BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Indonesia merupakan bangsa yang hidup di wilayah pesisir. Sejarah telah mencatat pada periode abad ke VII sampai ke XVI bangsa Indonesia terbiasa hidup di wilayah kepulauan. Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Samudera Pasai, Kasultanan Banten, Kasultanan Ternate semua kerajaan tersebut berpusat di wilayah pesisir. Pelaut Indonesia mampu mengarungi kepulauan di Indonesia dan bahkan mampu belayar sampai ke Madagaskar, Tiongkok, India, dan Arab (Baiquni, 2004). Indonesia tercatat sebagai negara kepulauan terbesar di dunia (Archipelagic State). Jumlah pulau – pulau di Indonesia mencapai 13.466 pulau (Badan Informasi Geospasial, 2013). Pulau – pulau tersebut terdiri atas pulau – pulau besar maupun pulau kecil. Pulau – pulau besar merupakan pulau – pulau yang paling banyak dihuni oleh penduduk. Pulau besar di Indonesia terdiri atas Pulau Sumatera, Pulau Jawa, Pulau Kalimantan, Pulau Sulawesi, dan Pulau Papua (Sandy, 1985). Tidak hanya terdapat pulau besar, Indonesia memiliki puluhan ribu pulau kecil. Pulau kecil merupakan pulau dengan luas kurang dari sama dengan 2000 km2 beserta kesatuan ekosistemnya (UU No. 27 tahun 2007). Tidak mengherankan jika di Indonesia memiliki panjang pantai sebesar 99.093 km (Badan Informasi Geospasial, 2013) atau setara dengan dua kali panjang keliling garis equator di dunia. Dengan banyaknya jumlah pulau kecil yang berada di Indonesia, maka perlu adanya pengelolaan wilayah pesisir khususnya pulau kecil. Berdasarkan UU No. 27 1
2
tahun 2007, pengelolaan wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil meliputi proses perencanaan, pemanfaatan, pengawasan, dan pengendalian sumber daya pesisir dan kerja sama antarsektor. Kerja sama antarsektor tersebut meliputi kerja sama antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah, maupun ekosistem darat dengan laut. Tidak hanya kerja sama antar sektor, namun perlu diperhatikan kerja sama antara ilmu pengetahuan dengan manajemen untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Konsep pengelolaan dalam UU No. 27 tahun 2007 sesuai dengan konsep pengelolaan berkelanjutan yang memiliki dimensi ekologi, sosial, dan ekonomi. Dimensi ekologi, sosial dan ekonomi memiliki keterkaitan antara yang satu dengan yang lain. Dimensi ekologi memliki peran yang sangat penting dalam memainkan alur sosial dan ekonomi. Dalam sistem pariwisata, peranan ekologi menjadi modal utama bagi wilayah yang menampilkan kondisi wisata alam terutama bagi wisata alam di pulau kecil. Pulau-pulau kecil menyimpan potensi sumber daya alam yang besar untuk dapat dimanfaatkan manusia. Bentuk-bentuk pemanfaatan yang dilakukan salah satunya adalah kegiatan pariwisata. Obyek pariwisata di pulau kecil umumnya berada di wilayah pesisir dan laut misalnya terumbu karang. Pengembangan pariwisata di pulau kecil akan menyebabkan tekanan pada lingkungan sehingga mengganggu ekosistem. Dampak terganggunya ekosistem antara lain menurunnya kualitas air, berkurangnya populasi flora-fauna pesisir dan laut, dan mempercepat terjadinya bencana alam. Oleh karena itu pengembangan pulau kecil sebagai obyek wisata membutuhkan perhatian dan pengelolaan yang berkelanjutan.
