BAB 4 HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 4.1. Tax Haven sebagai Sarana Penghindaran Pajak Di Indonesia, pengertian tax haven secara resmi tertuang dalam UU Nomor 36 Tahun 2008 tentang Pajak Penghasilan. Di Pasal 18 ayat 3c dikatakan bahwa tax haven adalah negara yang memberi perlindungan pajak. Kriteria negara tax haven bagi Indonesia telah tertuang dalam SE Dirjen Pajak Nomor SE-04/PJ.7/1993 bahwa negara tax haven adalah negara yang tidak memungut pajak dan/atau memiliki pajak lebih rendah dari Indonesia. Penjelasan lebih detail tertuang pada Lampiran VIII PER-34/PJ/2010 Tentang Bentuk Formulir Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang Pribadi dan Badan Beserta Petunjuk Pengisiannya, bahwa negara tax haven adalah negara yang tidak memungut pajak atau memungut pajak lebih rendah 50% dari Indonesia dan/atau negara yang memiliki kerahasiaan bank dan tidak bersedia melakukan pertukaran informasi. OECD, sebagai panutan negara-negara di dunia dalam penetapan standard hukum dan penyusunan kebijakan, memiliki baik kriteria maupun list negara tax haven. Publikasi OECD mengenai tax haven di tahun 1998, Harmful Tax Competition menyatakan bahwa OECD membagi dua jenis negara yaitu tax haven dan harmful tax regime. Kriteria untuk tax haven adalah 1) menerapkan tarif pajak yang rendah, 2) kurangnya pertukaran informasi, 3) kurangnya transparansi, 4) adanya kegiatan yang tidak memiliki substansi ekonomi di negara tersebut. Sedangkan kriteria untuk harmful tax regime adalah 1) menerapkan tarif pajak yang rendah, 2) kurangnya pertukaran informasi dan/atau 3) kurangnya transparansi, 4) memiliki kebijakan ring fencing (perbedaan perlakuan perpajakan kepada resident 73
atau non resident suatu negara). Di tahun 2009, OECD mempublikasikan list of tax haven countries yang kemudian di revisi di Desember 2012 karena ada beberapa negara yang telah setuju untuk bersikap kooperatif. Kriteria yang dipublikasikan oleh OECD tentunya lebih detail dan jelas dibanding kriteria yang dipublikasikan oleh pemerintah Indonesia. Namun keduanya sama-sama menyinggung mengenai rendahnya tarif pajak di negara tax haven. Tax haven bukanlah suatu wacana baru di bidang perekonomian, ini merupakan masalah yang sudah lama terjadi namun hingga saat ini masih belum dapat diselesaikan secara tuntas. Mengatasi permasalahan tax haven ini bukanlah hal yang mudah karena masalah ini melibatkan berbagai pihak dengan berbagai kepentingan. OECD sebagai organisasi negara maju dalam mengkaji kebijakankebijakan perekonomian telah memberikan berbagai benchmark agar setiap negara bisa menetapkan kebijakan yang tepat dan sesuai dalam memerangi negara tax haven namun issue tax haven ini tak kunjung terselesaikan. Permasalahan utama dalam memerangi negara tax haven adalah inkonsistensi citra dari negara tax haven. Tax haven seperti halnya mata uang, memiliki dua sisi. Bila dilihat dari sisi positif, tax haven sangat berguna sebagai tempat investasi dan pendanaan. Tax haven memberikan fasilitas pajak rendah atau bahkan suatu penghasilan tidak dijadikan objek pajak tentunya memberikan keuntungan berlipat ganda bagi pengusaha. Mereka bisa menginvestasikan uang tanpa harus dikurangi setoran pajak dalam jumlah besar. Di sisi yang lain, keberadaan tax haven merupakan bencana bagi pemerintah karena tidak bisa menarik pajak dari subjek atau objek pajak yang berada di tax haven.
74
Kedua, beragamnya daftar dan kriteria tax haven. Banyaknya pihak yang terkait di dalam masalah tax haven mengakibatkan munculnya beragam daftar dan kriteria tax haven. Hampir setiap negara memiliki anggapan yang berbeda mengenai negara mana saja yang termasuk dalam tax haven menurut mereka. OECD, Worldbank, Tax Justice Network, ketiga organisasi internasional ini memiliki list tax haven yang berbeda, belum lagi negara-negara lain di dunia. Munculnya anggapan yang berbeda dari berbagai pihak mengenai tax haven mengakibatkan timbulnya ketidakpastian mengenai siapa sajakah yang layak dianggap sebagai tax haven. Ketidakpastian tersebut menjadi pemicu sulitnya menegakkan kebijakan melawan tax haven. Ketiga, laporan The Price of Offshore dari Tax Justice Network pada tahun 2007 memperkirakan bahwa besaran aset dari negara berkembang yang disimpan di tax haven mencapai US$ 6.2 trillion (US$ 6.200.000.000.000). Dan kemudian di tahun 2009, diperkirakan negara berkembang setiap tahunnya berpeluang kehilangan sebesar US$ 120-160 billion (US$ 120.000.000.000-160.000.000.000) dari pendapatan pajaknya akibat kekayaan yang tidak dilaporkan dan disimpan di negara tax haven Begitu besarnya dana yang tersimpan di negara tax haven membuktikan begitu banyaknya pihak yang menikmati keberadaan tax haven. (Henry, 2012) Saat ini DJP selaku otoritas pajak di Indonesia secara penuh sadar bahwa masalah tax haven adalah masalah yang sangat besar bagi Indonesia. Walaupun belum ada angka pasti mengenai kerugian yang diderita Indonesia akibat tax haven namun dapat diperkirakan ada dana yang begitu besar yang seharusnya bisa kita selamatkan bila masalah tax haven bisa diatasi.
