BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Kinerja Kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam suatu organisasi sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masingmasing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi yang bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral dan etika. Kinerja karyawan lebih mengarah pada tingkatan prestasi kerja karyawan. Kinerja karyawan merefleksikan bagaimana karyawan memenuhi keperluan pekerjaan dengan baik (Ilyas, 2006). Kinerja perorangan (individual performance) dengan kinerja lembaga (institutional performance) atau kinerja perusahaan (corporate performance) terdapat hubungan yang erat. Dengan perkataan lain bila kinerja karyawan (individual performance) baik maka kemungkinan besar kinerja perusahaan (corporate performance) juga baik. Menurut Robbins (2005), Kinerja seorang karyawan akan baik bila ia mempunyai keahlian (skill) yang tinggi, bersedia bekerja karena gaji atau diberi upah sesuai dengan perjanjian dan mempunyai harapan (expectation) masa depan lebih baik. Kinerja dihasilkan oleh adanya 3 (tiga) hal, yaitu :
a. Kemampuan (ability) dalam wujudnya sebagai kapasitas untuk berprestasi (capacity to perform). 10 b. Kemampuan, semangat, hasrat atau motivasi dalam wujudnya sebagai
kesediaan untuk berprestasi (willingness to perform). c. Kesempatan untuk berprestasi (opportunity to perform). Menurut Ilyas (2006), yang mengutip pendapat Gibson,dkk (2006), bahwa ada tiga faktor yang mempengaruhi kinerja seseorang, yaitu faktor individu, faktor psikologis dan organisasi, seperti pada gambar 2.1. Variabel Individu Kemampuan dan Keterampilan a. Mental b. Fisik 2. Latar Belakang a. Keluarga b. Tingkat Sosial c. pengalaman 3. Demografis a. Umur b. Asal usul (etnis) c. Jenis Kelamin
Perilaku Individu
1.
(apa yang dikerjakan)
Psikologis 1. 2. 3. 4. 5.
Persepsi Sikap Kepribadian Belajar Motivasi
Variabel Organisasi 1. 2. 3. 4. 5.
Sumber daya Kepemimpinan Imbalan Struktur Desain Pekerjaan
Gambar 2.1. Model Teori Kinerja Sumber: Gibson J.L, dkk (2006) Secara garis besar dapat dideskripsikan dari konsep model kinerja menurut Gibson,dkk (2006), dapat dijabarkan sebagai berikut:
1. Faktor individu terdiri dari kemampuan dan ketrampilan, latar belakang dan demografis. Variabel kemampuan dan ketrampilan merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku dan kinerja individu, variabel demografis mempunyai efek tidak langsung pada perilaku dan kinerja individu. 2. Faktor Psikologis terdiri dari persepsi, sikap, kepribadian dan motivasi. Variabel ini banyak dipengaruhi oleh keluarga, tingkat sosial, pengalaman kerja sebelumnya dan variabel demografis. Variabel seperti persepsi, sikap, kepribadian dan belajar merupakan hal yang kompleks yang sulit untuk diukur. 3. Faktor organisasi berefek tidak langsung terhadap perilaku dan kinerja individu terdiri dari sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur dan desain pekerjaan. Indikator
kinerja
adalah
ukuran
kuantitatif
dan
kualitatif
yang
menggambarkan tingkat pencapaian suatu kegiatan yang telah ditetapkan dengan dikategorikan dalam beberapa kelompok antara lain : a. Masukan (input) adalah sesuatu yang dibutuhkan agar pelaksanaan kegiatan dan program dapat berjalan atau dalam rangka menghasilkan output, misalnya sumber daya manusia, dana, material, waktu, dan lain sebagainya. b. Keluaran (output) adalah sesuatu berupa produk atau jasa (fisik dan atau non fisik) sebagai hasil langsung dari pelaksanaan suatu kegiatan dari program berdasarkan masukan yang digunakan. c. Hasil (outcome) adalah segala sesuatu yang mencerminkan berfungsinya keluaran kegiatan pada jangka menengah. Outcomes merupakan ukuran
seberapa jauh setiap oleh masyarakat produk atau jasa dapat memenuhi kebutuhan dan harapan masyarakat. d. Manfaat (benefits) adalah kegunaan suatu keluaran (outputs) yang dirasakan langsung oleh masyarakat,dapat berupa tersedianya fasilitas yang dapat diakses oleh publik. e. Dampak (impacts) adalah ukuran tingkat pengaruh sosial ekonomi, lingkungan atau kepentingan umum lainnya yang dimulai oleh pencapaian kinerja setiap indikator dalam suatu kegiatan. Indikator – indikator tersebut secara langsung atau tidak langsung dapat mengidentifikasikan sejauh mana keberhasilan pencapaian sasaran. Penetapan indikator harus didasarkan pada perkiraan yang nyata dengan memperhatikan tujuan dan sasaran yang ditetapkan serta data dana pendukung yang harus diorganisasi. Indikator kinerja yang dimaksud hendaknya : (1) Spesifik dan jelas. (2) Dapat diukur secara objektif. (3) Relevan dengan tujuan dan sasaran yang ingin dicapai, dan (4) Tidak bias.
2.2. Pelatihan 2.2.1. Definisi Menurut Dessler (2004), pelatihan adalah proses mengajar karyawan baru atau yang ada sekarang, keterampilan dasar yang mereka butuhkan untuk menjalankan pekerjaan mereka. Pelatihan bertujuan untuk membekali, meningkatkan,
dan
mengembangkan
kompetensi
kerja
guna
meningkatkan
kemampuan,
produktivitas dan kesejahteraan (Simamora, 2006). Istilah pelatihan (training) dan pengembangan (development) dikemukanan oleh Dale Yoder dan Edwin B. Flippo (Mangkunegara, 2005), bahwa pelatihan untuk pegawai pelaksana dan pengawas, sedangkan istilah pengembangan ditujukan untuk pegawai tingkat manajemen. Pelatihan merupakan serangkaian aktivitas yang dirancang untuk meningkatkan keahlian-keahlian, pengetahuan, pengalaman, ataupun perubahan sikap seseorang. Pelatihan dimaksudkan untuk memperbaiki penguasaan berbagai keterampilan dan teknik pelaksanaan kerja tertentu, terinci dan rutin. 2.2.2. Tahapan Pelatihan Menurut Gomes (1995), dalam pelaksanaan program pelatihan terdapat tiga tahap yang harus dilakukan, tahap tersebut yaitu : 1. Penentuan Kebutuhan Pelatihan Penentuan kebutuhan pelatihan adalah tahapan yang cukup sulit untuk menilai kebutuhan-kebutuhan pelatihan bagi para pekerja yang ada daripada mengorientasi para pegawai baru. Tujuan dari penentuan kebutuhan pelatihan ini adalah untuk mengumpulkan sebanyak mungkin informasi yang relevan guna mengetahui dan atau menentukan apakah perlu atau tidaknya pelatihan dalam organisasi tersebut. Jika perlu pelatihan maka pengetahuan khusus yang bagaimana, kemampuan-kemampuan seperti apa, kecakapan-kecapakan jenis apa, dan karakteristik-karakteristik lainya yang bagaimana, yang harus diberikan kepada para peserta selama pelatihan tersebut.
