BAB I PENDAHALUAN
1. Latar Belakang Dengan mencatat besarnya jumlah organisasi gereja di Indonesia, serangkaian pertanyaan akan segera muncul. Apakah semua itu merupakan produk dari “kreativitas” gereja-gereja dan masyarakat Kristen Indonesia? atau apakah itu asli khas Indonesia atau merupakan barang “impor” dari luar yang dibawa ke Indonesia. Oleh karena itu, perlu ditelusuri asal-usul berbagai organisasi gereja tersebut maupun dalam rangka melacak dan mengidentifikasi aliran atau paham yang mereka anut dari banyaknya organisasi gereja yang tumbuh dan berkembang di Indonesia. Salah satu yang akan dibahas adalah aliran Pantekosta dengan berdirinya Gereja Pantekosta di Indonesia. Gereja Pantekosta di Indonesia atau yang biasa disebut (disingkat) GPdI 1 adalah sebuah aliran Kristen yang lahir dari penyebaran ajaran Pantekosta dari Amerika. Aliran Pantekosta muncul pada tahun 1900 tepatnya di Seatle Amerika Serikat, tetapi aliran ini tidak terlepas dari munculnya kelompok Metodis pada tahun 1830-an. Aliran ini lahir akibat keadaan gereja-gereja pada waktu itu sedang mengalami kemandekaan secara rohani, baik itu Lutheran ataupun Calvinis yang
1
Nama Gereja Pantekosta di Indonesia merupakan terjemahan dari Pinksterkerk in Nederlandsch Indie, kata “di” ditulis dalam huruf kecil merupakan bagian dari nama organisasi yang telah disetujui dalam Anggaran Dasar Gereja Pantekosta di Indonesia yang tertuang dalam Bab satu pasal 2.
Universitas Sumatera Utara
sudah terjebak hanya pada masalah rutinitas dan lembaga yang kuat sehingga nilainilai pembaharuan rohani terbengkalai. Diawali oleh pendeta Charles Fox Parham yang lebih mengutamakan Injil dalam pelayanannya, maka lahirlah aliran Pantekosta yang merupakan aliran Kristen yang menerapkan tentang peranan dan karunia Roh Kudus. Pantekosta adalah perayaan hari turunnya Roh Kudus sesudah kenaikan Yesus Kristus ke Sorga. Hal inilah yang membuat Charles Fox Parham menamakan aliran yang dikembangkannya sebagai aliran Pantekosta karena Ia meyakini bahwa setiap orang yang percaya perlu adanya kepenuhan Roh Kudus. 2 Charles Fox Parham kemudian mendirikan Bethel Bible School (Sekolah Alkitab Bethel) dan Ia menekankan penyebaran ajaran Pantekosta dalam pendidikan sekolah Alkitab tersebut. Yang menguatkan bahwa Gerakan Pantekosta telah lahir adalah ketika Charles Fox Parham memimpin siswa-siswanya berdoa dan kemudian seorang siswa yang bernama Agnes Ozman dipenuhi Roh Kudus. Setelah kejadian ini, Charles Fox Parham menghimbau seluruh siswanya untuk menyebarkan ajaran Pantekosta ke seluruh penjuru dunia. Penyebaran ajaran Pantekosta mengalami perkembangan yang luar biasa, sehingga pada tahun 1921 ajaran Pantekosta telah tiba di Indonesia. Misionaris Pantekosta yang datang ke Indonesia itu adalah Richard Van Klaveren serta isterinya Cristine Van Klaveren, Cornelius E Groesbeck beserta dua
2
Yan,S., Aritonang, Berbagai Aliran di Dalam dan Disekitar Gereja. Jakarta : BPK Gunung Mulia, 1996, hal. 2.
Universitas Sumatera Utara
orang anaknya yaitu Yenny dan Corry.