75
4.2. Analisis Negara Tax Haven dan Kaitannya dengan Indonesia Negara tax haven, pada umumnya merupakan negara kecil yang memiliki sumber daya alam yang sangat terbatas. Tidak adanya penghasilan yang memadai dari pengelolaan sumber daya alamnya sehingga membutuhkan fasilitas pendanaan lain untuk menjalankan roda pemerintahan. Pada umumnya, mereka memberikan fasilitas kenyamanan dan perlindungan dalam segala kegiatan investasi modal. Dengan begitu, banyak pihak yang tertarik untuk menanamkan investasinya di negara tersebut. Kenyamanan diberikan dengan memudahkan segala transaksi investasi ke dalam negeri. Biasanya dana yang ingin diinvestasikan tidak dipertanyakan lagi berasal dari mana atau bagaimana proses perolehannya. Kemanan dan perlindungan diberikan dengan memperketat bank secrecy sehingga tidak akan mudah memperoleh data nasabah di bank-bank yang berada di negara tax haven. Negara tax haven begitu melindungi privacy nasabah dan menolak segala bentuk pertukaran informasi dengan negara lain. Fenomena keberadaan tax haven ini terjadi ketika besarnya beban pajak yang harus dibayarkan perusahaan begitu besar dibandingkan dengan
biaya untuk
melakukan tax avoidance di negara tax haven. Tax haven yang menawarkan tarif pajak rendah dianggap merupakan sarana yang tepat untuk penghindaran pajak. Prinsipnya, suatu perusahaan ingin meraih keuntungan sebanyak mungkin dari modal yang sesedikit mungkin. Prinsip ini tentu dimanfaatkan negara tax haven sebagai sumber penghasilan negaranya dengan menawarkan berbagai fasilitas kenyamanan bagi pihak yang ingin melakukan tax avoidance. Sistem hukum dan perpajakan yang begitu diskriminatif dan berbeda jauh dengan negara-negara berkembang menjadikan
76
negara tax haven sebagai destinasi yang sangat menarik sebagai sarana penghindaran pajak. Melihat segala kemudahan yang ditawarkan oleh negara tax haven, paling tidak seharusnya Indonesia memperkuat peraturan pajak domestik terlebih dahulu. Saat ini list negara tax haven telah dihapuskan dan digantikan dengan kriteria, kriteria yang ada sebaiknya dibuat lebih detail agar bisa lebih tepat sasaran dalam implementasinya apalagi mengingat begitu banyak incentives yang ditawarkan oleh negara tax haven kepada investornya. 4.3. Analisis Skema Penghindaran Pajak ke Negara Tax Haven Penghindaran pajak (tax avoidance), dalam hal ini yang dilakukan ke negara tax haven, pada umumnya dilakukan melalui beberapa media, holding company, intermediary dan subsidiary company. Keberadaan ketiga media tersebut dimiliki suatu perusahaan dengan berbagai macam tujuan ekonomi tertentu antara lain 1) financing/pembiayaan, 2) special purpose vehicle, 3) investasi, 4) jasa, 5) intelectual property. Walaupun berbeda-beda tujuan keberadaan media tersebut, mereka semua berpeluang besar untuk menjadi media tax avoidance. 4.3.1. Media Penghindaran Pajak melalui Negara Tax Haven Dari hasil penelitian lapangan, diketahui bahwa dalam upaya penghindaran pajak suatu perusahaan membutuhkan media perantara yaitu, 1) holding company, 2) intermediary company, 3) subsidiary company. Media perantara ini tidak bersifat mutlak, namun sebagian besar penghindaran pajak terjadi dengan memanfaatkan media-media ini. Media tersebut adalah sebagai berikut :
77
a. Holding Company Holding company atau perusahaan induk merupakan suatu entitas yang memegang control yang besar dalam suatu perusahaan anak dikarenakan kepemilikan saham sebagian besar atau lebih atas perusahaan tersebut. Pada umumnya, suatu perusahaan yang ingin melakukan tax avoidance dengan media holding company akan membuka holding company di negara tax haven. Perusahaan holding company di negara tax haven tersebut akan mengakuisisi sebagian besar saham perusahaan di Indonesia sehingga berkedudukan sebagai perusahaan induk. Berdasarkan data dari Bursa Efek Indonesia, diketahui bahwa PT. Pasific Utama yang kini bernama PT. Matahari Departement Store, memiliki holding company di Cayman Island. Di laporan keuangan tidak dijelaskan secara terperinci tujuan ekonomi didirikannya holding company di Cayman Island namun dapat diketahui besar kepemilikan yang dimiliki induknya sebesar 98.15%, hampir sejumlah keseluruhan saham.
Gambar 4.1. Skema Holding Company
78
b. Intermediary Company Pendirian intermediary sebagai sarana tax avoidance terdiri dari 3 skema. Skema yang pertama adalah penanaman modal asing (PMA) ke Indonesia dengan memanfaatkan tax haven country. Skema ini dilakukan dengan membuka terlebih dahulu, intermediary company di negara tax haven. Pada gambar dapat dilihat bahwa Jardine Matheson Holdings Ltd. berkedudukan di Bermuda membuka Jardine Cycle & Carriage Ltd.di Singapura dan kemudian mencatatkan PT Astra International Tbk. sebagai anak dari Jardine Cycle & Carriage Ltd. Dalam hal ini Jardine Cycle & Carriage Ltd.di Singapura berperan sebagai intermediary company, merupakan subsidiary sekaligus menjadi holding company bagi perusahaan lain. Dengan skema seperti ini, . Sedangkan Jardine Matheson Holdings Ltd. memiliki kepemilikan tidak langsung atas PT Astra International Tbk. karena kepemilikannya melalui Jardine Cycle & Carriage Ltd. di Singapura.