Pada tahap ini terdapat tiga macam kebutuhan pelatihan (Gomes, 1995), antara lain: a) General treatment need, yaitu penilaian kebutuhan pelatihan bagi semua pegawai dalam suatu klasifikasi pekerjaan tanpa memperlihatkan data mengenai kinerja dari seorang pegawai tertentu. b) Observable performance disrepancies, yaitu jenis penilaian kebutuhan pelatihan yang didasarkan pada hasil pengamatan terhadap berbagai permasalahan, wawancara, daftar pertanyaan, dan evaluasi atau penilaian kinerja, dan dengan cara meminta para pekerja untuk mengawasi (to keep track) sendiri hasil kerjanya sendiri. c) Future human resources needs, yaitu jenis keperluan pelatihan ini tidak berkaitan dengan ketidaksesuaian kinerja, tetapi berkaitan dengan keperluan sumber daya manusia untuk waktu yang akan datang. 2. Desain Program Pelatihan Ketepatan metode pelatihan tergantung pada tujuan yang hendak dicapai identifikasi mengenai apa yang diinginkan agar para pekerja mengetahui dan melakukan. Terdapat dua jenis sasaran pelatihan, yakni (a) Knowledgecentered objectives, dan (b) perfromance-centered objectives. Pada jenis pertama, biasanya berkaitan dengan pertambahan pengetahuan, atau perubahan sikap. 3. Evaluasi Program Pelatihan Tujuan dari tahap ini adalah untuk menguji apakah pelatihan tersebut efektif dalam mencapai sasaran-sasaran yang telah ditetapkan. Suatu program pelatihan
dikatakan berhasil apabila trainee mampu mengikuti pelatihan dengan baik dan dapat menerapkan keahlian barunya dalam tugas-tugasnya sehingga terjadi peningkatan kinerja, baik kinerja individu maupun kinerja organisasi (Alwi, 2001). Maka program pelatihan yang efektif adalah program pelatihan yang membawa hasil positif sehingga mampu meningkatkan kinerja, baik itu kinerja individu maupun kinerja organisasi. Menurut Rae (2005), evaluasi program pelatihan adalah pendekatan penilaian yang memperhatikan kelengkapan proses pelatihan atau pembelajaran dan terutama lebih ditekankan pada pengukuran pengaruh dan dampak dari pelatihan atau pembelajaran terhadap praktik individu pada pekerjaan dan tugas mereka-“para staf lini bawah”. Evaluasi terhadap program pelatihan sangat penting untuk memperoleh umpan balik bagi program pelatihan serupa atau pelatihan lanjutan. Program pelatihan harus mempersiapkan karyawan untuk dapat mengelola keahlian baru dan perilaku mereka dalam tugas (Alwi, 2001). 2.2.3. Jenis Pelatihan Menurut Robbins (2005), Pelatihan terdiri dari dua jenis pelatihan, yaitu : 1. Jenis pelatihan umum meliputi: keterampilan komunikasi, program dan aplikasi sistem komputer, layanan pelanggan, pengembangan eksekutif, pengembangan dan keterampilan manajerial, pengembangan diri, penjualan, keterampilan supervisi, dan pengetahuan dan keterampilan teknologi. 2. Jenis pelatihan khusus meliputi: keterampilan pekerjaan atau hidup dasar, kreativitas, pendidikan konsumen, tata kelola, kepemimpinan, wawasan produk, kemampuan presentasi atau berbicara di depan publik, keamanan,
etika, pelecehan seksual, kemampuan membangun tim, kesehatan, dan sebagainya. 2.3.Gaya Kepemimpinan Kepemimpinan telah ada sejak dimulainya sejarah manusia, yaitu sejak manusia menyadari pentingnya hidup berkelompok untuk mencapai tujuan bersama. Mereka membutuhkan seseorang atau beberapa orang yang mempunyai kelebihankelebihan daripada yang lain, terlepas dalam bentuk apa kelompok manusia tersebut dibentuk. Hal ini tidak dapat dipungkiri karena manusia selalu mempunyai keterbatasan dan kelebihan-kelebihan tertentu (Darwito, 2008). Menurut Siagian (1999), merumuskan kepemimpinan sebagai suatu kegiatan untuk mempengaruhi perilaku orang-orang agar bekerja bersama-sama menuju suatu tujuan tertentu yang mereka inginkan bersama. Dengan kata lain, kepemimpinan adalah kemampuan mempengaruhi kelompok untuk mencapai tujuan kelompok tersebut. Dari berbagai pendapat yang dirumuskan para ahli diatas dapat diketahui bahwa konsepsi kepemimpinan itu sendiri hampir sebanyak dengan jumlah orang yang ingin mendefinisikannya, sehingga hal itu lebih merupakan konsep berdasarkan pengalaman. Hampir sebagian besar pendefinisian kepemimpinan memiliki titik kesamaan kata kunci yakni “suatu proses mempengaruhi”. Akan tetapi kita menemukan bahwa konseptualisasi kepemimpinan dalam banyak hal berbeda. Perbedaan dalam hal “siapa yang mempergunakan pengaruh, tujuan dari upaya mempengaruhi, cara-cara menggunakan pengaruh tersebut” (Darwito, 2008).
Menurut W.A. Gerungan (2009), bahwa setiap pemimpin sekurang-kurangnya memiliki tiga syarat, yakni : 1. Memiliki Persepsi Sosial (Social Perception) Persepsi sosial ialah kecakapan untuk cepat melihat dan memahami perasaan, sikap, dan kebutuhan anggota kelompok. 2. Kemampuan Berpikir Abstrak (Ability in Abstract Thinking) Kemampuan berabstraksi dibutuhkan oleh seorang pemimpin untuk dapat menafsirkan kecenderungan-kecenderungan kegiatan, baik di dalam maupun di luar kelompok, dalam kaitannya dengan tujuan kelompok. Kemampuan tersebut memerlukan taraf intelegensia yang tinggi pada seorang pemimpin. 3. Keseimbangan Emosional (Emotional Stability) Pada diri seorang pemimpin harus terdapat kematangan emosional yang berdasarkan kesadaran yang mendalam akan kebutuhan, keinginan, cita-cita dan suasana hati, serta pengintegrasian kesemua hal tersebut ke dalam suatu kepribadian yang harmonis sehingga seorang pemimpin dapat turut merasakan keinginan dan cita-cita anggota kelompoknya. Kepemimpinan tergantung kepada banyak faktor dan tiap-tiap pimpinan senantiasa dapat memperbaiki dan mempertinggi kemampuannya dalam bidang kepemimpinannya dengan jalan mengimitasi cara-cara yang ditempuh oleh pemimpin yang berhasil dalam tugas-tugas mereka atau mempelajari dan menerapkan prinsipprinsip yang mendasari kepemimpinan yang baik.
