mencapai dua kali lipat (Tjay dan Rahardja, 2002).
16
4) Seftriakson Golongan ini hampir sama dengan penisilin karena sama - sama mempunyai cincin beta laktam. Secara umum bekerja aktif terhadap kuman gram positif dan gram negatif, tetapi spektrum anti kuman dari masing-masing antibiotik sangat beragam. Golongan sefalosporin terbagi menjadi 3 kelompok, antara lain (Katzung, 2005) : a) Generasi pertama merupakan generasi yang paling aktif terhadap kuman gram positif secara in vitro dan kurang aktif terhadap kuman gram negatif, contohnya yaitu sefalotin, sefaleksin, sefazolin, sefadrin. b) Generasi kedua agak kurang aktif terhadap kuman gram positif tetapi lebih aktif terhadap kuman gram negatif, contohnya yaitu sefamandol dan sefaklor. c) Generasi ketiga lebih aktif lagi terhadap kuman gram negatif, termasuk Enterobacteriaceae dan kadang-kadang pseudomonas, contohnya
yaitu
sefoksitin
(termasuk
antibiotika
sefamisin),
sefotaksim dan moksalatam. 5) Siprofloksasin Derivat - siklopropil dari golongan fluorokuinolon ini memiliki spektrum yang luas, juga memiliki kadar yang tinggi di dalam plasma. Penggunaan sistemisnya lebih luas dan meliputi infeksi saluran kemih dengan komplikasi, infeksi saluran pernafasan bila disebabkan oleh
17
Pseudomonas aeruginosa, infeksi saluran cerna, jaringan lunak, kulit, dan gonore (Tjay dan Rahardja, 2002). 8. Standar pelayanan medis pengobatan demam tifoid PHC Menurut SPM di PHC untuk pengobatan demam tifoid di instalasi rawat inap adalah sebagai berikut : a) Antibiotik : Tiamfenikol 4x500 mg / 24 jam per os sampai 3 hari bebas panas, selanjutnya 4x 250 mg/ 24 jam, untuk ibu hamil / menyusui atau ada tanda anemi aplastik/hipoplastik diberi amoksillin 3x500 mg / 24 jam per os selama 2 minggu. b) Obat simtomatik : antipiretik : parasetamol 500 mg, sefalosporin generasi III, seftriakson 3-4 gr dalam dextrose 100 cc selama ½ jam / infus selama 3-5 hari atau seftriakson 2-3 x 1 gr atau sefoperazon 2x1 gr -
Kombinasi antibiotik hanya untuk tifoid toksik peritonitis, perforasi atau renjatan septik.
9. Keputusan
menteri
kesehatan
Republik
Indonesia
nomor
364/Menkes/SK/V/2006 tentang pedoman pengendalian demam tifoid Tabel I. Pilihan antibiotik untuk demam tifoid menurut KMK Republik Indonesia nomor 364/Menkes/SK/V/2006 Antibiotika Kloramfenikol
Dosis
Kelebihan dan keuntungan 1. Merupakan obat yang sering digunakan dan telah lama dikenal efektif untuk tifoid 2. Murah dan dapat diberi peroral dan sensitivitas masih tinggi 3. Pemberian po/iv 4. Tidak diberikan bila lekosit < 2000/mm3
18
Lanjutan Tabel I. Pilihan…. Antibiotika Seftriakson
Dosis Dewasa : (2-4) gr/hr selama 3-5 hari Anak : 80 mg/kg BB/hr dosis tunggal selama 5 hari
Ampisilin & Amoksisilin
Dewasa : (3-4) gr/hr selama 14 hari Anak : 100 mg/kg BB/hr selama 10 hari
TMP-SMX (kotrimoksasol)
Dewasa : 2x(160-800) selama 2 minggu Anak : TMP 6-10 mg/kg BB/hr atau SMX 30-50 mg/kg/hr selama 10 hari a. Siprofloksasin : 2x500 mg minggu b. Ofloksasin : 2x(200-400) 1 minggu c. Pefloksasin : 1x400 selama 1 minggu d. Fleroksasin : 1x400 selama 1 minggu
Kuinolon
Sefiksim
Anak : 15-20 mg/kg BB/hr dibagi 2 dosis selama 10 hari
Tiamfenikol
Dewasa: 4x500 mg Anak: 50 mg/kgbb/hari selama (5-7) hari bebas panas
Kelebihan dan keuntungan Cepat menurunkan suhu, lama pemberian pendek dan dapat dosis tunggal serta cukup aman untuk anak. Pemberian IV 1. Aman untuk penderita hamil 2. Sering dikombinasi dengan kloramfenikol pada pasien kritis 3. Tidak mahal 4. Pemberian PO/IV 1. Tidak mahal Pemberian peroral
1.
2. 3. 4.
1. 2. 3. 1. 2.
Pefloksasin dan fleroksasin lebih cepat menurunkan suhu Efektif mencegah relaps dan karier Pemberian oral Anak : tidak dianjurkan karena efek samping pada pertumbuhan tulang Aman untuk anak Efektif Pemberian peroral Dapat untuk anak dan dewasa Dilaporkan cukup sensitif pada beberapa daerah.
F. Keterangan Empiris Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui gambaran pola penggunaan antibiotik pada pasien rawat inap demam tifoid pada periode Januari - Desember tahun 2011 dan mengetahui kesesuaian jenis antibiotik dengan standar pengobatan pembanding.