BAB I PENDAHULUAN
A. Permasalahan 1. Latar Belakang Masalah Persoalan penahbisan perempuan dalam denominasi gereja yang tergabung dalam Persekutuan Gereja-Gereja di Indonesia (PGI), Dewan Pantekosta, dan beberapa sinode lain bukan sebagai persoalan. Namun, tidak demikian dalam GBI (selanjutnya disebut GBI). Hanya pria saja yang diperbolehkan menjadi gembala seperti yang disyaratkan yaitu memiliki standar moral sesuai ajaran Alkitab (1 Timotius 3:1-7; Titus 1: 6-9; 1 Petrus 5:1-4).1 Dalam Kongres Gabungan Gereja Baptis Indonesia (selanjutnya disebut GGBI) yang diselenggarakan setiap lima tahun sekali dan dihadiri lebih kurang 150 gereja anggota, persoalan penahbisan perempuan untuk menjadi gembala terus menjadi persoalan dalam diskusi-diskusi kelompok doktrin. Para pendeta pria yang sebagian besar alumni sekolah teologi yang berafiliasi pada Konvensi Baptis Selatan (South Baptist Convention/SBC) dan alumni Seminari Teologia Baptis Indonesia (STBI; Sekarang Sekolah Tinggi Teologia Baptis Indonesia [STBI]) yang diajar para misionaris SBC bersikukuh tetap melarang perempuan untuk ditabiskan menjadi gembala di GBI. Bahkan Charles W. Cole menyatakan bahwa azas kepercayaan Baptis yang ditulis dari abad tujuh belas sampai dengan
1
GBI. (Yogyakarta: GBI, 2005). Hal 438.
abad dua puluh mengatakan kepercayaan umat Baptis bahwa jabatan gembala sidang hanya dapat diduduki oleh orang laki-laki yang dipanggil Tuhan dan sidang jemaat setempat2. Semua jabatan apa pun pelayanan sosial seperti, pelayanan orang sakit, cacat, yang terpisah dari masyarakat, penjara, pemuda, pengembangan profesi seperti mengajar, pelayanan media, konseling, dll boleh dilakukan perempuan, kecuali menjadi gembala.3 Persoalan tafsir pelarangan perempuan menjadi gembala pada masa tetentu mempengaruhi paradigma berteologi berkait dengan jabatan gembala perempuan dalam gereja. Pelarangan gembala perempuan dalam GBI kontradiktif dengan pernyataan bahwa orang Baptis juga mengakui bahwa Alkitab terbuka atau bebas untuk diinterpretasi atau ditafsirkan oleh setiap individu orang percaya sebagai keyakinan dasar orang Baptis yang menghargai kebebasan berpendapat. Alkitab terbuka bagi setiap orang percaya selama Roh Kudus membimbing orang itu dan orang percaya bebas terhadap/untuk menginterpretasikan Alkitab4. Pelarangan perempuan menjadi gembala sidang di GBI kontradiktif dengan penahbisan yang dilakukan oleh jemaat Baptis di SBC. Jumlah perempuan di SBC yang ditahbiskan sampai sekarang sekitar seratus dan kebanyakan melayani sebagai chaplains militer.5 Mereka yang mendukung penahbisan kaum perempuan tidak melihat alasan apa pun untuk membatasi bagaimana kaum perempuan boleh melayani di Gereja. Kenyataan di Amerika tersebut juga terjadi
2
Charles W Cole.. Azas Kepercayaan Umat Baptis tentang Perempuan Menjadi Gembala Sidang. (Jakarta: GBI, 1997). Hal 3. 3 Ibid hal 8. 4 Andreas Bambang Subagyo, dkk (Ed), Kepercayan Baptis Indonesia Dirinya dan Kepercayaan Gereja Lain. (Jakarta:GBI, 2005), h. 37. 5 Subagyo, dkk. (Ed). op. cit., h. 68.