Gambar 4.2. Skema Intermediary Company Luar Negeri -THC- Indonesia
79
Skema tax avoidance dengan intermediary company kedua terjadi bila sebuah perusahaan Indonesia, ingin mengembangkan bisnisnya dan membuka cabang di Indonesia sendiri namun ingin memanfaatkan tax haven. Dalam gambar bisa dilihat bahwa PT Salim Ivomas Pratama Tbk yang merupakan holding company di Indonesia, tidak membuka cabang langsung
di Indonesia, tapi terlebih dahulu
membuka cabang di negara tax haven dan kemudian mencatatkan cabangnya kembali di Indonesia sebagai subsidiary dari Indo International Green Energy Resources Pte. Ltd.
Gambar 4.3. Skema Intermediary Company Indonesia -THC- Indonesia
Skema ketiga adalah penanaman modal dari Indonesia ke luar negeri dengan memanfaatkan intermediary company adalah sebagai berikut, PT Sinar Mas Multiartha Tbk. yang berdiri di Indonesia ingin membuka cabang di China tetapi melakukan penanaman modal melalui Global Asian Investment Limited yang berkedudukan di Hongkong.
80
Gambar 4.4. Skema Intermediary Company Indonesia- THC-Luar Negeri
c. Subsidiary Company PT Lippo Karawaci Tbk merupakan perusahaan publik di Indonesia yang bergerak di bidang real estate, pengembangan perkotaan (urban development), pembebasan/pembelian, menyewakan, menjual, dan mengusahakan gedunggedung, perumahan, perkantoran, perindustrian, perhotelan, rumah sakit, pusat perbelanjaan, pusat sarana olah raga dan sarana penunjang, termasuk tetapi tidak terbatas pada lapangan golf, klub-klub, restoran. PT Lippo Karawaci Tbk memiliki 100% kepemilikan atas Lippo Karawaci Finance B.V yang berkedudukan di Belanda. Tujuan pendirian perusahaan tersebut adalah perdananan, investasi dan jasa.
81
Gambar 4.5. Skema Subsidiary Company
4.3.2. Metode Penghindaran Pajak melalui Negara Tax Haven Penghindaran pajak ke negara tax haven dapat dilakukan dengan menggunakan media yang telah disebutkan sebelumnya, pemanfaatan media tersebut dapat dilakukan dengan menggunakan metode : 1) transfer pricing, 2) treaty shopping, 3) thin capitalization, 4) controlled foreign company. Skema penghindaran pajak ini dilakukan oleh perusahaan multinational ke negaranegara tax haven dalam rangka mengurangi beban pajaknya. a. Transfer Pricing Transfer pricing sebagai sarana penghindaran pajak melalui tax haven sangat marak terjadi di kalangan perusahaan Internasional. Skema ini terindikasi karena adanya hubungan istimewa serta transaksi dilakukan di luar harga wajar. Transfer pricing dapat terjadi baik antara dua perusahaan di dalam grup yang sama (intercompany pricing) atau bahkan antara dua divisi perusahaan di dalam satu perusahaan yang sama. Transaksi antara pihak yang memiliki hubungan istimewa merupakan transaksi tidak bersifat arm’s length, tidak memenuhi prinsip kewajaran dan 82
kelaziman usaha. Adapun sebagai tolak ukur kewajaran dan kelaziman usaha adalah besar harga yang diberikan suatu perusahaan terhadap perusahaan lain yang tidak memiliki hubungan istimewa. Penetapan harga yang tidak sesuai dengan harga transaksi wajar ini dimanfaatkan perusahaan multinational untuk meraih keuntungan dari selisih harga wajar dengan harga transaksi pihak istimewa di negara bertarif pajak rendah atau tidak memungut pajak sama sekali. Dengan menggunakan harga transaksi dengan pihak yang memiliki hubungan istimewa, Dasar Pengenaan Pajak dari transaksi akan jauh lebih kecil dari DPP kepada pihak lain sehingga pajak yang harus dibayarkan juga lebih rendah. Pada prinsipnya, transfer pricing dapat didorong oleh alasan pajak maupun alasan lain selain pajak. Motivasi pajak atas transaksi transfer pricing dilaksanakan dengan sedapat mungkin memindahkan penghasilan ke negara dengan beban pajak terendah atau minimal. (Mangonting, 2009). Dengan memindahkan pajak ke negara dengan pajak minimal tentulah akan memberikan keuntungan yang jauh lebih besar bagi perusahaan. Untuk lebih memahami, berikut ini merupakan suatu skema transfer pricing dari kasus Asian Agri. PT Inti Indosawit Subur yang berkedudukan di Indonesia menjual CPO ke perusahaan afiliasi fiktif yaitu Twin Bonus Edible Oil & Fats Ltd (Hongkong) dan Global Advance (Makau) dengan harga rendah. Kemudian Global Advance menjual CPO ke pembeli sebenarnya yaitu Manickan Enterprices di India dengan harga tinggi. Sebenarnya, CPO langsung dikirimkan dari Indonesia ke India, meskipun secara hitam diatas putih, penjualan dilakukan oleh Global Advance di Makau.(Zain, 2011)
83
Gambar 4.6. Skema Transfer Pricing
Berdasarkan skema tersebut penghasilan atas penjualan CPO yang tercatat di Indonesia adalah sebesar US$ 1.295.125,8. Bila PT Inti Indosawit Subur tidak menggunakan skema seperti ini maka penjualan yang tercatat adalah sebesar US$ 1.555.901,13. Selisih antara penghasilan tersebut adalah sebesar US$260.775,33. Bila kita asumsikan kurs tengah BI pada saat itu adalah sama dengan kurs per tanggal 20 Juni 2013 yaitu sebesar 9927, maka selisih penghasilan adalah sebesar Rp 2.588.716.701,-. Seharusnya Rp 2.588.716.701,- diakui sebagai penghasilan PT Inti Indosawit Subur yang berpotensi menambah DPP dari PT Inti Indosawit Subur, namun karena skema transfer pricing, tentunya DPP dari PT Inti Indosawit Subur berkurang.
