BAB I PENDAHULUAN 1. Latar Belakang Masalah Sepuluh tahun lamanya sejak 2004 silam, seorang Migrant Domestic Worker (MDW)1 Indonesia asal Kupang yakni Nirmala Bonat memperjuangkan keadilan di Pengadilan Malaysia pada 2014 lalu atas penyiksaan yang dialaminya.2 Dari kekerasan yang dialami Nirmala Bonat sejak cedera fisik sampai depresi mental atas penyiksaan tidak manusiawi oleh si majikan terlihat berdampak tidak hanya berupa luka fisik semata. Pengalaman buruk lainnya juga terjadi pada sebagian besar MDW yang tidak seberuntung Nirmala Bonat. Contohnya saja, tahun 2000 diberitakan oleh Asia Week dan dikutip Rohana Arifin, Ruminah Atem dikurung paksa dibelakang rumah majikannya selama 30 bulan, diberi makan hanya sekali sehari dan diijinkan keluar bila bekerja membersihkan rumah. Selain itu, tidak pernah dibayar selama tujuh tahun lamanya dan tidak berhak atas hari libur. Paling naas dikutip dari New Straits Times adalah kisah Kursiah Manijan dipukul dengan besi hingga tewas oleh majikannya.3 Hal ini menjadi representasi cerita-cerita memilukan para MDW dari Indonesia di Malaysia. Kejahatan terhadap mereka pun mengalami peningkatan dengan beberapa indikasi kematian tidak wajar seperti diungkapkan oleh Anis Hidayah (Direktur Eksekutif Migrant Care). Ia menjelaskan bahwa pada tahun 2009, kematian WNI (termasuk buruh migran pekerja domestik) mencapai 687 jiwa dengan beragam sebab, yaitu karena sakit (374), kekerasan (73), kecelakaan kerja (73), kecelakaan lalu lintas (87), jatuh dari ketinggian (23), tenggelam (14), kebakaran (3), bunuh diri (14), bencana alam (8), dan tidak diketahui (19). Selanjutnya adalah eskalasi angka ancaman hukuman mati yang terus meningkat serta deportasi terhadap 1
Dalam penelitian ini, penulis menggunakan konsep MDW yang merujuk pada perempuan migran yang bekerja di sektor domestik sebagai asisten rumah tangga. 2 ‗Abused maid Nirmala Bonat could not breastfeed court told‘, Newsstraitstimes.com.my,
, diakses 10 Februari 2014 3 R. Ariffin, Domestic Work and Servitude in Malaysia, Hawke Institute‘ Working Paper Series No. 14, University of South Australia, 2001, p.8
1
buruh migran Indonesia yang tidak berdokumen.4 Persoalan ini juga tidak lepas dari latar belakang dinamika migrasi yang saat ini didominasi oleh perempuan. Menurut The Population Reference Bureau tahun 2013 yang dikaji oleh Philip Martin, hampir setengah dari populasi migrasi global adalah perempuan.5 Berkaitan dengan persoalan tersebut dalam laporan International Migration 20136 menyebutkan bahwa 48% perempuan melakukan migrasi dengan tujuan mendapatkan pekerjaan. Dalam konteks Asia Tenggara migrasi ekonomi tersebut didominasi oleh wajah perempuan Indonesia dan Filipina di sektor jasa pembantu rumah tangga. Malaysia dan Singapura sendiri menjadi negara tujuan yang diincar. Di Malaysia, hampir seluruh MDW berasal dari Indonesia menurut catatan Ministry of Human Resource Malaysia yang dirilis tahun 2013 yaitu 121.107 orang dari total 169.936.7 Sedangkan data Kementrian Tenaga Kerja dan Transmigrasi Indonesia menyebutkan ada 240.130 orang MDW dari update data per bulan Oktober 2013.8 Walau berbeda tetap memperlihatkan migrasi ekonomi dari Indonesia berkarakter feminisasi sangat tinggi9 seperti International Labor Organization menyebutnya feminisasi migrasi perburuhan10. Kisaran jumlah tersebut belum termasuk MDW yang tidak memiliki dokumen resmi.
4
A. Hidayah, ‗Buruh Migran, Membangun hubungan RI-Malaysia berbasis HAM‟, Tabloiddiplomasi.org, Oktober 2010, , diakses pada 2 November 2013 5 P. Martin, ‗The Global Challenge of Managing Migration‘, Prb.org, 2013, , diakses 19 September 2014 6 United Nations, International Migration 2013: Migrants by origin and destination, Department of Economic and Social Affairs Population Division, Population Facts No. 2013/3, September 2013, , diakses 19 September 2014 7 Ministry of Human Resource, Statistik Pekerjaan dan Perburuhan Kementrian Sumber Manusia, 2013, , diakses 10 April 2014 8 Data langsung yang tidak dipublikasikan oleh Kemenakertrans Indonesia, Jakarta 9 H. Andrevski dan S. Lyneham, ‗Experiences of exploitation and human trafficking among a sample of Indonesian migrant domestic workers,‘ Trends & Issues in Crime and Criminal Justice Series, Australian Institute of Criminology, February 2014, No. 471, p.1-2 10 Dalam publikasi ILO Perlindungan dan Pencegahan untuk Pekerja Migran Indonesia, istilah ini merujuk pada tren global karena persentase perempuan yang bermigrasi (baik imigran permanen maupun temporer) meningkat, , diakses pada 14 Februari 2014
2
Dalam gambaran wajah migrasi ekonomi sedemikian rupa, meningkatnya gelombang domestic worker dari Indonesia ke Malaysia dianggap oleh beberapa peneliti sebagai suatu hubungan yang dalam dan terikat11 karena alasan historis, geografis, sosial, dan kultural. Secara historis sejak masa kolonial Inggris menguasai Malaya (sebutan Malaysia dan Singapura di masa kolonial Inggris), penduduk Indonesia sudah melakukan migrasi bahkan sampai menetap untuk memenuhi kebutuhan di sektor pertanian, berdagang dan melakukan pekerjaan jasa. Kegiatan ini menjadi lancar karena jarak geografis yang terbilang dekat dan secara sosial serta kultural memiliki kemiripan yang dikuatkan sebagai simbol bangsa ―serumpun melayu‖. Sebagai sesama melayu, Indonesia dan Malaysia seharusnya saling mengisi dalam migrasi ekonomi karena keduanya memiliki simbiosis mutualisme dalam kacamata pembangunan. Indonesia mengisi kekosongan sektor jasa rumahtangga yang ditinggalkan oleh perempuan Malaysia untuk bekerja di sektor produksi. Sedangkan Malaysia melancarkan arus devisa untuk Indonesia dari remitansi MDW sekaligus menyelesaikan persoalan pengangguran dan kepadatan penduduk. Dari narasi itu, seharusnya relasi berimbas harmonis laiknya saudara serumpun namun memanas karena situasi tidak nyaman dialami MDW yang posisinya sangat lemah dalam masyarakat baik di Indonesia maupun Malaysia akibat kekerasan. Identifikasi kekerasan tersebut dicatat oleh Human Rights Watch kedalam beragam kriteria dari wawancara langsung terhadap korban.12 Penyiksaan tersebut dialami MDW sejak berangkat dari Indonesia sampai menetap di Malaysia. Organisasi Migrant Care juga mengidentifikasi via kepulangan buruh migran ke Indonesia, termasuk organisasi lokal di Malaysia seperti WAO dan Tenaganita. Laporan KBRI 2011 menyebutkan kasus MDW tersebut berupa: gaji tidak dibayar, penyiksaan/penderaan, majikan kasar / tidak
11
M.R. Islam, ‗Partnership Research Between Malaysia and Indonesia : A Case of Labor Welfare,‘ Social Research Reports, vol.25, 2013, p.7-8 12 Human Rights Watch, Help Wanted: Abuses against Female Migrant Domestic Workers in Indonesia and Malaysia, Vol. 16, No. 9 (B), July 2004, p. 36-50
3
betah kerja, pelecehan seksual, korban penipuan, diusir majikan, terlantar, kerja terlalu berat, unfit, dan traficking yang totalnya dalam tabel berikut:13 Tabel 1. Kasus TKI Formal/Informal berdasarkan pengaduan langsung maupun surat tercatat
Sumber: Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan 2011, KBRI Kuala Lumpur Kejahatan terhadap MDW sebelum moratoriun dan setelah moratorium oleh Indonesia tetap tidak berhenti. Paska moratorium juga tidak menyelesaikan persoalan karena belum tercipta grand design upaya meminimalisasi pelanggaran HAM. Belum lagi munculnya advertisement leaflet yang dianggap menjatuhkan martabat kemanusiaan mereka seperti ―Indonesian maids now on sale fast and easy application, now your housework and cooking come easy‖ di Kuala Lumpur pada 2012.14 Iklan ini memunculkan persepsi bahwa MDW disamakan dengan produk dagang yang merupakan perlakuan dehumanisasi dan tidak bisa ditoleransi.15 Ketimpangan relasi Indonesia dan Malaysia dalam migrasi ekonomi justru tidak lebih menguntungkan MDW, seperti dilansir media Malaysia bahwa ―foreign workers are the most victimized in Malaysia‟s labour force.‖16 Melihat peningkatan migrasi ekonomi MDW Indonesia ke Malaysia disertai problem kekerasan, maka sorotan beberapa penelitian ke Indonesia sebagai negara pengirim (supply) menunjukkan tidak adanya kualitas kebijakan
