BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Kemajuan-kemajuan
di
bidang
teknologi
dan
sosial
budaya
mendorong
perkembangan berbagai aspek kehidupan manusia diantaranya dalam berkumpul dan hidup berkelompok. Tempat dimana individu berkumpul untuk merencanakan sejumlah kegiatan demi mencapai suatu maksud atau tujuan bersama melalui pembagian tugas dan fungsi kerja melalui serangkaian wewenang dan tanggung jawab disebut dengan organisasi (Schien, 1991). Sebagai suatu bentuk kumpulan manusia dengan ikatan tertentu atau syarat-syarat tertentu, maka organisasi telah berkembang dalam berbagai jenis. Organisasi menurut Schien (1991) dapat dibedakan jenisnya berdasarkan jumlah orang yang memegang kekuasaan, lalu lintas kekuasaan, sifat hubugan personal, tujuan, serta berdasarkan pihak yang memakai manfaat dari organisasi. Berdasarkan pihak yang memakai manfaat organisasi terbagi lagi menjadi empat kriteria yaitu (Salusu, 2005) ; (1) Mutual benefit organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya terutama dinikmati oleh anggotanya, seperti koperasi, (2) Service organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya dinikmati oleh pelanggan, misalnya bank, (3) Business organization, yaitu organisasi yang bergerak
dalam
dunia
usaha,
seperti
perusahaan-perusahaan,
(4)
Commonwealth
organization, yaitu organisasi yang kemanfaatannya terutama dinikmati oleh masyarakat umum, seperti organisasi pelayanan kesehatan dan pendidikan. Contohnya rumah sakit, Puskesmas, dan Sekolah-sekolah. Commonwealth organization sendiri di Indonesia diterjemahkan menjadi organisasi yang disebut dengan Yayasan, yaitu suatu badan hukum yang tidak mempunyai anggota, dikelola oleh sebuah pengurus dan didirikan untuk tujuan sosial, keagamaan, pendidikan dan kemanusiaan seperti mengusahakan layanan dan bantuan dalam bentuk penyelenggaraan rumah sakit sekolah, dan lainnnya (UU No.16 Tahun 2001).
Universitas Sumatera Utara
Yayasan yang bergerak dalam bidang pelayanan kesehatan, keagamaan, dan kemanusiaan non pendidikan disebut dengan yayasan sosial sedangkan yayasan yang bergerak dalam bidang pendidikan biasa disebut dengan yayasan pendidikan (Henslin, 2006). Yayasan pendidikan menjadi organisasi penyelenggara pendidikan yang memiliki tujuan yang sama dengan pemerintah yaitu menjadikan institusi pendidikan sebagai tempat proses pengubahan sikap dan tata laku individu atau kelompok individu dalam usaha mendewasakan individu melalui upaya pengajaran dan latihan (Lodge, 2003). Institusi pendidikan swasta yang bernaung dibawah yayasan pendidikan semakin hari berkembang semakin pesat dan progresif, sehingga institusi ini dianggap sebagai proses produksi dalam lapangan industri (Yusnianto, 2006). Pesatnya perkembangan sekolah sebagai lembaga pendidikan modern menghadirkan kepercayaan masyarakat terhadap sekolah yang semakin menguat (Kemdiknas, 2009). Saat ini di Indonesia terdapat 21.000 Yayasan pendidikan. Di Kota Medan saja telah terdapat 18 SD swasta dengan 238 SMU swasta (Wikipedia, 2011). Salah satu yayasan pendidikan yang menyelenggarakan tingkatan pendidikan dari PG/TK sampai dengan SMU di Kota Medan adalah “Yayasan Pendidikan X”. Yayasan ini berdiri 13 tahun yang lalu dan mengalawi penyelenggaraan pendidikannya dengan membuka Play Group dan Taman Kanak-Kanak, dilanjutkan membuka kelas SD pada tahun 1999. Kemudian pada tahun 2003 membuka kelas SMP dan baru pada tahun 2004 penyelenggaraan pendidikan tingkat Sekolah Menengah Umum (SMU) diselenggarakan. Yayasan ini tumbuh dengan prinsip bahwa pendidikan yang baik tidak hanya membentuk seseorang menjadi cerdas semata tetapi juga berakhlak mulia. Berbekal visi untuk menjadi lembaga pendidikan yang mempersiapkan pemimpin masa depan yang bertaqwa dengan wawasan intelektual yang luas, berakhlakul karimah dan sehat, sedangkan misinya adalah mempersiapkan generasi yang berwawasan ilmu keillahian dan ilmu keilmiahan, agar anak memiliki kepribadian yang