Locke,et.al (1997), mendefinisikan kepemimpinan dalam bentuk lebih sederhana. Kepemimpinan sebagai proses untuk mengajak orang lain untuk berperilaku demi mencapai tujuan bersama. Ada dua hal yang perlu diperhatikan hal yang pertama, bahwa kepemimpinan adalah suatu konsep relasional. Kepemimpinan terbentuk karena ada relasi atau hubungan dengan orang lain, yang disebut pengikut. Secara implisit, bahwa pemimpin yang efektif harus mengetahui bagaimana cara memberikan inspirasi dan membentuk relasi dengan para pengikutnya. Hal kedua yang perlu diperhatikan ialah kepemimpinan merupakan suatu proses dalam memimpin, pemimpin harus melakukan suatu tindakan. 2.3.1. Gaya Kepemimpinan dalam Keperawatan Gaya kepemimpinan dalam keperawatan merupakan ketrampilan seseorang pemimpin yaitu kepala perawat dalam mempengaruhi perawat-perawat lain yang berada di bawah pengawasannya dalam pembagian tugas dan tanggung jawab dalam memberikan pelayanan asuhan keperawatan sehingga tujuan keperawatan tercapai. Setiap perawat mempunyai potensi yang berbeda dalam kepemimpinan, namun ketrampilan ini dapat dipelajari sehingga selalu dapat diterapkan dan ditingkatkan. Kepemimpinan keperawatan mempunyai tanggung jawab yang besar terhadap pasien meskipun mereka kelihatannya jauh dari pasien. Para pemimpin keperawatan melakukan kontak dengan pasien baik secara langsung maupun tidak langsung. Menurut Stomer (1985), sebaiknya seorang pemimpin keperawatan atau manager keperawatan mendorong bawahannya untuk melaksanakan melalui : 1. Membuat kebijakasanaan yang jelas dan mendorong perilaku etikal
2. Tanggung jawab kepemimpinan 3. Menyebarluaskan kode etik melalui teknik yang aktif 4. Mendorong perawat-perawat untuk menambah pengetahuannya melalui kursus-kursus, pelatihan atau pendidikan keperawatan berkelanjutan. Menurut Millo (Elaine, 1998), perawat mempunyai kapasitas kekuatan untuk mempengaruhi kebijakan masyarakat dan menganjurkan untuk mempersiapkan langkah-langkah berikut : (1) Mengatur. (2) Melakukan pekerjaan, belajar mengerti proses politik, kelompok-kelompok penting, masyarakat dan kejadian tertentu. (3) Menyusun perbedaan yang bersifat memancing untuk mencocokan target peserta dengan mengajukan pembatalan biaya, dukungan politik, kejujuran dan keadilan. (4) Mendukung dan memperkuat kedudukan pembuat keputusan. (5) Menghimpun kekuatan. (6) Merangsang perdebatan masyarakat. (7) Membuat kedudukan perawat dimedia massa. (8) Memilih suatu strategi utama yang paling efektif. (9) Bertindak pada saat yang tepat. (10) Mempertahankan kegiatan. (11) Memelihara format desentralisasi organisasi. (12) Mendapatkan dan mengembangkan data penelitian yang terbaik untuk menunjang posisi masing-masing. (13) Mempelajari pengalaman. (14) Jangan menyerah tanpa mencoba. Kepala perawat dalam posisi kepemimpinan adalah posisi yang paling berpengaruh dalam suatu organisasi. Menurut Korn (1997), ruang lingkup kegiatan kepemimpinan dalam keperawatan meliputi : (1) Perencanaan dan pengorganisasian. (2) Membuat penugasan dan memberikan pengarahan. (3) Pemberian bimbingan. (4) Mendorong kerjasama dan partisipatif. (5) Kegiatan koordinasi. (6) Mengevaluasi hasil kerja.
Tugas kepemimpinan dalam keperawatan adalah : a. Selalu siap menghadapi setiap perubahan. Seorang pemimpin harus mampu bersifat proaktif dalam setiap perubahan yang terjadi, berperan dalam setiap aspek kehidupan berorganisasi, serta mengkaji setiap kemungkinan untuk mengembangkan sesuatu yang baru serta mampu menanggapi setiap kesempatan sebagai suatu tantangan yang dapat menghasilkan hasil yang baik. b. Mengatasi konflik yang terjadi sebagai dampak dari kegiatan, kebijakan, ataupun hubungan yag terkait dengan atasan, bawahan atau pasien dan keluarganya. c. Meningkatkan dinamika kelompok diantara bawahan sebagai upaya pemimpin untuk memotivasi bawahan. d. Meningkatkan komunikasi yang baik dengan dengan atasan, bawahan, rekan sejawat dan konsumen lainnya. Keterbukaan dalam berkomunikasi akan dapat memperlancar proses pelaksanaan kegiatan sehingga akan mempermudah pencapaian tujuan. e. Melatih kekuasaan dan kewenangan yang dimiliki dengan menerapkan berbagai cara untuk membuktikan bahwa kekuaaan dan kewenangan itu masih dapat dihargai oleh bawahan. f. Menggunakan aspek politik untuk mempengaruhi orang lain, dalam rangka memperlancar pencapaian tujuan.
g. Menatalaksanakan waktu dengan baik. Pelaksanaan waktu yang baik mencerminkan pemanfaatan sumber-sumber yang tersedia digunakan dengan baik pula sehingga produktivitas kerja menjadi meningkat.
2.4. Disiplin Kerja Secara etimologis disiplin berasal dari bahasa inggris “diciple” yang berarti pengikut atau penganut pengajaran, latihan dan sebagainya. Terdapat beberapa pendapat mengenai disiplin kerja yang dikemukakan oleh para ahli. Disiplin kerja didefinisikan berdasarkan beberapa kategori diantaranya berdasarkan karyawan atau pegawai dan berdasarkan manajemen. Berikut adalah pendapat para ahli mengenai disiplin kerja, Disiplin kerja dapat diartikan sebagai berikut: “Kesadaran dan kesediaan seseorang menaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku”. Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Pengertian disiplin seperti yang dikemukakan oleh Hodges dalam Helmi (1996), mengatakan bahwa disiplin dapat diartikan sebagai sikap seseorang atau kelompok yag berniat untuk mengikuti aturan-aturan yang telah ditetapkan. Bila dikaitkan dengan pekerjaan, pengertian disiplin kerja adalah suatu sikap dan tingkah laku yang menunjukkan ketaatan karyawan terhadap peraturan organisasi.