13
Kedutaan Besar Republik Indonesia (KBRI) Kuala Lumpur, Laporan Tahunan Fungsi Ketenagakerjaan Tahun 2011, Kuala Lumpur, 2011, p.9 14 A. Dipa, ‗Indonesian maids now on Sale in Malaysia triggers public outcry‘, Thejakartapost.com, October 29, 2012, , diakses pada 2 November 2013 15 International Women‘s Rights Action Watch Asia Pacific (IWRAW Asia Pacific), Regional Thematic Meeting on Violence Against Women, 12-15 December 2005 Dhaka, Bangladesh, , diakses pada 12 Januari 2014. 16 A. Lau, ‗Migrant workers: Malaysia‘s hungry ghosts‘, Themalaysianinsider.com, 5 October 2014, , diakses 2 November 2014
4
yang berperspektif perlindungan.17 Sorotan lainnya adalah posisi Malaysia sebagai negara penerima (demand) juga terlibat ikut bertanggungjawab. Menurut Christine Chin, kebijakan dan legislasi yang dipraktekkan Malaysia secara konsisten tidak mengikutsertakan posisi MDW untuk mendapatkan hak asasinya di masyarakat. 18 Dalam konteks supply dan demand kedua negara tidak terlepas dari penyebab persoalan perlindungan MDW ini. Namun secara umum menurut Koesrianti, penegakan hukum HAM selalu tergantung dari itikad baik negara penerima dimana penindakan kepada pelaku tindak kejahatan merupakan hak dan kewenangannya dengan alasan wajib tunduk pada yurisdiksi nasional negara yang bersangkutan.19 Atas dasar pertimbangan yurisdiksi tersebut, penulis mengambil fokus penelitian terhadap perlindungan hukum dari sisi negara penerima. Sejauh ini, Malaysia melakukan ratifikasi pada beberapa konvensi internasional HAM yaitu Convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW) dan Convention on the Rights of the Child (CRC) secara bersamaan pada 1995 dan 2010 Convention on the Rights of Persons with Disabilities (CRPD). Selain itu, diratifikasi pula kurang lebih 17 Konvensi ILO (Convention of International Labor Organization), termasuk yang mengatur tentang standar kerja buruh migran. 20 Dalam konteks perlindungan buruh migran sesungguhnya sudah diatur secara khusus dalam Convention on Migrant Workers yaitu International Convention on the Protection of the Rights of All Migrant Workers and Members of their Families 2003 dan lebih substantif dengan Domestic Workers Convention 2011. Tetapi Malaysia belum meratifikasi konvensi tersebut. Pelaporan CEDAW sendiri dilakukan sangat terlambat karena
17
A. S. Azmy, Negara dan Buruh Migran Perempuan: Menelaah Kebijakan Perlindungan Masa Pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono 2004-2010, Yayasan Pustaka Obor Indonesia, Jakarta, 2012, p. 174-188 18 C.B.N. Chin, ‗Visible Bodies, Invisible Work: State Practices Toward Migrant Women Domestic Workers in Malaysia,‟ Asian and Pacific Migration Journal, Vol. 12, No. 1-2, 2003, p. 49 19 Koesrianti, ‘Kewajiban Negara Pengirim dan Negara Penerima atas Perlindungan Pekerja Migran‘, Jurnal Diplomasi Pusdiklat Kemenlu, Volume 2 No.1, 2010, p.23-24 20 Data dari ILO menyebutkan dari total 17 ada 16 konvensi berstatus ―in force‖; 1 konvensi ―denounced‖; 1 konvensi telah diratifikasi dalam 12 bulan terakhir, update data terakhir tahun 2013,, diakses pada 2 November 2013
5
baru memasukkan laporan kepada Komite pada tahun 2006 setelah ratifikasi 1995.21 Padahal Malaysia sudah memasuki tahap aksesi untuk CEDAW. 22 Prosesi aksesi Malaysia tak terlepas dari kedudukannya sebagai anggota dari United Nations Human Rights Council (UNHRC) selama empat periode (1993-1998, 2001-2003, 2005-2007 dan 2010-2013).23 Komitmen untuk merealisasikan jaminan promosi dan perlindungan HAM yang adil disampaikan oleh salah satu pejabat kemenlu Malaysia, Ahmad Rozian Abd Ghani bahwa: Malaysia is a mirror of the multi-cultural, multi-ethnic and multi-religious world. It understands the imperatives of reaching across diverse populations and countries in arriving at a common understanding and universal consensus on human rights. It is in our interest to reduce differences on it to effectively protect human rights within and between states.24 Sebagai anggota UNHRC dan sekaligus dalam proses aksesi CEDAW, penting melihat bagaimana komitmen itu dalam konteks perlindungan MDW. Namun posisi Malaysia di UNHRC ditantang oleh laporan kritis NGO lokal dan internasional yang menegaskan rendahnya komitmen pemerintah melindungi HAM MDW. Diantaranya The Equal Right Trust (INGO internasional) bekerjasama dengan Tenaganita (NGO lokal) mengeluarkan laporan review dalam ―Addressing Discrimination And Inequality In Malaysia‖. Laporan ini menjelaskan bahwa MDW tidak menerima hak proteksi yang sama seperti pekerja di sektor formal lainnya.25 Konsekuensinya yakni 121.107 orang dipinggirkan dalam perlindungan atas jaminan keamanan kerja dan hak formil lainnya yang adil. NGO lokal SUARAM dalam laporan HAM 2013 juga 21
Women‘s Aid Organisation, How is Malaysia involved in CEDAW?, , diakses pada 12 Januari 2014. 22 CEDAW Southeast Asia, CEDAW Ratification and Reporting Status, , diakses pada 12 Januari 2014. 23 The International Center for Not-for-Profit Law, NGO Law Monitor: Malaysia, , last updated 5 November 2014, diakses 10 Desember 2014. 24 A. R. A. Ghani, ‗Malaysia and the Human Rights Council — Wisma Putra‘, Themalaysianinsider.com, 28 Februari 2012, , diakses pada 12 Januari 2014. 25 The Equal Rights Trust in Partnership With Tenaganita, Washing The Tigers, Addressing Discrimination And Inequality In Malaysia,‘ ERT Country Report Series 2, London, November 2012, p.172-173
6
menyebutkan tren yang mengkhawatirkan yaitu perlakuan tidak manusiawi untuk pekerja migran di beberapa tempat penahanan juga adanya represi kebebasan berbicara oleh aktivis HAM mengenai kasus penyiksaan MDW.26 Global Rights Index bahkan menempatkan Malaysia sebagai peringkat kelima diantara 24 negara terburuk bagi pekerja dalam periode April 2013-Maret 2014.27 Dalam skala regional, Human Rights Watch mencatat bahwa Malaysia menolak upaya mencapai perjanjian perlindungan hak bagi semua pekerja di ASEAN secara komprehensif.28 Dan Amnesty International menyimpulkan bahwa Malaysia tetap gagal memenuhi standar HAM internasional bahkan ketika sudah menggantikan hukum era kolonial Inggris.29 Fenomena
kekerasan
yang
terjadi
terhadap
MDW
tersebut
menggambarkan bahwa ada kesenjangan antara ratifikasi dan implementasi komitmen Malaysia memproteksi HAM di dalam negerinya. Kesenjangan itu juga ditambah oleh mayoritas penelitian yang terlalu memusatkan perhatian pada kacamata ketidakberesan perlindungan Indonesia sebagai negara pengirim. Untuk itu, dengan penelitian yang juga berfokus pada negara penerima akan mengisi kesenjangan tersebut dan memperkaya penelitian perilaku negara mempraktekkan hukum internasional terhadap warga negara asing seperti MDW. 2. Rumusan Masalah Mengacu pada meningkatnya tren migrasi ekonomi MDW dari Indonesia beserta munculnya kekerasan yang beragam bahkan ketika Malaysia menjadi anggota Dewan HAM PBB, maka penulis mengajukan pertanyaan penelitian sebagai berikut: Mengapa kekerasan terhadap MDW masih berlangsung disaat Malaysia sebagai negara penerima telah meratifikasi CEDAW sejak tahun 1995?
