37
BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
4.1 Karakteristik Dasar Subjek Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui apakah furosemide stress test pada pasein dengan gagal jantung akut dapat digunakan sebagai penanda kejadian AKI. Penelitian ini dilakukan pada bulan April 2015 pada 50 pasien dengan diagnosis gagal jantung akut yang dirawat di Intensive Cardiovascular Care Unit dan bangsal perawatan Departemen Kardiologi dan Kedokteran Vaskuler RSUD Dr. Moewardi Surakarta secara consecutive sampling. Pada penelitian ini seluruh pasien dengan gagal jantung akut yang masuk dalam kriteria inklusi diperiksa kadar kreatinin serum, untuk mengetahui baseline kreatinin sebagai dasar penegakan diagnosis AKI. Kemudian seluruh pasien akan menjalani furosemide stress test dengan cara pemberian bolus furosemide 1,5 mg/ kg berat badan, pada pasein dengan furosemide sebelumnya dan 1 mg/ kg berat badan pada pasien naif. Jumlah urine dihitung pada jam kedua setelah dilakukan bolus furosemide. Data karakteristik dasar subjek penelitian yang bersifat kontinu dilakukan uji normalitas menggunakan uji Kolmogorov-Smirnov untuk menilai normalitas data dan dilanjutkan dengan uji beda rerata menggunakan independent t-test bila data bersifat normal untuk menguji adakah perbedaan yang bermakna diantara dua kelompok sampel. Bila data tidak bersifat normal, maka untuk menguji adakah perbedaan yang bermakna diantara dua kelompok sampel dilakukan uji beda rerata menggunakan Mann Whitney. Untuk menguji adakah perbedaan yang bermakna diantara dua kelompok sampel yang bersifat binomial dilakukan uji komparatif non parametrik menggunakan Chi-Square.
37
38
Tabel 4.1 Karakteristik dasar subyek penelitian Variabel Usia Kelamin (laki-laki) Berat Predisposisi Hipertensi Diabetes CHF Atrial Fibrilasi Stroke RIwayat obat oral Penyekat reninangiotensin Penyekat beta adrenergik Antagonis kalsium Diuretik Spironolacton OAINS Presentasi klinis TD syst TD diast Nadi Laju Jantung Laju Respirasi Saturasi O2 Edema perifer Profil laboratorium Hemoglobin Eritrosit Leukosit
Non AKI (n=34) 53.59±14.13 22 59.24±12.08
AKI (n=16) 61.75±12.09 7 56.88±8.58
p 0.011 0.274 0.433
17 10 25 9 2
13 9 13 6 2
0.073 0.131 0.728 0.514 0.584
14
6
1.000
5 2 14 13 2
3 0 5 3 1
0.699 1.000 0.717 0.292 1.000
137.29±30.07 85.32±12.35 117.35±25.03 112.74±21.71 27.09±3.42 97.18±2.38 14
141.13±33.38 84.38±16.90 125.38±19.45 117.38±13.13 26.50±2.48 95.50±3.61 4
0.573 0.823 0.094 0.435 0.833 0.055 0.426
12.83±2.10 4.49±0.67 9679.41±3282,53
0.030 0.004 0.767
Ureum baseline Creatinin baseline eGFR baseline Ureum 48 jam Creatinin 48 jam eGFR 48 jam Cystatin C eGFR Cyst C Profil ekhocardiografi LVIDD LVEF TAPSE
41.38±23.43 1.26±0.46 54.19±17.81 39,50±12,67 1.11±0.35 64.57±21.77 1.32±0.37 59.56±20.46
