BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Semenjak abad ke-18, pertumbuhan penduduk di dunia meningkat dengan
tajam. Lahan – lahan dengan potensi untuk dipergunakan sebagai tempat bermukim pun beragam. Besarnya jumlah kota pesisir di Indonesia merupakan hal umum, mengingat morfologi Indonesia yang berupa kepulauan dan 95.181 km bentang garis pantai dari seluruh pulau. Embrio pusat kegiatan pesisir telah diawali oleh Kerajaan Salakanagara di Teluk Lada – Banten pada sekitar tahun 150 Masehi, dan terus berkembang dengan bukti keberadaan kerajaan-kerajaan besar yang lain di nusantara (Lubis, 2011). Hal tersebut membuktikan bahwa perkembangan perkotaan kawasan pesisir di Indonesia dipengaruhi oleh kegiatan yang menjadi sektor utama pada kawasan perkotaan yang dimaksud. Selain keberadaan sektor utama, kondisi sosial dan perilaku masyarakat juga menjadi faktor yang berperan dalam perkembangan suatu kota secara lebih makro. Kondisi pesisir Indonesia secara umum sama halnya dengan kondisi pada Kabupaten Situbondo. Luas wilayah Situbondo yang 1.638,50 Km² hampir seluruhnya berada pada kawasan pesisir. Panjang pantai pada kabupaten yang berlokasi diujung timur Pulau Jawa ini hampir mencapai 140 km atau 6,6% dari jumlah panjang pantai seluruh Jawa Timur. Berbatasan sebelah barat dengan Kabupaten Probolinggo, Kabupaten Situbondo memiliki batas utara dan timur adalah utara Selat Madura dan Selat Bali. Sementara sebelah selatan berbatasan
1
2
dengan Kabupaten Bondowoso. Maka wajar adanya apabila Kabupaten Situbondo memiliki masyarakat yang mayoritasnya berkegiatan di bidang pesisir. Pantai adalah tepi laut/pesisir yang mana merupakan perbatasan daratan dan laut yang terpengaruh oleh air laut. Daerah pasang-surut di pantai yaitu antara pasang tertinggi dan surut terendah landai. Sedangkan wilayah pesisir merupakan daerah pertemuan antara darat dan laut; ke arah darat meliputi bagian daratan, baik kering maupun terendam air, yang masih dipengaruhi sifat-sifat laut seperti pasang surut, angin laut, dan perembesan air asin; sedangkan ke arah laut meliputi bagian laut yang masih dipengaruhi oleh proses-proses alami yang terjadi di darat seperti sedimentasi dan aliran air tawar, maupun yang disebabkan oleh kegiatan manusia di darat seperti penggundulan hutan dan pencemaran (Soegiarto, 1976 dalam Dahuri, 2001). Sesuai dengan Kostof (1999) yang mengemukakan bahwa kota merupakan suatu hasil interaksi bangunan dan penduduk yang secara tidak langsung memberikan pemahaman bahwa budaya atau hasil pola pikir manusia pada wilayah tersebut mempengaruhi pola arah perkembangan kota. Pada wilayah pesisir, interaksi yang muncul oleh masyarakat pesisir terhadap kawasannya adalah keinginan bermukim dekat dengan lokasi sumber mata pencahariaan mereka. Keinginan bermukim akan memiliki gaya tersendiri yang menyesuaikan dengan kondisi sejarah bermukim, pola perilaku, norma budaya turun temurun yang ada di sekitar mereka. Kuswartojo (2005) menjelaskan bahwa permukiman merupakan salah satu fungsi lahan yang merupakan wujud dari kebutuhan “papan” manusia yang berangkat dari implementasi budaya dan meningkatnya kebutuhan ruang tiap saat.