26
K. K. Soong, ‗SUARAM‘s Malaysia Human Rights Report 2013 – Report Card of a Recalcitrant Government‘, Suaram.net, 23 May 2014, , diakses 11 April 2014 27 The International Trade Union Confederation (ITUC), The ITUC Global Rights Index; The World‟s Worst Countries for Workers 2014, p.38 28 Human Rights Watch, World Report 2014; Events of 2013, United States of America, 2014, p. 355 29 Amnesty International Report 2013, The State of The World‟s Human Rights, periode January - December 2012, p.169
7
3. Tinjauan Pustaka Secara umum tulisan-tulisan yang meneliti tentang peranan perjanjian – perjanjian HAM memperlihatkan bagaimana korelasi hubungan negara, organisasi transnasional dan masyarakat dalam menyikapi isu MDW. Korelasi tersebut melahirkan relasi yang tidak selalu harmonis atau setara bahkan seringkali subordinan. Objektifikasi terhadap posisi MDW yang sangat rentan terhadap pelanggaran di negara penerima di masa kontemporer sekarang memperlihatkan kegamangan signifikansi ratifikasi dan implementasi standard HAM. Dalam bagian ini, ada empat tulisan menggambarkan hubungan tersebut. Pertama yaitu tulisan Christine Chin yang berjudul In Service and Servitude30 yang mempertanyakan ketidaksesuaian upah sektor domestic service di Malaysia dengan hukum upah rendah. Dengan memakai kasus MDW Filipina dan Indonesia dalam konteks pembangunan masyarakat modern, Chin menemukan bahwa adanya relasi kuasa yang timpang antara negara dengan MDW. Relasi ini digambarkan dimana Malaysia sebagai negara pembangunan menyediakan MDW sebagai subtitusi pemenuhan kebutuhan kelas menengah (majikan) masyarakatnya yang konsumtif sekaligus memberi ruang bagi warga negara perempuan untuk bekerja di wilayah publik yang produktif. Dengan begitu tujuan mendapatkan dukungan dari keluarga kelas menengah demi promosi kebijakan materialis sekaligus pengurangan konflik pemisahan etnis tercapai. Implikasinya justru mengorbankan hak-hak keamanan MDW. Tulisan Chin tersebut sangat bermanfaat sebagai pijakan dasar membantu penelitian ini dalam melihat posisi MDW dalam pusaran ekonomi pembangunan modern Malaysia secara umum dimana masyarakatnya memiliki keragaman etnis. Analisis kritis atas gender, kelas dan ras sebagai hubungan identitas dan kekuasaan juga menunjukkan bahwa isu ―privat‖ seperti MDW memiliki relevansi dengan latarbelakang perilaku Malaysia dalam menyikapi implementasi standard HAM. Chin memberi petunjuk memahami proses global secara ―bottom-up‖ dari
30
C. B. N. Chin, In Service and Servitude: Foreign Female Domestic Workers and the Malaysian Modernity Project, Columbia University Press, New York, 1998.
8
wilayah privat tersebut dengan keterlibatan negara yang aktif sekaligus implikasi regional dan internasional. Tulisan kedua yaitu Critical Analysis of Domestic Worker Condition in Malaysia and Singapore: Ameliorated Economic Condition vs. Gateway to Modern Slavery or Servitude oleh Bustomi Arifin.31 Dengan menggunakan kondisi MDW di Malaysia dan Singapura yang dilihat sebagai perbudakan modern, Arifin menemukan bahwa kebijakan migrasi mereka bertujuan untuk memenuhi kepentingan nasional. Kondisi yang dimaksud yakni kondisi kebijakan yang faktual menyangkut pembatasan beberapa hak-hak MDW. Karena tulisan ini melingkupi pendekatan human rights dan analisis kritis interseksionalis maka terlihat bahwa kebijakan negara seringkali problematis. Stigma yang diproduksi oleh konstruksi masyarakat seperti majikan, agen rekrutmen dan pemerintah akhirnya mendukung eksploitasi pelanggaran terhadap kondisi pekerja. Literatur ketiga yaitu ―After Ratification: The Domestic Politics of Treaty Implementation and Compliance‖ yang ditulis oleh Thania Sanchez.32 Dengan mencontohkan CRC yang diratifikasi oleh Australia, Sanchez secara spesifik berargumen bahwa kepatuhan negara bisa dilihat dalam pendekatan politik domestik. Pendekatan ini menyoroti peran aktor domestik dan situasi politik yang pada dasarnya melihat kelemahan mekanisme implementasi domestik dalam menangani permasalahan. Aktor domestik ini adalah elit eksekutif dan legislatif yang memiliki wewenang untuk membuat kebijakan terkait konvensi, sedang aktor lain yang mempengaruhi adalah NGO dan kelompok kepentingan. Aktor terakhir ini tidak begitu berperan mempengaruhi kepatuhan karena di Australia mereka terfragmentasi antara kelompok yang mendukung advokasi dan yang tidak mendukung. Untuk itu salah satu cara menjelaskan ketidakpatuhan Australia memenuhi persyaratan CRC menurut Sanchez adalah melalui pengamatan proses ratifikasi dan implementasi perjanjian. 31
B. Arifin, Critical Analysis of Domestic Worker Condition in Malaysia and Singapore: Ameliorated Economic Condition vs. Gateway to Modern Slavery or Servitude, Master thesis, Malmö University, Swedia, Mei 2012 32 T. Sanchez, After Ratification: The Domestic Politics of Treaty Implementation and Compliance, Doctor of Philosophy, Graduate School of Arts and Sciences, Columbia University, 2009, p. 36-42
9