3
Sebagai penginjilan mula-mula, Richard
Van Klaveren dan kawan-kawan memulai penyebaran ajaran Pantekosta di Bali kemudian beralih ke Surabaya pada tahun 1923, di dua daerah tersebut ajaran Pantekosta kurang mendapat respon karena banyaknya kendala yang dihadapi seperti halnya di Bali Richard Van Klaveren dituduh sebagai mata-mata dan mendapat protes dari petinggi agama Hindu. Kemudian mereka disuruh pergi oleh pemerintah Hindia Belanda karena menganggap ajaran Pantekosta akan merusak budaya masyarakat Bali. Kemudian mereka tiba di Surabaya dan langsung menuju kota Cepu pada tahun 1923. Di kota inilah mereka menyebarkan ajaran Pantekosta dan memperoleh jemaat pertama seorang pegawai Belanda yang bernama F.G. Van Gessel. Inilah tonggak lahirnya Gereja Pantekosta di Indonesia berketepatan pada tanggal 30 Maret 1923 merupakan waktu kebaktian pertama yang dilakukan. selanjutnya banyak yang telah menerima ajaran Pantekosta antara lain : H.N. Rungkat, J. Repi, A. Tambuwun, J. Lumenta, E. Lesnusa, G.A. Yokom, R. Mangindaan, W. Mamahit, S.I.P. Lumoindong dan A.E. Siwi yang kemudian menjadi pionir-pionir penyebaran ajaran Pantekosta di seluruh Indonesia. Pada tanggal 4 Juni 1924, pemerintah Hindia Belanda mengakui ajaran Pantekosta dengan nama “De Pinkster Gemeente in Nederlandsch Indie” sebagai sebuah Vereniging (perkumpulan) yang sah dan karena perkembangannya ada hampir di seluruh wilayah Nusantara, maka pada tanggal 4 Juni 1937 pemerintah Hindia 3
Karunia Djaya., Sejarah Gereja Pantekosta di Indonesia, Semarang: GPdI,1993, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
Belanda meningkatkan pengakuannya kepada pergerakan Pantekosta menjadi “kerkgenootschap” (persekutuan gereja) berdasarkan Staatsblad 1927 Nomor 156 dan 523. Dengan Beslit pemerintah No. 33 tanggal 4 Juni 1937 staatsblad Nomor 768, nama “Pinkster Gemeente” berubah menjadi “Pinksterkerk In Nederlandsch Indie”. Akan tetapi, pada zaman pendudukan Jepang tahun 1942, nama Belanda itu diubah menjadi “Gereja Pantekosta di Indonesia”.
4
Gereja Pantekosta di Indonesia adalah organisasi gereja yang berdiri sendiri sama seperti organisasi gereja lainnya. Nama Gereja Pantekosta di Indonesia dipakai sebagai wadah organisasi penganut ajaran Pantekosta yang telah tersebar di seluruh Indonesia dengan kantor pusatnya pertama berkedudukan di Bandung, karena di kota inilah SK pemerintah Hindia Belanda tepatnya tanggal 4 juni 1924 dikeluarkan serta pengesahan kepengurusan pertama yang terdiri dari Ketua : Pdt. D.H.W.Weenink Van Loon, Sekretaris : Pdt. Paulus, serta Bendahara: Pdt. G.Droop. Kemudian setelah kemerdekaan bangsa Indonesia kantor pusat di pindahkan ke Jakarta karena daerahnya dianggap lebih sentral hingga saat ini. Dalam struktur pengorganisasiannya, forum tertingi GPdI adalah Musyawarah Besar (MUBES) yang diadakan 4 tahun sekali. Mubes berfungsi untuk menetapkan Garis Besar Program Kerja (GBPK), memilih dan menetapkan pimpinan tingkat nasional GPdI yang disebut dengan Majelis Pusat. Sebelum Mubes diadakan, maka di setiap daerah diselenggarakan Musyawarah Daerah yang tujuannya mengangkat pimpinan tingkat daerah yang disebut Majelis Daerah. Setiap Majelis Daerah 4
ibid, hlm.19.