3
Keberadaan permukiman ditandai oleh kegiatan tertentu yang menjadi ciri khas atau sumber tarikan bagi kawasan dimana permukiman tersebut berada. Pada segi yang lebih makro, perkembangan sebuah kota dan kawasan merupakan proses bertahap. Keberadaan sektor-sektor yang menspesialisasikan karakteristik kota menjadi salah satu alasan pola dan arah perkembangan kota. Proses perkembangan kawasan merupakan sebuah kondisi dimana kawasan perkotaan menjadi lebih maju, pun terjadi pada permukimannya, seperti yang terlihat pada Kecamatan Panarukan yang merupakan salah satu Kecamatan Pesisir di wilayah Kabupaten Situbondo. Kecamatan ini memiliki pusat perkotaan yang berkembang secara spasial kewilayahan dan juga mayoritas mata pencahariaan masyarakatnya bergerak mendekati garis pantai. Pusat-pusat kegiatan pada kecamatan ini pun sebagian besar berada pada desa-desa yang berbatasan dengan pantai, Desa Kilensari contohnya. Lokasi Pelabuhan Panarukan yang terletak pada desa ini memusatkan kegiatan masyarakat pada titik dimana nelayan pulang pergi melaut setiap hari. Pasar non-permanen dibangun secara insidental oleh masyarakat dekat dengan lokasi pelabuhan, dengan tujuan agar begitu ikan sudah sampai di daratan dapat langsung diperjual belikan oleh istri-istri nelayan. Undang-Undang No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Permukiman mendefinisikan permukiman sebagai bagian dari lingkungan hunian yang terdiri atas lebih dari satu satuan perumahan yang mempunyai prasarana, sarana, utilitas umum, serta mempunyai penunjang kegiatan fungsi lain di kawasan perkotaan atau kawasan perdesaan. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa permukiman merupakan sekumpulan atau lebih dari rumah dan fungsi rumah,
4
sehingga membentuk kesatuan permukiman dan bermanfaat sebagai salah satu simpul sumber kegiatan bermasyarakat. Apabila dilihat dari citra Google Earth, permukiman yang berada di sekitar Pelabuhan Panarukan merupakan permukiman dengan kuantitas paling padat dibandingkan dengan desa lain di Kecamatan Panarukan. Perkembangan permukiman pada titik ini jelas sekali disebabkan oleh adanya strategi adaptasi masyarakat sekitar, utamanya nelayan yang memiliki persepsi
memilih
tempat
tinggal
dekat
dengan
lokasi
sumber
mata
pencahariaannya. Suatu kegiatan yang masiv seperti ini perlu mendapat perhatian khusus oleh para perencana ruang yang berwenang, agar pertumbuhan serta perkembangan permukiman pada kawasan pesisir, khususnya Kecamatan Panarukan dapat berjalan baik, sesuai kaidah penataan ruang, dan yang paling penting tidak menumbulkan resiko bahaya bagi masyarakat yang berada pada kawasan tersebut. Pesisir Situbondo memiliki track record gelombang tinggi yang menahun, tersebut pada beberapa kejadian menyatakan bahwa selama gelombang tinggi menyerang wilayah perairan Situbondo, kapal-kapal yang beroperasi hanya kapal besar berjenis slereg, yang beratnya lebih dari 30 gross ton. Tetapi kapal-kapal tersebut juga hanya melaut di sekitar selat Bali dan tidak memungkinkan bagi kapal nelayan untuk mencari ikan (Kompas, 2012). Namun demikian kejadian tahunan ini tidak melanda Pesisir Panarukan yang berlokasi di sisi barat Sungai Sampean, yang muaranya berada di sisi timur wilayah Pesisir Panarukan. hal ini menyebabkan wilayah studi dan area Kabupaten Situbondo sebelah barat memiliki kawasan pesisir yang lebih padat dilihat dari segi permukimannya, disbanding dengan area yang menghadap Selat Bali. Fakta di lapangan mengenai Pesisir