11.52±1.50 3.91±0.55 9975.00±3254.8 4 44.44±21.19 1.48±0.28 40.34±16.76 87,00±41,26 2.00±0.57 30.76±12.74 2.14±0.82 32.75±17.72
54.44±9.12 43.03±14.04 2.02±0.41
53.36±6.70 42.69±8.65 2.08±0.34
0.525 0.916 0.438
0,499 0.027 0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001 <0.001
39
Dari 50 subyek penelitian, dikelompokkan menjadi dua berdasarkan ejadian AKI, didapatkan 16 pasien mengalami AKI selama perawatan dengan gagal jantung akut. Analisis karakteristik dasar dilakukan chi square untuk variable kategorikal, dan fisher exact test yang tidak memenuhi syarat. Uji Kolmogorov smirnov dilakukan untuk manila normalitas sebaran data. Untuk variable nominal dilakukan uji student T, dan uji Wilcoxon apabila tidak memenuhi syarat. Pada tabel karakteristik dasar (tabel 4.1) dapat terlihat tidak terdapat perbedaan bermakna pada kelompok AKI dan non AKI baik variabel antropometri, predisposisi penyakit, presentasi klinis, beberapa pemeriksaan laboratorium dan profile ekhokardiografi. Pasien AKI memiliki rerata usia lebih tua dibandingkan dengan pasien non AKI (p= 0.011), dan memiliki baseline penanda fungsi ginjal yang lebih buruk dibandingkan pasien non AKI. 4.2 Pengujian Variabel Utama Pembuktian hipotesis mengenai apakah Furosemide stress test dapat digunakan sebagai penanda diagnosis AKI pada pasien dengan gagal jantung akut dilakukan dengan chi square test (tabel 4.2) dengan hasil p<0.001. Tabel 4.2 Analisis statistik hubungan AKI dengan FST Acute Kidney Injury AKI Non AKI n % N % FST Positif 31 91.2 3 8.8 Negatif 3 18.8 13 81.3 Total 34 68.0 16 32.0
Total
P
34 16 50
P<0.001
Kemudian hubungan antar variabel AKI dengan furosemide stress test dilanjutkan dengan uji sensitivitas, spesifisitas, nilai duga positif dan negatif sebagai berikut. Sensitifitas
Spesifisitas
= a/(a+c) = 31/(31+3) = 91.2% = d/(b+d) = 13/(3+13) = 81.2%
Nilai duga positif
Nilai duga negatif
= a/(a+b) = 31/(31+3) = 91.2% = d/(c+d) = 13/(3+13) = 81.2%
40
Sehingga FST dapat digunakan sebagai penanda diagnosis AKI pada gagal jantung akut dengan sensitifitas sebesar 91.2%, dan spesifisitas sebesar 81.2%. Kemudian dalam menilai prediksi FST sebagai penanda diagnostik kejadian AKI dilakukan analisis dengan area under the curve (AUC) receiver operating curve (ROC), dan didapatkan hasil sebagai berkut.
Area
,862
Std Error
,064
Asymptotic Sig. ,000
Asymptotic 95% Confidence Interval Lower bound Upper bound ,736 ,988
Gambar 4.1 Area under the curve (AUC) furosemide stress test sebagai penanda diagnosis AKI pada gagal jantung akut Dari analisis AUC furosemide stress test sebagai penanda diagnosis AKI pada gagal jantung akut (gambar 4.1) didapatkan nilainya 86.2% (95%CI 0.736-0.988, p<0.001).
