BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1.
Hasil Penelitian
4.1.1
Sejarah Bursa Efek Indonesia Secara historis, pasar modal telah hadir jauh sebelum Indonesia merdeka.
Pasar modal atau bursa efek telah hadir sejak jaman kolonial Belanda dan tepatnya pada tahun 1912 di Batavia. Pasar modal ketika itu didirikan oleh pemeritah Hindia Belanda untuk kepentingan pemerintah kolonial atau VOC. Sekitar awal abad ke-19 pemerintah kolonial Belanda mulai membangun perkebunan secara besar-besaran di Indonesia. Salah satu sumber dana adalah dari para penabung yang dikerahkan sebaik-baiknya. Para penabung tersebut terdiri dari orang-orang Belanda dan Eropa lainnya yang penghasilannya sangat jauh lebih tinggi dari penghasilan penduduk pribumi. Atas dasar itulah maka pemerintah kolonial waktu itu mendirikan pasar modal. Setelah mengadakan persiapan, maka akhirnya Amsterdamse Effectenbueurs mendirikan cabang yang terletak di Batavia pada tanggal 14 Desember 1912, yang menjadi penyelenggara adalah Vereniging voor de Effectenhadel dan langsung memulai perdagangan. Pada awalnya bursa ini memperjual belikan saham dan obligasi perusahaan/perkebunan Belanda yang beroperasi di Indonesia, obligasi yang diterbitkan pemerintah (provinsi dan kotapraja), sertifikat saham perusahaanperusahaan Amerika yang diterbitkan oleh kantor administrasi di negeri Belanda serta efek perusahaan Belanda lainnya. Meskipun pasar modal telah ada sejak tahun 1912, perkembangan dan pertumbuhan pasar modal tidak berjalan seperti 47
48
yang diharapkan, bahkan pada beberapa periode kegiatan pasar modal mengalami kevakuman. Hal tersebut disebabkan oleh beberapa faktor seperti perang dunia ke I dan II, perpindahan kekuasaan dari pemerintah kolonial kepada pemerintah Republik Indonesia, dan berbagai kondisi yang menyebabkan operasi bursa efek tidak berjalan dengan sebagaimana mestinya. Tonggak perkembangan pasar modal di Indonesia dimulai pada tanggal 14 Desember 1912, saat bursa efek pertama di Indonesia dibentuk di Batavia oleh pemerintah Hindia Belanda.Pada tahun 1914-1918 Bursa Efek di Batavia sempat ditutup selama periode perang dunia I dan dibuka kembali pada tahun 1925 bersama dengan Bursa Efek di Semarang dan Surabaya. Pada awal tahun 1939 Bursa Efek di Semarang dan Surabaya ditutup karena isu politik (Perang Dunia II). Pada tahun 1942-1952, Bursa Efek di Jakarta di tutup kembali selama Perang Dunia II. Pada tahun 1952, Bursa Efek di Jakarta diaktifkan kembali dengan UU Darurat Pasar Modal 1952, yang dikeluarkan oleh Mentri Kehakiman (Lukman Wiradinata) dan Mentri Keuangan (Prof. DR. Sumitro Djojohadikusumo). Instrument yang diperdagangkan adalah Obligasi Pemerintah RI (1950). Akibat program Nasionalisasi perusahaan Belanda pada tahun 1956 mengakibatkan bursa efek semakin tidak aktif dan diikuti dengan kevakuman perdagangan di Bursa Efek hingga tahun 1977. Pemerintah Republik Indonesia mengaktifkan kembali pasar modal pada tahun 1977, dan beberapa tahun kemudian pasar modal mengalami pertumbuhan seiring dengan berbagai insentif dan regulasi yang dikeluarkan pemerintah. Pada tanggal 28 Desember 1976, melalui Keppres No.52/1976, pasar modal disahkan
48
49