5
Panarukan tersebut menunjukkan bahwa kawasan pesisir Kabupaten Situbondo utamana Pesisir Panarukan membutuhan perencanaan kawasan yang lebih detail dan komprehensif. Berdasarkan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor: KEP.10/MEN/2002 tentang Pedoman Umum Perencanaan Pengelolaan Pesisir Terpadu, Wilayah Pesisir didefinisikan sebagai wilayah peralihan antara ekosistem darat dan laut yang saling berinteraksi, dimana ke arah laut 12 mil dari garis pantai untuk provinsi dan sepertiga dari wilayah laut itu (kewenangan provinsi) untuk
kabupaten/kota dan
ke
arah darat
batas administrasi
kabupaten/kota. Sementara definisi pengelolaan pesisir menurut Undang-Undang No. 27 Tahun 2027 mengenai Pengelolaan Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil adalah suatu proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian Sumber Daya Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil antarsektor, antara Pemerintah dan Pemerintah Daerah, antara ekosistem darat dan laut, serta antara ilmu pengetahuan dan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Sementara yang merupakan kawasan pesisir adalah bagian Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil yang memiliki fungsi tertentu yang ditetapkan berdasarkan kriteria karakteristik fisik, biologi, sosial, dan ekonomi untuk dipertahankan keberadaannya. Fakta menyebutkan bahwa pesisir merupakan kawasan yang kaya akan potensi sumberdaya alam serta merupakan tempat strategis bagi usaha industri, perdagangan, pariwisata, maupun permukiman (Marfai, 2012). Namun seringkali pesisir juga dianggap sebagai halaman belakang atau backyard yang merupakan tempat membuang segala macam limbah (Budiharsono, 2001). Hal tersebut menjadi hasil hipotesis sederhana, mengapa kondisi permukiman pantai di
6
Indonesia tanpa terencana sedari dini dalam dokumen tata ruang akan menjadi kawasan yang terkesan kumuh dan tidak tertata. Apabila dibandingkan antara potensi sumberdaya alam dan sumberdaya manusia di wilayah pesisir dan pantai sangatlah tidak seimbang, seharusnya masyarakat pesisir lebih sejahtera bila dibandingkan dengan fakta yang ada sekarang ini. Di wilayah pesisir banyak kantong-kantong kemiskinan, dan kesejahteraannya tidak merata, sehingga banyak faktor yang yang harus diselesaikan, salah satunya adalah keberdayaan masyarakatnya yang masih minim apabila dibandingkan dengan wilayah non pesisir. (http://bapemas.jatimprov.go.id dalam Program Pemberdayaan Masyarakat Pesisir Pantai). Berdasarkan pengertian di atas penulis menyimpulkan bahwa yang dimaksud dengan permukiman pesisir adalah sekumpulan atau lebih dari rumah dan fungsi rumah, sehingga membentuk kesatuan permukiman dan bermanfaat sebagai salah satu simpul sumber kegiatan bermasyarakat dengan sumber mata pencaharian mayoritas berkaitan dengan kawasan pesisir dan kepesisiran. Permukiman pada kawasan pesisir memiliki motif serta referensi membangun yang beragam yang ditentukan oleh faktor lingkungan fisik maupun sosial. Seperti yang diutarakan diatas bahwa permukiman merupakan wujud dari kebutuhan masyarakat akan kegiatan yang menjadi karakteristik khusus kawasan pada permukiman tersebut sehingga jenis dan bentuk serta motif bermukim yang ada menjadi sangat beragam. Batas permukiman pesisir dapat dilihat lebih jelas dibandingkan dengan batas kawasan pesisir secara fungsional. Hal tersebut dikarenakan permukiman merupakan wujud fisik yang dapat dilihat. Permukiman juga merupakan wujud