2
di kalangan umat Baptis Indonesia yang tergabung di GGBI, bahwa tidak ada alasan untuk menolak untuk menahbisan perempuan menjadi gembala, namun selalu kandas. Berdasarkan kenyataan di atas, dari perspektif teologis, sosial, dan pragmatis perlu dilakukan penelitian untuk mengubah paradigma pelarangan perempuan untuk menjadi gembala sidang di GBI. Hal ini disebabkan diskriminasi gender telah terjadi di GBI. Hanya karena perempuan, walaupun dia terpanggil menjadi gembala, dia tidak dapat ditahbiskan menjadi gembala. Dari kongres ke kongres GGBI muncul aspirasi untuk menahbiskan gembala perempuan namun selalu terganjal oleh keputusan melarang peempuan untuk menjadi gembala. Padahal makin banyak sumber daya manusia (SDM) perempuan makin berkualitas untuk menjadi gembala. Fokus penelitian ini adalah pelarangan penahbisan perempuan untuk menjadi gembala sidang di GBI, yang akan ditelaah melalui studi historis dan teologis.
2. Rumusan Masalah Permasalahan dalam tesis ini dirumuskan dalam pertanyaan sebagai berikut: Bagaimana GBI melarang perempuan untuk ditahbiskan menjadi gembala? Yang kemudian diperinci dengan pertanyaan-pertanyaan sebagai berikut: 1. Apakah penyebab GBI melarang perempuan untuk menjadi gembala sidang?
3
2. Apakah ada latar belakang teologis, sosial, dan pragmatis pelarangan perempuan untuk menjadi gembala dan pengaruhnya pada perkembangan gereja?
B. Judul 1. Rumusan Judul Berkaitan dengan pelarangan perempuan untuk menduduki jabatan gembala sidang di GBI, maka penulisan tesis diberi judul berikut ini:
PEREMPUAN GEMBALA DALAM GEREJA BAPTIS Studi Historis dan Teologis Mengenai Pelarangan Perempuan untuk Menjadi Gembala Sidang di Gereja Baptis Indonesia
Studi historis yang dimaksudkan dalam penelitian ini berkaitan dengan rekonstruksi historis mengenai sejarah perjalanan orang Baptis mula-mula sampai mereka menginjakkan kaki untuk melakukan misi di Indonesia tahun 1950-an dan sampai saat ini masih melarang perempuan untuk menduduki jabatan gembala sidang. Sedangkan studi teologis berhubungan dengan penafsiran pelarangan perempuan menjadi gembala sidang di kalangan jemaat GBI. GBI dijadikan sebagai subjek penelitian karena latar belakang pendetanya (ada yang alumni STBI dan sekolah lain) yang sebagian besar dari mereka adalah produk didikan misi Konvensi Baptis Selatan (SBC). Selain itu, menurut
4
pengamatan peneliti, GBI sedang mencari bentuk Gereja Baptis yang berkonteks budaya Indonesia. Batasan waktu penelitian ini dibatasi antara tahun 1960-an sampai 2007, batasan ini dipilih pada saat misi Konvensi Baptis Selatan masih memiliki pengaruh kuat dalam penginjilan dan pemisahan GBI dari kegiatan misi SBC tahun 1972 dan perkembangannya sampai saat ini. Sejak 1972 sampai saat ini GBI mengikatkan diri dalam GGBI yang berasaskan keluarga besar yang aktivitas bergerejanya terlepas dari kegiatan misi Baptis Amerika.
2. Alasan Pemilihan Judul Studi tentang gereja baptis ini dipilih karena studi mengenai sejarah Gereja Baptis di Indonesia masih terbatas dan pada umumnya hanya dilakukan secara konvensional yang hanya bersifat deskriptif dan sangat terbatas.6 Kalaupun ada tulisan (bukan hasil penelitian) tentang gereja baptis di Indonesia lebih banyak yang besifat dogmatis dan apologetis. Tulisan semacam ini dapat dijumpai dalam tulisan Catur Nugroho dan Victor Rembeth, dkk7, Bambang Subagyo. Bahkan tulisan mengenai sejarah Gereja Baptis di Indonesia sepengetahuan penulis belum pernah ada. Kalaupun ada buku sejarah Gereja Baptis seperti yang ditulis oleh Andreas Bambang Subagyo8, cara pandang yang digunakan untuk menulis buku
6
Jan S. Aritonang. Berbagai Aliran di Dalam dan di Sekitar Gereja (Jakarta:BPK GM, 2000). Walaupun penulis adalah pakar sejarah gereja, Aritonang sudah menulis sejarah gereja dalam perspektif historis. Tulisannya tidak bersifat dogmatis dan apologetis. Namun, hanya saja kurang cukup komprehensif mengungkap sejarah gereja baptis. 7 Catur Nugroho dan Victor Rembeth, Menjadi GBI (Bandung: LLB, 2001). Buku ini merupakan kumpulan karangan yang ditulis oleh Alumni 8 Andreas Bambang Subagyo, dkk (Ed), op. cit. Walaupun penulis menyinggung keberadaan Gereja Baptis dan Gereja Lainnya, namun lebih bersifat dogmatis.
