BAB I PENDAHULUAN 1.Latar Belakang Masalah Sejarah Tentang Perempuan Di Parlemen Indonesia (Dewan Perwakilan Rakyat-Republik Indonesia/ TK-I dan TK-II) merupakan sebuah proses panjang, tentang perjuangan perempuan di wilayah publik. Kongres Wanita Indonesia pertama, pada tahun 1928, yang membangkitkan kesadaran dan meningkatkan rasa nasionalisme di kalangan perempuan merupakan tonggak sejarah, karena berperan dalam meningkatkan kesempatan bagi perempuan Indonesia untuk berpartisipasi dalam pembangunan, termasuk dalam politik(Ani, 2000: 56) Oleh karena itu, berbagai strategi harus dipelajari untuk mengatasi hambatan tersebut, sehingga tujuan untuk meningkatkan representasi perempuan di parlemen bisa diwujudkan. Studi kasus ini menyajikan bagaiman partisipasi politik perempuan di Indonesia, dan mengkaji hambatan yang dapat menghalangi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Selain itu, ditawarkan berbagai strategi yang bisa dipertimbangkan untuk mengatasi permasalahan keterwakilan ini. Dalam negara yang menganut sistem nilai patriarkal, seperti Indonesia, kesempatan perempuan untuk menjadi politisi relatif terbatasi karena persepsi masyarakat mengenai pembagian peran antara laki-laki dan perempuan, yang cenderung bisa ke arah membatasi peran wanita hanya pada urusan rumah tangga. Namun demikian. pada masa perjuangan kemerdekaan, kebutuhan akan kehadiran banyak pejuang, baik laki-laki maupun perempuan, membuka kesempatan luas bagi para perempuan untuk berkiprah di luar lingkup domestik dengan tanggungjawab urusan rumah tangga. Masyarakat menerima dan
Universitas Sumatera Utara
menghargai para pejuang perempuan yang ikut berperan di medan perang, dalam pendidikan, dalam pengobatan, dan lain-lain. Kesempatan ini memberi kemudahan pada perempuan untuk memperjuangkan isu-isu yang berhubungan dengan kepentingan mereka atau yang terjadi di sekitar mereka, selain isu politik. Dalam pemilihan umum pertama pada tahun 1955, 6,5 % dari anggota parlemen adalah perempuan. Kemudian, representasi perempuan Indonesia di parlemen mengalami pasang surut, dan mencapai angka tertinggi sebesar 13,0% pada tahun 1987. Saat ini, jumlah perempuan mencapai 8,8% dari seluruh anggota perwakilan terpilih. Kurangnya keterwakilan perempuan di parlemen disebabkan oleh serangkaian hambatan yang membatasi kemajuan mereka.pada pemilihan umum tahun 1955, pada masa Orde Lama, jumlah perempuan di DPR mencapai 17 orang, Pemilihan umum pertama di nilai sebagai demokratis, dengan partisipasi perempuan dalam politik didasarkan pada kemampuan mereka sebagai pemimpin dari unit-unit yang ada dalam organisasi-organisasi partai.(Romany S. 2007 : 160) Berbeda dengan periode Orde Lama (era Soekarno), pada masa Orde Baru (era Soeharto) dengan konsep partai mayoritas tunggal, representasi perempuan dalam lembaga legislatif dan dalam institusi-institusi kenegaraan, ditetapkan oleh para pemimpin partai di tingkat pusat, Akibatnya, sebagian perempuan yang menempati posisi penting memiliki hubungan keluarga atau kekerabatan dengan para pejabat dan pemegang kekuasaan di tingkat pusat. Hal ini di mungkinkan karena dalam sistem pemilu, pemilih tidak memilih kandidat (orang), tetapi simbol partai, untuk berbagai tingkatan pemerintahan, yaitu tingkat kabupaten, propinsi dan nasional. Akibatnya, sebagian dari mereka tidak melewati tahapan
Universitas Sumatera Utara
dalam proses pencalonan/ pemilihan, dan mungkin tidak memiliki kemampuan mengartikulasikan kepentingan konstituennya (Nauli, 1993:77) Dalam pemilihan umum 1999, proses pemilihan mengalami perubahan cukup berarti, dimana rekrutmen kandidat partai untuk lembaga legislatif, termasuk perempuan, harus disetujui oleh daerah, para pengambil keputusan partai di daerah (hal ini tidak berlaku bagi wakil dari angkatan bersenjata dan polisi). Sebagian besar wakil perempuan yang terpilih berpartisipasi dalam proses pemilu, antara lain dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat, diskusi, ceramah dan kegiatan partai lainnya yang berhubungan dengan kampanye pemilu (Anugrah, 2008:17) Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pola seleksi antara laki-laki dan perempuan sebagai anggota legislatif. Faktor pertama berhubungan dengan konteks budaya di Indonesia yang masih sangat kental asas patriarkalnya. Persepsi yang