Disiplin kerja merupakan salah satu faktor penting dalam peningkatan produktivitas. Bagaimana tingginya tingkat pendidikan dan kemampuan seorang pegawai, besarnya motivasi yang diberikan pimpinan, maupun besarnya kompensasi yang diberikan tidak banyak berarti apabila karyawan tidak disiplin dalam melaksanakan tugasnya. Oleh karena itu, faktor disiplin ini perlu mendapat perhatian yang besar baik bagi pimpinan maupun karyawan yang bersangkutan. Seperti halnya pemberian motivasi kerja, penanaman disiplin pegawai pada umumnya baik terlihat dari tingginya kesadaran pegawai dalam melaksanakan tugastugas organisasi, memperhatikan jam kerja, berpakaian seragam, pemakaian peralatan, dan kualitas pekerjaan pegawai cukup memadai. Kedisiplinan dapat diartikan sebagai suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan yang sesuai dengan peraturan tertulis maupun biasa dari suatu perusahaan atau instansi. Dengan demikian setiap perusahaan menetapkan atau merumuskan suatu aturan yang diberlakukan untuk menjamin terlaksananya mekanisme kerja instansi tersebut, untuk menciptakan prosedur kerja yag teratur sehingga mencapai tujuan organisasi dengan baik. Menurut Helmi (1996), disiplin kerja merupakan suatu sikap dan perilaku yang berniat untuk menaati segala peraturan organisasi yang didasarkan atas kesadaran diri untuk menyesuaikan dengan peraturan organisasi. Berdasarkan hal tersebut maka dapat ditarik indikator-indikator dari sikap disiplin yaitu : a.
Disiplin kerja tidak semata-mata patuh dan taat terhadap penggunaan jam kerja saja, tidak mangkir, tidak curi-curi waktu.
b.
Upaya dalam menaati peraturan tidak didasarkan adanya perasaan takut atau terpaksa.
c.
Komitmen dan loyal pada organisasi yang tercermin dari sikap saat bekerja. Dalam menegakkan disiplin bukanlah ancaman atau kekerasan yang
diutamakan, yang diperlukan adalah ketegasan. Ketegasan dan keteguhan di dalam melaksanakan peraturan merupakan modal utama dan syarat mutlak untuk mewujudkan disiplin kerja. Pada dasarnya disiplin kerja bertujuan untuk menciptakan suatu kondisi yang teratur, tertib dan pelaksanaan pekerjaan dapat terlaksana sesuai dengan rencana sebelumnya. Disiplin memiliki fungsi yang sangat berarti dalam organisasi diantaranya (Tu’u 2004), adalah: a. Menata kehidupan bersama bahwa kedisiplinan berguna untuk menyadarkan setiap orang perlu menghargai orang lain dengan cara menaati dan mematuhi peraturan yang berlaku, sehingga tidak akan merugikan pihak lain dan hubungan dengan sesama menjadi baik dan lancar. b. Membangun kepribadian pertumbuhan kepribadian seseorang biasanya dipengaruhi oleh faktor lingkungan. c. Disiplin yang diterapkan di masing-masing lingkungan tersebut memberi dampak bagi pertumbuhan kepribadian yang baik. Oleh karena itu, dengan disiplin seseorang akan terbiasa mengikuti, mematuhi aturan yang berlaku dan kebiasaan itu lama kelamaan masuk ke dalam dirinya serta berperan dalam membangun kepribadian yang baik.
Tindak lanjut dari hal-hal tersebut diatas para tenaga kerja mampu memperoleh tingkat produktivitas kerja yang tinggi sesuai dengan harapan dari perusahaan, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Gray Dessler (2004), juga memberikan pendapat bahwa tujuan disiplin ialah untuk mendorong karyawan berperilaku hati-hati dalam pekerjaan (berhati-hati didefinisikan sesuai peraturan dan perundang-undangan). Dengan perilaku penuh kehati-hatian tersebut karyawan memiliki tanggung jawab yang besar terhadap pekerjaan yang telah dilimpahkan kepadanya. Berdasarkan pendapat-pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa tujuan pembentukan disiplin kerja pada penelitian ini adalah : a.
Memastikan bahwa perilaku karyawan konsisten dengan aturan-aturan perusahaan.
b.
Menciptakan atau mempertahankan rasa hormat dan saling percaya diantara penyedia dan bawahan-bawahan.
c.
Pegawai mampu atau mempertahankan rasa hormat yang tinggi sesuai dengan harapan organisasi, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.
d.
Menciptakan lingkungan yang kondusif untuk menjaga kelangsungan hidup organisasi.
e.
Memelihara kelancaran kegiatan-kegiatan organisasi agar berjalan secara efektif dan efisien.
f.
Mewujubkan tujuan organisasi berdasarkan rencana yang telah disepakati.