84
b.
Treaty Shopping Treaty shopping dilakukan oleh suatu perusahaan untuk mendapatkan
keuntungan dari tax treaty antara dua negara dengan membuat perusahaan afiliasi di salah satu negara tempat tujuan praktek tax avoidance. Tarif tax treaty yang diterapkan tiap negara terhadap negara lainnya tentu menjadi pemicu terjadinya treaty shopping. Singapura, Belanda dan Hongkong memiliki tarif witholding tax yang cukup rendah dengan negara-negara mitranya. Dengan memiliki perusahaan afiliasi di ketiga negara tersebut, tentulah perusahaan Indonesia sudah selangkah lebih dekat dalam upaya treaty shopping. Sebagai salah satu contoh, treaty shopping dilakukan oleh PT. I di Indonesia dengan mendirikan sebuah special purpose vehicle di Belanda yang bertujuan
untuk
melakukan
penjualan
obligasi
internasional
demi
menghimpun dana.
Gambar 4.7. Skema Treaty Shopping
I Finance BV menerbitkan obligasi di Belanda. Dana yang diperoleh dari penjualan investasi kemudian di berikan kepada PT. I Indonesia sebagai pinjaman dengan bunga yang harus dibayarkan kepada I Finance BV. I Finance BV, telah memenuhi syarat sebagai WPDN Belanda, oleh sebab itu atas kedudukannya, I Finance BV dapat menikmati tax treaty antara 85
Indonesia dengan Belanda yaitu, pembayaran bunga atas pinjaman yang berjangka waktu lebih dari 2 tahun tidak terhutang PPH 26. Hal tersebut dapat dilihat dalam P3b Indonesia Belanda Pasal 11 ayat 4. “bunga yang timbul di salah satu Negara hanya akan dikenakan pajak di Negara lainnya jika pemilik manfaat dari bunga tersebut merupakan penduduk Negara lainnya dan jika bunga tersebut dibayarkan atas hutang yang dibuat untuk jangka waktu lebih dari 2 (dua) tahun atau yang dibayarkan sehubungan dengan penjualan kredit perlengkapan industri, dagang, atau ilmu pengetahuan.”
c.
Controlled Foreign Company
Pemanfaatan Controlled
Foreign Company dilakukan dengan
menunda pengakuan penghasilan dari modal yang berasal dari luar negeri oleh subsidiary company yang berada di tax haven country.
Gambar 4.8. Skema Controlled Foreign Company
Untuk menjalankan skema tersebut diatas, PT. A harus memiliki saham paling sedikit 50% dari saham A Finance Pte. Ltd. dan tidak memperdagangkan saham A Finance Pte. Ltd. di bursa efek dengan tujuan agar PT. A memiliki kontrol sepenuhnya atas waktu pengakuan dividen dari A Finance Pte. Ltd.
86
Sesuai dengan PPh pasal 26 Tahun 2008 Pasal 24, perolehan penghasilan atas dividen dari luar negeri dapat digabung dengan penghasilan dalam negeri. Akan menjadi skema tax avoidance bila, A Finance Pte. Ltd. mengakui keuntungannya saat PT. A sedang mengalami kerugian sehingga penghasilan dividen tidak perlu menjadi dasar pengenaan pajak.
d.
Thin Capitalization Skema thin capitalization dapat terjadi bila adanya pemberian modal
terselubung melalui pinjaman kepada perusahaan terafiliasi melebihi batas kewajaran. Pemberian pinjaman dipilih karena lebih menguntungkan dibanding penyertaan modal langsung. Pemberian pinjaman tentulah dibarengi dengan kewajiban membayar bunga, dimana bunga pinjaman dapat dibiayakan sebagai pengurang penghasilan di Indonesia.
Gambar 4.9. Skema Thin Capitalization
Dalam skema di atas dapat dilihat bahwa perusahaan yang berada di tax haven country memberi pinjaman kepada perusahaan di Indonesia dan PT. DD memiliki kewajiban membayar bunga yang mana bunga tersebut menjadi pengurang penghasilan bruto PT. DD. Pemberian pinjaman yang 87
terus menerus mengakibatkan proporsi hutang dan modal menjadi tidak wajar. 4.3.3. Indikasi Penghindaran Pajak melalui Negara Tax Haven Menurut data dari dari Bursa Efek Indonesia, terdapat perusahaan Indonesia yang memiliki hubungan afiliasi di negara tax haven. Tabel 4.1. Daftar Lokasi Entitas Anak atau Entitas Induk Perusahaan Tbk. Indonesia Negara Singapura Belanda Virgin Island Malaysia Mautirius Cayman Island AS China Dubai Jepang Hongkong Republic of Seychelles Australia Panama Inggris Liberia Vietnam Mauritania Thailand Filipina India Kamboja Timor Leste Brazil Brunei Jerman Luxembourg Perancis Samoa Selandia Baru Swiss Vanuatu Yaman Anguila Korea UEA
2012 134 62 39 24 18 18 12 12 10 10 9 9 9 8 5 5 5 4 4 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
2011 133 62 38 24 18 18 12 12 10 10 9 9 9 8 5 5 5 4 4 2 2 2 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1 1
Sumber : Bursa Efek Indonesia
88
Tabel di atas merupakan daftar negara-negara yang menjadi lokasi kedudukan perusahaan yang terafiliasi dengan perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Berdasarkan data yang telah didapat dari laporan keuangan perusahaan Tbk. di bursa, dari 469 perusahaan yang terdaftar di bursa terdapat 128 perusahaan atau sebesar 27.29% yang memiliki entitas di luar negeri. Dari 128 perusahaan tersebut, tercatat total perusahaan afiliasi di luar negeri adalah sebesar 417 perusahaan di tahun 2012 dan 415 perusahaan di tahun 2011. Dan sebagian besar perusahaan cabang ataupun induk berlokasi di Singapura, Belanda, dan Hongkong. Begitu banyaknya perusahaan yang memiliki afiliasi di negara-negara tersebut pasti dikarenakan adanya suatu keuntungan yang bisa didapatkan di sana. Suatu perusahaan
pasti
memilih
lokasi
penempatan
perusahaan
terafiliasi
yang
mendatangkan keuntungan bagi perusahaan tersebut. Di sisi lain, data BKPM juga menunjukkan peningkatan Penanaman Modal Asing dari negara-negara tersebut ke Indonesia setiap tahunnya.