Universitas Sumatera Utara
karimah, yang pandai bersyukur kepada khaliknya, dan siap hidup di zamannya yang semakin kompetitif di era globalisasi. “Yayasan Pendidikan X” dalam perkembangannya kini menghadapi persaingan yang ketat dengan fenomena pertumbuhan sekolah swasta yang berbasis Islam di Kota Medan (Depdiknas Medan, 2011). Cendikiawan muslim Ayumardi Azra (2008) mengatakan Sekolah Islam unggulan adalah bagian dari fenomena santrinisasi masyarakat muslim, sekolah ini dikatakan sekolah elit. Menjadi elit karena secara akademis hanya siswa siswi terbaik yang dapat diterima di sekolah ini melalui ujian masuk yang kompetitif. Selanjutnya guru-guru yang mengajar disekolah juga diseleksi secara kompetitif dan hanya mereka yang memenuhi persyaratan saja yang diterima sebagai pengajar. Selain itu sekolah-sekolah unggul dan juga mempunyai sarana pendidikan yang lebih baik dan lengkap seperti laboratorium, bengkel kerja, ruang komputer, masjid, sarana olahraga, perpustakaan bahkan ada juga yang memiliki asrama. Konsekuensinya sekolah Islam seperti ini umumnya mahal, akibatnya siswa-siswi sekolah tersebut berasal dari keluarga muslim kelas menegah. Gambaran yang dimaksud tersebut dengan jelas dapat dilihat di “Yayasan Pendidikan X”. “Yayasan Pendidikan X” adalah sekolah Islam unggulan, merupakan sekoleh elit, siswanya masuk melalui berbagai macam seleksi, demikian juga guru-gurunya diseleksi dengan ketat melalui beberapa tahapan, memilik sarana dan fasilitas yang tentu saja lengkap dengan kualitas penyelenggaraan proses pendidikan yang sama dengan PP No. 19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan. “Yayasan Pendidikan X” dalam persaingan dengan banyak sekolah swasta lainnya di Kota Medan memiliki suatu rencana strategis yang ingin diwujudkan pada tahun 2012 yaitu secara penuh menjadi Sekolah International. Perjalanan menuju Sekolah international tentunya membutuhkan daya upaya yang luar biasa. Fasilitas hari demi hari terus dilengkapi, dikembangkan dengan mengikuti perkembangan zaman dan teknologi, disisi lain pengelolaaan secara profesional terus
Universitas Sumatera Utara
dilakukan baik terhadap sistem pengajaran dan pengelolaan sumber daya manusia yang ada. Namun tidak dapat dipungkiri dalam pelaksanaannya banyak tantangan dan hambatan yang terjadi sehingga belum semua komponen sekolah yang ada dapat berjalan sebagaimana yang diharapkan dalam mendorong kemajuan sekolah, seperti terungkap dari wawancara dengan Ketua Umum “Yayasan Pendidikan X” berikut ini. Belum semua komponen sekolah yang ada dapat berjalan dengan maksimal untuk mendukung kemajuan dan kelancaran proses belajar mengajar. (Komunikasi Personal, Mei 2011) Fasilitas yang ada dirasa belum dipergunakan secara maksimal untuk kemajuan dan kelancaran proses pendidikan, Tenaga pengajar dan non pengajar belum mengeluarkan potensi kemampuan maksimal yang mereka miliki, Beberapa sistem yang ada masih perlu usaha lebih keras untuk diaplikasikan, dan ketersediaan HRD yang profesional menjadi tantangan Yayasan Pendidikan X. (Komunikasi Personal, Mei 2011) Berdasarkan pernyataan dari Ketua Umum Yayasan di atas terlihat adanya hambatan dalam upaya untuk mendorong kemajuan sekolah. Pada wawancara lebih lanjut dengan Pembina dan Ketua umum Yayasan yang juga adalah pendiri dan pemilik Yayasan pendidikan X, terungkap bahwa ada rasa ketidakpuasan terhadap karyawan-karyawannya. Culture kita yang