Universitas Sumatera Utara
menetapkan majelis-majelis wilayah sesuai dengan kebutuhan, dan Majelis Wilayah membawahi gembala-gembala yang menjadi basis utama penggerak penyebaran ajaran pentakosta di seluruh wilayah Indonesia. Gembala adalah Pendeta yang diangkat untuk melayani sebuah sidang jemaat kemudian berhak membentuk dan membawahi tingkat sidang jemaat.5 Di wilayah Sumatera Utara, penyebaran ajaran Pantekosta diawali oleh seorang bekas pelaut kapal belanda “De Twalef de Provinsi” bermarga Purba pada Tahun 1936 membawakan ajaran Pantekosta yang diterimanya di Surabaya ke Tanah Karo. Hasil dari pekabarannya D.M Sinukaban dan Sinuhaji kemudian menjadi penerus penyebar ajaran Pantekosta di wilayah Tanah Karo. Selanjutnya, pada tahun 1938 Paul Counstan Simanjuntak membawa ajaran Pantekosta ke daerah Tapanuli tepatnya di daerah Balige disusul kemudian pada tahun 1939 A.W Siwi menyebarkan ajaran Pantekosta ini di Medan lewat sebuah Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR). Hasil dari penyebaran ajaran Pantekosta ini ditandai dengan berdirinya gedunggedung Gereja GPdI di setiap daerah yang dimasuki oleh ajaran Pantekosta. Untuk menjaga konsitensi dan kesinambungan penyebaran ajaran Pantekosta Dalam prosesnya, GPdI telah membentuk Majelis Daerah untuk Sumatera Utara serta mendapat persetujuan dari Majelis Pusat. Sangat sedikit
sekali diperoleh bahan-bahan mengenai sejarah dan
perkembangan gereja GPdI di kabupaten Dairi, baik dari tulisan-tulisan kita maupun
5
Gereja Pantekosta di Indonesia, Doktrin GPdI 1991, Sala tiga: Depot Buku GPdI, 1991.
hlm.47.
Universitas Sumatera Utara
dari tulisan-tulisan bangsa asing. Dengan kronologis peristiwa di atas, lahirlah sebuah keinginan penulis untuk mengkaji lebih dalam lagi tentang penyebaran gereja Pantekosta di Indonesia khususnya di Kabupaten Dairi. Akan tetapi, penyebaran ajaran Pantekosta di Kabupaten Dairi sendiri tidak terlepas dari penyebaranpenyebaran di daerah lain serta ajaran Pantekosta itu secara keseluruhan. Namun dalam penginjilan Pantekosta yang dilakukan oleh GPdI tergolong sukses dalam mendapatkan masyarakat yang menjadi penerima ajaran Pantekosta di tanah Dairi. Pada masa penjajahan Belanda daerah Dairi termasuk salah satu onder afdeling Tanah Batak (Batak Landen) dan pada tahun 1945 dialihkan menjadi salah satu urung/kewedaan dari Luhak atau kabupaten Tanah Batak atau Tapanuli Utara. Kemudian sejak tahun 1964 menjadi salah satu daerah tingkat II di Sumatera Utara, karena adanya keinginan untuk memisahkan diri dari kabupaten Tapanuli Utara yang telah dimulai sejak tahun 1946. Suku Toba tercatat masuk ke Dairi pada tahun 1906 yang dibawa oleh Belanda untuk mendirikan markas di daerah Sidikalang dalam melanjutkan ekspedisinya ke daerah Aceh pada waktu itu. Melalui suku Toba ajaran Kristen kemudian berkembang di kabupaten Dairi. Adanya sambutan dari suku Pak-pak yang merupakan penduduk asli Kabupaten Dairi menjadikan Agama Kristen semakin menyebar di seluruh Dairi. Akan tetapi yang menjaga agar penyebaran ajaran kristen tetap berjalan di Kabupaten Dairi tidak terlepas dari peran sentral Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Misi Kristenisasi di Dairi ini sangat berhasil di Dairi. Hal ini terbukti dengan 72% penduduk Dairi beragama Kristen. Aliran Kristen yang