5
tersebut bernuansa dogmatis, sarat kepentingan untuk mempromosikan Gereja Baptis. Kalaupun ada persinggungan dengan aliran gereja lain hanya bersifat mozaik dan kurang komprehensif. Penelitian ini menjadi menarik di tengah-tengah polemik yang terus berlangsung tentang pro dan kontra untuk menahbiskan perempuan menjadi gembala sidang di GBI. Lebih dari 30 tahun persoalan penahbisan perempuan menjadi gembala sidang ini terus mewacana dalam setiap kongres GGBI maupun polemik yang dilakukan para pendeta di lingkungan GBI. Para pengikut Gereja Baptis konservatif akan mati-matian untuk melarang perempuan menjadi gembala sidang, sedangkan mereka yang liberal berpandangan tidak ada alasan untuk tidak menahbiskan perempuan menjadi gembala sidang di lingkungan GBI. Tulisan mengenai karakteristik Gereja Baptis di Indonesia, khususnya pelarangan terhadap perempuan untuk menjadi gembala sidang masih merupakan hal yang baru.. Referensi tentang Gereja Baptis dilakukan oleh Catur Nugroho dan Victor Rembeth9 yang secara khusus menyoroti berdirinya GBI ketika Umat Baptis Nasional memisahkan diri dari kegiatan penginjilan yang dilakukan oleh misionaris Baptis dari SBC tahun 1972. Kumpulan artikel yang ditulis oleh beberapa pendeta Baptis nasional dan sebagian misionaris Baptis ini berisi bagaimana cara orang baptis Indonesia ingin berdiri sendiri, mengikatkan diri dan bertumbuh dalam wadah Keluarga Besar. Pembicaraan tentang pelarangan perempuan untuk menjadi gembala sidang tidak sedikit pun dibahas dalam buku ini. Studi penyebab pelarangan perempuan untuk menjadi gembala sidang dalam
9
Catur Nugroho dan Victor Rembeth, op. cit.
6
gereja baptis Indonesia, latar belakang apa yang menyebabkan pelarangan itu, siapa yang mempengaruhi mengapa orang baptis berteologia demikian, apakah ada pengaruh doktrin gereja Baptis yang dibawa para misionaris SBC terhadap doktrin yang diterapkan dalam GBI, apakah doktrin Baptis yang diterapkan mempengaruhi kinerja GBI, semua belum pernah dilakukan penelitian secara tuntas. Keterkaitan antara doktrin Baptis dan pelarangan perempuan menjadi gembala di GBI sudah dilakukan dan disepakati dalam kongres umat Baptis. Namun, belum ada studi empiris yang mendalam tentang keterkaitan dogma GBI secara teologis, sosiologis, dan pragmatis terhadap pelarangan tersebut. Bahkan dalam butir-butir doktrin GBI hanya disebutkan prinsip-prinsip bahwa GBI adalah gereja lokal, bersifat otonom, tata pemerintahan kongregasional, dan terikat dalam satu keluarga besar. Tidak ada satu butir pun yang melarang perempuan menjadi gembala sidang. Hal ini juga dipertegas dalam Christian History10 bahwa tidak ada teks sejarah Gereja Baptis tentang pelarangan perempuan untuk menjadi gembala sidang dalam Gereja Baptis. Secara praktis, penelitian ini akan memiliki kebermanfaatan tinggi, khususnya bagi umat Baptis yang tergabung di GGBI, yaitu munculnya paradigma baru untuk menahbiskan perempuan menjadi gembala sidang, yang didasarkan pada tinjauan historis dan teologis disertai korpus data yang diperoleh dari respon umat Baptis. Secara teoretis, penelitian ini manambah referensi sejarah gereja, khususnya sejarah umat Baptis yang tergabung dalam GGBI, 10 Suroso. Umat Baptis: Kebebasan Beragama dalam Perspektif Sejarah (Judul Asli; A Special Issue devoted to The Baptist, A People who Gathered “to walk in His Way) Christian History). Yogyakarta: Laksbang dan STBI, 2005)
7
berkait dengan paradigma yang diyakini, keputusan-keputusan yang diambil, dan muncuknya “tafsir” baru berkait dengan “dogma yang selama ini diyakini.