utama adalah menerapkan disiplin-disiplin, dan menurut ukuran saya disiplin itu belum berhasil bukan untuk ukuran mereka ini saya tunjukkan dengan datang lebih cepat. Sekarang siapa pegawai saya yang sudah bisa mengikuti itu. Saya sama sekali tidak puas terhadap kinerja karyawan yang ada disini. Hari ini kita rapat, besok harus rapat lagi, gak ada suatu kekonsistenan yang terjadi dari hasil rapat itu (Komunikasi Personal Pembina Yayasan Pendidikan X, 28 Juli 2011) Mereka untuk mengupgrade dirinya koq gak mau, Mereka gak usah lah tiru saya 100 %, paling gak 25 %, Ketika dikasih job desc, mereka bekerja tapi mereka kerja apa adanya, ketika saya bilang ini dua harusnya mereka sudah bisa mentranslatenya ke sepuluh mereka tidak, mengerjakan selalu dengan senjata takut salah “yang ibu bilang kan cuma itu, ya udah itu dia” seperti itu jawaban mereka biasanya. (Komunikasi Personal Ketua Umum Yayasan Pendidikan X, 25 Juni 2011) Saya orang perfeksonis, orang yang detail kalau saya bilang 10 harusnya mereka kasih saya 20. (Komunikasi Personal Ketua Umum Yayasan Pendidikan X, 25 Juni 2011) Pembina dan Ketua Umum Yayasan Pendidikan X memandang karyawan tidak mampu menjalankan keinginan dan kemauan dari mereka, Namun disisi lain peneliti juga melakukan wawancara pada para karyawan yang menyatakan:
Universitas Sumatera Utara
Gimana ya pak kami mau lakukan, pekerjaan yang diminta oleh yayasan banyak dan diluar kemampuan kami dan semua yang kami kerjakan selalu dinilai kurang akurat dan yayasan selalu mau ikut campur (Komunikasi Personal dengan karyawan, Juli 2011) Perintah atasan sering tidak jelas sasarannya kepada siapa dan saya merasa ada lempar tanggung jawab pak sesama pegawai, Sering kali juga pak perintah pihak yayasan mengakibatkan miskomunikasi antara atasan dan bawahan. (Komunikasi Personal dengan karyawan, Juli 2011) Yayasan tidak mendengar keluhan dan kritik dari bawahan (Komunikasi Personal dengan Karyawan, Agustus 2011) Tidak mengerti keinginan pihak yayasan seperti apa. Tiap rapat, ide pun tidak tersampaikan (Komunikasi Personal dengan Karyawan, Agustus 2011) Karena ketua umum merasa sekolah adalah miliknya, ia memberikan kebijakan dan aturan sesukanya serta tugas yang diberikan tiba-tiba dan menuntut selesai saat itu juga. (Komunikasi Personal dengan Karyawan, Agustus 2011) Pekerjaan yang banyak dan diluar kemampuan serta tugas yang diberikan tiba-tiba dan menuntut selesai saat itu juga, Karena pimpinan merasa sekolah adalah miliknya, ia memberikan kebijakan dan aturan sesukanya. (Komunikasi Personal dengan Karyawan, Juli 2011) Berdasarkan kutipan wawancara diatas terlihat adanya kebingungan terhadap tugas, kurang kepercayaan, aturan yang tidak baku, komunikasi yang kurang efektif, dan kurangnya keterbukaan. Menurut Eunson (dalam Conflit Management, 2007) hal-hal seperti tidak lengkapnya uraian pekerjaan, karyawan yang memiliki lebih dari satu manajer dan sistem koordinasi yang kurang baik menjadi indikasi bahwa terdapat konflik dalam sebuah organisasi. Pendapat ini juga didukung oleh De Janasz (2002) yang menyatakan bahwa dalam suatu organisasi kurangnya kepercayaan dan keterbukaan dapat menimbulkan perbedaan persepsi antara pihak yang satu dengan pihak yang lain, yang kemudian dapat membentuk jurang dalam berkomunikasi dan dari komunikasi yang tidak lagi efektif kerjasama tidak lagi terjalin dan kemudian konflik akan muncul. Mengacu pada teori tersebut diatas, maka perbedaan pandangan antara pihak yayasan dalam hal ini Pembina dan Ketua Umum terhadap para karyawan dan sebaliknya antara karyawan dengan Pembina dan Ketua Umum menjadi suatu indikasi bahwa telah terjadinya konflik pada “Yayasan Pendididikan X”.