sering dipegang adalah bahwa arena politik untuk laki-laki, dan bahwa tidaklah pantas bagi wanita untuk menjadi anggota parlemen. Faktor kedua berhubungan dengan proses seleksi dalam partai politik. Seleksi terhadap para kandidat biasanya di lakukan oleh sekelompok kecil pejabat atau pimpinan partai, yang hampir selalu laki-laki. Di beberapa negara, termasuk Indonesia, di mana kesadaran mengenai kesetaraan gender dan keadilan masih rendah, pemimpin laki-laki dari partai-partai politik mempunyai pengaruh yang tidak proporsional terhadap politik partai, khususnya dalam hal gender. Perempuan tidak memperoleh banyak dukungan dari partai-partai politik karena struktur kepemimpinannya didominasi oleh kaum laki-laki. Ketiga, berhubungan dengan media yang berperan penting dalam membangun opini publik mengenai
Universitas Sumatera Utara
pentingnya representasi perempuan dalam parlemen. Keempat, tidak adanya jaringan antara organisasi massa, LSM dan partai-partai politik untuk memperjuangkan representasi perempuan. Jaringan organisasi-organisasi wanita di Indonesia baru mulai memainkan peranan penting sejak tahun 1999 (Matland, 2001) Dalam kehidupan sosial bernegara, setiap warga negara pada dasarnya tidak ada pembedaan atas hak dan kewajibannya, semuanya sama dihadapan hukum dan pemerintahan. Termasuk dalam hal ini adalah hak berpolitik, hak untuk memberikan pendapat dan hak untuk melakukan koreksi atas pemerintahan. Semua hal tersebut tentunya dilaksanakan dengan cara-cara dan mekanisme yang telah diatur oleh sistem pemerintahan. Pergantian kepemimpinan sebagai salah satu keniscayaan dalam sistem demokrasi menuntut keterlibatan warga negara di dalamnya. Adapun aturan main dalam sistem demokrasi nasional salah satunya adalah pemilu. Kegiatan pemilu sendiri ditujukan sebagai sarana untuk memilih wakil-wakil rakyat yang akan duduk di lembaga legislatif. Pemilu 2009 memiliki banyak sisi yang unik untuk dikaji. Salah satunya adalah keterlibatan perempuan dalam pemilu. Pemilu dan perempuan seperti dua sisi mata uang yang tidak dapat dipisahkan, karena membahas tentang pemilu kuranglah lengkap bila tanpa menyertakan perempuan di dalamnya (Undang-undang Nomor 2 Tahun 2008) Dalam sejarah perpolitikan di Indonesia dan negara berkembang pada umumnya, peranan perempuan memang dipandang terlambat dalam keterlibatan di dunia politik. Stigma-stigma bahwa perempuan dalam posisi domestik dianggap sebagai salah satu hal yang mengakibatkan perempuan terlambat berkiprah dalam dunia politik. Salah satu indikatornya adalah jumlah perempuan
Universitas Sumatera Utara
yang memegang jabatan publik masih sangat sedikit. Fenomena tersebut bukan hanya terjadi pada tingkat pusat tetapi juga berimbas pada tingkatan lokal atau daerah. Terlebih lagi bahwa posisi kaum perempuan kurang di untungkan secara politis karena jarang sekali terlibat dalam pengambilan keputusan, khususnya yang berkenaan dengan permasalahan perempuan itu sendiri. Peran dan status perempuan dewasa ini lebih di pengaruhi oleh masa lampau, kultur, ideologi, dan praktek hidup sehari-hari. Inilah yang menjadi kunci mengapa partisipasi perempuan dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara mengalami kelemahan. Kedudukan perempuan
yang
demikian,
ternyata tidak
dapat
di
pertahankan, karena dengan berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi, pandangan yang meletakkan perempuan untuk terus-menerus tersubordinat dalam bidang sosial, ekonomi da politik tidak dapat dipertahankan lagi. Arief Budiman ( 1985 ) menyatakan bahwa pembagian pekerjaan antara pria dan wanita merupakan sebuah lembaga kemasyarakatan tertua dan terkuat, yang umurnya sudah ribuan tahun dan sampai sekarang masih bertahan dengan gagahnya Maka berdasarkan sejarah tradisi dan budaya Indonesia, kedudukan perempuan sangat terbatas.Mulai dari diri perempuan itu sendiri yang telah di tempah sedemikian rupa disekitar lingkungan yaitu didominasi sistem patriarki yang menjadikannya sebagai perempuan dengan kepribadian menerima apa adanya sampai faktor eksternal yang juga memainkan peran yang cukup signifikan dalam membatasi peran perempuan di ruang publik dan di parlemen. Merujuk peran perempuan di atas maka perempuan dikatakan sebagai the “Second Human Being” (manusia kelas kedua), yang berada di bawah superioritas