Hasil pengamatannya memperlihatkan bahwa kepatuhan Australia dengan kewajibannya pada CRC gagal karena legislatif menolak untuk menerapkan hukum yang diperlukan untuk kepatuhan. Bahkan, perlakuan terhadap anak-anak memburuk sejak ratifikasi perjanjian. Eksekutif dan legislatif di Australia memiliki perbedaan sistem kewenangan dimana pihak eksekutif bisa meratifikasi secara sepihak dan tidak perlu mendapat dukungan dari legislatif. Tetapi di dalam proses pelaksanaan perjanjian, legislatif yang terdiri dari kompetisi suara antara mayoritas dan minoritas selalu menghambat khususnya jika isu itu terkait CRC. Ketidakpatuhan Australia dengan CRC menggambarkan kebutuhan melihat situasi domestik negara untuk memahami penyebab kegagalan kepatuhan. Teori kepatuhan saat ini melewatkan komponen penting dari proses yang menentukan kepatuhan, yaitu penerapan perjanjian dalam hukum domestik dan peran politik dan lembaga dalam pelaksanaan tersebut sehingga politik dan lembaga-lembaga negara dapat menjadi sumber masalah kepatuhan. Untuk itu, analisis ini bersinggungan dengan analisis kepatuhan Malaysia terhadap konvensi HAM dimana kekuasaan pemerintah terletak pada kewenangan saling tarik menarik antara legislatif dan eksekutif. Literatur terakhir yaitu ―Malaysia‟s Approach to its Illegal Indonesian Migrant Labour Problem; Securitization, Politics, or Catharsis?‖ oleh Joseph Liow.33 Liow mencoba menjawab permasalahan buruh migran Indonesia yang berstatus ilegal di Malaysia melalui lensa konseptual teori sekuritisasi. Liow menganggap bahwa konsep isu sekuritisasi dalam melihat migrasi buruh migran indonesia ke Malaysia secara ilegal sebagai narasi ancaman tidaklah objektif ontologis secara realitas. Di satu sisi, mereka dianggap security threats dan di sisi lain ketiadaan mereka berimplikasi pada economic insecurity. Hal ini karena pada faktanya, narasi tersebut dibentuk oleh kontestasi, created dan re-created oleh kekuatan politik dan sosial. Diferensiasi politisasi dan sekuritisasi bermasalah begitupun juga pelaksanaan langkah-langkah keamanan. Implementasi telah menjadi masalah 33
J. C. Liow, Malaysia‟s Approach to its Illegal Indonesian Migrant Labour Problem; Securitization, Politics, or Catharsis?, IDSS-Ford Workshop On Non-Traditional Security In Asia Singapore, 3-4 September 2004.
10
karena politik dalam negeri Malaysia, dan langkah-langkah tersebut tidak ditindaklanjutkan dengan tindakan yang efektif. Akhirnya, sekuritisasi migran ilegal terus berada dalam domain politik normal (extreme politicisation) bukannya pada kategori ―extreme threats of human and global security‖ sehingga konsepnya menjadi ambigu. Wacana security yang dibentuk oleh Malaysia dianggap sebagai katarsis dari realitas politik yang membingkai pendekatan penyelesaian persoalan yang justru tidak pernah selesai. Persoalan ancaman menurut Liow hanya dijadikan alasan untuk menutupi kelemahan Malaysia dalam kerangka melaksanakan regulasi yang sudah dibuat. Maka dari itu variabel ―threats‖ menjadi relevan sebagai salah satu motif Malaysia memperlakukan isu MDW yang sebagian besar juga termasuk dalam ―illegal migrants‖. Keempat tulisan diatas membantu penelitian ini menemukan kerangka eksplanasi dari pola hubungan aktor negara dan non negara meletakkan norma internasional dalam politik domestik. Tulisan Chin dan Arifin memperlihatkan relasi masyarakat dan negara dalam pusaran ekonomi global berimplikasi pada kehidupan MDW secara sosial dan ekonomi. Analisis Thania Sanchez yang memfokuskan diri dalam situasi politik domestik juga memberikan masukan untuk melihat proses ratifikasi dan implementasi Malaysia terhadap CEDAW. Tulisan Liow tentang politisasi isu buruh migran ilegal Indonesia juga bersinggungan dengan MDW yang dilihat sebagai ―ancaman‖ memberikan pemahaman wacana politik yang dimainkan oleh pemerintah Malaysia. Dengan demikian menelisik latarbelakang motif ketidaksesuaian antara perilaku aktor dan norma internasional menjadi komprehensif. 4. Kerangka Pemikiran 4.1 Compliance Theory Teori ini berfungsi untuk mempelajari efek dan signifikansi hukum internasional. Demikian halnya dalam kasus kekerasan terhadap MDW juga memerlukan studi tentang signifikansi perlindungan hukum yang terkandung dalam konvensi HAM seperti CEDAW yang diratifikasi oleh Malaysia. Sehingga
11
menurut Guzman,34 dengan memahami relasi tersebut akan memberikan saran kebijakan yang berguna sebagai penghargaan terhadap hukum internasional. Definisi kepatuhan menunjukkan kompleksitas keragaman pemahaman. Young menganggap kepatuhan terjadi jika perilaku aktual si subjek sesuai dengan perilaku yang ditentukan, sedangkan ketidakpatuhan atau pelanggaran terjadi ketika perilaku secara signifikan berbeda jauh dengan yang sudah ditentukan. Underdal menyebut kepatuhan berarti berperilaku sesuai dengan kewajiban yang telah diterima oleh penandatanganan perjanjian. Risse, Ropp dan Sikkink memasukkan variabel aktor aktivis dan jaringan internasional sebagai pengaruh terhadap perubahan perilaku kepatuhan. Dengan cara yang kompleks Jacobson dan Weiss meneliti kepatuhan sebagai tahap peralihan antara implementasi dan efektivitas. Negara dianggap sesuai ketika mematuhi kewajiban internasional secara prosedural dan subtantif terlepas dari struktur perundang-undangan domestiknya.35 Dari keragaman tersebut Rosa Aloisi membingkai definisi kepatuhan kedalam tiga tahap.36 Dari studi kepatuhan tersebut, ia menyimpulkan kepatuhan sebagai proses kompleks (multi-stage) yang terdiri dari, ratifikasi perjanjian HAM internasional, implementasi aturan yang ditentukan oleh perjanjian, dan terakhir kesesuaian perilaku negara terhadap kewajibannya yang berasal dari kewajiban internasional. Dalam 3 tahap tersebut, Aloisi menempatkan variabel ―ancaman‖ dan kondisi instabilitas yang mempengaruhi perilaku negara melalui perilaku leader sehingga kepatuhan menjadi fenomena situasional. Hal ini guna mengalihkan perhatian klasik dari variabel ―karakter rezim‖ yang monoton dalam menjelaskan kondisi kontemporer kepatuhan. Karakter rezim seperti model negara demokratis yang dipercaya akan lebih patuh justru pada prakteknya banyak melakukan pelanggaran HAM. Tingkatan compliance tersebut bisa dilihat pada gambar berikut yang terlihat seperti layercake:37 34
A. T. Guzman, ‗A Compliance-Based Theory of International Law,‟ California Law Review, Vol.90, Issue 6, Article 2, 2002, pp. 1826-1887 35 R. Aloisi, The Threats to Compliance with International Human Rights Law, Doctor of Philosophy, Political Science, University of North Texas, United States, December 2011, p. 46-47 36 R. Aloisi, pp. 47 37 R. Aloisi, pp. 16
12
Gambar 1. Tiga tahap atau tingkat Kepatuhan.