Sumber : Badan Koordinasi Penanaman Modal
Gambar 4.10. Gambar Penanaman Modal Asing
Bukti-bukti di atas menunjukkan begitu eratnya hubungan antara ketiga negara tersebut dengan Indonesia. Peningkatan Penanaman Modal Asing tentulah akan menjadi stimulus positif bagi perekonomian Indonesia. Namun, bila dilihat dari data pertama mengenai banyaknya perusahaan afiliasi yang didirikan di Singapura, Belanda dan Hongkong diikuti dengan melihat begitu rendahnya tarif dan incentive 89
pajak yang diberikan negara tersebut, muncul kecurigaan besar adanya praktik tax avoidance yang dilakukan wajib pajak ke negara-negara tersebut. Di samping itu memang sudah ada beberapa kasus yang terjadi di masa-masa sebelumnya yang menggunakan perusahaan yang berlokasi di negara-negara di atas sebagai negara tujuan tax avoidance, pemerintah seharusnya menjadi lebih waspada dalam penentuan peraturan anti-avoidance ke negara-negara ini. Dilihat dari ketentuan pajak yang ada di negara-negara tersebut, Singapura, Hongkong dan Belanda ketiganya memiliki tarif pajak badan yang lebih rendah dari Indonesia. Tabel 4.2. Tabel Perbandingan Tarif Pajak Badan Antar Negara Negara
Income tax
Singapura 17% Hongkong 16,5% Belanda 20% Indonesia 25% Sumber : PKF Worldwide Tax guide 2012
Bila menurut PER-34/PJ/2010, suatu negara baru dikatakan tax haven country bila tidak memungut pajak atau memungut pajak kurang dari 50% dari pajak Indonesia. Di tahun 2013 ini, pajak badan Indonesia sebesar 25%, berarti suatu negara baru akan dikatakan tax haven bila memiliki tarif pajak kurang dari 12,5%. Berdasarkan peraturan dan data besaran tarif pajak ketiga negara tersebut memang ketiganya tidak memenuhi syarat sebagai tax haven country bagi Indonesia. Namun di sisi lain, menurut hasil pengumpulan data, begitu banyak perusahaan yang didirikan di Singapura, Hongkong dan Belanda. Bila melihat lebih mendalam ke peraturan perpajakan negara tersebut, dimana begitu banyak tax incentive, rendahnya witholding tax
dan
juga ketentuan-ketentuan pengurangan tarif pajak, seperti 90
selama tiga tahun pertama, suatu perusahaan yang baru menjadi resident di Singapura bisa mendapatkan tarif pajak 0% bagi SG$ 100.000 taxable income pertamanya, pemerintah harus lebih hati-hati lagi. Hal tersebut harus menjadi perhatian lebih bagi pemerintah karena tentu saja itu merupakan kesempatan yang cukup menggiurkan untuk melakukan tax avoidance ke Singapura. Disamping itu, witholding tax ketiga negara tersebut cenderung lebih rendah dari Indonesia, hal tersebut juga memicu terjadinya pemanfaatan tax treaty terutama dengan treaty shopping melalui ketiga negara tersebut. Tabel 4.3. Tabel Perbandingan Witholding Tax Indonesia-Singapura
INA Australia Belgia Canada China Denmark France Germany Hongkong Indonesia Jepang Korea Netherlands Singapore Swiss UK US
Dividen (%) SG
15 10 10 10 10 10 10 5/10 (c)
15 0 5 (d) 15 15 5 (a) 10 0 (a) 5 (9) 10 10 (d) /15 15 / 5 (c)
Bunga (%) INA SG 10 10 10 10 10 15/10 (b) 0 10
10 0 (b) 5 15 7 (b) 10 10 10 8
10 (a) 15 10 10 5 (e) /15 10 10 10 10 10 0 (a) /15 10 10 15/10 (c) 10 10 10 (a) /15 10 10 10 5 (d) /15 10 10 10 10 Sumber : PKF Worldwide Tax guide 2012
Royalti (%) INA SG 15 10 10 10 0 10 15/10/7,5 (a) 5 10 15 10 15 10 15 10
10 5 15 10 10 0 8 15 10 0 5 10
91
Tabel 4.4. Tabel Perbandingan Witholding Tax Indonesia-Hongkong Dividen (%) INA HK Australia Belgia Canada China Denmark France Germany Hongkong Indonesia Jepang Korea Netherlands Singapore Swiss UK US
15 10 10 10 10 10 10 5/10 (c)
Bunga (%) INA HK
0/5/15 (b) 5 10 (d) 10
10 10 10 10 10 15/10 (b) 0 10
Royalti (%) INA HK
10 6 10
5/10 (d) 0/10 (c) 10 5/10 (d) 10 0/10 (c) 10 10 10 0/10 (a) 10 15/10 (c) 10 10 10 10 15 10 10 10 Sumber : PKF Worldwide Tax guide 2012
15 10 10 10 0 10 15/10/7,5 (a) 5
5 6 10
5 5
10 15 10 15 10 15 10
3
3
Tabel 4.5. Tabel Perbandingan Witholding Tax Indonesia-Belanda Dividen (%) INA NED Australia Belgia Canada China Denmark France Germany Hongkong Indonesia Jepang Korea Netherlands Singapore Swiss UK US
15 10 10 10 10 10 10 5/10 (c)
15 15/5 (a) 15/5 (b) 10 0/15 (a) 5/15 (a) 0/10/15 (a) (b) 0 10 5 0/10/15(c)
Bunga (%) INA NED 10 10 10 10 10 15/10 (b) 0 10
-
10 10 10 10 10 10 15/10 (c) 0 10 10 0 /5 (d) 10 10 0/15 (a) 10 10 5/0 (e) 10 Sumber : PKF Worldwide Tax guide 2012
Royalti (%) INA NED 15 10 10 10 0 10
10 15 10