Universitas Sumatera Utara
laki-laki yang membawa implikasi luas dalam kehidupan sosial di masyarakat. Situ Musda Mulia, 2005:5). Sejarah sistem politik di sebagian besar negara menunjukkan adanya diskriminasi terhadap perempuan dalam proses politik mulai di tingkat lokal sampai tingkat nasional. Adanya pembagian antara peran publik dan domestik menjadikan perempuan terpotong aksesnya dalam partisipasi politik dan terdiskriminasi dalam sistem politik. Menyikapi hal diatas, selama ini ada anggapan di masyarakat bahwa kuatnya culture patriakhi di indonesia menyebabkan kepemimpinan perempuan di Indonesia terbatas. Banyak perempuan-perempuan yang belum berani mengambil kesempatan-kesempatan yang tersedia baginya. Walaupun perempuan Indonesia sudah diberi kesempatan secara bebas
untuk menentukan pilihan kariernya
dimana perempuan sudah di pahami sebagai manusia lincah dan berperan aktif sebagai mitra sejajar yang di ikut sertakan dalam mengambil keputusan disegala bidang pembangunan, hal ini akan mendorong perempuan Indonesia untuk berproses mengembangkan dirinya sebagai pribadi yang utuh .( Murniati. 2004 : 221 ) Sebuah masyarakat dapat dikatakan demokratis jika dalam kehidupannya menghargai hak asasi manusia secara adil dan setara, mengakui dan memajukan akan kebebasan. Dalam penghargaan terhadap hak yang adil dan setara tersebut tercermin adanya penghargaan terhadap perbedaan-perbedaan yang ada, khususnya terhadap kelompok-kelompok minoritas. Hal ini juga mencakup adanya jaminan partisipasi politik bagi semua warga. Partisipasi dalam sistem politik merupakan tugas yang kompleks dan menantang, khususnya bagi sektorsektor masyarakat yang secara tradisional terpinggirkan. Perempuan mewakili
Universitas Sumatera Utara
salah satu kelompok yang dirugikan sebagai akibat dari peran-peran yang di terjemahkan secara sosial dan budaya dan hubungan antara laki-laki dan perempuan dalam hal produktif, reproduktif dan politik. Meskipun kita ketahui bahwa komposisi perempuan lebih banyak ketimbang laki-laki, namun itu bukan sebagai jaminan atas hak-hak mereka dalam Publik karena Faktor budaya merupakan salah satu penghambat bagi perempuan untuk tampil dalam forum publik. Kuatnya peran laki-laki dalam kehidupan publik sangat menentukan setiap keputusan-keputusan yang diambil meskipun itu menyangkut kehidupan perempuan. Institusi struktural kekuasaan yang paling tinggi adalah negara, yang secara langsung maupun tidak langsung terlibat dan berpengaruh terhadap kehidupan perempuan. Negara sebagai sebuah wilayah dengan struktur ekonomi, sosial, politik dan budaya, merupakan sebuah kompleksitas kekuasaan yang dominan dan menjadi pusat otoritas di tingkat publik. Idealnya, negara dengan kekuasaan tertinggi yang dimiliki mampu menjadi tempat perlindungan bagi perempuan dalam memperoleh keadilan. Tetapi kenyataannya dalam banyak kasus, negara justru semakin membuat posisi perempuan makin terjepit. Tetapi kondisi tersebut tidak menjadikan isu perempuan menjadi sesuatu yang diangap vital. Di sinilah bangsa Indonesia diuji dalam pendistribusian kekuasaan antara laki-laki dan perempuan dalam pengambilan keputusan public, yang merupakan bagian terpenting dalam pencapaian kehidupan yang lebih demokratis, setara dan berkeadilan gender. Sehingga, bukan hal yang berlebihan kalau saat ini kaum perempuan menuntut hak-hak politiknya dengan menuntut diberikan ruang
Universitas Sumatera Utara
keterwakilan politik perempuan juga harus di maknai sebagai tindakan yang sangat strategis untuk mengurangi hambatan individu dalam berkiprah di kancah politik sekaligus meminimalkan ketidakadilan gender yang ada dalam kehidupan masyarakat.( Kompas 10 febuari.2009). Padahal keterwakilan perempuan di bidang politik sangat diperlukan untuk mempengaruhi proses demokrasi dengan nilai-nilai kesetaraan dan keadilan gender, walaupun tidak mudah bagi perempuan untuk masuk kewilayah politik. Seperti yang sudah diatur dalam undang-undang pemilu pasal 20 UU No 2 tahun 2008: “ kepengurusan Partai politik tingkat propinsi dan kabupaten/kota sebagaiman dimaksud pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan paling rendah 30 % yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing.