Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia
HERMENEUTIKA Dari KPP SAB Beji, 8-12 September 08
HERMENEUTIKA Oleh: Pdt. Drs. Yos Hartono, S.Th.
A.
Pendahuluan
Salah satu pertanyaan penting dalam hermeneutika adalah mengapa kita perlu menafsirkan ayat-ayat Alkitab? Apakah tidak cukup hanya dengan membaca dan kemudian mengaplikasikan saja apa yang kita baca tersebut? Memang betul sekali! Kita harus melakukan apa yang kita baca dengan sebaik-baiknya, tetapi masalahnya, apakah apa yang diingini oleh Alkitab sama dengan apa yang kita pahami? Karena ada sebuah jarak yang terlalu panjang antara “konteks Alkitab” dengan “konteks kita” sekarang ini, termasuk di dalamnya situasi, kondisi, kosakata, serta kearifan lokal antara setting tempat di mana peristiwa-peristiwa Alkitab terjadi dengan dunia kita sekarang ini. Penafsiran menolong kita untuk meneropong situasi itu dan karena itu kita dapat menarik sebuah pemahaman yang lebih dekat dengan situasi sebenarnya.
B.
Hermeneutika: definisi dan pengertian
Pemahaman manusia modern dalam memahami apa yang dimaksud dengan hermeneutika sangat berkembang dengan cepat, dan karena itu istilah hermeneutika mulai merambah ke banyak aspek dari ranah hidup kemanusiaan. Sebagai contoh hermeneutika juga digunakan sebagai metodologi filologi umum atau metodologis ilmu-ilmu kemanusiaan, sehingga ketika seseorang berbicara mengenai hermeneutika maka hal itu tidak harus berarti bahwa seseorang sedang berbicara tentang hal-hal yang berkaitan dengan penafsiran Alkitab saja. Secara umum memang orang memahami hermeneutika sebagai ilmu penafsiran (science of interpretation) dan memang inilah pemahaman yang paling tua yang berasal dari pemahaman yang berkaitan dengan teori penafsiran kitab suci. Secara definitif kata hermeneutika berasal dari kata “hermêneuô” yang berarti menafsirkan. Kata “hermêneuô” tidak dapat dipisahkan dari pemahaman dalam filsafat Yunani tentang seorang dewa yang bernama Hermes yang bertugas sebagai pembawa berita dari dewa-dewa kepada manusia. Jadi Hermes bertugas menafsirkan berita para dewa agar dapat dipahami oleh manusia, demikianlah latar belakang sejarah pemahaman hermeneutika itu terbentuk. Dengan demikian dapat diambil sebuah kesimpulan bahwa hermeneutika adalah sebuah ilmu yang mempelajari secara teoretis kaidah-kaidah atau metode-metode dalam menafsir (dalam hal ini berkaitan langsung dengan teks Alkitab) yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah khususnya secara teologis.
C. I.
Metode dalam Penafsiran Kendala Pemahaman Teks Sebagai Jendela Penafsiran
Usaha untuk memahami sebuah berita Alkitab bukanlah sebuah usaha yang mudah, karena ada banyak kendala dan hambatan yang harus diakui ketika kita masuk dalam proses penafsiran. Beberapa kendala itu adalah: 1. Penafsir adalah pihak ketiga yang mencoba memahami sebuah percakapan/komunikasi dari pihak pertama (penulis, pengirim surat, penyunting dsb.) dengan pihak kedua (penerima, jemaat dsb.) 2.
Teks Alkitab memiliki perbedaan bahasa dengan bahasa dari sang penafsir.
3.
Kesenjangan budaya
4.
Kesenjangan sejarah
5. Perbedaan versi-versi tulisan Alkitab yang disebabkan sejarah perkembangan penulisan Alkitab itu sendiri. Hal ini terjadi oleh usaha-usaha penerjemahan Alkitab yang seringkali mengalami kesulitan karena adanya kerusakan pada sebuah manuskrip yang pada akhirnya membutuhkan usaha penafsiran khusus tentang suatu kata, disamping itu usahausaha untuk mengontekstualisasikan setiap ayat juga menjadi alasan perbedaan versi ini. http://gpdi.or.id/itwas/website
Powered by Joomla!