dan pada tanggal 10 Agustus 1977 Bursa Efek dresmikan kembali oleh Presiden Soeharto. BEJ tersebut dijalankan dibawah BAPEPAM (Badan Pelaksana Pasar Modal). Pengaktifan kembali pasar modal ini juga ditandai dengan go public PT Semen Cibinong sebagai emiten pertama. Sekitar tahun 1977 hingga 1987 perdagangan di Bursa Efek sangat lesu, jumlah emiten hingga 1987 baru mencapai 24. Masyarakat lebih memilih instrument perbankan dibandingkan instrument Pasar Modal. Untuk mengatasinya, berbagai kebijakan dikeluarkan oleh pemerintah yang bersifat non pajak seperti Paket Desember 1987 (PAKDES 87) yang memberikan kemudahan bagi perusahaan untuk melakukan Penawaran Umum dan investor asing menanamkan modal di Indonesia. Pada tanggal 2 Juni 1998, Bursa pararel Indonesia (BPI) mulai beroperasi dan dikelola oleh Persatuan Perdagangan Uang dan Efek (PPUE), sedangkan organisasinya terdiri dari broker dan dealer. Sedangkan pada Desember 1988 Pemerintah mengeluarkan Paket Desember 1988 (PAKDES 88) yang memberikan kemudahan perusahaan untuk go public dan beberapa kebijakan lain yang positif bagi pertumbuhan pasar modal. Kemudian pada tanggal 16 Juni 1989, Bursa Efek Surabaya (BES) mulai beroperasi dan dikelola oleh Perseroan Terbatas milik swasta yaitu PT Bursa Efek Surabaya. Pada akhirnya, di tahun 1995 Bursa Pararel Indonesia merger dengan Bursa Efek Surabaya. Berdasarkan keppres No.53/1990 dan KMK No.1548/1990, terjadi peralihan fungsi Badan Pelaksana Pasar Modal (Bapepam) menjadi Badan Pengawas Pasar Modal (BAPEPAM). Pada tanggal 13 Juli 1992 dilakukan Swastanisasi BEJ dan menjadi PT. Bursa Efek Jakarta.
49
50
Bursa Efek Jakarta meluncurkan sistem JATS (Jakarta Automated Trading systems) yang merupakan sistem otomatisasi perdagangan pada tanggal 22 Mei 1995. Sistem baru ini dapat memfasilitasi perdagangan saham dengan frekuensi yang lebih besar dan lebih menjamin kegiatan pasar yang fair dan transparan dibandingkan sistem perdagangan manual. Selain itu, sistem ini juga menghilangkan keterbatasan sistem manual, antara lain terjadinya kesalahan tulis dan penyampaian informasi yang terlambat. Kemudian pada tahun 2002 BEJ mulai mengaplikasikan sistem perdagangan jarak jauh (remote trading) yang memiliki banyak keunggulan dibandingkan dengan sistem sebelumnya, yaitu floor trading. Sistem baru ini dapat memudahkan investor dalam melakukan transaksi jual beli saham. Pada akhirnya, di tahun 2007 Bursa Efek Surabaya (BES) digabung dengan Bursa Efek Jakarta (BEJ) dan berubah nama menjadi Bursa Efek Indonesia (BEI).
4.1.2
Sampel Penelitian Obyek penelitian yang digunakan pada penelitian ini adalah Perusahaan
Manufaktur yang telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2011 sampai dengan 2013 secara berturut-turut. Berikut nama-nama perusahaan yang menjadi sampel penelitian:
50
51
Tabel 2 Perusahaan Sampel Penelitian NO
KODE SAHAM
NAMA PERUSAHAAN
1.
AKRA
PT AKR Corporindo Tbk.
2.
ALMI
PT Alumindo Light Metal Industry Tbk.
3.
ARGO
PT Argo Pantes Tbk.
4.
ASII
5.
AUTO
PT Astra Otoparts Tbk.
6.
BRNA
PT Berlina Tbk.
7.
BTON
PT Betonjaya Manunggal Tbk.
8.
DPNS
PT Duta Pertiwi Nusantara Tbk.
9.
ETWA
PT Eterindo Wahanatama Tbk.
10.
GGRM
PT Gudang Garam Tbk.
11.
HDTX
PT Panasia Indo Resources Tbk.
12.
IKAI
PT Intikeramik Alamasri Industri Tbk.
13.