C. Metodologi 1. Metode Pembahasan Penelitian ini menggunakan metode deskriptif-analitik. Dalam membahas penelitian ini digunakan pendekatan apa yang disebut
“sejarah baru” yang
berbeda dengan “sejarah lama”. Dalam “sejarah lama” yang ditonjolkan adalah aspek politik, sedangkan dalam “sejarah baru” pendekatan yang dipakai adalah memperhatikan dan menekankan analisis terhadap faktor-faktor dan ranah sosial yang mempengaruhi peristiwa sejarah itu sendiri.11 Namun demikian, penulisan sejarah dengan pendekatan sejarah baru bukan berarti tidak ada persoalan. Menurut Peter Burke12 setidaknya terdapat problem definisi, sumber, metode, dan eksplanasi. Hal senada juga dikemukakan oleh Azyumardi Azra13 bahwa sejarah baru tidak mudah didefinisikan menyangkut sejarah sosial tersebut. Pertama, sejarah mengenai gerakan sosial yang muncul dan berkembang dalam sejarah. Kedua, sejarah sosial mengacu kepada sejumlah aktivitas sosial manusia yang sulit diklasifikasi karena begitu luasnya, seperti kebiasaan, adat istiadat, dan kehidupan sehari-hari. Ketiga, sejarah sosial juga merupakan kombinasi dari sejarah ekonomi.
11
Azyumardi Azra, “Kata Pengantar” dalam Jan S Aritonang. Sejarah Perjumpaan Kristen dan Islam di Indonesia “ (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2004) h x 12 Peter Burke (ed.), “Overture: The New History, Its Past and Its Future” dalam History Writing. (.Pennsylvania: The Pennsylvania State University Press, 1991) p 9-20. 13 Azyumardi Azra “Historiografi Kontemporer Indonesia” dalam Henri Chambert-Loir dan Hasan Muarif Ambary Es. Panggung Sejarah (Jakarta: Yayasan Obor Indonesia, 1999) h.64
8
Bila dilihat dari metode penulisan sejarah, penelitian ini bisa dikategorikan dalam penulisan sejarah perempuan.14 Dalam tema kelompok-kelompok perempuan. Bermacam-macam kelompok sosial perempuan seperti
penulis
perempuan, perempuan profesional, pekerja perempuan, dapat kita tulis sebagai bagian sejarah sosial. Respon umat Baptis Indonesia tentang gembala perempuan dalam GBI menjadi dasar penelitian ini. Jika dilihat dari guna sejarah, penulisan sejarah ini termasuk sejarah sebagai pernyataan pendapat, yaitu pendapat yang menekankan konsensus dan sejarah yang menekankan konfliks biasanya mengajukan tesis persekongkolan (conspiracy).15 Bila dilihat dari model yang diplih dalam penulisan sejarah penelitian ini dapat dikategorikan dalam “model lingkaran pusat” (central lexus)16 atau lingkar hubungan dari permasalahan yang akan digarap. Hal ini seperti yang diungkapkan oleh Hobsbawn, setiap penulisan sejarah sosial memerlukan sebuah model, yang sekalipun tidak sangat formal dan terperinci strukturnya, setidak-tidaknya sebuah kerangka akan tampak dalam “lingkaran pusat”.