Universitas Sumatera Utara
berkembang di daerah ini adalah Kristen Protestan dan Katolik. Hal ini ditandai dengan telah berdirinya Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) di Sidikalang yakni pada tahun 1908 dan gereja Katolik pada tahun 1936. Gereja Pantekosta di Indonesia (GPdI) masuk ke tanah Dairi Pada tahun 1949 yang dibawa oleh S.B Sigalingging dan J.Manalu yang mendapat pengajaran Pantekosta di Siantar. Mereka memulai penyebaran aliran Pantekosta tepatnya di desa Bintang kemudian mendirikan gereja GPdI di daerah tersebut. Dari daerah inilah kemudian ajaran Pantekosta disebarkan ke daerah-daerah lain, akan tetapi dinamika penyebaran ajaran Pantekosta dengan berdirinya Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi mengalami tiga tahapan waktu yakni, tahap pertama ajaran Pantekosta masuk di kabupaten Dairi serta berdirinya gereja GPdI di beberapa daerah Kabupaten Dairi (1949-1965), tahapan kedua merupakan Masa stagnan penyebaran Gereja GPdI di kabupaten Dairi (1966-1970)an, tahap ketiga merupakan masa berkembangnya kembali GPdI (1980-1990)an di kabupaten Dairi. Daerah Sidikalang merupakan pusat dari Kristen Protestan dan Katolik yang terlebih dahulu berkembang di Dairi. daerah-daerah tersebut menjadi basis penyebaran ajaran pantekosta di kabupaten Dairi karena telah mempunyai anggota jemaat yang banyak. Dalam pola penyebarannya, Gereja Pantekosta di Indonesia memulai perekrutan anggota melalui Kebaktian Kebangunan Rohani (KKR) yang dilakukan hampir di setiap desa. Kemudian adanya pengajaran rohani bagi keluarga yang telah menerima ajaran Pantekosta lewat persekutuan. Awalnya para penganut ajaran
Universitas Sumatera Utara
Pentakosta ini mendapat kesan negatif dari masyarakat dan sering mendapat intimidasi dalam bentuk cemohan karena tata cara beribadahnya yang dianggap aneh. Kemudian para penganut ajaran Pantekosta tidak memakan daging yang dimasak beserta darah yang biasa disajikan dalam menu makanan ataupun dalam upacara adat di tengah masyarakat. Karena dalam ajaran Pantekosta darah itu merupakan nyawa makhluk hidup seperti yang tertulis dalam Kitab Injil. Penganut ajaran Pantekosta di kabupaten Dairi sebagian besar adalah yang telah menjadi penganut ajaran Kristen yang tergolong dalam aliran Protestan dan penganut ajaran Kristen yang beraliran Katolik, sehingga sering menimbulkan adanya kesalahpahaman dalam masalah keanggotaan. Akan tetapi, untuk menghadapi kondisi yang demikian keputusan diserahkan kepada individu yang bersangkutan untuk memilih dimana dia inigin mengembangkan ibadahnya serta merasa rohaninya bisa tumbuh. Pada tahun 1965 telah terbentuk Majelis Wilayah Dairi, hal ini didukung perkembangan gereja GPdI di daerah Dairi cukup pesat dan telah berdiri sekitar 15 gedung gereja. Kepengurusan pertama disahkan pada saat Musyawarah Daerah dilaksanakan di Medan dengan susunan kepengurusan Pendeta S.B Sigalingging menjabat sebagai Ketua, Pendeta J.Manalu sebagai Sekertaris dan Pendeta J.Sihombing sebagai Bendahara. 6 Dengan dibentuknya kepengurusan ini, maka
6
Roemokoij Danny,80 Tahun GPdI (1921-2001) Menyongsong Tuaian Global.Jakarta: 2001, GPdI, hlm. 24.