2.5. Pelayanan Keperawatan di Rumah Sakit 2.5.1. Pengertian Keperawatan Menurut Undang–undang keperawatan Nomor 38 tahun 2014 keperawatan adalah kegiatan pemberian asuhan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik dalam keadaan sakit maupun sehat. Perawat atau “nurse” berasal dari kata “nutrix” yang berarti merawat atau memelihara. Pelayanan keperawatan adalah Pelayanan keperawatan adalah suatu bentuk pelayanan profesional yang merupakan bagian integral dari pelayanan kesehatan yang didasarkan pada ilmu dan kiat keperawatan ditujukan kepada individu, keluarga, kelompok, atau masyarakat, baik sehat maupun sakit. Keperawatan merupakan profesi, dimana kedepan perlu semakin tertib, menurut Word Medical Association (1991),
yaitu semakin tertibnya pekerjaan
profesi yang apabila semakin terus dipertahankan pada gilirannya akan berperan besar dalam turut meningkatkan kulitas hidup serta derajat kesehatan masyarakat secara menyeluruh. Keperawatan dalam menjalankan pelayanan sebagai pelayanan keperawatan secara sederhana dapat diartikan sebagai suatu upaya untuk membantu orang sakit maupun yang sehat dalam bentuk peningkatan pengetahuan, kemampuan yang dimiliki sehingga seseorang dapat melakukan kegiatan sehari-hari secara mandiri tanpa memerlukan bantuan atau tergantung orang lain (Nursalam, 2007). Perawat atau “nurse” berasal dari bahasa latin yaitu kata “nutrix” yang berarti merawat atau memelihara. Menurut Kusnanto (2003), perawat adalah seseorang
profesional yang mempunyai kemampuan, tanggung jawab dan kewenangan melaksanakan pelayanan atau asuhan keperawatan pada berbagai jenjang pelayanan keperawatan. Perawat atau “nurse” berasal dari bahasa latin yaitu kata “nutrix” yang berarti merawat atau memelihara. Sedangkan perawat menurut Wardhono (1998), adalah orang yang telah menyelesaikan pendidikan professional keperawatan, dan diberi kewenangan untuk melaksanakan peran serta fungsinya. Perawat atau “nurse” berasal dari bahasa latin yaitu kata “nutrix” yang berarti merawat atau memelihara. Menurut Harlley & Timmons (2010), menjelaskan pengertian dasar seorang perawat yaitu seseorang yang berperan dalam merawat atau memelihara, membantu dan melindungi seseorang karena sakit, injuri, dan proses penuaan. Perawat profesional adalah perawat yang bertanggung jawab dan berwenang memberikan pelayanan keperawatan secara mandiri dan atau berkolaborasi dengan tenaga kesehatan lainnya sesuai dengan kewenangannya (Depkes RI, 2002). Perhatian perawat profesional dalam pelayanan keperawatan adalah pada pemenuhan kebutuhan dasar manusia. Profil perawat profesional adalah gambaran dan penampilan menyeluruh dimana dalam melakukan aktifitas keperawatan sesuai dengan kode etik keperawatan, dimana aktifitas keperawatan meliputi peran dan fungsi pemberi asuhan keperawatan, praktek keperawatan, pengelolaan institusi keperawatan, pendidikan dalam keperawatan. Fungsi perawat didalam melakukan pengkajian pada individu yang sehat maupun sakit dimana segala aktifitas yang dilakukan dengan berbagai cara untuk mengendalikan kepribadian pasien secepat mungkin dalam bentuk proses
keperawatan
yang
terdiri
dari
pengkajian,
identifikasi
masalah
(diagnosa
keperawatan), perencanaan, implementasi dan evaluasi. 2.5.2. Penerapan Proses Keperawatan Proses keperawatan adalah sesuatu yang disengaja, dengan pendekatan pemecahan masalah untuk menemukan kebutuhan keperawatan pasien dalam pelayanan
kesehatan.
Meliputi
pengkajian
(pengumpulan
data),
diagnosa
keperawatan, perencanaan, implementasi dan evaluasi, serta menggunakan modifikasi mekanisme umpan balik untuk meningkatkan upaya pemecahan masalah (Nursalam, 2007). Clark (1992), mendefinisikan proses keperawatan sebagai suatu metode atau proses berpikir
yang terorganisir untuk membuat suatu keputusan klinis dan
pemecahan masalah. Keperawatan merupakan metode dimana suatu konsep yang diterapkan dalam praktik keperawatan. Hal ini dapat disebut sebagai suatu pendekatan untuk memecahkan masalah (problem-solving) yang memerlukan ilmu, teknik, dan keterampilan interpersonel yang bertujuan untuk memenuhi kebutuhan klien, keluarga, dan masyarakat. Proses keperawatan terdiri atas lima tahap yang berurutan dan saling berhubungan, yaitu pengkajian, diagnosis, perencanaan, implementasi, dan evaluasi (Nursalam, 2007). 2.5.3. Asuhan Keperawatan Berdasarkan undang-undang rumah sakit asuhan keperawatan merupakan bentuk kegiatan essensial dari pelayanan keperawatan yang berisi tentang kegiatan praktek keperawatan. Asuhan keperawatan dilakukan menurut proses keperawatan,
yaitu tindakan yang berurutan, dilakukan secara sistematis untuk menentukan masalah klien, membuat rencana, melaksanakan dan mengevaluasi keberhasilan dari masalah yang dihadapi oleh pasien. Menurut Carpenito (2006), asuhan keperawatan adalah kegiatan profesional perawat yang dinamis yang membutuhkan kreativitas dan berlaku rentang kehidupan dan keadaan. Adapun tahap dalam melakukan keperawatan adalah pengkajian, diagnosa keperawatan, rencana keperawatan, intervensi atau implementasi dan evaluasi. Proses keperawatan lebih lanjut menurut Allen (1998), adalah suatu metode untuk mengkaji respon manusia terhadap kesehatan dan membuat rencana keperawatan yang bertujuan untuk mengatasi masalah-masalah kesehatan yang berhubungan dengan klien, keluarga, orang terdekat atau masyarakat. Proses keperawatan ada lima langkah, yaitu pengkajian, diagnosa, perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi. Proses keperawatan ini bersifat dinamis, yaitu berubah menurut kebutuhan dan perkembangan pasien, siklus yaitu terus berkesinambungan dan interdependen yaitu setiap tahap dapat dilaksanakan jika tahap sebelumnya sudah dilakukan atau semua tahap proses keperawatan tidak dapat dipisah-pisahkan dan di ubah-ubah urutannya (Sundari, 2001). Pelayanan dan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien merupakan bentuk pelayanan profesional yang bertujuan untuk membantu klien dalam pemulihan dan peningkatan kemampuan dirinya melalui tindakan pemenuhan kebutuhan klien secara komprehensif dan berkesinambungan sampai klien mampu untuk melakukan kegiatan rutinitasnya tanpa bantuan.
Bentuk pelayanan ini seyogyanya diberikan oleh perawat yang memiliki kemampuan serta sikap dan kepribadian yang sesuai dengan tuntutan profesi keperawatan dan untuk itu tenaga keperawatan ini harus dipersiapkan dan ditingkatkan secara teratur, terencana, dan kontinyu. Pelayanan keperawatan yang dilakukan di rumah sakit merupakan sistem pengelolaan asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien agar menjadi berdaya guna dan berhasil guna. Sistem pengelolaan ini akan berhasil apabila seseorang perawat yang memiliki tanggung jawab mengelola tersebut mempunyai pengetahuan tentang manajemen keperawatan dan kemampuan memimpin orang lain di samping pengetahuan dan keterampilan klinis juga harus dikuasai perawat. Pelayanan keperawatan di ruang rawat terdiri dari serangkaian kegiatan yang dikoordinatori dan menjadi tanggung jawab kepala ruang rawat yang berperan sebagai manajer. Pelayanan keperawatan profesional berfokus pada berbagai kegiatan pemenuhan kebutuhan klien melalui intervensi keperawatan yang berlandaskan kiat dan ilmu keperawatan (Hamid, 2001). Para manajer keperawatan senantiasa harus menjamin bahwa pelayanan yang diberikan oleh para pelaksana keperawatan adalah pelayanan yang aman dan mementingkan kenyamanan klien. Selain itu, para manajer perawat seyogyanya menggunakan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi kesehatan atau keperawatan sebagai upaya untuk mewujudkan praktik keperawatan yang berdasarkan pengetahuan dan fakta (knowledge/evidence based nursing practice).