“ (Anugrah, 2008) Dengan adanya undang-undang tersebut tidak diperkenankan suatu partai politik menyimpang dari system kuota 30 % dengan alasan apapun, oleh sebab itu partai politik hendaknya mampu melakukan pendidikan politik, mencerdaskan, dan memajukan kaum perempuan. Dengan begitu, suatu partai politik tidak tersandung dan jatuh atau tidak mampu berkompetisi dengan Parpol lainnya. Meskipun perempuan mempunyai peluang yang sama untuk menjadi pemimpin, masyarakat Indonesia yang sebagian besar masih kental dengan budaya patriarkhi masih sulit untuk menerima pemimpin perempuan. Selain karena alasan lemahnya kepemimpinan mereka, perempuan juga dinilai kurang mempunyai kemampuan. Ini bisa dilihat tingkat keseriusan partai dalam menempatkan caleg perempuan, kalaupun ada perempuan yang mereka usung
Universitas Sumatera Utara
dalam pemilihan legislatife, tidak sedikit di antaranya artis perempuan, figure terkenal, atau bahkan hanya karena perempuan itu salah satu kerabat terdekat pengurus partai. Ironisnya, pada banyak kasus, nama-nama caleg perempuan tersebut hanya untuk memenuhi persyaratan partai untuk menuju pemilu 2009. ( Yas mashfiyah, 2009 ) Agar suara dan kebutuhan perempuan tersalurkan dalam semua perumusan kebijakan public, maka perlu memilih partai politik atau calon legislatif yang pengambilan
memberikan kesempatan bagi perempuan dalam proses
keputusan,
mempunyai
komitmen
dan
konsistensi
dalam
menerapkan peraturan yang tidak diskriminatif terhadap perempuan, memiliki program untuk menghilangkan peraturan dan perundang-undangan yang merugikan perempuan sekaligus memiliki pandangan untuk menggantikan peraturan-peraturan dengan peraturann yang lebih adil bagi perempuan. Hal penting lain yang melandasi pentingnya keterwakilan perempuan dalam lembaga politik khususnya legislative adalah fakta dimana separuh jumlah penduduk perempuan Indonesia adlah perempuan. Mengabaikan perempuan dalam pembuatan keputusan politik sama halnya dengan menyingkirkan mayoritas penduduk Indonesia dalam proses politik. Perempuan memiliki kebutuhan-kebutuhan khusus yang hanya dapat di pahami dengan baik oleh perempuan yang memiliki persepektif gender. Pemilu 2009 memberikan kesempatan yang luas kepada perempuan, ada banyak peran yang dapat di lakukan dalam proses penting kenegaraan tersebut. Bagaimanapun juga perempuan merupakan salah satu entitas yang memiliki potensi, kemampuan, dan kelebihan yang tidak kalah dengan laki-laki. Atas dasar
Universitas Sumatera Utara
kenyataan inilah kemudian peneliti mengambil judul Partisipasi Perempuan pada Pemilu Legislatif khususnya Dapem 1 Sumatera Utara ( Medan ) Pemilu Tahun 2009.
2. Perumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1. Bagaimana bentuk Partisipasi calon legislatif Perempuan Khususnya Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara ( Medan ) dalam Pemilu Tahun 2009? 2. Bagaimana strategi perempuan dalam menghadapi Budaya Patriarkhi guna mengikuti Pencalonan Pemilu legislatif Khususnya Dapem 1 Sumatera Utara ( Medan ) ?
3.Lokasi Penelitian Penelitian ini berlokasi di Daerah Pemilihan 1 Sumatera Utara ( Medan) Alasan pemilihan Lokasi Penelitian adalah karena medan merupakan termasuk kota Metropolitan, yang memiliki kemajemukan dalam masyarakat, baik dari agama, ras, suku dan golongan. Perbedaan-perbedaan tersebut biasanya dapat mempengaruhi partsipasi politik masyarakat khususnya kaum perempuan itu sendiri. Selain itu juga penelitian ini dilakukan untuk mempermudah untuk mengambil data yang lebih akurat, karena Kantor KPU sumut berada di kota Medan.
Universitas Sumatera Utara
4. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Atas dasar perumusan masalah, maka tujuan dalam penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan atau menggambarkan bagaimana perempuan dalam menghadapi pemilihan umum 2009 dengan salah satunya ikut sebagai calon legislatif perempuan, dan dapat mewakili suara atau aspirasi sebagian kaum perempuan, yang selama ini mengalami pendiskriminasikan dalam bidang politik oleh kaum laki-laki.
Manfaat Penelitian Adapun Manfaat dari hasil penelitian ini sebagai pemahaman bagi semua pihak bagaimana perempuan itu memiliki kemampuan yang sama dengan laki-laki dalam menduduki sebuah jabatan di Parlementer atau bidang public lainnya dan menghapuskan
pendeskriminasiaan
terhadap
perempuan,
yang
dulunya
perempuan hanya bisa bekerja di bidang domestic(Rumah tangga) saja.