Generated: 22 January, 2017, 16:07
Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia
Contoh 1: Persoalan pengakuan sida-sida dari Etiopia dalam Kisah Para Rasul 8. KJV :Acts 8:37 And Philip said, If thou believest with all thine heart, thou mayest. And he answered and said,, I believe that Jesus Christ is the Son of God. Menurut King James Version pengakuan itu ada dalam ayat 37. Tetapi kalau kita membaca cerita yang sama dalam Revised Standart Version, maka akan didapati bahwa pengakuan itu tidak ada pada teks. Sebagai gantinya, bagian pengakuan itu ditempatkan pada catatan kaki dan diberi penjelasan: “Naskah-naskah kuno lainnya menambahkan keseluruhan atau sebagian besar ayat 37.” Dalam terjemahan LAI ayat 37 itu ditempatkan dalam tanda kurung yang menunjukan bahwa ayat ini masih menjadi polemik atau perdebatan. Contoh 2: Persoalan yang ada di dalam Amos 3:9. dapat kita lihat dalam 2 versi Alkitab bahasa Indonesia BIS Amos 3:9 Umumkanlah ini kepada orang-orang yang tinggal di istana Mesir dan Asdod, "Berkumpullah di gununggunung sekitar Samaria, dan perhatikanlah kekacauan besar serta pemerasan yang dilakukan di sana." TB LAI Amos 3:9 Siarkanlah di dalam puri di Asyur dan di dalam puri di tanah Mesir serta katakan: "Berkumpullah di gunung-gunung dekat Samaria dan pandanglah kekacauan besar yang ada di tengah-tengahnya dan pemerasan yang ada di kota itu." dalam ayat terjemahan LAI dikatakan: “Siarkanlah di dalam puri di Asyur dan di dalam puri di tanah Mesir…” Namun dalam terjemahan lain seperti dalam BHS (Biblica Hebraica Stuttgartensia/Alkitab Bahasa Ibrani Perjanjian Lama) KJV, BIS dan beberapa terjemahan lain, kata yang dipakai dalam ayat itu bukanlah Asyur tetapi Asdod. Kesadaran akan adanya kendala ini, justru menjadi jalan masuk untuk dapat memahami sebuah teks Alkitab dengan cara lebih baik. Itu berarti sebuah proses hermeneutik haruslah pertama-tama merupakan sebuah proses penafsiran (eksegesis) dalam memahami arti sebuah teks tertentu baru dilanjutkan proses pemaknaan bagi si pembaca dalam konteks kekiniannya. Karena itu beberapa hal penting yang secara umum harus diperhatikan dalam penafsiran terdiri dari: 1.
Pemahaman teks
•
Memahami jenis teks (apakah jenis narasi, surat kiriman, sastra hikmat, puisi dsb.)
•
Membandingkan teks dalam beberapa versi
•
Memahami tata bahasa dan maknanya
2.
Pemahaman tentang latar belakang/konteks
•
Memahami aspek sejarah
•
Memahami aspek budaya
3.
Pengaplikasian makna teks dalam kekinian (pragmatis)
II.
Metode Penafsiran Alkitab Modern: Sebuah Alternatif
Beberapa metode penafsiran Alkitab modern yang dapat dipergunakan untuk meneropong teks dalam berbagai sudut pandang cukup banyak namun dalam kesempatan ini hanya disampaikan empat metode di antaranya adalah: a.
Analisis teks yang bertujuan untuk menentukan susunan kata yang asli dalam teks Alkitab.
b.
Analisis historis yang bertujuan untuk menentukan tempat di dalam ruang dan waktu (sejarah) suatu teks Alkitab
http://gpdi.or.id/itwas/website
Powered by Joomla!
Generated: 22 January, 2017, 16:07
Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia
c. Analisis narasi untuk dapat memahami pola cerita serta point-point penting membangun sebuah cerita dalam suatu teks d. Analisis sosiologi untuk menentukan unsur-unsur sosial penting yang berkembang dalam masyarakat yang menjadi latar belakang munculnya sebuah teks Alkitab
III.
Proses Penafsiran Terintegrasi
Langkah-langkah yang diperlukan dalam tugas ini adalah: 1.
Biarkan teks menentukan sendiri hal-hal yang perlu dibahas.
2. Biarkan pertanyaan-pertanyaan yang muncul menunjukan kepada kita metodologi, teknik-teknik penafsiran dan jenis pendekatan kritis yang cocok. 3.