-
15 10 15 10
-
15/10/7,5 (a) 5
92
Tabel diatas masing-masing telah tersaji di Bab 2, namun di bab 4 ini peneliti ingin memperlihat kan perbandingan witholding tax antara Indonesia dan ketiga negara tersebut. Dari ketiga tabel tersebut dapat dilihat bahwa sebagian besar witholding tax antara ketiga negara tersebut dan Indonesia cukup berbeda. Apalagi ketiga negara tesebut banyak memberikan tingkatan tarif witholding tax bagi negara yang berbeda ataupun kondisi kepemilikan saham yang berbeda. 4.3.4. Peraturan Anti Tax Avoidance di Indonesia Dalam upaya menangkal beberapa skema tax avoidance yang telah dijelaskan sebelumnya, pemerintah Indonesia membentuk kebijakan khusus (Specific Anti Tax Avoidance/ SAAR) yang tertuang dalam UU PPh pasal 18. Kebijakan tersebut antara lain : 1. Kebijakan Anti Transfer Pricing Dalam Pasal 18 ayat 3 UU PPh tertulis bahwa DJP selaku otoritas perpajakan di Indonesia memiliki kewenangan untuk menentukan besarnya penghasilan dan pengurangan serta menentukan utang sebagai modal untuk menghitung besarnya Penghasilan Kena Pajak (PKP) bagi Wajib Pajak yang memiliki hubungan istimewa dengan wajib pajak lainnya sesuai dengan kewajaran dan kelaziman usaha yang tidak dipengaruhi oleh hubungan istimewa dengan menggunakan metode perbandingan harga antara pihak yang independen, metode harga penjualan kembali, metode biaya-plus, atau metode lainnya. Adapun pengertian hubungan istimewa terdapat di dalam Pasal 18 ayat 4 UU PPh. Menurut pasal tersebut, hubungan istimewa antara lain :
93
a. Hubungan kepemilikan Hubungan istimewa karena kepemilikan terjadi apabila wajib pajak mempunyai penyertaan langsung sebesar 25% atau lebih pada wajib pajak lain, atau hubungan antara wajib pajak dengan wajib pajak dengan penyertaan 25% atau lebih pada dua wajib pajak atau lebih, demikian pula hubungan antara dua wajib pajak atau lebih yang disebut terakhir. b. Hubungan Penguasaan Hubungan istimewa karena penguasaan terjadi jika wajib pajak menguasai wajib pajak lainnya atau dua/lebih wajib pajak berada dibawah penguasaan yang sama baik langsung maupun tidak langsung c.
Hubungan Keluarga Hubungan keluarga baik sedarah atau semenda dalam garis keturunan lurus dan/atau ke samping satu derajat adalah jenis hubungan keluarga yang dimaksud dalam UU.
Metode yang digunakan dalam pengukuran harga wajar : 1. Metode Perbandingan Harga Antara Pihak Yang Independen (Comparable Uncontrolled Price-CUP) Metode ini digunakan dengan membandingkan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga dalam transaksi yang dilakukan antara pihak-pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa dalam kondisi atau keadaan yang sebanding. Metode ini merupakan metode yang paling dianjurkan DJP untuk menghitung harga transfer. Bila suatu perusahaan hanya menjual kepada pihak yang memiliki hubungan istimewa, maka harga wajar dilihat dari harga pasar saat
94
itu ataupun dengan membandingkan dengan harga yang digunakan dalam transaksi sejenis oleh perusahaan lain.
2. Metode Biaya-Plus (Cost Plus Method-CPM) Metode biaya-plus (cost plus method) atau metode CPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan menambahkan tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan yang sama dari transaksi dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau tingkat laba kotor wajar yang diperoleh perusahaan lain dari transaksi sebanding dengan pihak yang tidak mempunyai hubungan istimewa pada harga pokok penjualan yang telah sesuai dengan Prinsip Kewajaran dan Kelaziman Usaha. Metode ini biasanya diterapkan oleh perusahaan yang mengalami kesulitan menentukan harga transfer wajar karena transaksi yang dilakukannya adalah transaksi barang dengan spesifikasi khusus.
3. Metode Harga Penjualan Kembali (Resale Price Method-RPM) Metode harga penjualan kembali (resale price method) atau disingkat metode RPM adalah metode Penentuan Harga Transfer yang dilakukan dengan membandingkan harga dalam transaksi suatu produk yang dilakukan antara pihak-pihak yang mempunyai hubungan istimewa dengan harga jual kembali produk tersebut setelah dikurangi laba kotor wajar, yang mencerminkan fungsi, aset dan risiko, atas penjualan kembali produk tersebut kepada pihak lain yang tidak mempunyai hubungan istimewa atau penjualan kembali produk yang dilakukan dalam kondisi wajar.