Universitas Sumatera Utara
Penyebab dari konflik sangatlah beragam, penelitian Ardhian (2011) menyatakan ketidaksepahaman dan pertentanangan yang menjadi konflik pada organisasi berbentuk yayasan seringkali diakibatkan oleh perbedaan pandangan antara pembina dan pelaksana, antara senior dan junior, dan dalam konteks Yayasan, antara yang merasa memiliki sekaligus pemberi mandat dengan yang melaksanakan mandat. Oleh karena itu tidak menutup kemungkinan konflik yang terjadi di Yayasan Pendidikan X yang kepemilikan dan pengelolaannya berbasis keluarga juga bisa disebabkan oleh berbagai hal tersebut. Menurut Robbins (1996), konflik muncul karena ada kondisi yang melatar belakanginya (antecedent conditions) atau yang disebut juga dengan sumber konflik, ketika sumber penyebab konflik ini di persepsikan sebagai suatu hal yang menganggu oleh individu atau sekelompok individu, maka muncullah suatu keadaan yang disebut dengan konflik yang dipersepsikan (perceived conflict). Lalu saat individu atau sekelompok individu terlibat secara emosional, kebingungan, merasa cemas, tegang, frustasi, atau munculnya sikap bermusuhan, maka konflik berubah menjadi konflik yang dirasakan (felt conflict). Selanjutnya konflik yang telah disadari dan dirasakan keberadaannya menjadi nyata saat pihak-pihak yang terlibat mewujudkannya dalam bentuk perilaku. Robins (1996) mengatakan konflik dalam suatu organisasi muncul dikarenakan 3 (tiga) faktor, yaitu: faktor komunikasi, faktor struktur, dan faktor variabel pribadi. Faktor komunikasi menjadi salah satu sumber konflik karena menurut Robins (1996) seringkali pimpinan dalam organisasi tidak mengkomunikasikan pikiran mereka secara terbuka, dan di pihak lain para bawahan merasa sulit menyampaikan pikiran dan perasaan mereka secara langsung karena takut dan menyadari bahwa pimpinan mereka tidak tertarik akan masalahmasalah mereka sehingga karyawan tidak akan tahu apa yang akan mereka lakukan, manajer tidak dapat menerima informasi, dan supervisi tidak dapat memberikan perintah. Hal ini juga didukung oleh Cushman (2001) yang menyatakan bahwa konflik seseungguhnya merupakan
Universitas Sumatera Utara
hasil langsung daripada komunikasi yang tidak efektif karena tujuan komunikasi dalam suatu organisasi adalah mutual understanding, dalam arti mencoba mencari saling sepemahaman antara anggota-anggota dalam organisasi tersebut. Maka jika komunikasi dalam suatu organisasi tidak berjalan dengan baik tentunya akan muncul ketidaksepahaman antar karyawan dalam organisasi. Hal yang kemudian terungkap dalam wawancara lebih lanjut dengan Ketua Divisi SDM Yayasan Pendidikan “X” adalah “Pak, kami sering kali di bebankan dengan berbagai macam jenis tugas…., Belum selesai tugas yang satu udah disuruh lagi kerjain yang lain, jadinya kita bingung dan kerjaan gak ada yang bisa selesai” “Kita kan pak disini ada Pembina ada Ketua Umum ada Ketua Harian, kadangkadang kami bingung pak yang satu suruh ini yang lain suruh itu, Jadinya perintah pihak yayasan sering mengakibatkan miskomunikasi antara atasan dan bawahan” “Tidak jarang karyawan kita akhirnya saling menyalahkan satu sama lain pak, misanya divisi pendidikan menyalahkan sarana prasaran karena ada fasilitas yang rusak. Bagian IT dikomplain sama bagian lain karena internet tidak connect… apalagi kalau gangguannya pas waktu Pembina yang mau pakai bisa kacau kami semua… Padahal kan penyebabnya tidak connect gara-gara cuaca tapi beliau tidak mau tau dan gak pernah kasih kesempatan kita buat jelasin ” Hal yang terjadi pada Yayasan Pendidikan X diatas sejalan dengan hasil penelitan Robins (2004) yang menyatakan pertukaran informasi yang tidak cukup dan gangguan dalam saluran komunikasi merupakan penghalang terhadap komunikasi yang menjadi kondisi anteseden untuk terciptanya konflik. Robins (1996) mengatakan bahwa antiseden yang kedua dari konflik adalah faktor struktur baik berupa struktur tugas maupun tanggung jawab. Struktur oleh Robins (1996) mencakup ukuran kelompok, spesialisasi bidang, wilayah kerja, kesamaan tujuan, sistem imbalan dan ketergantungan antar kelompok. Menurut penelitian yang dilakukan oleh Robins (2004), ukuran kelompok dan derajat spesialisasi merupakan variabel yang mendorong terjadinya konflik. Istilah derajat spesialisasi sendiri merujuk kepada aktivitas yang menentukan tugas apa yang harus dikerjakan oleh seorang individu, bentuk spesialisasi yang paling dikenal adalah spesialisasi fungsional dimana pekerjaan dipecah-pecah menjadi tugas