7
fisik yang dapat berkembang seiring potensi yang ada pada lingkungan permukiman tersebut, keberadaan lahan pada lingkungan permukiman, serta potensi mata pencahariaan memungkinkan untuk menarik pendatang bermukim. Hal ini pula yang nantinya akan menjadi dasar dari mengapa batasan wilayah penelitian menggunakan batas administrasi serta tidak menggunakan batasan fungsional pesisir. Buku Pola Pemukiman Daerah Jawa Timur yang diterbitkan pada Tahun 1987 oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Jawa Timur mengungkapkan bahwa selama ini pemilihan lokasi bermukim masyarakat utamanya masyarakat Jawa Timur didasarkan atas pemahaman mereka mengenai lingkungan. Mayoritas penduduk memilih suatu wilayah bermukim dengan lahan pertanian luas, atau di tepi sungai, atau di puncak bukit untuk menghindari banjir dan bahaya lain. Hal ini tercermin dari mengelompoknya masyarakat dengan satu jenis kegiatan mata pencahariaan utama yang seragam pada satu kawasan pada beberapa titik pengamatan di daerah Jawa Timur, dan peneliti mencoba membuktikannya dengan melakukan penelitian pada permukiman pesisir di kawasan Kecamatan Panarukan. Yunus (2012) menyebutkan bahwa dalam tinjauan yang lebih makro saja seperti penggunaan lahan perkotaan seorang peneliti perlu untuk berhati-hati dalam mempergunakan konsep yang mendeterminasi struktur pembentukan guna lahan. Suatu perbedaan konsep yang dikemukakan Yunus juga merupakan satu hal yang benar adanya. Konsep permukiman dan pemukiman dalam Bahasa Indonesia merupakan dua hal yang berbeda.
8
Pada kesempatan ini, peneliti tertarik untuk mengadakan penelitian yang terkait dengan kecenderungan perkembangan pada pola permukiman di pesisir. Peneliti memilih daerah yang akan diteliti lebih lanjut adalah kawasan pesisir Kecamatan Panarukan yang terdiri dari lima desa pesisir. Kawasan pesisir Panarukan berkembang karena terdapatnya Pelabuhan Panarukan. Pelabuhan ini menghubungkan antara Pulau Jawa dan Pulau Madura bagian timur sebagian dan juga Kepulauan Kangean. Kondisi pesisir Panarukan secara umum mengungkapkan bahwa adanya program pengembangan yang dilakukan pemerintah untuk menaikkan status Pelabuhan Panarukan, dari semula sebagai pelabuhan perikanan menjadi pelabuhan bongkar muat barang. Peningkatan status tersebut diperkirakan akan membuka akses dan sumber kegiatan dengan kuantitas lebih tinggi daripada sebelumnya. Secara sosial, hal tersebut merupakan sumber tarikan bagi masyarakat Pesisir Panarukan untuk berkegiatan pada kawasan pelabuhan ini, dan dalam jangka panjang dapat menciptakan suatu pola baru bagi tutupan lahan dan juga bentuk perkembangan permukiman disekitarnya. Hasil penelitian terhadap Kabupaten Situbondo yang dilakukan Rukmana pada tahun 2012 hingga tahun 2013 mengemukakan bahwa Kecamatan Panarukan merupakan kecamatan yang memiliki tingkat pertumbuhan ekonomi paling tinggi (Rukmana 2013: 48), bahkan memiliki angka PDRB per kapita lebih tinggi dari Kabupaten Situbondo itu sendiri. Kecamatan Panarukan secara hasil perhitungan Tipologi Klassen (yang bertujuan untuk mengklasifikasi pertumbuhan ekonomi) memiliki bobot tertinggi sehingga hal tersebut menjadikan Kecamatan Panarukan menjadi wilayah prioritas penangan kawasan pesisir pada kabupaten ini.
9
1.2
Permasalahan Penelitian Kawasan pesisir di Indonesia berkembang dengan cara yang beragam.