INTA
PT Intraco Penta Tbk.
14.
JKSW
PT Jakarta Kyoei Steel Works Tbk.
15.
JPRS
PT Jaya Pari Steel Tbk.
16.
KBLM
PT Kabelindo Murni Tbk.
17.
KONI
PT Perdana Bangun Pusaka Tbk.
18.
LION
PT Lion Metal Works Tbk.
19.
LMPI
PT Langgeng Makmur Industri Tbk.
20.
LMSH
PT Lion Mesh Prima Tbk.
21.
LTLS
PT Lautan Luas Tbk.
22.
MLIA
PT Mulia Industrindo Tbk.
23.
NIPS
PT Nippress Tbk.
24.
PRAS
PT Prima Alloy Steel Universal Tbk.
25.
PSDN
PT Prasidha Aneka Niaga Tbk.
26.
PYFA
PT Pyridam Farma Tbk.
PT Astra Internasional Tbk.
51
52
27.
SSTM
PT Sunson Textile Manufacture Tbk.
28.
STTP
PT Siantar Top Tbk.
29.
TBLA
PT Tunas Baru Lampung Tbk.
30.
TCID
PT Mandom Indonesia Tbk.
31
ULTJ
PT Ultrajaya Milk industry & Tranding Company Tbk.
32
YPAS
PT Yanaprima Tbk.
Sumber: Lampiran 1 4.1.3
Deskriptif Hasil Penelitian Statistik
deskriptif
memberika
gambaran
masing-masing
variabel
penelitian yaitu kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kualitas audit sebagai variabel independen dan Manajemen Laba (DA) sebagai variabel dependen. Data yang diperoleh dari hasil analisis statistik deskriptif menunjukkan nilai terendah (minimum), nilai tertinggi (maksimum), nilai rata-rata (mean), dan tingkat penyebaran data (standar deviasi) dari setiap variabel yang diteliti. Statistik deskriptif variabel penelitian disajikan dalam tabel berikut : Tabel 3 Hasil Uji Analisis Deskriptif N Minimum Maximum Mean Std. Deviation 96 .01 .26 .0849 .06824 96 .32 .96 .6469 .15278 96 4.88 8.33 6.0747 .73588 96 .00 1.00 .3437 .47745 96 -1591514.00 13528000.00 433994.4062 1954312.09782
KM KI UK KA DA Valid N 96 (listwise) Sumber :Lampiran 3
52
53
Pada table di atas menunjukkan bahwa jumlah data yang digunakan dalam penelitian ini adalah 96 observasi. Nilai rata-rata dari variabel kepemilikan manajerial adalah 0.0849 dengan tingkat rata-rata penyimpangan sebesar 0.06824. Nilai kepemilikan manajerial tertinggi adalah 0.26 dan nilai kepemilikan manajerial terendah adalah 0.01. Nilai rata-rata dari variabel kepemilikan institusional adalah 0.6469 dengan tingkat rata-rata penyimpangan sebesar 0.15278. Nilai kepemilikan institusional tertinggi adalah 0.96 dan nilai kepemilikan institusional terendah adalah 0.32. Nilai rata-rata dari variabel ukuran perusahaan adalah 6.0747 dengan tingkat rata-rata penyimpangan sebesar 0.73588. Nilai ukuran perusahaan tertinggi adalah 8.33 dan nilai ukuran perusahaan terendah adalah 4.88. Nilai rata-rata dari variabel kualitas audit adalah 0.3437 dengan tingkat rata-rata penyimpangan sebesar 0.47745. Nilai kualitas audit tertinggi adalah 1 dan nilai kualitas audit terendah adalah 0. Nilai rata-rata dari variabel Manajemen Laba (DA) adalah 433994 dengan tingkat rata-rata penyimpangan sebesar 1954312. Nilai manajemen laba (DA) tertinggi adalah 13528000 dan nilai manajemen laba (DA) terendah adalah -1591514.