Sumber: Rosa Aloisi dalam disertasi The Threats to Compliance with International Human Rights Law, 2011 Penjelasan 3 tingkat gambar tersebut diatas berakar dari pondasi Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian dimana negara mewujudkan niat mereka untuk menjadi anggota suatu perjanjian dengan menandatangani rancangan perjanjian internasional. Tanda tangan dari perjanjian internasional tidak menciptakan kewajiban yang mengikat untuk penandatangan, tetapi menunjukkan niat negara untuk memeriksa dan mempertimbangkan meratifikasi instrumen hukum internasional. Dalam Konvensi Wina 1969 pasal 2, ratifikasi adalah tindakan internasional dimana suatu negara menyatakan kesediaannya atau melahirkan persetujuan untuk diikat oleh suatu perjanjian internasional. Ratifikasi tidak berlaku surut, melainkan mengikat sejak penandatanganan perjanjian. Karena itu negara selalu mengamati ratifikasi dan kewajiban suatu perjanjian HAM seperti dikatakan Lois Henkin ―almost all nations observe almost all principles of international law and almost all of their obligations almost all the time.‖38 Tahap pertama dan sebagai awal kepatuhan, di mana negara-negara menjadi terikat dengan kewajiban internasional adalah dengan ratifikasi perjanjian internasional atau aksesi terhadap perjanjian. Sedangkan efek yang sama dari ratifikasi dan aksesi yaitu negara menjadi anggota resmi rezim internasional yang diciptakan oleh perjanjian. Bahkan, sementara ratifikasi selalu didahului oleh 38
L. Henkin, How Nations Behave, Columbia University Press, New York, 1979, p. 47
13
tanda tangan perjanjian, aksesi tidak mengikuti tanda tangan perjanjian. Hal ini umum bagi negara-negara melanjutkan ke ratifikasi atau aksesi hukum internasional untuk mengevaluasi perbedaan atau kesamaan antara kewajiban internasional dan ketentuan hukum dalam negeri dan untuk memulai prosedur yang dapat menjamin kepatuhan terhadap perjanjian internasional. Manfaat yang didapatkan dari meratifikasi perjanjian internasional menunjukkan sinyal komitmen keadaan awal untuk mempertimbangkan penerapan standar HAM internasional yang unggul, dan itu menciptakan reputasi sebagai pendukung hukum internasional. Pertanyaan sentral yang muncul dan jadi perdebatan adalah alasan negara meratifikasi konvensi. Ada beberapa pemikiran diantaranya Normative Approach, Rationalist
Approach
dan
Sovereignty
Approach.
Normative
Approach
mengatakan bahwa negara bersedia untuk meratifikasi perjanjian HAM karena nilai-nilai normatif domestik mereka sudah sesuai dengan nilai-nilai normatif perjanjian internasional. Atau dalam pandangan Harold Koh, walaupun kepentingan nasional tidak harus selalu sepenuhnya selaras dan kompatibel pada saat ratifikasi tetapi proses internalisasi untuk memenuhi standar internasional meningkatkan minat
masyarakat
dan posisi
bangsa
dalam
masyarakat
internasional akan membuat negara mendukung konvensi. Rationalist Approach, walau masih terfokus pada kepentingan nasional tetapi juga menggeser perhatian pada kepentingan material (cost and benefit) lebih dari kepentingan politik dan normatif negara. Menurut pendekatan ini negara akan menyetujui perjanjian yang dianggap mudah untuk dipenuhi dan yang memerlukan sedikit usaha dalam mengubah kebijakan domestik. Sovereignty Approach menunjukkan bahwa pemimpin sangat protektif terhadap kekuasaan di wilayah nasional dan terhadap warga negara mereka. Pada titik ini, perjanjian HAM dianggap menginvasi kedaulatan negara seperti mengatur bagaimana pemerintah memperlakukan warga negara mereka dan itu dianggap mengancam kemerdekaan politik dan
14
pemerintahan negara. Ratifikasi menurut pendekatan ini dilakukan hanya berdasarkan prinsip yang berbeda.39 Asumsi ini didasarkan pada dua hal yaitu pertama, kedaulatan untuk memainkan ―peran selektif‖ dalam perilaku negara terhadap perjanjian HAM internasional. Seperti Henkin berpendapat, negara-negara berdaulat menerima standar HAM internasional, jika mereka ingin, ketika mereka ingin, sejauh mereka ingin. Mereka tunduk pada pengawasan, penghakiman pengadilan dan komisi HAM internasional, jika mereka ingin, sejauh yang mereka inginkan. Dan Krasner menunjukkan, kedaulatan menjadi kemunafikan terorganisir. Pada akhirnya perilaku negara terhadap hukum internasional adalah tidak didikte oleh kecemburuan terhadap kemampuan negara untuk mengatur otoritas pemerintah, tetapi dengan kepentingan elit politik yang memerintah atas nama negara dan yang menjadi perhatian utama adalah mempertahankan kekuasaan dalam lingkup domestik.40 Kedua, pemikiran ini terlalu menekankan pada dampak perilaku ratifikasi negara. Negara cenderung membatasi dampak dari perjanjian HAM dengan cara yang berbeda. Mereka memasukkan ―silence conspiracy‖ tentang HAM oleh timbal balik mengakui yurisdiksi masing-masing negara untuk menentukan hak-hak warga negara dan tugas pemerintah. Inilah penyebab tidak menggunakan prosedur laporan pelanggaran HAM yang ditawarkan oleh konvensi internasional terhadap negara-negara lain, takut bahwa hal ini dapat merusak konsep kedaulatan negaranya. Selain itu, menyatakan berkomitmen untuk HAM melindungi kedaulatannya dengan menempatkan reservasi, sehingga membatasi aspek perjanjian internasional yang bertentangan dengan kepentingan domestik negara yang dilindungi.41 Tahap kedua dari kepatuhan adalah pelaksanaan perjanjian internasional. Tahap implementasi ini merupakan sebuah proses hukum dan politik yang memerlukan 1) kesediaan pemerintah melanjutkan ke penyesuaian ketentuan hukum domestik mereka untuk memastikan kepatuhan dengan kewajiban yang dihasilkan dari perjanjian; dan membutuhkan 2) pemahaman hukum dari isi 39 40 41
R. Aloisi, pp. 84-91 R. Aloisi, pp. 91-92 R. Aloisi, pp. 92-93
15
kewajiban itu, agar undang-undang dalam negeri kompatibel dengan ketentuan perjanjian. Proses implementasi dapat bervariasi sesuai dengan struktur sistem hukum negara. Beberapa sistem telah menciptakan ketentuan konstitusi yang menyatakan supremasi hukum internasional yang telah diratifikasi dengan melihat ketentuan norma dalam negeri tidak kompatibel dan melakukan penggabungan langsung hukum internasional ke dalam sistem domestik. Sedangkan ketentuan sistem lain memiliki proses yang lebih kompleks yang melibatkan analisis dengan komisi tertentu di dalam parlemen atau struktur politik lainnya dan atau isi dari kewajiban hukum. Dengan demikian, implementasi merujuk pada hukum dan kebijakan yang dibuat oleh negara untuk mencapai tujuan perjanjian. 42 Tahap ketiga kepatuhan terdiri dari perilaku compliant sebagai perilaku pemimpin yang secara kausal ditentukan oleh kewajiban internasional. Tahap ini berisi adaptasi aktual perilaku pemimpin terhadap kewajiban perjanjian internasional. Sejalan dengan kerangka teori di atas, agar perilaku kepatuhan kompatibel dengan perjanjian maka dapat ditentukan dengan dua set kondisi yang berbeda yaitu stabil dan instabilitas.43 Dalam kondisi pemerintahan yang stabil, kepatuhan pemimpin dengan hukum internasional dapat menjadi fungsi dari karakteristik negara misalnya, negara dengan rezim demokrasi tidak akan melakukan penyiksaan terhadap warga negaranya sendiri. Menurut penulis, tingkat kedua dan ketiga masih mengandung pengertian yang tidak jauh berbeda. legislasi dalam tahap implementasi merupakan proses adopsi atau domestikasi hukum internasional sedangkan aktualisasi pada tahap perilaku aktor juga masih berada dalam pengertian implementasi. Sehingga dalam penelitian ini, penulis akan menggunakan istilah implementasi untuk tahap legislasi dan aktualisasi pada tahap kedua dan ketiga. Sama seperti Thania Sanchez yang melihatnya sebagai implementasi legal dan administratif yang akan mempengaruhi kepatuhan. Menurutnya, kedua hal tersebut adalah kesatuan dari preferensi dan kemampuan si aktor domestik untuk mengubah status quo. 44