Asuhan keperawatan profesional diberikan kepada klien oleh tenaga keperawatan yang memiliki kewenangan dan kompetensi yang telah ditetapkan oleh profesi. Asuhan keperawatan ini seyogyanya berlandaskan ilmu pengetahuan, prinsip dan teori keperawatan serta keterampilan dan sikap sesuai dengan kompetensi dan kewenangan yang diemban kepada perawat tersebut. Asuhan keperawatan yang bermutu merupakan asuhan manusiawi yang diberikan kepada klien, memenuhi standar dan kriteria profesi keperawatan, sesuai dengan standar biaya dan kualitas yang diharapkan rumah sakit serta mampu mencapai tingkat kepuasan dan memenuhi harapan klien. Kualitas asuhan keperawatan sangat ditentukan oleh berbagai faktor antara lain: kondisi klien, pelayanan keperawatan termasuk tenaga keperawatan di dalamnya, sistem manajerial dan kemampuan rumah sakit dalam melengkapi sarana prasarana, serta harapan masyarakat terhadap pelayanan kesehatan atau keperawatan yang diberikan di rumah sakit tersebut. Asuhan keperawatan yang bermutu dan dapat dicapai jika pelaksanaan asuhan keperawatan dipersepsikan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh para perawat dalam memperlihatkan sebagai suatu kehormatan yang dimiliki oleh perawat dalam memperlihatkan haknya untuk memberikan asuhan yang manusiawi, aman, serta sesuai dengan standar dan etika profesi keperawatan yang berkesinambungan dan terdiri dari kegiatan pengkajian, perencanaan, implementasi rencana, dan evaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan.
Melaksanakan asuhan keperawatan dengan baik seorang perawat perlu memiliki kemampuan untuk : (1) Berhubungan dengan klien dan keluarga, serta berkomunikasi dengan anggota tim kesehatan lain. (2) Mengkaji kondisi kesehatan klien baik melalui wawancara, pemeriksaan fisik maupun menginterpretasikan hasil pemeriksaan penunjang. (3) Menetapkan diagnosis keperawatan dan memberikan tindakan yang dibutuhkan klien. (4) Mengevaluasi tindakan keperawatan yang telah diberikan serta menyesuaikan kembali perencanaan yang telah dibuat. Disamping itu, asuhan keperawatan bermutu dapat dilaksanakan melalui pendekatan metodologis keperawatan. Pendekatan ini dapat berupa pendekatan keperawatan tim, modular, kasus, atau keperawatan primer. Penetapan pendekatan ini sangat dipengaruhi oleh visi, misi, dan tujuan rumah sakit dan ruang rawat, ketersediaan tenaga keperawatan baik jumlah maupun kualifikasi, fasilitas fisik ruangan, tingkat ketergantungan dan mobilitas klien, tersedianya prosedur dan standar keperawatan, sifat ruangan dan jenis pelayanan keperawatan yang diberikan (Lauga,dkk, 2009). Mewujudkan asuhan keperawatan bermutu diperlukan beberapa komponen yang harus dilaksanakan oleh tim keperawatan yaitu (1) Terlihat sikap caring ketika harus memberikan asuhan keperawatan kepada klien. (2) Adanya hubungan perawat dan klien yang terapeutik. (3) Kolaborasi dengan anggota tim kesehatan lain, dan (4) Kemampuan dalam memenuhi kebutuhan klien, serta (5) kegiatan jaminan mutu (quality assurance).
Dengan demikian, upaya pimpinan rumah sakit dan manajerial keperawatan seyogyanya difokuskan pada kelima komponen kegiatan tersebut yang akan diuraikan berikut ini (Lauga,dkk, 2009). a. Sikap “caring” perawat Asuhan keperawatan bermutu yang diberikan oleh perawat dapat dicapai apabila perawat dapat memperlihatkan sikap “caring” kepada klien. Dalam memberikan asuhan, perawat menggunakan keahlian, kata-kata yang lemah lembut, sentuhan, memberikan harapan, selalu berada disamping klien, dan bersikap “caring” sebagai media pemberi asuhan. Para perawat dapat diminta untuk merawat, namun mereka tidak dapat diperintah untuk memberikan asuhan dengan menggunakan spirit “caring”. Spirit “caring” seyogyanya harus tumbuh dari dalam diri perawat dan berasal dari hati perawat yang terdalam. Spirit “caring” bukan hanya memperlihatkan apa yang dikerjakan perawat yang bersifat tindakan fisik, tetapi juga mencerminkan siapa dia. Oleh karenanya, setiap perawat dapat memperlihatkan cara yang berbeda ketika memberikan asuhan kepada klien. “Caring” merupakan pengetahuan kemanusiaan, inti dari praktik keperawatan yang bersifat etik dan filosofikal. “Caring” bukan semata-mata perilaku. “Caring” adalah cara yang memiliki makna dan memotivasi tindakan Sikap ini diberikan melalui kejujuran, kepercayaan, dan niat baik. Perilaku “caring” menolong klien meningkatkan perubahan positif dalam aspek fisik, psikologis, spiritual, dan sosial. Diyakini, bersikap “caring” untuk klien dan bekerja bersama dengan klien dari berbagai lingkungan merupakan esensi keperawatan.
Watson (2004), menekankan dalam sikap”caring” ini harus tercermin sepuluh faktor kuratif yaitu: 1) Pembentukan sistem nilai humanistic dan altruistik. Perawat menumbuhkan rasa puas karena mampu memberikan sesuatu kepada klien. Selain itu, perawat juga memperlihatkan kemampuan diri dengan memberikan pendidikan kesehatan pada klien. 2)
Memberikan kepercayaan dan harapan dengan cara memfasilitasi dan meningkatkan asuhan keperawatan yang holistik. Di samping itu, perawat meningkatkan perilaku klien dalam mencari pertolongan kesehatan.
3)
Menumbuhkan sensitif terhadap diri dan orang lain. Perawat belajar menghargai kesensitifan dan perasaan kepada klien, sehingga ia sendiri dapat menjadi lebih sensitif, murni, dan bersikap wajar pada orang lain.
4)
Mengembangan hubungan saling percaya. Perawat memberikan informasi dengan jujur, dan memperlihatkan sikap empati yaitu turut merasakan apa yang dialami klien.
5)
Meningkatkan dan menerima ekspresi perasaan positif dan negatif klien. Perawat memberikan waktunya dengan mendengarkan semua keluhan dan perasaan klien.
6)
Penggunaan
sistematis
metoda
penyelesaian
masalah
untuk
pengambilan keputusan. Perawat menggunakan metoda proses keperawatan sebagai pola pikir dan pendekatan asuhan kepada klien.