53
54
4.1.4
Uji Asumsi Klasik uji asumsi klasik dilakukan untuk mengetahui kondisi data yang
digunakan dalam penelitian. Uji asumsi klasik yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari uji normalitas, uji multikolinearitas, uji heteroskedastisitas, dan uji autokorelasi. 1. Uji Normalitas Uji Normalitas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi, variabel pengganggu atau residual memiliki distribusi normal atau tidak. Dalam penelitian ini, pengujian kenormalan data dilakukan dengan menggunakan uji Kolmogorov. Tabel 4 Hasil Uji Normalitas One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N 96 Mean 0E-7 a,b Normal Parameters 1568382.921891 Std. Deviation 50 Absolute .188 Most Extreme Positive .188 Differences Negative -.120 Kolmogorov-Smirnov Z 1.844 Asymp. Sig. (2-tailed) .002 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Lampiran 4
54
55
Berdasarkan hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-smirnov diperoleh nilai uji Asymp. Sig (2-tailed) sebesar 0,002(ρ = 0,002).Karena ρ = 0,002< α = 0,05 maka hasil uji Kolmogorov-Smirnov memberikan kesimpulan bahwa data tidak berdistribusi normal. Hasil pengujian asumsi klasik tidak memenuhi asumsi normalitas. Data yang digunakan untuk mengatasi masalah ketidaknormalan adalah dengan transformasi data. Bentuk transformasi yang digunakan adalah bentuk logaritma (Suliyanto, 2011). Kemudian data dilakukan pengujian asumsi klasik normalitas kembali untuk mengetahui apakah data setelah di transformasi ini telah bebas dari pelanggaran. Berikut hasil uji normalitas data setelah dilakukan transformasi. Tabel 5 Hasil Uji Normalitas Setelah Dilakukan Transformasi One-Sample Kolmogorov-Smirnov Test Unstandardized Residual N 96 Normal Mean 0E-7 a,b Parameters Std. Deviation .51267626 Absolute .125 Most Extreme Positive .066 Differences Negative -.125 Kolmogorov-Smirnov Z 1.221 Asymp. Sig. (2-tailed) .102 a. Test distribution is Normal. b. Calculated from data. Sumber: Lampiran 4 Berdasarkan hasil uji normalitas dengan Kolmogorov-Smirnov nilai uji Asymp. Sig (2-tailed) yang tertera sebesar 0,102(ρ = 0,102). Karena ρ = 0,102>α
55
56
= 0,05 maka hasil uji Kolmogorov-Smirnov memberikan kesimpulan bahwa data berdistribusi normal. 2. Uji Multikolinieritas Uji multikolinieritas dilakukan untuk menguji apakah dalam model regresi yang terbentuk ada korelasi yang tinggi atau sempurna diantara variabel bebas atau tidak. Jika dalam model regresi yang terbentuk terdapat korelasi yang tinggi atau sempurna diantara variabel bebas maka model regresi tersebut mengandung gejala multikolinier. Metode yang dapat digunakan untuk mendeteksi adanya masalah multikolinieritas, yaitu dengan menggunakan Variance Inflation Factor / VIF. Jika nilai VIF kurang dari 10 maka tidak terdapat multikolinieritas dalam data. Berdasarkan hasil uji Variance Inflation Factor / VIF diperoleh nilai VIF pada masing-masing variabel bebas adalah sebagai berikut : Tabel 6 Hasil Uji Multikolinearitas
1
Uji multikolinieritas Collinearity Statistics Model Tolerance VIF (Constant) Kepemilikan Manajerial .722 1.386 Kepemilikan Institusional .766 1.306 Ukuran Perusahaan .623 1.604 Kualitas Audit .661 1.512
a. Dependent Variable: DA Sumber: Lampiran 4
56
57
Dari keempat variabel tersebut menunjukkan nilai VIF yang lebih kecil dari 10, sehingga dapat dikatakan bahwa dalam model tersebut tidak terdapat multikolinearitas. 3. Uji Heteroskedastisitas Uji Heteroskedastisitas bertujuan untuk menguji apakah dalam model regresi terdapat varian yang tidak sama dari residual satu pengamatan ke pengamatan lain. Uji ini dilakukan dengan metode Scatterplot antara nilai prediksi variabel independen dengan residualnya.