95
Selain ketiga metode tersebut diatas, menurut Pasal 18 ayat 3a UU PPH, dalam upaya menentukan harga transfer wajar, DJP diberi kewenangan untuk menentukan harga transaksi antar pihak istimewa melalui perjanjian dengan Wajib Pajak dan otoritas pajak Negara lain. Perjanjian dalam upaya menemukan harga transfer yang wajar biasa disebut dengan Advance Pricing Agreement (APA).
2. Kebijakan Anti Treaty Shopping Dalam Pasal 18 UU PPh, tidak diatur mengenai treaty shopping, namun pemerintah mengeluarkan PER-61/PJ/2009 tentang Tata Cara Penerapan Persetujuan Penghindaran Pajak Berganda dengan pembaharuan di dalam PER-24/PJ/2010. Peraturan tersebut mengatur tentang beneficial owner dan syarat untuk menjadi beneficial owner adalah dengan dimilikinya Surat Keterangan Domisili (SKD) atau Certificate of Domicile (COD) yang berupa Form DGT 1 dan/ atau Form DGT-2. Surat Keterangan Domisili/SKD dimaksudkan untuk memastikan bahwa penerima hasil di luar negeri adalah penduduk negara mitra perjanjian (treaty partner). Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 1 tax treaty bahwa tax treaty tersebut hanya berlaku bagi penduduk (resident) negara yang mengikat perjanjian pajak (beneficial owner). Selain itu pemahaman mengenai beneficial owner juga disebutkan di PER-62/PJ/2009
tentang
Pencegahan
Penyalahgunaan
Persetujuan
Penghindaran Pajak Berganda dengan pembaharuan di dalam PER25/PJ/2010. Dalam peraturan tersebut tepatnya Pasal 3 huruf c, beneficial
96
owner didefinisikan sebagai, “pemilik yang sebenarnya atas manfaat ekonomis dari penghasilan.”
3. Kebijakan Anti Thin Capitalization Pembiayaan
dengan
bunga
(loan
financing)
memang
lebih
menguntungkan untuk perusahaan karena pada dasarnya, bunga dapat dibiayakan dan menjadi pengurang penghasilan sehingga besarnya keuntungan perusahaan berkurang dan DPP nantinya akan berkurang. Untuk mencegah hal tersebut terjadi, maka pemerintah membuat peraturan yang tertuang di dalam
Pasal 18 ayat 1, yang menyatakan bahwa
Menteri
Keuangan Republik Indonesia diberi kewenangan untuk menentukan besarnya perbandingan antara hutang dengan modal (Debt Equity Ratio/DER). Tujuan ditentukannya DER adalah untuk menstimulasi investor untuk menginvestasikan dananya melalui kepemilikan saham.
4. Kebijakan Anti Controlled Foreign Company Untuk mengantisipasi praktek CFC, pemerintah dalam Pasal 18 ayat 2 menyatakan
bahwa
Menteri
Keuangan
Republik
Indonesia
diberi
kewenangan untuk menetapkan saat diperolehnya dividen oleh wajib pajak dalam negeri atas penyertaan modal pada badan usaha di luar negeri yang sahamnya tidak diperdagangkan di bursa efek dengan ketentuan : •
Besarnya penyertaan modal Wajib Pajak dalam negeri tersebut paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor atau
97
•
Secara bersama-sama dengan Wajib Pajak dalam negeri lainnya memiliki penyertaan modal paling rendah 50% (lima puluh persen) dari jumlah saham yang disetor.
WPDN yang memiliki CFC di luar negeri tidak memiliki celah untuk menunda pengakuan pajak atas dividen yang diterimanya karena Menteri Keuangan dapat menetapkan saat diperolehnya dividen oleh Wajib Pajak dalam negeri.
4.3.5. Upaya Pemerintah dalam Mengurangi Penghindaran Pajak melalui Negara Tax Haven Menurut Subagio Effendi, Staff Direktorat Peraturan Perpajakan II, dalam upaya penurunan tax avoidance pemerintah terus mengkaji besaran tarif pajak yang dibebankan di Indonesia. Menurutnya, semakin kecil tarif yang dikenakan di Indonesia, maka semakin berkurang juga upaya tax avoidance. Hal tersebut sangat masuk akal mengingat, tujuan tax avoidance itu sendiri memang adalah untuk menghindari tingginya tarif pajak di Indonesia. Bila tarif pajak di Indonesia turun tentulah alasan utama untuk melakukan tax avoidance memudar. Dan kemudian, meningkatkan kewaspadaan DJP dengan meningkatkan audit pajak atas laporan keuangan. Audit pajak bertujuan untuk menguji kepatuhan perpajakan suatu perusahaan. Dengan memperbesar peluang audit suatu perusahaan, peluang didapatkannya perusahaan yang melakukan penghindaran pajak tentu makin besar.(Effendi, 2012) Selain itu, pemerintah juga kerap memperbaharui peraturan perpajakan yang ada. Pembaharuan berupa penambahan detail, tentulah dilakukan untuk mencegah adanya salah interpretasi Wajib Pajak terhadap peraturan yang ada. Sebagai contoh perubahan atas PER-61/PJ/2009 dan PER-62/PJ/2009. Pemerintah menerbitkan PER98