7)
Peningkatan pembelajaran dan pengajaran interpersonal, memberikan asuhan mandiri, menetapkan kebutuhan personal, dan memberikan kesempatan untuk pertumbuhan personal klien.
8)
Menciptakan lingkungan fisik, mental, sosiokultural, dan spritual yang mendukung. Perawat perlu mengenali pengaruhi lingkungan internal dan eksternal klien terhadap kesehatan kondisi penyakit klien.
9)
Memberi bimbingan dalam memuaskan kebutuhan manisiawi. Perawat perlu mengenali kebutuhan komperhensif diri dan klien. Pemenuhan kebutuhan paling dasar perlu dicapai sebelum beralih ke tingkat selanjutnya.
10)
Mengijinkan terjadinya tekanan yang bersifat fenomologis agar pertumbuhan diri dan kematangan jiwa klien dapat dicapai. Kadang-kadang seseorang klien perlu dihadapkan pada pengalaman atau
pemikiran yang bersifat profokatif. Tujuannya adalah agar dapat meningkatkan pemahaman lebih mendalam tentang diri sendiri. Kesepuluh faktor kuratif ini perlu selalui dilakukan oleh perawat agar semua aspek dalam diri klien dapat tertangani sehingga asuhan keperawatan profesional dan bermutu dapat diwujudkan. Selain itu, melalui penerapan faktor kuratif ini perawat juga dapat belajar untuk lebih memahami diri sebelum mamahami orang lain. Keperawatan merupakan suatu proses interpersonal yang terapeutik dan signifikan. Inti dari asuhan keperawatan yang diberikan kepada klien adalah hubungan perawat dan klien yang bersifat profesional dengan penekanan pada bentuknya interaksi aktif antara perawat dan klien.
Benchmarking atau meneliti praktik terbaik (“best practice research”) adalah kegiatan mengkaji kelemahan tertentu instuisi dan kemudian mengidentifikasi instuisi lain yang memiliki keunggulan dalam aspek yang sama. Kegiatan dilanjutkan dengan berkomunikasi,
menetapkan
kesepakatan
kerjasama
untuk
mendukung
dan
meningkatkan kelemahan tersebut. Manajer pelayanan keperawatan di rumah sakit dapat pula bekerjasama dengan rumah sakit lain yang tidak saling berkompetensi untuk meningkatkan satu atau beberapa aspek yang dianggap lemah. Kerjasama ini bersifat konfidensial dan hanya meningkatkan aspek yang dianggap masih lemah. 2.5.4. Tahap-Tahap Proses Keperawatan 1. Pengkajian. Pengkajian adalah pemikiran dasar dari proses keperawatan yang bertujuan untuk mengumpulkan informasi atau data tentang respon klien agar dapat mengidentifikasi dan mengenali masalah atau kebutuhan kesehatan dan keperawatan klien. Area yang termasuk respon klien antara lain kegiatan sehari-hari, emosional, sosio-ekonomi, kultural dan spiritual. 2. Diagnosa Keperawatan. Diagnosa keperawatan adalah struktur dan proses. Struktur diagnosa keperawatan tergantung pada tipenya, antara lain: a) Diagnosa
keperawatan
actual
(Actual
Nursing
Diagnoses).
Diagnosa
keperawatan aktual menyajikan keadaan yang secara klinis telah divalidasi melalui batasan karakteristik mayor yang dapat diidentifikasi. Tipe dari
diagnosa keperawatan ini mempunyai empat komponen yaitu label, definisi, batasan karakteristik, dan faktor-faktor yang berhubungan. b) Diagnosa keperawatan risiko dan risiko tinggi (Risk and High-Risk Nursing Diagnoses), adalah keputusan klinis bahwa individu, keluarga dan masyarakat sangat rentan untuk mengalami masalah, dibanding yang lain pada situasi yang sama. c) Diagnosa keperawatan kemungkinan (Possible Nursing Diagnoses), adalah pernyataan tentang masalah-masalah yang diduga masih memerlukan data tambahan. Namun banyak perawat-perawat telah diperkenalkan untuk menghindari sesuatu yang bersifat sementara dan North American Nursing Diagnosis Association (NANDA) tidak mengeluarkan diagnosa keperawatan untuk jenis ini. d) Diagnosa keperawatan sejahtera (Wellness Nursing Diagnoses),
adalah
ketentuan klinis mengenai individu, keluarga dan masyarakat dalam transisi dari tingkat kesehatan khusus ketingkat kesehatan yang lebih baik. Pernyataan diagnostik untuk diagnosa keperawatan sejahtera merupakan bagian dari pernyataan yang berisikan hanya sebuah label. Label ini dimulai dengan “Potensial terhadap peningkatan….”, diikuti tingkat sejahtera yang lebih tinggi yang dikehendaki oleh individu atau keluarga, misal “Potensial terhadap peningkatan proses keluarga”. e) Diagnosa keperawatan sindrom (Syndrome Nursing Diagnoses), terdiri dari sekelompok diagnosa keperawatan aktual atau risiko tinggi yang diduga akan
tampak karena suatu kejadian atau situasi tertentu. NANDA telah menyetujui dua diagnosa keperawatan sindrom yaitu “Sindrom trauma perkosaan” dan “Risiko terhadap sindrom disuse”. Secara umum diagnosa keperawatan yang lazim dipergunakan oleh perawat di Indonesia adalah diagnosa keperawatan aktual dan diagnosa keperawatan risiko atau risiko tinggi. 3. Perencanaan. Langkah ketiga dari proses keperawatan adalah perencanaan. Menurut Kozier, et. al. (1995), perencanaan adalah sesuatu yang telah dipertimbangkan secara mendalam, tahap yang sistematis dari proses keperawatan meliputi kegiatan pembuatan keputusan dan pemecahan masalah. Dalam perencanaan keperawatan, perawat menetapkannya berdasarkan hasil pengumpulan data dan rumusan diagnosa keperawatan yang merupakan petunjuk dalam membuat tujuan dan asuhan keperawatan untuk mencegah, menurunkan, atau mengeliminasi masalah kesehatan klien. Langkah-langkah dalam membuat perencanaan keperawatan meliputi: penetapan prioritas, penetapan tujuan atau hasil yang diharapkan, menentukan intervensi keperawatan yang tepat dan pengembangan rencana asuhan keperawatan. Setelah diagnosa keperawatan dirumuskan secara spesifik, perawat menggunakan kemampuan berfikir kritis untuk segera menetapkan prioritas diagnosa keperawatan dan intervensi yang penting sesuai dengan kebutuhan klien (Potter & Perry, 2005). Penetapan prioritas bertujuan untuk mengidentifikasi urutan intervensi keperawatan yang sesuai dengan berbagai masalah klien. Penetapan prioritas
dilakukan karena tidak semua masalah dapat diatasi dalam waktu yang bersamaan. Salah satu metode dalam menetapkan prioritas dengan mempergunakan hirarki kebutuhan menurut Maslow. Prioritas dapat diklasifikasi menjadi tiga tingkatan, antara lain high priority, intermediate priority, dan low priority. Dalam menetapkan prioritas perawat juga harus memperhatikan nilai dan kepercayaan klien terhadap kesehatan, prioritas klien, sumber yang tersedia untuk klien dan perawat, pentingnya masalah kesehatan yang dihadapi, dan rencana pengobatan medis (Capernito, 2006). 4. Implementasi. Implementasi keperawatan adalah serangkaian kegiatan yang dilakukan oleh perawat untuk membantu klien dari masalah status kesehatan yang dihadapi ke status kesehatan yang lebih baik yang menggambarkan kriteria hasil yang diharapkan. Ukuran intervensi keperawatan yang diberikan kepada klien terkait dengan dukungan, pengobatan, tindakan untuk memperbaiki kondisi, pendidikan untuk klien dan keluarga, atau tindakan untuk mencegah masalah kesehatan yang muncul dikemudian hari (Potter & Perry, 2005). Untuk kesuksesan pelaksanaan implementasi keperawatan agar sesuai dengan rencana keperawatan, perawat harus mempunyai kemampuan kognitif (intelektual), kemampuan dalam hubungan interpersonal, dan keterampilan dalam melakukan tindakan. Proses pelaksanaan implementasi harus berpusat kepada kebutuhan klien, faktor-faktor lain yang mempengaruhi kebutuhan keperawatan, strategi implementasi keperawatan, dan kegiatan komunikasi (Koizer,et.al, 1995).