3
Pengembangan pulau kecil sebagai daerah pariwisata akan berdampak kepada degradasi lingkungan. Degradasi lingkungan tersebut dapat berupa penyusupan air laut, perubahan kualitas air, pencemaran lingkungan, dan masalah kekeringan. Berdasarkan UU No. 7 tahun 2004 tentang pengelolaan sumberdaya air di pulau kecil atau gabungan beberapa pulau kecil wajib dikelola sebagai satu kesatuan wilayah. Seperti halnya sungai, pulau kecil turut mendapatkan apresiasi sebagai “satu wilayah, satu kebijakan dan satu rencana pengelolaan”. Dengan demikian pulau – pulau kecil wajib dilengkapi dengan sebuah rencana pengelolaan sumberdaya air. Salah satu pulau kecil yang patut mendapatkan perhatian khsusus terkait pengelolaan sumberdaya air adalah Pulau Pari. Pulau Pari merupakan salah satu pulau karang dari 110 pulau kecil yang berada di Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Berdasarkan geologinya, Pulau Pari tumbuh dan berkembang dari dasar laut Teluk Jakarta selama Zaman Kuarter. Berdasarkan ukurannya, Pulau Pari termasuk kedalam pulau sangat kecil. Luasan Pulau Pari hanya ± 41,32 ha, dengan luasan pulau yang kecil tersebut maka kemampuan kesarangan Pulau Pari sangatlah terbatas. Ukuran pulau yang sangat kecil dan relatif datar menyebabkan tidak adanya daerah hulu sebagai daerah resapan. Hal tersebut ditunjang dengan morfologi pulau yang datar. Sehingga Pulau Pari sangatlah rentan untuk mengalami krisis air terutama di musim kemarau. Berdasarkan Perda DKI No. 1 Tahun 2012 tentang tata ruang DKI 2030, Pulau Pari diperuntukan sebagai kawasan pemukiman. Secara prosentase peruntukan tersebut terbagi atas 50 % untuk pariwisata, 40 % untuk pemukiman
4
dan 10 % untuk pengembangan P2O (Pusat Penelitian Oseanografi) – LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia). Peruntukan pemukiman tersebut ditunjang dengan pembangunan Pulau Pari sebagai destinasi tujuan wisata. Pulau Pari memiliki potensi sebagai objek wisata ilmu pengetahuan. Di Pulau Pari pengunjung dapat bermain dan belajar mengenai ekosistem pulau. Pengunjung dapat mempelajari mengenai ekosistem mangrove, ekosistem terumbu karang, dan ekosistem lamun. Untuk menopang kegiatan pariwisata berbasis ilmu pengetahuan di Pulau Pari, maka pemerintah mendirikan P2O LIPI. Tidak hanya sebagai wisata ilmu pengetahuan, Pulau Pari menyimpan panorama alam yang sangat indah. Pungunjung dapat menikmati keindahan alam dengan snorkeling, scuba diving, dan melihat keindahan Pantai Perawan di Pulau Pari. Pada awal tahun 2013 Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif memberikan bantuan berupa PNPM mandiri di bidang pariwisata1. Total bantuan mencapai Rp 100.000.000,00 – ditujukan kepada LKM (Lembaga Keswadayaan Masyarakat) Pulau Pari. Dana tersebut dimanfaatkan untuk meningkatkan kesejahteraan, membuka lapangan pekerjaan, sarana kebersihan dan meningkatkan fasilitas umum khususnya dibidang pariwisata. Bertambahnya jumlah penginapan, fasiltas umum, dan travel perjalanan menyebabkan kegiatan pariwisata di Pulau
1
Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. 2013. Keputusan Direktur Jenderal Pengembangan Destinasi Pariwisata Nomor : 29/KEP/DPDP/1/2013 tentang Tata Cara Penyaluran Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) / Bantuan Desa Wisata Kepada Kelompok Masyarakat Penerima PNPM Mandiri Bidang Pariwisata Tahun Anggaran 2013. Jakarta (ID) : Kemenbudpar.
5
Pari turut berkembang. Hal tersebut berdampak kepada peningkatan jumlah pengunjung yang datang tiap tahunnya ke Pulau Pari pada tahun 2010 hingga 2013. 1.2 Permasalahan Penelitian Pemandangan alam yang indah dan lokasi yang cukup dekat dengan DKI Jakarta menjadikan Pulau Pari sebagai salah satu primadona baru kunjungan wisata. Selama tujuh tahun terakhir, Pulau Pari telah mengalami kemajuan yang sangat pesat. Dari sektor infrastruktur (renovasi sekolah, perbaikan dermaga dan pembangunan jalan) hingga kepada pelatihan kepada masyarakat khususnya di bidang pariwisata. Kemajuan di sektor pariwisata sayangnya tidak diselaraskan dengan perhatian terhadap lingkungan di Pulau Pari. Alih fungsi lahan dan degradasi ekosistem lingkungan menjadi sorotan seiring berkembangnya industri pariwisata di pulau ini. Salah satu ancaman yang cukup serius dialami Pulau Pari adalah permasalahan sumberdaya air. Permasalahan sumberdaya air di pulau kecil dapat berupa intrusi air laut, perubahan kualitas air, pencemaran lingkungan, dan masalah kekeringan. Berdasarkan permasalahan yang berada di Pulau Pari, maka dapat dirumuskan sebagai berikut. 1. Bagaimana kondisi ketersediaan air di Pulau Pari ? 2. Bagaimana kondisi kualitas air di Pulau Pari ? 3. Bagaimana kondisi kebutuhan air dan proyeksinya untuk masa yang akan datang di Pulau Pari ? 4. Bagaimana strategi pengelolaan sumberdaya air untuk pariwisata yang tepat di Pulau Pari ?