41
4.3 Pembahasan Penelitian ini adalah penelitian eksperimental yang bertujuan untuk mengetahui apakah furosemide stress test mampu untuk mendiagnosis AKI pada pasien dengan gagal jantung akut. Gagal jantung akut merupakan sindroma klinis yang ditandai dengan kegagalan fungsi jantung dengan awitan yang cepat maupun perburukan dari gejala dan tanda dari gagal jantung (McMurray et al, 2012). Hal ini merupakan kondisi yang mengancam jiwa dan memerlukan perhatian medis yang segera dan biasanya berujung pada hospitalisasi (Gheorghiade dan Pang, 2009). Lebih dari 40% dari pasien yang dirawat dengan ADHF akan mengalami AKI dalam 48 jam pertama (Bagshaw et al, 2010). Secara umum, AKI didefinisikan sebagai (1) peningkatan kreatinin serum ≥ 0.3 mg/dL (≥ 26.5μmol/L) dalam kurun waktu 48 jam atau (2) peningkatan kreatinin serum ≥ 1,5 kali dari garis dasar, yang diketahui atau diasumsikan terjadi dalam kurun waktu 7 hari terakhir, atau (3) volume urin ≤ 0,5 ml/kg/ jam selama 6 jam (Kellum et al., 2012). Kejadian AKI atau SKR tipe 1 menurut beberapa kepustakaan dan penelitian, kejadiannya berkisar antara 20 hingga 70%, tergantung pada definisi, batasan nilai kreatinin serum, dan populasi penelitian. Dalam penelitian ini didapatkan kejadian AKI sebesar 32% dalam 48 jam pertama hospitalisasi dengan gagal jantung akut dan hal ini sesuai dengan teori. Diagnosis kejadian AKI dinilai memerlukan waktu yang lama dari saat kejadian gagal jantung akut sehingga kerap kali, penanganan AKI baru mulai dilakukan saat sudah terjadi kerusakan dan penurunan fungsi ginjal. Beberapa penanda AKI baru, seperti cystatin-C, NGAL dan KIM-1 mulai dikembangkan dan diteliti sebagai biomarker baru yang lebih cepat dalam mendeteksi kejadian AKI, namun selain belum ditetapkan sebagai baku emas diagnosis AKI, sebagian besar rumah sakit dan pusat pelayanan kesehatan sulit untuk mengakses pemeriksaan ini dikarenakan masalah biaya dan ketersediaan. Rumah Sakit Umum Daerah Dr. Moewardi Surakarta sebagai tempat penelitian ini juga masih belum memiliki akses untuk pemeriksaan biomarker baru kejadian AKI, sehingga masih mengandalkan kreatinin serum sebagai
42
penanda kejadian AKI pada pasien dengan gagal jantung akut. Hal inilah yang menjadi salah satu dasar mengapa subyek penelitian yang dipilih adalah pasien gagal jantung akut yang juga membutuhkan furosemide sebagai terapi lini pertama dalam manajemen dekongesti. Konsep dalam menggunakan furosemide utuk mengevaluasi AKI bukanlah barang yang serba baru. Pada 1973, Baek dan kawan-kawan (Baek et al, 1973), telah melakukan penelitian pada 15 pasien yang tidak memiliki gejala dan tanda klinis AKI yang dilakukan pemberian furosemide dan kemudian dievaluasi bersihan bebas air/ free water clearance (CH2O). Dalam penelititan itu, mereka menemukan bahwa CH2O mendekati nilai nol dan respons yang buruk terhadap furosemide meberi sinyal bahwa pasien akan mengalami gagal ginjal akut. Dalam penelitian sederhana ini, dosis furosemide tidak distandarisasi dan hasil penelitian tidak melaporkan jika pasien mengalami AKI awal atau terjadi tanda-tanda kejadian AKI. Metode serupa ini juga sering dilakukan secara reguler oleh para klinisi dengan memberikan uji beban furosemide pada pasien-pasien dengan oliguria, namun hal ini belum pernah distandarisasi dengan terapi rumatan cairan, penilaian yang lebih awal dan nilai batas referensi yang dapat bernilai klinis (Chawla et al, 2013). Loop diuretik merupakan obat utama yang digunakan yang bertujuan untuk terapi dekongestif dalam