Universitas Sumatera Utara
penyebaran aliran Pantekosta semakin gencar di daerah Dairi yang berkembang hingga saat ini. Penelitian ini difokuskan pada pengkajian terhadap Perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia Di Kabupaten Dairi (1949-1990). Adapun periodisasi yang dilakukan dalam penelitian ini untuk membatasi penulisan agar tidak terlalu luas. Penelitian diawali pada tahun 1949 yang merupakan awal masuknya gereja GPdI di daerah Dairi dan pada tahun 1990 menjadi akhir periode penelitian karena seluruh Kecamatan di daerah Dairi telah berdiri gereja GPdI.
2. Rumusan Masalah Berangkat dari latar belakang di atas maka dibuatlah suatu perumusan mengenai masalah yang hendak diteliti sebagai landasan utama dalam penelitian. Penelitian ini dibuat untuk membahas GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia) dan perkembangannya di Kabupaten Dairi tahun 1949-1990. Untuk mempermudah tulisan dalam upaya menghasilkan penelitian yang objektif, maka pembahasannya dirumuskan terhadap masalah-masalah sebagai berikut : 1. Bagaimana latar belakang masuknya Gereja Pantekosta di Indonesia di kabupaten Dairi? 2. Bagaimana perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi? 3. Apa peranan Gereja Pantekosta di Indonesia terhadap kehidupan sosial masyarakat Dairi?
Universitas Sumatera Utara
3. Tujuan Dan Manfaat Masa lampau manusia memang tidak dapat ditampilkan kembali dan direkonstruksi seutuhnya. Namun rekonstruksi kehidupan manusia perlu dipelajari sebagai aktivitas kehidupan manusia pada masa lampau yang diharapkan mampu memberikan pelajaran bagi kehidupan manusia masa kini dan akan datang karena sejarah memberikan dan menjadi pelajaran bagi manusia untuk tidak melakukan kesalahan yang sama pada masa lampau di masa kini dan akan datang. Adapun tujuan dari penelitian / penulisan ini adalah : 1. Mengetahui latar belakang Masuknya Gereja Pantekosta di Idonesia di Kabupaten Dairi. 2. Menjelaskan perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi. 3. Menjelaskan peranan Gereja Pantekosta di Indonesia dalam kehidupan sosial masyarakat Kabupaten Dairi. Di samping tujuan di atas, juga diharapkan akan menghasilkan manfaat sebagai berikut : 1. Menambah wawasan pembaca mengenai sejarah masuknya GPdI (Gereja Pantekosta di Indonesia) dan perkembangannya di Kabupaten Dairi. 2. Menambah literatur dalam penulisan sejarah guna membuka ruang penulisan sejarah yang berikutnya.
Universitas Sumatera Utara
3. Memberikan motivasi bagi pembaca sebagai bahan bacaan untuk penelitian lanjutan bagi yang ingin meneliti permasalahan yang sama atau yang berhubungan dengan masalah dalam penelitian ini.