Beberapa
pedoman
dalam
pelaksanaan
implementasi
keperawatan
(Koizer,et.al, 1995), adalah sebagai berikut: (a) Berdasarkan respon klien. (b) Harus berdasarkan ilmu pengetahuan, hasil penelitian keperawatan, dan standar pelayanan professional, hukum dan kode etik keperawatan. (c) Berdasarkan penggunaan sumber-sumber yang tersedia. (d) Sesuai dengan tanggung jawab dan tanggung gugat profesi keperawatan. (e) Mengerti dengan jelas pesanan-pesanan yang ada dalam rencana implementasi. (f) Harus dapat menciptakan adaptasi dengan klien sebagai individu. (g) Dapat menjaga rasa aman atau melindungi klien. (h) Memberikan pendidikan, dukungan dan bantuan. (i) Bersifat holistik. (j) Menjaga martabat dan harga diri klien. (k) Mengikutsertakan partisipasi aktif klien dalam implementasi keperawatan. 5. Evaluasi. Meskipun proses keperawatan mempunyai tahap-tahap, namun evaluasi berlangsung terus menerus sepanjang pelaksanaan proses keperawatan. Tahap evaluasi merupakan perbandingan yang sistematik dan terencana tentang kesehatan klien dengan tujuan yang telah ditetapkan, dilakukan berkesinambungan dengan melibatkan klien dan tenaga kesehatan lainnya. Evaluasi dalam keperawatan merupakan kegiatan dalam menilai tindakan keperawatan yang telah ditentukan, untuk mengetahui pemenuhan kebutuhan klien secara optimal dan mengukur hasil dari proses keperawatan. Menurut Craven dan Hirnle (2000), evaluasi didefinisikan sebagai keputusan dari efektifitas asuhan keperawatan antara dasar tujuan keperawatan klien yang telah ditetapkan dengan respon prilaku klien yang tampil.
Perawat menggunakan berbagai kemampuan dalam memutuskan efektif atau tidaknya pelayanan keperawatan yang diberikan. Untuk memutuskan hal tersebut dalam melakukan evaluasi seorang perawat harus mempunyai pengetahuan tentang standar pelayanan, respon klien yang normal, dan konsep model teori keperawatan. 2.5.5. Dokumentasi Keperawatan Dokumentasi keperawatan adalah informasi tertulis tentang status dan perkembangan kondisi kesehatan klien serta semua kegiatan asuhan keperawatan yang dilakukan oleh perawat. Sedangkan Kolin (1990, dalam Nurachmah, 1999), mendefinisikan dokumentasi keperawatan adalah sekumpulan informasi yang mencerminkan bukan hanya identitas klien tetapi juga merupakan data yang menjelaskan pengalaman klien sebagai dampak dari masalah kesehatan yang sedang dialaminya. Tujuan dari dokumentasi keperawatan adalah sebagai alat komunikasi antara sesama perawat dan tim kesehatan lain, pengkajian lanjutan, bahan pendidikan bagi perawat dan mahasiswa keperawatan, sumber data dalam membuat rencana keperawatan, sumber data untuk penelitian, monitoring kualitas mutu, merupakan dokumen legal, sebagai informasi statistik, keperluan pembayaran rekening, dan keperluan akreditasi serta lisensi.
2.6. Landasan Teori Kinerja perawat adalah salah satu bentuk kinerja individu dalam rumah sakit. Konsep teori model kinerja perawat diadopsi dari model kinerja menurut Gibson,dkk(2006), Kinerja adalah penampilan hasil karya personel baik kuantitas
maupun kualitas dalam suatu organisasi. Kinerja dapat merupakan penampilan individu maupun kelompok kerja personel yang menjangkau jabatan fungsional maupun struktural, tetapi juga kepada keseluruhan jajaran personel di dalam organisasi. Determinan kinerja perawat dipengaruhi oleh multi faktor seperti faktor yang bersumber dari individu perawat misalnya umur, pendidikan, latar belakang keluarga, dan kompetensi perawat baik kemampuan dan keterampilan. Selain itu juga dipengaruhi oleh faktor psikologis seperti motivasi, persepsi, sikap dan kepribadian serta faktor organisasi seperti kepemimpinan, imbalan, dan sumber daya yang ada. Indikasi kinerja perawat dapat ditelusuri dari pelayanan asuhan keperawatan yang diberikan, serta pendokumentasian keperawatan. Keseluruhan indikator pelayanan keperawatan diukur kuantitas dan kualitas yang dilakukan oleh perawat sesuai dengan standar prosedur pelayanan keperawatan.
2.7.Kerangka Konsep Penelitian Adapun Kerangka konsep penelitian ini dapat dilihat pada gambar berikut, Variabel Bebas
Variabel Terikat
Pelatihan - Frekuensi Pelatihan - Jenis Pelatihan Gaya Kepemimpinan Keperawatan - Cara berkomunikasi - Pemberian Arahan
Kinerja Perawat Melaksanakan Asuhan Keperawatan
- Pemberian Bimbingan
Disiplin Kerja - Dalam waktu kerja - Menaati Peraturan
Gambar 2.2. Kerangka Konsep Penelitian