kondisi gagal jantung akut maupun kronis, akan meningkatkan aktivasi SRAA dan sistem saraf simpatis (Palazzuoli et al, 2015). Fenomena ini dimediasi oleh dua mekanisme yang berbeda, inhibisi pengambilan natrium klorida pada sel-sel macula densa dan stimulasi dari prostasiklim yang berujung pada peningkatan sekresi renin. Pada pemberian loop diuretik juga dihasilkan efek tidak langsung, efek ini dapat diamati di beberapa tempat seperti di glomerulus dengan mengurangi aliran darah ginjal, di proksimal tubulus dengan meningkatkan reabsorbsi natrium, dan di ductus kolektivus dengan peningkatan aktivitas aldosteron. Sebagai puncaknya, aldosteron akan berkerja pada ductus kolektivus untuk mereabsorbsi sisa-sisa natrium dalam urin disaat arginine vasopressin melakukan reabsorbsi air sebanyak 25% walaupun sedang dalam penggunaan loop diuretik. Aktivitas–
43
aktivitas tersebut akan mengakibatkan pengiriman natrium menuju distal nefron, peningkatan reabsorbsi natrium dan hipertrofi tubulus distal. Modifikasi fungsi dan parenkim ginjal tersebut secara potensial dapat mengakibatkan peningkatan kreatinin yang mendadak dan penurunan dari reseptor epidermal growth factor, sehingga akan mengamplifikasi kejadian AKI (Metra et al, 2008) Pentingnya perubahan fungsi ginjal pada saat hospitalisasi dan hubungannya dengan terapi dekongesti pada pasien dengan gagal jantung akut telah dikonfirmasi melalui analisis retrospektif dari penelitian ESCAPE (Evaluation Study of Congestive Heart Failure and Pulmonary Artery Catheterization Effectiveness Trial) dimana adanya hemokonsentrasi sebagai penanada dekongesti yang lebih intens berhubungan dengan prognosis yang lebih baik walaupun pada observasinya terjadi peningkaran kadar urea nitrogen darah/ blood urea nitrogen (BUN). Penemuan tersebut menyiratkan, terdapat suatu kebutuhan dalam menentukan suatu metode untuk membedakan apakah perubahan sementara pada kreatinin serum lebih berhubungan dengan diuresis yang berlebihan atau AKI yang akan terjadi lebih lama dan berakibat pada cedera yang lebih berat di ginjal (Testani et al, 2011). Temuan-temuan tersebut dapat disimpulkan bahwa hubungan antara terapi dekongesti, AKI transien atau persisten dan manajemen diuretik adalah tidak sepenuhnya dipahami. AKI transien mungkin terjadi sebagai akibat dekongesti yang agresif dan pemberian diuretik dengan dosis tinggi, sehingga merefleksikan penurunan temporer dari tekanan perfusi ginjal dan kelebihan beban kerja ginjal. Sedangkan AKI persisten kemungkinan terjadi akibat gangguan hemodinamik yang menyebabkan kerusakan ginjal dan aktivasi neurohormonal yang berlebihan (Pallazuoli et al, 2015). Pemberian loop diuretik intravena pada pasien dengan gagal jantung kongestif akan mengakibatkan efek diuretik yang bermakna. Pada sebagian besar pasien, peningkatan diuresis akan diserai dengan penurunann tekanan pengisian ventrikel kiri dan perbaikan gejala dengan cara mengurangi tekanan baji arteri pulmoner dan edema inta alveolar (Oppie dan Kaplan, 2009). Ketika
44