5.Tinjauan Pustaka Paolo Freire ( Freire, 1972) mensimulasi pengaruh konstruksi budaya yang perlu menjadi perhatian kita semua dan hal ini sejalan dengan permasalahan mendasar tentang pemahaman gender. Gender adalah persepsi seseorang terhadap perempuan dan laki-laki yang terbentuk sejak anak-anak, bukan atas dasar sex atau jenis kelaminnya, tetapi terkonstruksi dan bercampur dengan nilai-nilai budaya dan lingkungannya. Sebab itu upaya pengaruh utama gender ke seluruh
Universitas Sumatera Utara
lapisan masyarakat, kelompok dan golongan harus terus di galakkan. Perlu disadari kesadaran gender (gender awareness) tidak dapat sekaligus di mengerti dan di laksanakan oleh masyarakat. Penyadaran gender perlu waktu untuk terjadinya perubahan pola pikir dan tingkah laku, sehingga di perlukan kesabaran dan ketekunan untuk mengubah nilai dan kebiasaan masyarakat. Peran serta posisi perempuan dalam bermasyarakat tergantung pada nilai budaya yang mengaturnya, seringkali orang langsung dapat menyimpulkan bahwa perempuan sebagai makhluk yang dinomor duakan, akibat adanya budaya patriarkhi, padahal asumsi tersebut tidak terjadi pada semua kelompok masyarakat misalnya ; Masyarakat minangkabau yang dikenal dengan prinsip Matrineal, Prinsip matrineal memperhitungkan hubungan kekerabatan melalui garis keturunan perempuan, sehingga semua kaum kerabat ibu termasuk dalam batas kekerabatnya, sedangkan semua kaum kerabat ayah berada diluar batas itu (Koendjaraningrat, 1998 : 123). Gender diartikan sebagai konstruksi
sosiokultural yang membedakan
karaketeristik maskulin dan feminim. Gender berbeda dengan seks dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan(Henrietta L, 1998). Walaupun jenis kelamin laki-laki sering berkaitan erat dengan gender maskulin dan jenis kelamin perempuan berhubungan dengan gender feminim, kaitan antara jenis kelamin dengan gender bukanlah merupakan korelasi absolut. Hal ini disebabkan yang dianggap maskulin dalam suatu kebudayaan dapat dianggap feminim dalam budaya lain. Dengan kata lain, kategori feminim dan maskulin itu bergantung pada konteks sosial budaya setempat. Gender membagi atribut dan pekerjaan menjadi maskulin dan feminim. Realitas sosial menunjukkan bahwa pembagian
Universitas Sumatera Utara
peran berdasarkan gender melahirkan suatu keadaan yang tidak seimbang saat perempuan menjadi tersubordinasi oleh laki-laki. Sedangkan yang dimaksud dengan Maskulin adalah sifat-sifat yang di percaya dan dibentuk oleh budaya sebagai ciri-ciri yang ideal bagi pria. Sedangkan Feminin nerupakan ciri-ciri atau sifat-sifat yang dipercaya dan di bentuk oleh budaya sebagai ideal bagi wanita. Femininitas dan Maskulinitas ini berkaitan dengan stereotip peran gender. Stereotip peran gender ini di hasilkan dari pengkategorian antara perempuan dan laki-laki, yang merupakan suatu representasi sosial yang ada dalam struktur kognisi kita. Konflik peran gender beroperasi pada empat tingkatan yang saling tumpang tindih dan kompleks, yakni kognisi, pengalaman-pengalaman afektif, perilaku-perilaku dan pengalaman-pengalaman ketidaksadaran. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan kognitif berasal dari cara-cara seseorang yang berfikir terbatas (restrictive) tentang peran-peran maskulin dan feminin. Sikapsikap yang stereotip dan pandangan dunia tentang laki-laki dan perempuan hasil dari keterbatasan kognitif. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan afektif berasal dari gangguan emosional yang mendalam tentang peran-peran maskulin dan feminin. Konflik peran gender yang dialami pada tingkatan perilaku berasal dari pengalaman konflik yang nyata dengan maskulinitas dan femininitas sebagai mana kita berperilaku, bereaksi dan berinteraksi dengan diri kita sendiri dan orang lain. Konflik peran gender sebagai fenomena ketidaksadaran merepresentasikan konflik Adanya perbedaan jenis kelamin antara pria dan wanita dalam hal pembagian kerja baik sector public dan sebagainya, namun pada dasarnya
Universitas Sumatera Utara