Ragam perkembangan tersebut berbeda menyesuaikan dengan kondisi fisik maupun sosial yang dimilikinya. Pelabuhan Panarukan sebagai salah satu simpul jaringan khusus dalam tubuh pesisir menjadikan wilayah ini sebagai salah satu embrio perkembangan wilayah pesisir di Kabupaten Situbondo secara umum yang mengakibatkan naiknya kebutuhan ruang dan juga jumlah penduduk. Hal tersebut menjadikan potensi tarikan perkembangan kawasan pelabuhan yang berintegrasi dengan kegiatan warga pesisir di sekitarnya. Sesuai dengan teori yang dikemukakan oleh Kostof (1999) bahwa kota merupakan suatu hasil interaksi bangunan dan penduduk yang secara tidak langsung memberikan pemahaman bahwa budaya atau hasil pola pikir manusia pada wilayah tersebut mempengaruhi pola arah perkembangan kota. Selama ini informasi detail mengenai karakter pola permukiman pesisir di kawasan Panarukan belum secara detail dikaji. Padahal salah satu acuan perencanaan pengembangan pedesaan adalah kegiatan dan pola bermukim masyarakat lokasi perencanaan. Sehingga selama ini hasil perencanaan tersebut hanya berbasis pada data vektor pemetaan dan juga perencanaan yang telah ditetapkan secara makro. Jika disimpulkan, maka yang menjadi poin masalah dalam penelitian ini adalah : 1. Belum terdapatnya kajian terkait pola permukiman masyarakat pesisir Panarukan secara mendetail.
10
2. Pelabuhan Panarukan sebagai simpul transportasi memiliki potensi sebagai tarikan perkembangan untuk mengubah karakteristik khusus pesisir Panarukan secara umum, dan dapat sebagai salah satu faktor sebab terhadap perkembangan pola permukiman. 3. Penataan ruang yang tidak terkaji dan secara komprehensif terencana akan menyebabkan ketimpangan fungsi keruangan dan hal tersebut menjadikan betapa penataan permukiman sebagai kegiatan utama dalam guna lahan kawasan pesisir menjadi sangat penting. Maka menurut penjelasan diatas, beberapa hal yang menjadi pertanyaan penelitian (research question) untuk penelitian ini adalah : 1. Bagaimana karakteristik permukiman pesisir pada lokasi penelitian? 2. Bagaimana perkembangan pola permukiman pesisir pada lokasi penelitian? Apa sajakah yang mempengaruhi perkembangan tersebut? Serta; 3. Bagaimana kecenderungan arah perkembangan pola permukiman pesisir pada lokasi penelitian? 1.3
Tujuan Penelitian Sementara itu untuk menjawab poin – poin permasalahan penelitian, yang
menjadi tujuan dari penelitian ini antara lain adalah : 1. Mengidentifikasi karakteristik permukiman pesisir pada lokasi penelitian. 2. Menentukan perkembangan pola permukiman pesisir lokasi penelitian, faktor penentu pengembang pola permukiman, serta
11
3. Menentukan kecenderungan arah perkembangan pola permukiman pesisir pada lokasi penelitian. 1.4
Manfaat Penelitian Kajian penelitian ini memiliki output berupa satu temuan utama yakni
perkembangan pola permukiman kawasan pesisir yang nantinya akan dapat memberikan manfaat bagi beberapa pihak di antaranya adalah : 1. Pemerintah Kota Situbondo secara umum, yang dapat menjadikan penelitian ini sebagai acuan pengelolaan kawasan pesisir Panarukan yang berkelanjutan. 2. Akademisi, yang diharapkan dapat mempergunakan penelitian ini sebagai salah satu contoh penelitian kecenderungan perkembangan suatu guna lahan yang menjadi karakteristik sebuah kawasan. 3. Para stakeholder terkait, yang diharapkan dapat berpartisipasi dalam pengembangan serta pengelolaan kawasan Panarukan sebagai sebuah kawasan yang memiliki potensi perkembangan kawasan secara umum seperti: investor perdagangan, industri kelautan, serta pengembangan lokasi pariwisata.