Pakailah sarana yang cocok dengan teknik penafsiran yang ada
4.
Secara timbal-balik hubungkan pertanyaan-pertanyaan dan jawaban-jawaban yang diajukan untuk pokok ini
5.
Simpulkan analisis yang dilakukan.
6.
Padukan atau sintesiskan penemuan-penemuan yang didapat menjadi suatu tafsiran terpadu atas teks.
Contoh proses penfsiran terintegrasi dalam Matius 10:16-33 1. Pada langkah ini biarkan teks membawa kita untuk mengerti maksud penulisan seperti yang ada dalam injil Matius 10:16 yaitu menunjukan sebuah prinsip penginjilan yang mengedepankan strategi “cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati 2.
Beberapa pertanyaan yang dapat ditanyakan dalam perikop ini adalah:
A.
Siapa yang mengucapkan ayat ini?
B.
Kepada siapa ayat ini ditujukan?
C.
Kapan kira-kira peristiwa ini terjadi?
D. Apa arti kata cerdik dan tulus dalam ayat ini dan apa hubungannya dengan binatang ular dan merpati dalam ayat ini? Apa yang dimaksud dengan serigala? E.
Dalam konteks seperti apakah ayat ini disampaikan?
a.
Dalam konteks budaya seperti apakah istilah-istilah dalam ayat ini disampaikan?
b.
Bagaimana struktur sosial masyarakat dalam konteks Palestina pada zaman Yesus?
c.
Bagaimana hubungan antar struktur sosial masyarakat pada masa ini?
F.
Bagaimana hubungan perikop ini dengan perikop sebelum dan sesudahnya
G.
Apa tujuan Matius menempatkan pesan ini bagi komunitasnya?
Beberapa pertanyaan di atas merupakan pertanyaan kunci yang dapat membuat kita masuk dalam dunia teks Injil Matius 10:16 ini. Pertanyan-pertanyaan tersebut sekaligus menunjukan pendekatan seperti apa yang kita butuhkan. Sebagai contoh untuk memahami pertanyaan C. maka analisis yang kita dapat gunakan pertama adalah analisis historis dan untuk mendapat jawaban atas pertanyaan D maka kita dapat memulai dengan analisis teks untuk mendapat kejelasan konseptual tentang binatang yang disebut ular, domba, cerdik dan tulus dalam konteks Matius (dalam hal ini pemahaman bahasa yunani seorang penafsir harus memadai sehingga dapat menangkap sebuah pengertian yang baik). Setelah memahami secara konseptual beberapa istilah tadi, maka kita dapat mulai masuk dalam konteks dunia http://gpdi.or.id/itwas/website
Powered by Joomla!
Generated: 22 January, 2017, 16:07
Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia
dari istilah-istilah itu berasal. Pertanyaan lanjutan yang dapat diajukan dalam membahas hal ini adalah, bagaimana binatang ular dan domba dipahami dalam konteks Palestina pada zaman Yesus? Apakah sama dengan pemahaman umum dunia Timur Dekat Kuno seperti Mesir atau daerah di sekitarnya? Untuk memahami hal-hal ini maka kita dapat memulainya dengan pendekatan yang bersifat sosiologi sehingga gambaran pemahaman itu dapat lebih jelas kita miliki. Dalam pendekatan ini kita juga dapat melihat hubungan struktur sosial masyarakat dalam masa itu. Bagaimana kedudukan komunitas Yesus dan murid-murid dalam masyarakat Yahudi? Kelompok siapa yang berkuasa pada masa itu? Bagaimana relasi antar struktur? Melalui pendekatan sosiologi ini kita dimampukan untuk memahami pada kondisi sosial masyarakat seperti apa prinsip Yesus itu dipergunakan, dan mengapa hal itu diperlukan serta bagaimana wujud konkrit dari pemahaman itu. 3. Setelah kita menemukan sebuah model analisis yang cocok untuk bahan tafsiran kita, maka kita dapat mempergunakan beberapa sarana yang sesuai dengan kebutuhan kita, misalnya interlinear, kamus-kamus bahasa Yunani atau kamus-kamus yang berhubungan dengan istilah-istilah dalam Perjanjian Baru seperti Theological Dictionary of New Testament dan buku-buku yang membantu penyelidikan