digunakan sebagai kombinasi bersama vasodilator, loop diuretik akan mengurangi remodeling ventrikel dan regurgitasi mitral, yang akan mengakibatkan peningkatan curah jantung. Terpisah dari efek hemodinamik menguntungkan ini, bila digunakan dalam jangka panjang, tidak didapatkan keuntungan dengan menggunakan pendekatan terapi ini (Stevenson et al, 1990). Penelitian ESCAPE telah menunjukkan bahwa pasien yang diberi dosis harian loop diuretik (300mg/ hari) memiliki pola laboratorium yang tidak menyenangkan, seperti peningkatan kadar peptide natriuretic/ BNP, peningkatan kreatinin serum dan hiponatermia serta memiliki keluaran klinis yang lebih buruk. Dalam analisis yang sama, peneliti mengobservasi adanya hubungan linear yang berkebalikan antara dosis diuretik dengan keluaran yang tidak diinginkan, sehingga disarankan menggunakan dosis terendah yang paling mungkin untuk meredakan gejala-gejala kongestif (Hasselblad et al, 2007). Namun, hubungan tersebut dapat menimbulkan kerancuan secara indikasi, yaitu pasien dengan gagal jantung yang lebih parah akan membutuhkan dosis diuretik yang lebih besar, terutama disaat tubuh tidak merespon dengan pengeluaran urin, dan hal ini akan menempatkan pasien pada risiko yang lebih tinggi terhadap efek buruk yang terpisah dari penggunaan loop diuretik (Pallazuoli, et al. 2015). Menurut penelitian Diuretic Optimization Strategis Evaluation (DOSE), sebuah penelitian kohort prospektif, uji acak double blind terkontrol, yang membandingkan strategi dosis rendah dan dosis tinggi serta metode pemberian secara infus kontinyu dan bolus dari loop diuretik pada populasi yang besar, tidak menemukan adanya keuntungan (kematian atau hospitalisasi) yang lebih unggul dari satu strategi dibandingkan strategi lainnya. Walaupun demikian, terjadi peningkatan kreatinin serum pada kelompok pasien yang diberi perlakuan infus kontinyu loop diuretik (Felker et al, 2011). Sebuah analisis Cochrane (Salvador et al, 2005), menunjukkan bahwa bolus loop diuretik berhubungan dengan peningkatan keluaran volume urin dan lebih sedikit efek yang tidak diinginkan bila dibandingkan infus secara
45
kontinyu, sayangnya tidak ada data yang dilaporkan mengenai kematian jangka panjang dan kejadian paska pulang dari perawatan. Apabila diambil kesimpulan dari penelitian-penelitian tersebut, pemberian loop diuretik dosis tinggi mungkin berkontribusi pada kejadian yang tidak diinginkan dan juga berperan sebagai perlambang adanya gagal jantung yang lebih berat yang memiliki prognosis yang buruk (Pallazuoli et al, 2015). Hal inilah yang mendasari penelitian penggunaan furosemide stress test pada pasien dengan gagal jantung akut dinilai tidak memperburuk fungsi ginjal dan keluaran klinis pasien dengan gagal jantung akut. Fungsi ginjal awal dan perubahan dinamis dari kreatinin serum, berhubungan dengan keluaran jangka pendek dan panjang. Sebuah studi observasional menunjukkan bahwa perubahan kreatinin serum selama perawatan berhubungan independen dengan peningkatan resiko kematian 1 tahun. Bagaimanapun, pada pasien dengan fungsi ginjal normal atau sedikit terganggu, perubahan kreatinin (ΔCr) (saat masuk hingga 48-72 jam) tidak signifikan berhubungan dengan kematian. Menariknya, pada subgrup pasien ini, penurunan ΔCr berhubungan dengan hasil akhir yang jelek. Mungkin, sedikit penurunan dari fungsi ginjal memang dibutuhkan untuk mempebaiki kongesti dan meningkatkan perbaikan gejala secara keseluruhuan (Ather et al, 2013). Inflamasi menurut teori, juga merupakan salah satu faktor predisposisi dalam yang menyebabkan perburukan fungsi ginjal hingga mengakibatkan kejadian AKI. Inflamasi secara umum memiliki 4 komponen dasar yaitu sel, sitokin, antibody dan komplemen. Pada SKR, inflamasi yang terjadi dimaknai sebagai inflamasi derajat rendah atau dapat didiskripsikan sebagai ketidak seimbangan antara jalur sinyal sistem imun dalam mendukung dan menghambat inflamasi. Dalam kurun waktu 30 tahun terakhir, telah didapatkan bukti-bukti adanya peranan aktivasi respons inflamasi dalam pathogenesis bermacam-macam penyakit jantung, termasuk gagal jantung. Beberapa penelitian terakhir juga mendemonstrasikan bahwa sitokin pro inflamasi mungkin juga diproduksi oleh kardiomiosit, saat terjadi iskemia atau stimulus