berputar pada dua teori besar yaitu: teori nature dan teori nuture. Teori nature beranggapan bahwa perbedaan tersebut adalah sesuatu yang alam atau disebabkan oleh factor-faktor biologis, Teori nuture beranggapan bahwa perbedaan itu tercipta melalui proses belajar dari lingkungan itu sendiri.(Arif budiman.1985: 2). Dalam wacana perempuan dan analisi tentang isu-isu hubungan antara pria dan perempuan dalam mengupayakan terwujudnya hasil-hasil pembangunan nasional, telah lahir kebutuhan untuk menggunakan istilah yaitu gender. Secara historis, konsep Gender pertama kali dibedah oleh sosiolog asal Inggiris yaitu Ann Oaklyey yaitu ia membedakan antara gender dan seks. perbedaan seks berarti perbedaan atas dasar ciri-ciri biologis yaitu yang menyangkut prokreasi (menstruasi, hamil, melahirkan dan menyusui). Perbedaan gender adalah perbedaan simbolis atau sosial yang berpangkal pada perbedaan seks tetapi tidak selalu identik dengannya. Jadi kelihatan di sini gender lebih mengarahkepada simbol-simbol sosial yang diberikan pada suatu masyarakat tertentu.(Daulay, 2007:3) Fakh (1996) mengemukakan konsep gender yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki dan perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun kultural. Misalnya: Perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan sedang laki-laki dianggap kuat, rasional, jantan dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat yang dapat dipertukarkan. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki yang bisa berubah dari waktu ke waktu serta antara sifat perempuan dan laki-laki yang bixz berubah dari waktu ke waktu serta berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun berbeda dari satu kelas ke kelas lain itulah yang dikenal sebagai konsep gender(Daulay, Ibid:6)
Universitas Sumatera Utara
Kata gender berarti jenis kelamin, sedangkan gene mengandung arti plasam pembawa sifat di dalam keturunan. Saptari & Holzner (Abdullah, 1997) menjelaskan bahwa gender adalah keadaan individu yang lahir secara biologis sebagai laki-laki dan perempuan, memperoleh ciri-ciri sosial sebagai laki-laki dan perempuan melalui atribut-atribut maskulinitas dan femenintas yang sering didukung oleh nilai-nilai atau sistem simbol masyarakat yang bersangkutan. Jadi gender adalah perbedaan antara laki-laki dan permpuan (maskulin dan feminin) yang di ciptakan oleh manusia, dapat ditukar dan diubah sesuai tempat, waktu, dan lingkungan sosial. Maka menurut Kementrian UPW (1994), gender adalah hubungan dalam bentuk pembagian kerja serta alokasi peranan, kedudukan dan tanggung jawab serta kewajiban dan pola hubungan yang berubah dari waktu ke waktu dan berbeda antar budaya. (Budiman, 1985:56) Dari pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa peran gender adalah sekumpulan pola-pola tingkah laku atau sikap-sikap yang di tuntut lingkungan dan budaya tempat individu itu berada, untuk disampaikan secara berbeda oleh lakilaki dan perempuan sesuai jenis kelaminnya. Persoalannya yang dihadapi perempuan pada saat ini terkendala dengan nilai social budaya yang tidak memberi akses dan kesempatan perempuan menduduki posisi sentral di lembaga-lembaga tertinggi, kendati dari aspek kemampuan intelegensi dan kepemimpinan perempuan memiliki kualitas yang memadai, namun sering tidak dipromosikan pada jabatan yang lebih tinggi, karena dunia public sarat dengan pencerminan karakter yang tegas dan lugas, independent, rasional, dan mampu mengambil keputusan yang terlekat pada lakilaki. Oleh sebab itu, ranah politik didominasi oleh laki-laki.
Universitas Sumatera Utara
( Romany S 2007 :165 ) Perilaku politik pada umumnya di tentukan oleh faktor internal dari individu sendiri seperti idealisme, tingkat kecerdasan, kehendak hati dan oleh faktor eksternal (kondisi lingkungan) seperti kehidupan beragama, sosial, politik, ekonomi dan sebagainya yang mengelilinginya. Sehingga perilaku politik sebagai fungsi dari kondisi sosial dan ekonomi serta kepentingan, maka perilaku politik sebagian diantaranya adalah produk dari perilaku sosial ekonomi dan kepentingan suatu masyarakat atau golongan dalam masyarakat tersebut. Sedangkan menurut Jack C. Plano dkk dalam Moh. Ridwan, perilaku politik adalah: “Pikiran dan tindakan manusia yang berkaitan dengan proses memerintah. Yang termasuk perilaku politik adalah tanggapan-tanggapan internal (pikiran, persepsi, sikap dan keyakinan) dan juga tindakan-tindakan yang nampak (pemungutan suara, gerak protes, kampanye dan demonstrasi). Dalam negara berkembang masalah partisipasi Politik adalah masalah yang cukup rumit. Partisipasi menjadi tolak ukur penerimaan atas sistem politik yang dibangun oleh sebuah negara. Maju dan berkembangnya pembangunan dalam suatu negara sangat tergantung dari keterlibatan warga negaranya tanpa membedakan jenis kelamin, baik itu laki-laki maupun perempuan. Memahami partisipasi politik tentu sangatlah luas. Mengingat partisipasi politik itu sendiri merupakan salah satu aspek penting demokrasi. Asumsi yang mendasari demokrasi (dan partisipasi) orang yang paling tahu tentang yang baik bagi dirinya adalah orang itu Karena keputusan politik yang dibuat dan dilaksanakan oleh pemerintah menyangkut dan mempengaruhi kehidupan warga masyarakat maka warga masyarakat berhak ikut serta menentukan isi keputusan politik. .