kita, misalnya untuk sosiologi masyarakat di dunia Perjanjian Baru kita bisa mempergunakan buku Schuyler Brown yang berjudul The Origins of Christianity atau E.A. Judge dengan judul Social Pattern of Christian Group dan John Stambaugh dan David Balch dengan judul Dunia Sosial Kekristenan Mula-Mula. 4. Setelah informasi tadi di dapat, sekarang kita menghubungkan lagi pertanyaan-pertanyaan yang ada dengan teks, apakah informasi itu sesuai dengan bahan yang kita akan tafsir. Misalnya apakah keterangan dan informasi tentang ular yang di dapat memiliki pengertian kecerdikan dalam tradisi masyarakat Israel dengan kondisi real pada waktu itu dan bagaimana ketulusan masih dapat dipertahankan? Atau kita juga dapat mempertanyakan apakah keterangan dalam teks memiliki kesamaan kondisi dengan situasi real dalam sejarah? Misalnya seluruh bagian ini berbicara tentang penganiayaan terhadap pengikut-pengikut Yesus. Namun beberapa hal dalam bagian ini tidak cocok dengan penjelasan penginjilan yang dilakukan di Galilea oleh kedua belas murid Yesus, pada waktu Yesus masih hidup di dunia ini. J.J. de Heer melihat bahwa pada kesempatan itu mereka belum diperhadapkan kepada “raja-raja” (ayat 18) dan belum ada “pembunuhan” (ayat 21). Oleh karena itu dapat di duga, bahwa sebagian besar isi ayat 16-33 telah diucapkan oleh Yesus pada kesempatan yang lain. Oleh karena itu tentu Matius sengaja mengumpulkan ucapanucapan Yesus dari sumber-sumber dan konteks yang berlainan untuk suatu maksud dan tujuan tertentu. Pada ayat 1633, bahkan sampai pada ayat 42 ini sebenarnya Yesus melihat ke masa yang jauh di depan setelah kematian-Nya. Lalu apa kepentingan Matius dengan menempatkan kata-kata dalam ayat 16-33 ini? Inilah beberapa contoh yang dapat kita lihat dalam tahap ini 5. Pada bagian ini kita mulai menyimpulkan semua informasi yang kita dapat dari analisis-analisis kita, misalnya apa yang kita dapat simpulkan dari analisis teks tentang cerdik seperti ular dan tulus seperti merpati, apa juga yang kita dapat simpulkan dari analisis historis dan sosiologi tentang pokok tafsiran kita 6. Pada bagian akhir ini kita mulai memadukan keseluruhan analisis, baik teks, historis maupun sosiologi menjadi sebuah tafsiran yang terpadu sehingga menjadi satu kesatuan pemahaman yang sistematis. Contoh: Memberikan maksud tujuan penulis Injil Matius dengan menempatkan perkataan-perkataan Yesus yang sebenarnya ada dalam konteks eskatologi dalam cerita pengutusan murid-murid (bdk. Injil Markus 13:9-13 bdk. fasal 10:17-22 dan Lukas 21:12)
D.
Penutup
Demikianlah beberapa hal yang diperlukan dalam memahami sebuah teks dalam Alkitab, namun di samping semua itu sikap ketergantungan kepada pimpinan kuasa Roh Kudus merupakan hal terpenting dalam penafsiran Alkitab. Roh Kudus akan memperlengkapi pemahaman kita sehingga berita firman Allah tidak hanya menjadi sesuatu yang “kosong”, namun dapat memberi manfaat, terang dan berkat bagi pembaca dan pendengarnya (II Tim. 3:16)
E.
Referensi
•
Sitompul, A.A., (Dr), dan Beyer, Ulrich, (Dr), Metode Penafsiran Alkitab, BPK Gunung Mulia Cet. 12, Jakarta, 2006
•
Hayes, John H., dan Holladay, Carl R., Pedoman Penafsiran Alkitab, BPK Gunung Mulia (cet. 5), Jakarta, 2005
•
Setyadi, Frans, Diktat Mata Kuliah Kritik Teologi, STA Batu-Malang, 2007
•
Heer,de J.J. Tafsiran Matius, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1994
http://gpdi.or.id/itwas/website
Powered by Joomla!
Generated: 22 January, 2017, 16:07
Majelis Pusat Gereja Pantekosta di Indonesia
http://gpdi.or.id/itwas/website
Powered by Joomla!
Generated: 22 January, 2017, 16:07