2. Metode Pengumpulan Data Data penelitian ini diperoleh dari studi pustaka dan kegiatan studi lapangan. Studi pustaka meliputi eksplorasi sumber tertulis berupa buku referensi sejarah Gereja Baptis, makalah hasil kongres, seminar, dan lokakarya, maupun artifact lain yang berkaitan dengan pelarangan perempuan menjadi gembala di
14
Kuntowijoyo, “Sejarah Perempuan: Dari Sejarah Androcentrik ke Sejarah Androgynous” dalam Metodologi Sejarah (Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003) h120-127. 15 Kuntowijoyo, Pengantar Ilmu Sejarah (Yogyakarta:Bentang, 2005) h24-25. 16 Ibid., hal 42-45
9
GBI. Sumber artifact berupa foto-foto yang berkaitan dengan perkembangan GBI khususnya dalam menentukan persolan penting yang berkaitan dengan umat. Kuesioner digunakan untuk mendapatkan data respon umat Baptis (Gembala Sidang, Anggota Perancang [Majelis], dan umat Baptis) terhadap pelarangan perempuan menjadi gembala dalam GBI. Sejarah lisan digunakan sebagai metode untuk sumber utama untuk menghasilkan “teks baru” tentang GBI berdasarkan wawancara dengan pelaku-pelaku sejarah. Pelaku sejarah yang akan diwaancaraui adalah pendeta-pendeta senior yang sekarang sudah pensiun produk dari SBC, pendeta yang sekarang masih aktif baik pendeta tua (Pdt) dan pendeta yunior (Pdm), diakon, anggota perancang (majelis) dan tokoh-tokoh Baptis di luar gereja terkait dengan pokok penelitian ini. Tipe wawancara yang digunakan adalah wawancara terbuka. Tipe ini digunakan karena beberapa alasan. Pertama, pertanyaan yang diajukan bukan hanya dijawab tetapi juga ditanggapi, dikomentari, diolah, diperbaiki, dibahas, dianalisis bersama sehingga dapat memperluas dan mempertajam gagasan. Kedua, dengan wawancara terbuka sumber data dapat dengan leluasa menceritakan pengalamannya. Namun demikian, kebebasan bercerita ini masih dibangun dengan kerangka tertentu sehingga penelitian
ini.
Untuk
memvalidasi
ceritanya masih relevan dengan topik data
maka
hasil
wawancara
juga
dikonfirmasikan kepada sumber lain. Setelah wawancara ditranskrip menjadi teks
10
maka perlu diklarifikasikan kepada teks-teks lain berkait dengan topik penelitian. Validasi hasil penelitian menyangkut isi dan metode.17
D. Sistematika
BAB I PENDAHULUAN --- Berisi permasalahan, mencakup latar belakang permasalah, rumusan masalah; judul, mencakup rumusan judul dan alasan pemilihan judul; metodologi, mencakup metode pembahasan dan metode pengumpulan data; dan sistematika.
BAB II PEREMPUAN DALAM ALKITAB DAN DALAM SEJARAH GEREJA BAPTIS --- Mengupas peran perempuan dalam Perjanjian Lama dan Perjanjian Baru serta sekilas pandang sejarah pelayanan perempuan di Gereja Baptis Eropa, Amerika, dan Indonesia.
BAB III KEDUDUKAN PEREMPUAN DI MASYARAKAT DAN GEREJA --Memaparkan peran perempuan dalam budaya Jawa, budaya sebagian besar umat Baptis; perempuan dalam tradisi Protestan dengan mengangkat pandangan Martin Luther dan John Calvin; potret perempuan dalam kehidupan Gereja Baptis; perempuan dalam teologi feminis; dan wacana penahbisan gembala sidang perempuan di GBI
17
H.B. Sutopo, Metodologi Penelitian Kualitatif Dasar Teori dan Terapannya dalam Penelitian. (Surakarta: Sebelas Maret University Press, 2002) h. 77
11
BAB IV PERDEBATAN TENTANG PENAHBISAN GEMBALA PEREMPUAN DI GBI --- Mengungkapkan pandangan-pandangan yang menentang, yang mendukung, dan yang netral terhadap penahbisan perempuan menjadi gembala sidang di GBI.
Bab V PENUTUP --- Mengungkapkan kesimpulan, refleksi, dan saran.
12