Gambar 2 Hasil Uji Heteroskedastisitas
Berdasarkan gambar 2 dapat diketahui bahwa plot terbentuk pola. Maka dapat
disimpulkan
bahwa
terjadi
heteroskedastisitas.
heteroskedastisitas setelah dilakukan transformasi.
57
Berikut
hasil
uji
58
Gambar 3 Hasil Uji Heteroskedastisitas Berdasarkan gambar 3, setelah data di transformasikan dapat diketahui bahwa plot tidak terbentuk pola. Maka dapat disimpulkan bahwa tidak terjadi heteroskedastisitas. 3. Uji Autokorelasi Uji Autokorelasi bertujuan untuk menguji apakah dalam suatu model regresi linear terdapat korelasi antara residual pada periode t dengan residual periode t-1 (sebelumnya). Cara yang dapat digunakan untuk mendeteksi ada atau tidaknya autokorelasi adalah dengan uji Durbin-Watson (DW). Hasil uji autokorelasi disajikan dalam tabel berikut :
58
59
Tabel 7 Hasil Uji Autokorelasi Model Summaryb Model
R
1
.597a
R Square .356
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
.328 1602482.189
DurbinWatson 1.287
a. Predictors: (Constant), KA, KM, KI, UK b. Dependent Variable: DA Sumber: Lampiran 4 Berdasarkan tabel 7 dapat diketahui bahwa hasil uji autokorelasi menunjukkan nilai DW sebesar 1,287 yang terletak antara -2 sampai +2 maka dapat disimpulkan tidak ada autokorelasi pada model persamaan regresi. 4.1.5
Pengujian Hipotesis
4.1.5.1 Analisis Regresi Linier Berganda Analisis regresi linier berganda digunakan untuk mendapatkan koefisien regresi yang akan menentukan apakah hipotesis yang dibuat diterima atau ditolak, maka dilakukan pengujian secara statistik. Pengujian dilakukan dengan menggunakan analisis regresi linier berganda. Data diolah dengan program komputer Statistical Package For Social Science (SPSS). Berdasarkan hasil perhitungan dengan bantuan paket program SPSS maka dapat diperoleh hasil analisis sebagai berikut:
59
60
Tabel 8 Hasil Analisis Regresi Linier Berganda Coefficientsa Unstandardized Standardize Coefficients d Coefficients
Model
B Std. Error -1.480 .681
(Constan) 1
t
Sig.
Beta -2.174
.032
KM
-.835
.927
-.060
-.900
.370
KI
-.039
.402
-.006
-.097
.923
UK
1.046
.092
.813
11.310
.000
KA
.023
.138
.012
.170
.866
a. Dependent Variable: log_DA Sumber: Lampiran 5 Berdasarkan tabel 8, diperoleh persamaan regresi linier berganda sebagai berikut: Y = -1,480 – 0,835 KM - 0,039 KI + 1,046 UK + 0,023 KA Persamaan regresi diatas dapat diinterpretasikan sebagai berikut: 1. Konstanta
sebesar
-1,480
yang
menunjukkan
besarnya
variabel
kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kualitas audit atau variabel bebas = 0 maka nilai DA sebesar 1,480. 2. Variabel kepemilikan manajerial memiliki koefisien regresi sebesar -0,835 menunjukkan bahwa jika kepemilikan manajerial meningkat satu satuan maka akan mengakibatkan peningkatan DA sebesar 0,835 dan sebaliknya apabila menurun satu satuan maka akan mengakibatkan penurunan DA sebesar 0,835.
60
61
3. Variabel kepemilikan institusional memiliki koefisien regresi sebesar -0,039 menunjukkan bahwa jika kepemilikan institusional meningkat satu satuan maka akan mengakibatkan peningkatan DA sebesar 0,039 dan sebaliknya apabila menurun satu satuan maka akan mengakibatkan penurunan DA sebesar 0,039. 4. Variabel ukuran perusahaan memiliki koefisien regresi sebesar 1,046 menunjukkan bahwa jika ukuran perusahaan meningkat satu satuan maka akan mengakibatkan peningkatan DA sebesar 1,046 dan sebaliknya apabila menurun satu satuan maka akan mengakibatkan penurunan DA sebesar 1,046. 5. Variabel kualitas audit memiliki koefisien regresi sebesar 0,023 menunjukkan bahwa jika kualitas audit meningkat satu satuan maka akan mengakibatkan peningkatan DA sebesar 0,023 dan sebaliknya apabila menurun satu satuan maka akan mengakibatkan penurunan DA sebesar 0,023.