Universitas Sumatera Utara
yang sederhana dan berulang. Spesialisasi fungsional ini dikenal sebagai pembagian kerja, sedangkan bentuk lainnya disebut dengan spesialisasi sosial, dimana para individunya yang di spesialisasi dan bukan pekerjaannya (Robins, 1990). Pada “Yayasan pendidikan X” karyawan terbagi dalam spesialisasi sebagai karyawan tenaga pengajar dan karyawan non tenaga pengajar. Tenaga pengajar merupakan karyawan dengan jumlah terbesar yang ada di Yayasan Pendidikan X yaitu sebanyak 153 orang dari keseluruhan 237 karyawan yang ada, jumlah tenaga pengajar yang besar ini menghadirkan potensi lebih besar terhadap terjadinya konflik organisasi. Berdasarkan penelitian Robins (2004) mengatakan semakin besar kelompok dan semakin terspesialisasi kegiatannya, maka semakin besar pula kemungkian terjadinya konflik Selain faktor komunikasi dan struktur, antiseden terhadap munculnya konflik yang ketiga oleh Robins (1996) adalah apa yang disebut dengan faktor pribadi. Faktor pribadi ini meliputi sistem nilai dan karakteritik kepribadian individu. Penilitan yang dilakukan Robins (2004) menunjukkan individu yang sangat otoriter, dogmatik, dan menghargai rendah orang lain, merupakan sumber konflik yang potensial. Robins (2004) mengatakan kondisi yang melatar belakangi munculnya konflik (antecedent condition) merupakan kunci dalam memahami konflik yang terjadi dalam suatu organisasi, hal ini juga didukung oleh Greenhalgh (1999) yang menyatakan keberhasilan suatu organisasi dalam menangani konflik bergantung pada seberapa baik organisasi memahami dinamika dasar dari konflik, dan apakah organisasi dapat mengenali hal-hal penting yang terdapat dalam konflik tersebut. Berdasarkan teori tersebut maka untuk dapat memahami konflik yang ada pada Yayasan Pendidikan X, peneliti tertarik untuk mengetahui konflik organisasi di Yayasan Pendidikan X berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi munculnya konflik.
Universitas Sumatera Utara
B. Rumusan Masalah Berdasarkan data yang telah diperoleh dari penelitian pendahulan, mengindikasikan adanya konflik organisasi di Yayasan Pendidikan X. Peneliti tertarik untuk mengetahui gambaran kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik organisasi pada tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan X.
C. Tujuan Penelitian Mengetahui gambaran kondisi yang melatarbelakangi (antecedent condition) terjadinya konflik organisasi pada tenaga pengajar di Yayasan Pendidikan X. D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat menambah referensi dan menjadi salah satu sumber informasi bagi peneliti lain yang ingin meneliti lebih lanjut masalah yang berkaitan dengan konflik organisasi 2. Manfaat Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat kepada Pendiri/Pemilik dan Pejabat Pengurus Harian Yayasan Pendidikan X serta karyawan tenaga pengajar untuk mengetahui gambaran secara komprehensif konflik yang terjadi dilingkup tenaga pengajar Yayasan Pendidikan X berdasarkan kondisi yang melatarbelakangi terjadinya konflik, sehingga dapat dirancang suatu manajemen konflik yang efektif.
Universitas Sumatera Utara
E. Sistematika Penulisan Sistematika penulisan pada penelitian ini adalah sebagai berikut: Bab I
Pendahuluan Bab ini terdiri dari latar belakang penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II
Landasan teori Bab ini menguraikan landasan teori yang mendasari masalah yang menjadi objek penelitian yaitu memuat teori mengenai konflik organisasi.
Bab III Metode penelitian Bab ini menguraikan identifikasi variabel, definisi operasional variabel, metode pengambilan sampel, alat ukur yang digunakan, uji validitas dan reliabilitas alat ukur, dan metode analisa data yang digunakan untuk mengolah hasil data penelitian. Bab IV Analisa Data dan Pembahasan Berisikan gambaran subjek penelitian, hasil penelitian utama, dan hasil penelitian tambahan. Bab V Kesimpulan dan Saran Berisikan kesimpulan hasil penelitian dan saran-saran untuk pihak-pihak terkait.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Berfikir
YAYASAN PENDIDIKAN X
PEMILIK/PIMP INAN YAYASAN
HAMBATA N
Karyawan Tenaga Pengajar
MasalahMasalah Perbedaan Pandangan
KONFLIK ORGANISASI
Proses Lahirnya Konflik
Antecedent condition
Faktor Komunikasi
Perceived potencial conflict
Faktor Struktur
Felt conflict
Manifest behavior
Suppressed or manage conflict
Faktor Variabel Pribadi
Universitas Sumatera Utara