Universitas Sumatera Utara
Menurut Gabriel A. Almond, proses politik akan melahirkan bentukbentuk partisipasi politik yang dilakukan oleh individu dan kelompok yang kemudian akan disosialisasikan melalui transmisi kebudayaan, baik melalui pendidikan keluarga, kelompok-kelompok pergaulan, di lingkungan pekerjaan, interaksi melalui model media komunikasi massa, maupun interaksi politik secara langsung. Sehingga Almond kemudian memilahkan kategori budaya politik tersebut atas tiga pemilahan, yaitu budaya politik partisipan, budaya politik subyek dan budaya politik parokialik. Dalam pendekatan perilaku, terdapat interaksi antara manusia satu dengan lainnya dan akan selalu terkait dengan pengetahuan, sikap dan nilai seseorang yang kemudian memunculkan orientasi sehingga timbul perilaku itu. Orientasi politik itulah yang kemudian membentuk tatanan dimana interaksi-interaksi yang muncul tersebut akhirnya mempengaruhi perilaku politik yang dilakukan seseorang. Orientasi politik tersebut dapat dipengaruhi oleh orientasi individu dalam memandang obyek-obyek politik. Almond dan Verba mengajukan klasifikasi tipetipe orientasi politik, yaitu (Almond, 1990): a. Orientasi Kognitif, yakni pengetahuan tentang dan kepercayaan pada politik, peranan dan segala kewajibannya serta input dan outputnya. b. Orientasi Afektif, yakni perasaan terhadap sistem politik, peranan, keberadaan aktor dan penampilannya. c. Orientasi Evaluatif, yaitu keputusan dan pendapat tentang obyek-obyek politik yang secara tipikal melibatkan kombinasi standar nilai dan kriteria dengan informasi dan perasaan.
Universitas Sumatera Utara
Sementara dalam menjelaskan orientasi seseorang terhadap obyek-obyek politik, pada bagian lain Almond mengklasifikasikan sebagai berikut: 1) Orientasi Positif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang tinggi, perasaan dan evaluasi positif terhadap obyek politik 2) Orientasi Negatif, yaitu orientasi yang ditunjukkan dengan tingkat pengetahuan dan frekuensi kesadaran yang rendah, evaluasi dan perasaan negatif yang tinggi terhadap obyek politik. 3) Orientasi Netral, yaitu orientasi yang ditunjukkan oleh frekuensi ketidakpedulian yang tinggi atau memiliki tingkat orientasi yang sangat terbatas bahkan tidak memiliki orientasi sama sekali terhadap obyekobyek politik. Orientasi politik sebenarnya merupakan suatu cara pandang dari suatu golongan masyarakat dalam suatu struktur masyarakat. Timbulnya orientasi itu dilatarbelakangi oleh nilai-nilai yang ada dalam masyarakat maupun dari luar masyarakat yang kemudi an membentuk sikap dan menjadi pola mereka untuk memandang suatu obyek politik secara detail (Apter, 1985) Ketika perempuan menjadi politisi, ia tidak berhenti menjadi perempuan. Keperempuanan ini yang harus berada di tempat pertama, karena ia mengandung kekuatan intelektual dan potensi-potensi kreatif yang berbeda. Namun masih ada keraguan dalam masyarakat tertentu apakah perempuan siap dan mampu menjalankan fungsi dan peran dikancah politik karena kalangan tertentu beranggapan bahwa dunia politik merupakan milik laki-laki. Sesungguhnya keragu-raguan itu sangat tidak beralasan sebagaiman dijelaskan oleh Saparinah
Universitas Sumatera Utara
sadli bahwa perempuan dan laki-laki mempunyai potensi kecerdasan yang sama. Hal telah dibuktikan dalam sejumlah studi psikologi tentang taraf intelegensi perempuan dan laki-laki. Dalam realitas sehari-hari perempuan Indonesia sejak masih didunia pendidikan maupun dalam menerapkan keahliannya tidak kalah dengan laki-laki bahkan kerap jauh lebih baik. ( Kompas, 18 november 2002 ) Di banyak negara, tradisi tetap berlaku untuk menekan, bahkan sering mendikte, peranan utama perempuan sebagai ibu dan istri. Sistem nilai tradisional, kuat dan patriarki menyokong peranan-peranan yang terpisahkan secara seksual, dan apa yang disebut sebagai “nilai-nilai kultural tradisional” menghalang-halangi kemajuan, perkembangan dan partisipasi perempuan dalam setiap proses politik. Masyarakat di seluruh dunia didominasi oleh suatu ideologi tentang “kedudukan perempuan”. Menurut persepsi ini, perempuan tidak harus memainkan peran “ibu yang bekerja”, yang secara umum mendapat upah rendah dan apolitis. Ani Sutjipto ( 2000 : 299 ) kehadiran perempuan di parlemen lebih terkait dengan profesi dan karier suami, rekutmen dalam partai lebih karena keinginan untuk mendukung profesi dan kedudukan suami mereka. Tidaklah heran kalau mereka kurang memiliki kemandirian atau rasa percaya diri dan komitmen yang kuat dalam menyuarakan aspirasi perempuan. Kurangnya rasa percaya diri adalah salah satu sebab utama atas kurang terwakilinya perempuan dalam lembaga-lembaga politik formal, termasuk parlemen, pemerintahan, dan partai-partai politik. Dengan adanya kepercayaan diri dan tekad yang bulat, perempuan dapat meraih derajat tertinggi dalam proses politik. Untuk itulah mengapa perempuan harus percaya pada diri mereka sendiri dan harus membuang jauh persepsi yang berkembang luas bahwa laki-laki harus
Universitas Sumatera Utara
menjadi pemimpin mereka. Perempuan setara dan mempunyai potensi yang sama seperti laki-laki tetapi hanya bagi mereka yang dapat memperjuangkan hakhaknya. Perempuan adalah juru kampanye, organisatoris dan mobilisator dukungan yang sangat baik, tetapi rasa khawatir kadang-kadang menghalangi mereka untuk ikut berkompetisi dalam pemilihan dan berpartisipasi dalam kehidupan politik.