42
R. Aloisi, pp. 16-17 R. Aloisi, pp. 16-17 44 T. Sanchez, pp. 141 43
16
Pada
konteks ―perlindungan terhadap warga
negara‖, kepatuhan
pemerintah terhadap standard HAM di tiga tingkat tersebut mengalami tantangan dengan adanya isu buruh migran. Faktor eksternal ini menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kebijakan-kebijakan suatu negara dalam konstalasi politik domestik. Sehingga faktor politik domestik juga termasuk mempengaruhi kepatuhan. Menurut Milner, faktor politik domestik ini mencakup pengaruh dari elit birokrat yang terdiri dari interplay antara pihak eksekutif dan legislatif yang membentuk institusi sehingga negara bersikap strategis menyikapi perjanjian internasional. Selain itu, menurut Hafner-Burton faktor kelompok penekan seperti NGO dan kelompok sipil lainnya juga berperan menekan pemerintah untuk mematuhi hukum internasional dengan cara memonitor, mengorganisir kampanye publik dan menggunakan sistem legal domestik. Aloisi menyimpulkan bahwa negara meratifikasi perjanjian HAM hanyalah sikap konsekuensi dari karakter rezim dimana demokrasi memikirkan kepentingan tarik menarik antara kewajiban internasional dengan kondisi domestiknya dan non demokrasi menganggap rezim HAM secara alamiah tidak memiliki kekuatan (toothless). Yang paling potensial mempengaruhi pemerintah adalah pada saat paska ratifikasi dimana adanya variabel ―threats‖ yang mempengaruhi pemimpin untuk mau berkomitmen pada HAM. Sehingga kepatuhan pemimpin menghadapi tantangan atau "ancaman" untuk stabilitas kekuasaan berpotensi menciptakan insentif untuk melanggar perjanjian. 4.1.1 Variabel Threats and instability45 Karl W. Eikenberry mengemukakan bahwa ancaman mengacu pada seseorang atau sesuatu yang dapat menyebabkan masalah atau bahaya atau kemungkinan bahwa sesuatu yang buruk bisa terjadi.46 Variabel ―threats‖ ini dapat dilihat dari konteks internal dan eksternal atau internasional. Pemimpin akan melihat ancaman internal dalam bentuk misalnya kerusuhan sipil dan revolusi sebagai ancaman terhadap negara dan kelanjutan kekuasaan. Dalam keadaan ini 45
R. Aloisi, pp. 70-78 K. W. Eikenberry, ‗Thoughts on Unconventional Threats and Terrorism‘, Hoover.org, , diakses pada 21 September 2014. 46
17
pemimpin cenderung mengarahkan aksi mereka terhadap warga negara mereka sendiri dan tujuan utamanya adalah melindungi posisi mereka dalam kekuasaan terhadap pergolakan internal. Sedangkan jika ancaman itu datang dari eksternal, maka si pemimpin biasanya akan mengambil tindakan cepat mempertahankan keamanan domestiknya. Masalahnya dalam pembagian ancaman internal dan eksternal terkadang sangat kabur pembedaannya dengan hadirnya ―unconventional threats‖. Ancaman ini juga disebut internal-eksternal yang merupakan ancaman yang tidak dapat dipastikan secara tepat sumbernya.47 Dalam ASEAN Regional Forum, isu ini mengacu pada ancaman non-traditional security dimana menggambarkan sumber ancaman berasal dari non militer meliputi seperti ekonomi, lingkungan kejahatan transnasional, dsb. Dalam hal ini pemimpin kadang mengarahkan aksi mereka terhadap rakyat di dalam negara dan di luar negara. Brysk dan Shafir menunjukkan bahwa keamanan nasional dan kepentingan nasional diidentifikasi dengan menangguhkan jaminan HAM untuk merespon secara tepat dari unconventional threats demi stabilitas pemerintahan. Sehingga keamanan nasional diidentifikasi
sebagai
kemampuan mengamankan perbatasan, melindungi
warganya dan mengembalikan perdamaian dalam komunitas global. Tipe ancaman baik internal maupun eksternal membutuhkan strategi kepemimpinan yang berbeda yang kemudian akan menghasilkan potensi represi terhadap jaminan HAM. Semakin besar ancaman maka represi semakin meningkat. Dengan demikian kehadiran ancaman menurunkan tingkat kepatuhan pada
tiga
tahap,
membatasi
kesediaan
pemimpin
untuk
meratifikasi,
melaksanakan, dan menyesuaikan perilakunya dengan kewajiban internasional. Instabilitas disini dimaksudkan sebagai kondisi tidak stabil atau tidak pasti baik dari segi ekonomi, politik, sosial, dan lain sebagainya. Pemimpin cenderung mengacuhkan komitmen HAM selama keadaan darurat domestik yaitu instabilitas yang
dianggap
mengancam
keberlangsungan
negara
dan
kapabilitas
mempertahankan kekuasaan. Dalam kondisi instabilitas tersebut, threats 47
H. Sulistyo, Keamanan Negara, Keamanan Nasional dan Civil Sociey, Cetakan Pertama, Grafika Indah, Jakarta, Agustus 2009, p.62
18
cenderung mengarahkan pemimpin melakukan represi. Adanya ancaman yang berhubungan dengan kemampuan pemimpin untuk tetap berkuasa menunjukkan bahwa pemerintah, terlepas dari jenis pemerintahan mereka, khawatir tentang isuisu yang dianggap penting untuk komitmen terhadap kewajiban supranasional. Dengan demikian, mengingat adanya ancaman maka pemimpin beranggapan bahwa kewajiban internasional sebagai beban tambahan bagi kemampuan untuk tetap berkuasa. Seperti gambar dibawah ini memperlihatkan bagaimana dorongan kepatuhan dalam kondisi stabil dan tidak stabil. 48 Gambar 2. Dorongan Kepatuhan pemerintah dibawah kondisi stabil dan instabilitas
Sumber: Rosa Aloisi dalam disertasi The Threats to Compliance with International Human Rights Law, 2011 Aloisi berteori bahwa kemampuan pemimpin untuk mempertahankan kekuasaan tidak tergantung pada persetujuan dari publik domestik yang menonjol, namun dengan adanya ancaman terhadap keamanan dan stabilitas mereka. Hubungan antara pemimpin dan warga negaranya, baik dalam rezim demokratis atau non demokratis, dan juga kemampuan pemimpin untuk mempertahankan 48
R. Aloisi, pp. 14
19
posisi di pemerintahan melalui pembangunan konsensus atau proses demokrasi dapat terancam oleh kehadiran beberapa jenis ketidakstabilan domestik maupun internasional atau dengan keadaan sosial dan sejarah tertentu. Keadaan seperti itu, yang terdiri dari ancaman khusus untuk stabilitas pemerintahan dan kekuasaan pemimpin akan mengubah dinamika di balik hubungan antara si pemimpin, domestik dan aktor internasional. Variabel ancaman keamanan nasional dalam kerangka kepatuhan tersebut memerlukan analisis sekuritisasi sehingga penjelasan tentang kausalitas pelanggaran HAM dapat dipahami sebagai pondasi dalam melihat perilaku negara secara lebih menyeluruh. Berikut ini analisis sekuritisasi akan melengkapi konsep kepatuhan negara terhadap standard HAM. 4.1.2 Analisis Evaluasi Sekuritisasi Konsep keamanan dalam penggunaan dan perluasan isu ancaman dapat dilihat dari dasar kerangka analisis Barry Buzan, Ole Waever dan Jaap de Wilde dalam tulisan Security: A New Framework of Analysis. Keamanan adalah langkah yang dilakukan dengan melampaui aturan main secara umum dalam membingkai suatu isu apakah isu tersebut termasuk dalam ranah politik atau melampauinya. Sekuritisasi adalah sebuah bentuk ekstrem dari upaya politik. Menurut kelompok Copenhagen School ini masalah keamanan merupakan hasil konstruksi yang berarti isu tersebut menjadi ancaman eksistensial bagi suatu identitas. Dengan demikian suatu isu menjadi masalah keamanan bukan karena pada dasarnya berbahaya dan merupakan ancaman, akan tetapi karena merupakan hasil ―promosi‖ para aktor.49 Secara sederhana, konsep masalah keamanan muncul karena pengaruh konstruksi diskursif antarsubyek yaitu aktor dan audiens dimana aktor mewacanakan isu dan audiens menyetujuinya sehingga disebut sekuritisasi. Selanjutnya dalam melakukan analisa keamanan, konsep – konsep yang diperkenalkan diantaranya securitizing actors sebagai aktor yang melakukan sekuritisasi, speech act atau tindakan aktor dalam rangka melakukan sekuritisasi, existential threat yaitu ancaman eksistensial yang diwacanakan oleh si aktor akan 49
B. Buzan, O. Waever, and J. D. Wilde, Security: A New Framework For Analysis. Boulder, C.O.: Lynne Rienner Publishers, 1998, p. 5.