46
mekanis, juga disertai dengan peningkatan respon imun inang yang direpresentasikan dengan Toll like receptor, pentraxin like C-reactive protein dan pentraxin. Dari temuan-temuan ini, kemudian dapat disimpulkan bahwa pada pasien dengan gagal jantung, disregulasi sistem imun mungkin dapat terjadi; sitokin bukan hanya dapat menimbulkan kerusakan organ jauh seperti AKI, namun sitokin juga mampu merusak miosit (Bongartz et al, 2005). Peningkatan yang berlebihan sitokin-sitokin pro inflamasi dapat diliat melalui peningkatan marker-marker prognosis tersirkulasi (terutama CRP, pentraxin 3, TNF-α, IL-1 dan IL-6) telah secara rutin terdokumentasikan pada pasien dengan gagal jantung akut (Milo et al, 2003). Aktivasi inflamasi ini akan menimbulkan
disfungsi
vaskuler
dan
kelebihan
cairan
ada
ruang
ekstravaskuler. Laporan penelitian terbaru menunjukkan bahwa inflamasi akan menganggu proses reabsorbsi cairan pada interstisial paru dan alveoli, sehingga akan menyebabkan kelebihan cairan di paru-paru walaupun tanpa disertai peningkatan total cairan tubuh (Cotter et al, 2008) Mekanisme ini mungkin sebagai penyebab tidak adekuatnya tekanan perfusi ginjal, edema peritubuler, pengurangan patologis dari GFR dan yang paling utama kerusakan tubuler ginjal (Bongartz et al, 2005). Selain itu Sangatlah mungkin seseorang akan mengalami episode AKI subklinis atau yang tidak terdeteksi berulang kali seumur hidupnya, dan masing-masing episode akan menyebabkan jejas pada unit nefron, dengan perbaikan parsial maupun kematian yang permanen pada beberapa nefron. Terutama pada pasien-pasien dengan gagal jantung akut dekompensasi yang berulang kali mengalami gejala dekompensasi seperti pada subyek penelitian ini. Karena ginjal masih dapat meningkatkan aliran darah dan melakukan filtrasi, klinisi biasanya tidak dapat mendeteksi kejadian ini dengan hanya melakukan pemeriksaan serum kreatinin. Beberapa kejadian AKI biasanya terjadi akibat episode dehidrasi berat (misal pada kondisi gastroenteritis), paska operasi elektif, efek toksik terapi (misal:kemoterapi dan antibiotik), dan penggunaan agen-agen kontras iodin pada berbagai macam pemeriksaan pencitraan. Hal ini mungkin dapat menjelaskan kenapa pasien tanpa adanya
47
tanda-tanda gagal ginjal ataupun faktor risiko dapat mengalami SKR pada kondisi klinis gagal jantung akut (Ouwens et al, 2010). Kemungkinan kejadian inilah yang mendasari mengapa sebagian besar populasi sample penelitian yang mengalami AKI sudah memiliki baseline fungsi ginjal yang sudah menurun, sehingga kondisi dekompensasi jantung akut dapat memicu perburukan fungsi ginjal pada pasien.
4.4 Keterbatasan Penelitian Penelitian ini mempunyai keterbatasan yaitu : 1
Penelitian ini tidak mencantumkan status volume pada pasien-pasien dengan gagal jantung, yang sebagian besar biasanya overhidrasi sehingga tidak diketahui bagaimana efek furosemide stress test pada masing-masing status volume.
2
Penelitian ini hanya sebatas pada penelitian klinis, belum menyentuh materi biomolekuler, sehingga peneliti belum mengetahui mekanisme biomolekuler yang mendasari keberhasilan furosemide stress test.
3
Penelitian ini hanya pada satu senter, perlu dilakukan pada multisenter dengan jumlah sampel yang lebih banyak agar bisa mengurangi bias dan menambah kekuatan penelitian.