6
1.3 Tujuan Penelitian 1. Menganalisis kondisi ketersediaan air di Pulau Pari. 2. Menganalisis kondisi kualitas air di Pulau Pari. 3. Menganalisis kebutuhan air dan proyeksinya untuk masa yang akan datang di Pulau Pari. 4. Merumuskan strategi pengelolaan sumberdaya air untuk pariwisata di Pulau Pari. 1.4 Manfaat Penelitian 1. Sebagai masukan kepada pemerintah pusat dan daerah serta instansi terkait dalam rangka penyusunan rencana strategis pengembangan Pulau Pari di masa yang akan mendatang. 2. Memberikan kenyataan secara objektif sebagai data dasar dalam pengelolaan sumberdaya air untuk pariwisata di Pulau Pari. 1.5 Ruang Lingkup Penelitian Penelitian dilakukan di Pulau Pari, Kecamatan Kepulauan Seribu Selatan, DKI Jakarta. Penelitian mengkaji mengenai ketersediaan air, kualitas air, kebutuhan air, dan pengelolaan pariwisata. Ketersediaan air dianalisis dengan menggunakan pendekatan analisis ketersediaan air secara meteorologis. Kualitas air dianalisis dengan menggunakan pengukuran kualitas air secara langsung di lapangan. Kebutuhan air dibatasi melalui kuesioner terhadap penduduk dan wisatawan. Kajian pengelolaan pariwisata diperoleh dari wawancara dengan penduduk dan kunjungan wisatawan.
7
1.6 Keaslian Penelitian Berdasarkan telaah pustaka dan kajian penelitian sebelumnya, tidak ditemukan judul yang serupa dengan penelitian yang diajukan. Penelitian yang diajukan yaitu berjudul Pengelolaan Sumberdaya Air untuk Pengembangan Pariwisata di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, DKI Jakarta. Penelitian – penelitian di pulau kecil lebih banyak mengkaji mengenai kondisi sosial – ekonomi dan keterkaitannya dengan kepariwisataan seperti (Triyono, 2013), pengabdian masyarakat di pulau kecil (Baiquni, 2010), penafsiran geomorfologi dan penutup lahan melalui metode penginderaan jauh seperti (Asriningrum, 2005). Sangatlah jarang ditemukan penelitian serupa mengenai pengelolaan sumberdaya air untuk pengembangan pariwisata di pulau kecil. Metode penelitian mengacu dari literatur dan penelitian sebelumnya. Metode analisis ketersediaan air secara meteorologis seperti (Langi, 2007) dan menerapkan analisis kualitas air sebagai rujukan pengelolaan pariwisata (Garcia, dkk, 2009). Analisis pengelolaan sumberdaya air untuk pariwisata menggunakan analisis SWOT seperti (Sujatmiko, 2009). Penelitan yang hampir mendekati adalah neraca air di Pulau Bali (Purnama, 2009). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat Tabel 1. 1 mengenai Keaslian Penelitian.
Tabel 1. 1 Keaslian Penelitian Peneliti dan Tahun Celso Garcia dan Jaume Servera (2003)
Judul Penelitian Impacts of Tourism Development on Water Demand and Beach Degradation on The Island of Mallorca (Spain)
Daerah Penelitian Mallorca (Spanyol)
Setyawan Purnama (2009)
Neraca Air di Pulau Bali
Pulau Bali
Wikanti Asriningrum (2005)
Studi Identifikasi Karakteristik Pulau Kecil Menggunakan Data Landsat dengan Pendekatan Geomorfologi dan Penutup Lahan Kajian Pengolahan Airtanah di Kawasan Pariwisata Parangtritis Kabupaten Bantul, DIY
Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakang Sedih
Amin Sujatmiko (2009)
Pantai Parangtritis
Tujuan Penelitian
Data
Metode Penelitian
Hasil Penelitian
Mengetahui pengaruh kegiatan pariwisata terhadap kualitas air
Konsumsi Kebutuhan air, RTRW, kepadatan penduduk
Analisa neraca air, analisa anthropogenic, dan analisa spasial
Kegiatan pariwisata sangat mempengaruhi kondisi kualitas air di Mallorca
Menghitung ketersediaan air kebutuhan air, dan menganalisis neraca air di daerah penelitian dalam kaitannya sebagai data dasar untuk pengelolaan sumberdaya air Menyusun suatu rencana pengembangan pulau-pulau kecil yang komprehensif dan terpadu dalam konsep unit gugusan pulau
Data curah hujan, suhu, debit aliran sungai, debit mata air, jumlah penduduk, industri, ternak, dan irigasi.