20
muncul dari isu tersebut, referent objects entitas yang akan terancam dengan adanya isu tersebut jika tidak ditangani secara serius seperti sektor keamanan militer, ekonomi, politik, sosial dan lingkungan, dan audience adalah pihak-pihak yang coba dipengaruhi oleh si aktor agar mempercayai adanya ancaman eksistensial. Pihak securitizing actor yaitu aktor pemimpin politik, birokrasi, pemerintah, pelobi, dan kelompok penekan. Dalam hal migrasi, sekuritisasi dilakukan juga oleh sekelompok aktor seperti partai politik, media, dan organisasi keagamaan. Speech act dilakukan melalui komentar, diskusi dan demonstrasi yang berdampak meluas di masyarakat berkat peran media massa. Referent object adalah kedaulatan dan integritas territorial yang terancam dengan adanya ancaman eksistensial, sedangkan audience adalah publik atau masyarakat domestik (citizen).50 Sederhananya, sekuritisasi mengacu pada proses yang mewakili masalah sebagai ancaman eksistensial. Setelah disekuritisasi, isu akan memunculkan framing ancaman, musuh dan pertahanan sehingga negara dilekatkan peran penting untuk mengatasinya. Akibatnya, isu politik yang terkandung didalamnya akan ditransformasikan dan dilihat hanya sebagai politik biasa. Meskipun pendekatan sekuritisasi menekankan speech acts, dua elemen lain sama pentingnya. Aktor birokrat atau politisi ini harus berinteraksi dengan meyakinkan audiences bahwa refferent objects terancam. Aktor politik akan berusaha membingkai isu sebagai ancaman yang mereka inginkan. Akibatnya, pernyataan kebijakan dan masalah framing harus beresonansi dengan sektor-sektor tertentu dari masyarakat. Untuk itu mereka memerlukan dukungan dari masyarakat dengan membuat wacana debat kebijakan, melebarkan dan menyempitkan masalah sehingga tercipta tindakan sah yang sesuai atau dilegitimasi. Dengan demikian, wacana ancaman menciptakan respon kebijakan.51 Michael C. Williams, menjelaskan bahwa sektor analitis keamanan sosial (dalam hal ini keamanan non militer) dapat ditandai ketika identitas kelompok 50
K. McGahan, The Securitization of Migration in Malaysia : Drawing Lessons beyond the Copenhagen School, Paper presented at the annual conference of the International Studies Association New York City, NY, February 16-19, 2009, p. 6-7 51 K. McGahan, pp. 8
21
disajikan sebagai terancam oleh dinamika yang beragam seperti arus budaya, integrasi ekonomi, atau perpindahan penduduk. Singkatnya, paralel kekhawatiran negara untuk bertahan hidup dengan mengacu pada kedaulatan dan keutuhan wilayah, kelangsungan hidup masyarakat tampaknya akan diukur sehubungan dengan integritas dan kelangsungan identitas nasional. Dari kerangka ini, bisa dikatakan bahwa meningkatnya ancaman keamanan non militer ini akan mengarah pada kontrol imigrasi yang lebih ketat. Pendekatan sekuritisasi ini juga melingkupi masalah keamanan non-tradisional, termasuk migrasi di negara berkembang.52 Reinhard Lohrmann mengatakan bahwa, migrasi mempengaruhi keamanan dalam hubungan internasional ada pada tiga tingkatan: 1) agenda keamanan nasional negara penerima dan transit yang melihat pergerakan populasi internasional sebagai ancaman bagi kesejahteraan ekonomi, sosial, nilai-nilai budaya & agama serta stabilitas politik, 2) hubungan antar negara, gerakan tersebut cenderung menciptakan ketegangan dan beban bagi hubungan bilateral, sehingga berdampak pada stabilitas regional dan internasional, 3) arus migrasi irreguler juga mungkin memiliki implikasi yang signifikan untuk keamanan individu dan martabat.53 Jef Huysmans berpendapat bahwa isu migrasi ini berimplikasi terhadap identitas budaya demikian pula terhadap identitas kolektif. Dalam sektor sosial dan budaya, para imigran digambarkan secara jelas sebagai ancaman terhadap cara hidup masyarakat atau populasi ―asli‖. Menurut Huysmans, permasalahannya bukan hanya pada individu yang merasa terancam terhadap keberadaan pihak asing, namun juga rasa tidak aman masyarakat secara kolektif.54 Permasalahannya, konsep sekuritisasi dalam isu migrasi tersebut kontradiktif dengan HAM. Alasannya terletak pada dilema politik dan etika yang
52
M. C. Williams, ‗World, Images, Enemies: Securitization and International Politics,‘ International Studies, Quarterly 47, 2003, pp. 511-531 53 R. Lohrmann, ‘Migrants, Refugees and Insecurity: Current Threats to Peace?,‘ International Migration, Vol.38, No.4, 2000, pp. 3-22 54 J. Huysmans, ‗Migrants as a Security Problems: Dangers of ―Securitising‖ Societal Issues,‟ dalam R. Miles dan D. Thranhardt (ed.) Migration and European Integration: The Dynamic of Exclution, Pinter, London, 1995, p. 53-61.
22
timbul dari promosi migrasi sebagai ancaman keamanan kontemporer, dan karena subjektivitas yang menjadi ciri sudut pandang yang berbeda. Permasalahan utama adalah ketidakmampuan securitizing actor untuk membuat perbedaan dalam konteks migrasi dimana menyebabkan generalisasi yang berbahaya, yaitu penentuan semua migran secara keseluruhan dengan implikasi yang sangat negatif. Yang berarti bahwa dalam real politics, masing-masing migran merupakan
potensi
ancaman
keamanan.