4.1.5.2 Uji Koefisien Determinasi (R2) Koefisien determinasi bertujuan untuk mengukur seberapa jauh model dalam menerangkan variabel-variabel dependen. Nilai koefisien determinasi berkisar antara nol dan satu. Nilai R2yang kecil berarti kemampuan variabelvariabel independen dalam menjelaskan variasi dependen terbatas. Nilai yang mendekati satu berarti variabel-variabel independen memberikan hampir semua informasi yang dibutuhkan untuk memprediksi variasi variabel independen.
61
62
Tabel 9 Hasil Uji Koefisien Determinasi Model Summaryb Model
R
R Square
Adjusted R Square
Std. Error of the Estimate
1
.841
a
.707
.694
.52382
a. Predictors: (Constant), KA, KM, KI, UK b. Dependent Variable: log_DA
Sumber: Lampiran 5 Berdasarkan tabel diatas pada kolom Adjusted R Square, diperoleh nilai koefisien determinasi sebesar 0,694 yang berarti 69,4% variabel manajemen laba dapat dipengaruhi oleh kepemilikan manajerial, kepemilikan institusional, ukuran perusahaan, dan kualitas audit. Sedangkan sisanya, 30,6% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain diluar penelitian.
4.1.5.3 Uji Goodness of Fit (Uji F) Ketepatan fungsi regresi sampel dalam menafsirkan nilai aktual dapat diukur dari goodness of fit. Goodness of fit menguji H0 bahwa data empiris cocok atau sesuai dengan model (tidak ada perbedaan antara model dengan data sehingga model dapat dikatakan fit).
62
63
Tabel 10 Hasil Perhitungan Uji F
Model Regression 1
Sum of Squares 60.136
ANOVAa Df 4
Mean Square 15.034 .274
Residual
24.970
91
Total
85.106
95
F 54.791
Sig. .000b
a. Dependent Variable: log_DA b. Predictors: (Constant), KA, KM, KI, UK Sumber: Lampiran 5 Berdasarkan hasil uji model dengan menggunakan uji F, diperoleh nilai F hitung sebesar 54,034 dengan tngkat signifikansi sebesar 0,000. Nilai F memberikan hasil yang signifikan sehingga dapat disimpulkan bahwa pengaruh variabel independen yang terdiri dari struktur kepemilikan, ukuran perusahaan, dan kualitas audit terhadap manajemen laba adalah sudah tepat. 4.1.5.4 Uji Parsial (Uji t) Uji t digunakan untuk menguji bagaimana pengaruh masing-masing variabel bebasnya secara sendiri-sendiri terhadap variabel terikatnya. Pengujian ini dilakukan dengan menggunakan tingkat signifikansi sebesar α = 5% atau 0,05.
63
64
Tabel 11 Hasil Perhitungan Uji T Coefficientsa Model
Unstandardized Coefficients
Standardized
t
Sig.
Coefficients B (Constant)
1
Std. Error -1.480
.681
KM
-.835
.927
KI
-.039
UK KA
Beta -2.174
.032
-.060
-.900
.370
.402
-.006
-.097
.923
1.046
.092
.813
11.310
.000
.023
.138
.012
.170
.866
a. Dependent Variable: log_DA
Sumber: Lampiran 5 Berdasarkan dari tabel 11 diatas didapatkan hasil pengujian sebagai berikut : 1. Nilai t hitung untuk kepemilikan manajerial sebesar -0,900 < 1,662 (t tabel) dengan nilai signifikansi 0,370 > 0,05. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H1 Ditolak artinya secara parsial kepemilikan manajerial berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap manajemen laba. 2. Nilai t hitung untuk kepemilikan institusional sebesar -0,097 < 1,662 (t tabel) dengan nilai signifikansi 0,923 > 0,05. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H1 Ditolak artinya secara parsial kepemilikan Institusional berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap manajemen laba. 3. Nilai t hitung untuk ukuran perusahaan sebesar 11,310 > 1,662 (t tabel) dengan nilai signifikansi 0,000 < 0,05. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H1 Diterima artinya secara parsial ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba.