4. Tinjauan Pustaka Adapun buku yang digunakan sebagai rujukan dalam penelitian ini antara lain adalah: Dalam bukunya Danny Roemokoij yang berjudul “80 Tahun GPdI (19211990) Menyongsong Tuaian Global” menjelaskan tentang rangkaian sejarah GPdI di berbagai daerah Indonesia, tokoh-tokoh serta perkembangan gereja GPdI secara umum dan untuk menambah penulisan tentang GPdI dalam perayaannya yang ke-80 Tahun di Indonesia. Buku ini membantu penulis menjelaskan sejarah GPdI dan perkembangannya khususnya di Sumatera Utara. Dalam buku Yan S Aritonang yang berjudul “Berbagai Aliran di Sekitar Gereja” menjelaskan bahwa GPdI mempunyai peranan penting dalam menyebarkan aliran Pantekosta di tengah-tengah masyarakat Indonesia di samping perkembangan aliran Kristen lainnya yang tengah berkembang di Indonesia. Buku ini membantu penulis dalam menjelaskan GPdI sebagai organisasi gereja Kristen yang beraliran Pantekosta. Buku terbitan Majelis Pusat GPdI yang berjudul “Doktrin GPdI” berisi tentang tata cara ibadah yang diterapkan gereja GPdI, pandangan tentang aliran Pantekosta secara Alkitab, pelajaran dari para missionari dalam melebarkan sayap
Universitas Sumatera Utara
GPdI serta mekanisme kepengurusan GPdI. Buku ini sangat membantu penulis karena melalui buku ini penulis dapat mengetahui tentang internal GPdI itu sendiri. Kaitan buku ini dengan penelitian juga untuk menjelaskan latar belakang berdirinya GPdI dengan adanya buku hasil karya manusia sebagai media untuk pembelajaran.
5. Metode Penelitian Penelitian sejarah mempunyai metode tersendiri dengan menggunakan pengamatan. Penggunaan metode sejarah harus hati-hati. 7 Untuk mendapatkan penulisan sejarah yang deskriptif analitis haruslah melalui tahapan demi tahapan. Tahapan-tahapan itu ada empat bagian yaitu, sebagai berikut : Tahap pertama, Heuristik (pengumpulan sumber) yang sesuai dan mendukung sumber objek yang diteliti. Hal ini menggunakan metode penelitian kepustakaan/studi literatur dan penelitian lapangan/studi lapangan. Dalam penelitian kepustakaan tersebut dilakukan dengan mengumpulkan beberapa buku, majalah, artikel-artikel, dan karya tulis yang pernah ditulis sebelumnya berkaitan dengan judul yang sedang dikaji. Kemudian penelitian lapangan akan dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap informan-informan yang dianggap mampu memberikan informasi yang dibutuhkan dalam penulisan ini, khususnya informan yang merupakan sebagai pelaku sejarah masuknya GPdI di Dairi. Tahapan kedua yang dilakukan adalah kritik. Dalam tahapan ini kritik dilakukan terhadap sumber yang telah terkumpul untuk mencari kesahihan sumber 7
Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah, Yogyakarta : BENTANG, 2005, hlm. 64.
Universitas Sumatera Utara
tersebut baik dari segi substansial (isi) yakni dengan cara menganalisis sejumlah sumber tertulis misalnya, buku-buku atau dokumen yang berkaitan dengan perpustakaan daerah, kritik ini disebut kritik intern. Dan mengkritik dari segi materialnya untuk mengetahui keaslian atau palsukah sumber tersebut agar diperoleh keautentikannya, kritik ini disebut kritik ekstern. Tahapan ketiga adalah interpretasi. Dalam tahapan ini data yang diperoleh dianalisa sehingga melahirkan suatu analisa yang baru yang sifatnya lebih objektif dan ilmiah dari objek Yang diteliti. Objek kajian yang cukup jauh ke belakang serta minimnya data dan fakta yang ada membuat interpretasi menjadi sangat vital dan dibutuhkan keakuratan serta analisis yang tajam agar mendapatkan fakta sejarah yang objektif. Tahap terakhir adalah historiografi, yakni penyusunan kesaksian yang dapat dipercaya tersbut menjadi satu kisah atau kajian yang menarik dan selalu berusaha memperhatikan aspek kronologisnya. Metode yang dipakai dalam penulisan ini adalah deskriptif analitis. Yaitu dengan menganalisis setiap data dan fakta yang ada untuk
mendapatkan
penulisan
sejarah
yang
kritis
dan
ilmiah
mengenai
“Perkembangan Gereja Pantekosta di Indonesia di Kabupaten Dairi (1949-1990)”.
Universitas Sumatera Utara