Misalnya
adalah
generalisasi
pengelompokan pencari suaka, imigran ekonomi ilegal dan pengungsi perang tanpa membuat perbedaan apapun. Migran legal dan ilegal juga disamakan padahal isu trafficking adalah bagian dari perlindungan HAM. Dalam istilah praktis salah satu konsekuensi paling negatif dari sekuritisasi migrasi adalah meningkatnya rasisme dan xenophobia antara penduduk lokal melawan apa pun yang dianggap berbeda (utamanya kelompok migran). Dengan cara ini, konservatifisme masyarakat meningkat secara dramatis dari framing media yang sangat negatif.55 Konsep sekuritisasi Copenhagen School diatas dikritik oleh Lene Hansen dalam menyoroti bagaimana sentrisme negara sangat membatasi upaya penelitian keamanan untuk memperluas agenda keamanan. Konsep Buzan dan Waever tentang sekuritisasi, yang mengacu pada formasi diskursif ancaman keamanan, didasarkan pada gagasan bahwa elit mengatur agenda keamanan dengan terlibat dalam speech act. Hal ini mengakibatkan dua hambatan utama untuk pengakuan masalah keamanan perempuan. Pertama, sebagai perempuan cenderung hampir tidak ada dari kalangan elit sehingga ketidakamanan perempuan jarang menjadi subjek dari speech act. Hansen menyebut ini sebagai ―silence security‖. Kedua, karena Copenhagen School tidak menganggap kategori gender sebagai ancaman eksistensial, maka isu ini dipinggirkan dalam wacana publik.56 Menjadi masalah baru ketika segelintir elit memiliki hak istimewa (sebagai aktor keamanan) yang
55
A. Themistocleous, ‗Securitizing Migration: Aspects and Critiques’, Thegwpost.com, May 2013, < http://thegwpost.com/2013/05/16/securitizing-migration-aspects-and-critiques/>, diakses 12 Mei 2014 56 L. Hansen, ‗The Little Mermaid‘s Silent Security Dilemma and the Absence of Gender in the Copenhagen School,‘ Journal of International Studies, 2000, pp.285-306
23
memiliki legitimasi menangguhkan hak dan kebebasan sipil dengan alasan keamanan. Dalam kasus MDW di Malaysia, ketiadaan suara mereka (sebagai perempuan minoritas) dalam agenda kebijakan keamanan dan wacana publik memiliki dampak penting bagi apa yang dianggap sebagai ancaman keamanan baik oleh para akademisi maupun pembuat kebijakan. Kritik terhadap sekuritisasi turut dinyatakan oleh Bigo dan Huysmans. Mereka berpendapat konseptualisasi dari sekuritisasi merupakan drama diskursus yang melewatkan (tidak melalui) rutinitas birokrasi, misal praktek yang dilakukan oleh
polisi
atau
kelompok
keamanan
profesional
lain.
Tindakan
extraordinary yang dilakukan elit penguasa melalui sekuritisasi, membuat elit tersebut melakukan tindakan apapun untuk mencapai keamanan. Elit penguasa dapat menciptakan jaringan pengawasan (internet) untuk sebuah ‗keamanan negara‘, sehingga setiap orang berada dalam pengawasan. Selain itu, elit penguasa memiliki legitimasi untuk mendapatkan kontrol atas proses politik dengan menekan power dari parlemen dan kelompok oposisi.57 5. Hipotesis Kasus kekerasan menimpa Migrant Domestic Worker dari Indonesia di negara penerima Malaysia masih tetap berlangsung karena adanya persepsi ancaman migran ilegal yang dianggap mengganggu keamanan kedaulatan sehingga mempengaruhi kapabilitas aktor elit domestik untuk membangun mekanisme enforcement perlindungan yang sesuai dengan prinsip CEDAW. Bagi Malaysia, CEDAW hanya berfungsi sebagai upaya untuk meningkatkan reputasi dalam pergaulan internasional dan kepentingan politik domestik, oleh karena itu CEDAW tidak mempengaruhi perilaku kepatuhan Malaysia sebagaimana dilihat dari implementasi yang menunjukkan ketidaksesuaian dengan standard HAM internasional. Akibatnya, dalam menangani masalah MDW, berbagai kebijakan Malaysia tetap mengandung unsur diskriminasi terhadap perlindungan HAM Migrant Domestic Worker yang merupakan pelanggaran prinsip konvensi.
57
D. Bigo, ‗Security and Immigration: Toward a Critique of the Governmentality of Unease,‘ Alternatives: Global, Local, Political, vol. 27 no.1, 2002, p. 73
24
6. Metodologi Penelitian Penelitian ini umumnya berupaya menjelaskan faktor inkonsistensi perilaku Malaysia terhadap perjanjian internasional CEDAW dalam konteks isu MDW. Penelitian ini bertujuan melakukan konfirmasi dari teori kepatuhan yang meliputi proses ratifikasi, domestikasi dan implementasi untuk menjelaskan kasus yang sedang diteliti. Variabel prediktor atau independen yang digunakan adalah variabel ―threats‖ sedangkan variabel dependen adalah perilaku kepatuhan aktor elit birokrasi dalam proses implementasi. Analisis terhadap perilaku Malaysia menggunakan konsep sekuritisasi sebagai penjelasan proses yang mempengaruhi terjadinya kekerasan. Dalam penelitian ini diterapkan metode kualitatif dan menggunakan tipe analisis eksplanatif. Penelitian eksplanatif bertujuan untuk menemukan penjelasan tentang mengapa suatu kejadian atau gejala terjadi. Hasil akhir dari penelitian ini adalah memberi gambaran mengenai hubungan sebab akibat. Fenomena kekerasan terhadap MDW di Malaysia yang terjadi terus menerus membutuhkan penjelasan mengenai penyebab kasus tersebut terjadi di negara yang telah memiliki standar demokrasi dan ratifikasi perjanjian HAM internasional. Selain itu, penulisan referensi dalam penelitian ini menggunakan metode Note-System.58 Sistem ini menyajikan informasi mengenai sumber dalam bentuk catatan kaki dengan rujukan pertama dan rujukan kedua tidak menggunakan ibid., op.cit., dan loc.cit. serta bibliografi atau daftar pustaka. Pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan metode wawancara dan studi pustaka. Untuk memperoleh data primer, narasumber yang akan diwawancarai berasal dari berbagai kalangan utamanya MDW Indonesia di Malaysia. Di Indonesia, tujuan pengumpulan data akan dilakukan di beberapa instansi terkait seperti Migrant Care dan BPNTKI, Jurnal Perempuan, Pusat Studi Wanita serta para peneliti yang concern terhadap buruh migran domestik. Sedangkan di Malaysia, tempat yang dituju adalah Kedutaan Besar RI, Ministry of Women, Family and Community Development (MWFCD) sebagai agen koordinasi 58
N. R. Yuliantoro, Panduan Menulis Referensi dengan Note-system, , diakses 21 Januari 2013
25
CEDAW, Komisi HAM nasional Malaysia yaitu SUHAKAM (Suruhanjaya Hak Asasi Manusia). Data sekunder berupa studi pustaka akan digali dari berbagai sumber, misalnya situs-situs resmi pemerintah Malaysia dan non-pemerintah, media massa, dan publikasi jurnal ilmiah. 7. Sistematika Penulisan Tesis ini akan terdiri dari lima bab dimana, Bab I adalah pendahuluan yang berisi rancangan penelitian meliputi latar belakang, rumusan masalah, tinjauan pustaka, kerangka teori, argumen utama, metodologi penelitian dan sistematika penulisan. Dilanjutkan dengan Bab II yang akan membahas bagaimana latar belakang proses ratifikasi yang dilakukan oleh Malaysia dimana akan memuat tentang motivasi Malaysia melakukan ratifikasi dan mengkoneksikannya ke dalam proses domestikasi UU yang mencakup transformasi CEDAW kedalam hukum domestik Malaysia yang terkait perlindungan terhadap MDW. Bab III akan memaparkan bagaimana kepatuhan pemerintah mengadaptasi perjanjian dengan menempatkan isu MDW dalam lingkup keamanan nasional. Pada bab ini pula akan melihat kekerasan terhadap MDW di Malaysia sebagai bentuk pelanggaran terhadap perjanjian internasional. Bab IV membahas analisis kepatuhan Malaysia dan menguraikan penyebab kekerasan terhadap MDW Indonesia. Akhirnya, Bab V adalah penutup yang berisi kesimpulan serta saran.
26