64
65
4. Nilai t hitung untuk kualitas audit sebesar 0,170 < 1,662 (t tabel) dengan nilai signifikansi 0,866 > 0,05. Dari hasil tersebut maka dapat disimpulkan bahwa H1 Ditolak artinya secara parsial kualitas audit berpengaruh positif tidak signifikan terhadap manajemen laba.
65
66
4.2
Pembahasan
4.2.1
Pengaruh Kepemilikan Manajerial terhadap Manajemen Laba Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa variabel kepemilikan manajerial
secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, dimana nilai sig. t hitung lebih besar dari 5% dengan nilai koefisien regresi sebesar -0.835 yang berarti kepemilikan manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Boediono (2005) yang menemukan bahwa kepemilikan manajerial berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Begitu pula dengan penelitian Herawaty (2008) kepemilikan manajerial justru secara signifikan memperkuat manajemen laba sehingga semakin besar kepemilikan manajerial semakin mendorong manajemen untuk melakukan manajemen laba. Pernyataan diatas tidak sebanding dengan penelitian ini. Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kepemilikan manajerial terhadap manajemen laba. Kemungkinan hal ini dapat terjadi karena secara statistik rata-rata jumlah kepemilikan manajerial pada perusahaan manufaktur relatif kecil sehingga belum terdapat keselarasan kepentingan antara pemilik dan manajer. Kepemilikan manajerial yang masih rendah menyebabkan manajer bertindak merugikan pemegang saham seperti melakukan kecurangan akuntansi yang disebabkan manajer melindungi kepentingannya yang berbeda dari kepentingan pemegang saham. Hasil penelitian ini konsisten dengan penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Guna dan Herawaty (2010) yang menunjukkan kepemilikan
66
67
manajerial tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Begitu pula dengan penelitian Midiastuty dan Machfoedz (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68) yang mengatakan kepemilikan manajerial berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Begitu pula penelitian Warfield et al. (1995) dan Nuryaman (2010) yang menemukan bahwa struktur kepemilikan juga memiliki nilai negatif terhadap manajemen laba.
4.2.2
Pengaruh Kepemilikan Institusional terhadap Manajemen Laba Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa variabel kepemilikan institusional
secara parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, dimana nilai sig. t hitung lebih besar dari 5% dengan nilai koefisien regresi sebesar -0.039 yang berarti kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Herawaty (2008) menyimpulkan bahwa kepemilikan institusional secara signifikan memperkuat manajemen laba. Hasil ini senada dengan penelitian Midiastuty dan Machfoedz (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68) yang menemukan adanya hubungan yang signifikan antara kepemilikan institusional terhadap manajemen laba. Pernyataan diatas tidak sebanding dengan hasil penelitian ini. Berdasarkan hasil penelitian ini, tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kepemilikan institusional terhadap manajemen laba. Hal ini dikarenakan besar kecilnya kepemilikan saham yang dimiliki oleh pemegang saham institusi tidak mampu mengawasi perilaku manajemen yang bersifat oportunistik dalam mengelola laporan keuangan karena ruang lingkupnya tidak berada dalam internal
67
68
perusahaan sehingga tindakan manajemen laba yang dilakukan oleh pihak manajemen mungkin saja masih dapat terjadi. Koefisien regresi kepemilikan institusional menunjukkan arah negatif terhadap manajemen laba. Hasil ini senada dengan hasil penelitian Nuryaman (2010) yang menemukan kepemilikan institusional berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Hal ini juga konsisten dengan penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh Siregar dan Utama (dalam Guna dan Herawaty, 2010:53-68) menghasilkan penelitian kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Begitu pula dengan penelitian Guna dan Herawaty (2010) yang menunjukkan kepemilikan institusional tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba.