24/PJ/2010 untuk merubah PER-61/PJ/2009. Perubahan terdapat pada pasal 4 mengenai Form DGT. Adapun pasal 4 dibuat menjadi lebih detail dalam menjelaskan penggunaan Form DGT. Form DGT adalah suatu tanda yang menyatakan adanya kesepakatan internasional antara dua negara melalui P3B. Melalui form DGT ini WPLN ataupun WPLN akan melaporkan penghasilan yang diperolehnya baik di dalam maupun di luar negeri. Bagi DJP, form ini sangat berguna untuk mencegah adanya double non taxable. Upaya lain yang dilakukan pemerintah adalah, mengirimkan intelejen pajak ke beberapa negara yang dianggap memerlukannya. Mengingat munculnya peningkatan transaksi dengan dengan Hongkong dan China, saat ini di kedua negara tersebut telah ditempatkan intelejen pajak. Untuk ke depannya intelejen pajak akan terus ditempatkan di negara-negara lain. Disisi lain, pemerintah terus mengupayakan adanya Exchange of Information antara Indonesia dengan negara lain, terutama negara yang berikatan erat dengan perekonomian Indonesia. EOI sangat membantu dalam proses penyelidikan pajak. Dengan adanya perjanjian EOI, maka suatu negara harus bersedia membuka kerahasiaan data resident di negaranya demi untuk kepentingan perpajakan. Suatu kemajuan bahwa secara resmi pada tanggal 14 Mei 2013 yang lalu Singapura mengumumkan bahwa mereka sepakat untuk bekerjasama dengan negara lain di dunia dalam EOI.(IRAS Singapore, 2013) 4.3.6.Peraturan Anti Tax Avoidance Amerika Serikat – FATCA FATCA ( Foreign Account Tax Complience Act) merupakan suatu peraturan yang dibentuk oleh pemerintah Amerika Serikat dalam upaya pencegahan penghindaran pajak secara illegal (tax evasion) oleh resident Amerika Serikat
99
melalui lembaga keuangan asing (Foreign Financial Institution/FFI). FFI sebagai suatu lembaga keuangan menerima deposit yang dipersamakan dengan tabungan bank, investasi, pemegang aset keuangan atau surat berharga. Dengan keberadaan FATCA, asset resident Amerika Serikat di luar negeri dapat diidentifikasi sehingga dapat diketahui jumlah pajak yang seharusnya dibayar. FATCA memungkinkan akses informasi bagi Internal Revenue Services-IRS Amerika Serikat di Negara tempat investasi ditanamkan oleh residentnya sendiri. Selain itu, FATCA mewajibkan resident Amerika Serikat yang memiliki aset lebih dari $50.000 di luar wilayah AS untuk melaporkan detail tentang asset tersebut secara terpisah dalam SPT Tahunan. Selain mewajibkan warganya untuk melapor, FATCA juga mengharuskan FFI untuk menyetujui kesepakatan dengan US Departement of Treasury untuk menjadi participating FFI. FFI yang telah tergabung dalam participating FFI berkewajiban melaporkan informasi kepemilikan rekening yang berkaitan dengan Resident AS. Adapun informasi yang harus dilaporkan adalah
(Septiadi &
Darussalam, 2013) : a.
Nama, alamat dan nomor identifikasi wajib pajak (Taxpayer Identification Number-TIN) dari tiap pemilik rekening yang merupakan US Persons.
b.
Nomor rekening.
c.
Saldo atau nilai akhir tahun dari rekening.
d.
Dividen, bunga dan penghasilan masuk atau yang dikreditkan ke rekening.
Participating FFI akan mendapatkan privilege yaitu terhindar dari pemotongan pajak dari pembayaran yang mereka terima. Selain melaporkan informasi yang telah disebutkan sebelumnya, Participating FFI berkewajiban untuk : 100
a.
Melakukan identifikasi dan prosedur due diligence kepada para pemilik rekening. Prosedure due diligence adalah suatu prosedur penyelidikan untuk mengetahui latar belakang pemilik rekening.
b.
Setiap tahunnya melaporkan kepada IRS informasi mengenai pemilik akun yang merupakan US Person (Resident Amerika Serikat) atau entitas asing dengan kepemilikan Amerika Serikat yang signifikan
c.
Memotong dan menyetorkan kepada IRS 30% dari penghasilan yang berasal dari AS, diterapkan kepada: (a) Non-participating FFI, (b) Individu pemegang rekening yang tidak memberikan cukup informasi untuk menentukan status mereka apakah US Persons atau bukan; atau (c) Entitas asing yang tidak memberikan informasi tentang identitas pemilik substansialnya yang dianggap US Persons.
FATCA
ini
merupakan
suatu
peraturan
yang
bersifat
memaksa
dalam
pelaksanaannya. Oleh sebab itu, akan muncul resiko dalam pelaksanaan FATCA : 1. Resiko bisnis Para investor diwajibkan untuk mengikuti FATCA, bila tidak maka akan dikenakan potongan sebesar 30% atas penghasilan yang diperoleh dai Amerika Serikat. Bila investor tidak ingin mengikuti keduanya maka diharuskan untuk menarik semua investasinya keluar dari AS. Pada dasarnya ini merupakan pilihan sulit bagi investor terutama karena AS merupakan suatu negara adidaya dimana menjadi benchmark ekonomi global. 2.
Resiko hukum dan hubungan bilateral antar Negara. Beberapa negara, terutama negara tax haven memiliki bank secrecy yang sangat kuat. Bank secrecy merupakan suatu keunggulan utama bagi negara tax haven 101
dalam menarik investor ke negaranya. Di sisi lain, FATCA secara gamblang ingin mengetahui kerahasiaan yang dipertahankan negara tax haven. Dengan adanya FATCA, FFI di negara tax haven akan mengalami benturan kepentingan dan harus memikirkan masak-masak mengenai jalan keluar dalam menghadapi FATCA.
3. Resiko operasional Data nasabah yang diperlukan tentulah bukan data sembarangan yang dapat diperoleh dimanapun.Data yang ingin didapatkan adalah data confidencial yang tentunya harus selalu up to date dan dapat diyakini kebenarannya. Pencarian data yang seperti itu tentulah tidak mudah.
102