Konsep neraca air DAS, Perhitungan kebutuhan air, dan imbangan air
Ketersediaan air di Pulau Bali mencapai 2.604.483.300 m3/tahun, kebutuhan air di Pulau Bali mencapai 1.213.625.300 m3/tahun dan rasio neraca air di Pulau Bali mencapai 47 % atau mendekati kriteria titik kritis.
Citra Satelite Landsat 7, Peta Geologi, Peta RBI
Analisa pendekatan geomorfologi
Karakteristik Geomorfologi di Kepulauan Pari dan Kepulauan Belakang Sedih
Mengetahui kondisi potensi lingkungan airtanah, dan pengaruh aktivitas penduduk, kegiatan pariwisata dan pertanian terhadap kualitas dan kuantitas airtanah
Monografi Desa Parangtritis kualitas air, dan data curah hujan
Pendekatan imbuhan air hujan, pendekatan statis, dan analisis SWOT
Kondisi internal pengelolaan airtanah masih kuat, namun kondisi eksternal pengelolaan airtanah masih lebih banyak tantangan yang harus dihadapi.
8
8
9
Lanjutan Tabel 1.1 Triyono (2013)
Penilaian Ekonomi dan Daya Dukung Wisata Bahari di Pulau Pari, Kepulauan Seribu, Provinsi DKI Jakarta
Pulau Pari, Kepulauan Seribu
Menentukan kesesuaian lahan, mengestimasi nilai daya dukung fisik, mengestimasi nilai ekonomi
Oktrivan Arung Langi (2007)
Analisis Neraca Air Meteorologi untuk Kekritisan DAS pada Subdas dengan Karakteristik Bentuk Lahan Karst dan Vulkanik
Sub DAS Wuryantoro dan Sub DAS Keduang, Gunung Kidul
M. Baiquni (2010)
Education for Sustainable Development : Learning From The Experiences of The Student Community Service Program in Small Island of Indonesia
Pulau Weh, Pulau Karimunjawa, Pulau Komodo
Mengetahui perbedaan karakteristik bentuk lahan karst dan vulkanik, mengetahui neraca air di Sub Das Wuryantoro dan Sub DAS Keduang, dan mengetahui indeks kekritisan DAS. Meningkatkan kemampuan peserta didik dalam pendidikan pembangunan yang berkelanjutan, mengawasi dan mengevaluasi jalannya kegiatan dan meningkatkan kepedulian terhadap masalah yang ada
Monografi desa, pendapat responden, waktu yang dihabiskan pengunjung, dan data mangrove Peta jenis tanah, Peta RBI, Citra Landsat, Data monografi, Data Iklim (curah hujan dan suhu)
Travel Cost Methode, DDK, Efek Pengganda.
Perincian masalah, tindakan dalam menghadapi masalah, dan solusi dalam mengatasi masalah
Mempersiapkan peserta didik dalam tiga tahapan yaitu persiapan, pelaksanaan, dan evaluasi selama di wilayah studi
Analisa profil dan tekstur tanah, analisa neraca air, analisa kekritisan DAS.
Nilai daya dukung fisik maksimal 1.287 orang/hari, wisata selam 2.787 orang/hari untuk wisata snorkeling, dan 504 orang/hari untuk wisata mangrove, Nilai ekonomi total wisata bahari sebesar Rp. 12.365.824.221 Kemampuan bentuk lahan vulkanik lebih cepat merspon curah hujan jika dibandingkan dengan bentuk lahan karst, Sub DAS Wuryantoro termasuk klasifikasi belum kritis (42,3%) dan DAS Keduang termasuk klasifikasi mendekati kritis (64,6%) Mengimplementasikan pendidikan yang berkelanjutan di dalam menghadapi bencana (tsunami, perubahan iklim, degradasi lingkungan), dan melaksanakan Tri Dharma Perguruan Tinggi
9