4.2.3
Pengaruh Ukuran Perusahaan terhadap Manajemen Laba Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa variabel ukuran perusahaan secara
parsial berpengaruh terhadap manajemen laba, dimana nilai sig. thitung lebih kecil dari 5% dengan nilai koefisien regresi sebesar 1,046 yang berarti ukuran perusahaan berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian sebelumnya yaitu penelitian yang dilakukan oleh Nuryaman (2008) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap manajemen laba. Namun, hasil penelitian ini didukung oleh penelitian sebelumnya yaitu penelitian Halim et al (2005) yang menyatakan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif terhadap manajemen laba.
68
69
Perusahaan yang berukuran besar juga memiliki basis yang lebih luas, sehingga berbagai kebijakan akan berdampak lebih besar terhadap kepentingan publik dibandingkan dengan perusahaan kecil. Bagi investor, kebijakan perusahaan akan berimplikasi terhadap prospek arus kas dimasa yang akan datang. Sedangkan bagi pemerintah akan berdampak terhadap besarnya pajak yang akan diterima. Jadi dapat disimpulkan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh positif signifikan terhadap manajemen laba. Artinya, bahwa perusahaan yang memiliki skala besar, maka semakin besar pula kesempatan manajer untuk melakukan manajemen laba dimana perusahaan besar memiliki aktivitas operasional yang lebih kompleks, selain itu perusahaan besar juga dituntut untuk memenuhi ekspektasi investor yang lebih tinggi, dan motivasi untuk menurunkan biaya politik.
4.2.4
Pengaruh Kualitas Audit terhadap Manajemen Laba Berdasarkan hasil uji t diketahui bahwa variabel kualiatas audit secara
parsial tidak berpengaruh terhadap manajemen laba, dimana nilai sig. thitung lebih besar dari 5% dengan nilai koefisien regresi sebesar 0,023 yang berarti kualitas audit tidak berpengaruh signifikan terhadap manajemen laba. Hasil penelitian ini bertolak belakang dengan penelitian Guna dan Herawaty (2010) menyimpulkan bahwa adanya pengaruh yang signifikan kualitas auditor terhadap manajemen laba. Pernyataan tersebut tidak sebanding dengan penelitian ini. Berdasarkan pada hasil penelitian yang dilakukan oleh peneliti, tidak menunjukkan adanya pengaruh yang signifikan antara kualitas audit yang
69
70
diukur berdasarkan ukuran KAP (KAP Big Four dan Non Big Four) terhadap manajemen laba. Perusahaan yang di audit oleh KAP besar tidak terbukti membatasi perilaku manajemen laba yang dilakukan perusahaan, tetapi malah menambah tindakan manajemen laba. Dilihat dari hubungan antara variabel kualitas auditor dengan manajemen laba yang positifyang artinya semakin tinggi kualitas audit maka akan semakin tinggi tindakan manajemen laba. Hal tersebut disebabkan karena auditor yang termasuk Big Four lebih kompeten dan profesional dibanding auditor Non Big Four, ia memiliki pengetahuan lebih banyak tentang cara mendeteksi dan memanipulasi laporan keuangan secara akuntansi sehingga kemungkinan besar lebih mudah untuk melakukan tindakan manajemen laba. Terdapat beberapa bukti yang menunjukkan bahwa KAP Big Four tidak menghasilkan hasil audit yang berkualitas yaitu kasus bank beku operasi (1999), hasil audit PT Kimia Farma yang diaudit oleh KAP besar ternyata menemukan kekeliruan dan juga kasus Enron yang baru terbongkar dalam waktu yang lama. Hasil penelitian ini konsisten dengan hasil penelitian yang dilakukan oleh Siregar dan Utomo (2006) yang menyatakan bahwa tidak menemukan pengaruh yang signifikan terhadap praktik manajemen laba yang dilakukan dalam perusahaan. Begitu pula dengan penelitian yang dilakukan oleh Veronica dan Utama (2005) serta Nuryaman (2008) yang menyatakan bahwa kualitas audit tidak berpengaruh terhadap manajemen laba.
70