6.Metode Penelitian
Menurut Hadari Nawawi (Nawawi, 1987: 63) metode penelitian deskriptif dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan atau melukiskan subjek atau objek penelitian seseorang, lembaga, masyarakat dan lain-lain pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagaimana adanya. Penelitian deskriptif melakukan analisis dan menyajikan data-data dan fakta-fakta secara sistematis sehingga dapat dipahami dan disimpulkan.
Tujuan penelitian deskriptif analisis adalah untuk membuat gambaran secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta dan sifat-sifat populasi atau daerah tertentu. Di samping itu penelitian ini juga menggunakan teori-teori, datadata dan konsep-konsep sebagai kerangka acuan untuk menjelaskan hasil penelitian, menganalisis dan sekaligus menjawab persoalan yang diteliti. Oleh karena itu jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif.
Universitas Sumatera Utara
6.1. Teknik Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data dan informasi yang dibutuhkan maka penulis melakukan teknik pengumpulan data sebagai berikut:
a. Data primer yang didasarkan pada peninjauan langsung pada objek yang di teliti untuk memperoleh data-data yang di butuhkan. Studi lapangan yang di lakukan dengan datang langsung ke lokasi penelitian dengan wawancara langsung terhadap informan dan melakukan observasi dengan menggunakan pedoman wawancara. b.
Data sekunder yaitu dengan mencari sumber data dan informasi melalui buku-buku, jurnal, internet dan lain-lain yang berkaitan dengan penelitian ini
Adapun teknik yang digunakan dalam pencarian data-data di
lapangan
adalah:
6.1.1.Teknik Observasi
Observasi diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan secara sistematik terhadap gejala yang tampak pada objek penelitian. Pengamatan dan pencatatan yang dilakukan terhadap objek di tempat terjadi atau berlangsungnya peristiwa, sehingga observer berada bersama objek yang diselidiki, disebut observasi langsung. Sedangkan observasi tidak langsung adalah pengamatan yang dilakukan tidak pada saat berlangsungnya peristiwa yang akan diselidiki misalnya peristiwa tersebut
diamati
melalui
film,
rangkaian slide
atau
rangkaian photo.
(Rachman,1999: 77). Pengamatan yang peneliti laksanakan adalah pengamatan
Universitas Sumatera Utara
secara langsung terhadap lokasi terjadinya peristiwa yakni dengan mendatangi kantor partai politik dan ke rumah atau ke kantor para calon tetap anggota Legislatif 2009 yang terpilih atau yang tidak terpilih.
6.1.2 Teknik Wawancara
Metode wawancara merupakan sebuah metode yang sangat efektif dalam penelitian kualitatif. Wawancara yang digunakan dalam penelitian ini adalah wawancara mendalam dengan menggunakan pedoman wawancara ( interview Quide ) tujuannya sebagai pengarah agar tidak meluasnya data yang diperoleh. Dengan adanya variasi-variasi pertanyaan yang disesuaikan dengan situasi dan kondisi tersebut bertujuan untuk memperoleh keterangan rinci dan mendalam mengenai pandangan informan dan memperoleh informasi mengenai suatu peristiwa, situasi, dan keadaan tertentu. Dalam pelaksanaan wawancara ini, peneliti menemui informan langsung dan subyek penelitian sesuai dengan waktu dan lokasi yang telah disepakati untuk memperoleh data yang sesuai dengan pokok permasalahan yang di ajukan. Wawancara ditujukan pada calon
legislative perempuan pemilu 2009 namun
hanya 3 orang yang dapat diwawancarai serta 1 orang pemenang yang terpilih menjadi anggota legislatif DPRD Sumut, dan Pengurus Partai Politik yaitu PDI Perjuangan, Golongan Karya, PKS, dan anggota KPU Sumut, Jumlah informan yang disesuaikan dengan kebutuhan, artinya bila permasalahan telah terjawab maka penambahan informan dihentikan.
Universitas Sumatera Utara
7. Teknik Analisa Data
Data yang telah di kumpulkan kemudian disusun, di analisa dan disajikan untuk memperoleh gambaran sistematis tentang kondisi dan situasi yang ada. Datadata tersebut diolah dan di eksplorasi secara mendalam yang selanjutnya menghasilkan kesimpulan yang menjelaskan masalah di teliti.
BAB II GAMBARAN UMUM DAERAH PEMILIHAN SUMATERA UTARA I
Universitas Sumatera Utara