BAB 4 DATA DAN ANALISIS 4.1. Kondisi Sampel TiO2
Sampel TiO2 disintesa dengan memvariasikan jenis pelarut, block copolymer, temperatur kalsinasi, dan kelembaban relatif saat proses aging. Kondisi sintesisnya ditunjukkan pada Tabel 4.1.
Tabel 4.1. Kondisi Sintesis TiO2
Sampel
Pelarut
Block
Temperatur
copolymer
Kalsinasi
Kelembaban Karakterisasi Relatif (RH)
yang
(saat aging)
dilakukan XRD,
Ti-a
methanol
Pluronic PE
400°C
6200
30%
adsorpsi gas N2, SANS, SEM XRD,
Ti-b
methanol
Pluronic PE
450°C
6200
30%
adsorpsi gas N2, SANS, SEM
Ti-c
ethanol
Ti-d
ethanol
Ti-e
methanol
Pluronic PE 6200 Pluronic PE 6200 Pluronic PE 8100
450°C
30%
XRD
450°C
70-90%
XRD
450°C
30%
Adsorpsi gas N2
4.1. Analisis TG-DTA Gambar 4.1 menunjukkan hasil TG-DTA pada kisaran temperatur 50°C sampai
600°C dari sampel TiO2 gel yang dilakukan proses aging selama 4 hari. Dari grafik TGA, yang menunjukan pengurangan massa sampel sebagai fungsi dari
26
temperatur, terlihat bahwa sampel mengalami pengurangan massa sebesar 75% ketika dipanaskan sampai sekitar 460°C. Sehingga pada temperatur diatas 450°C, sampel merupakan murni TiO2. Grafik TGA juga menunjukkan adanya tiga zona temperatur dimana terjadinya pengurangan massa. Zona pertama yaitu pada temperatur dibawah 200°C yang merupakan proses penguapan grup –OH yaitu air dan alkohol. Zona kedua yaitu antara temperatur 200°C sampai 325°C terjadi oksidasi komponen organik pada gel. Pada zona ketiga yaitu temperatur 325°C sampai 460°C, terjadi oksidasi residu block copolymer dan klor yang terikat pada Ti-OH terdekomposisi.
TGA DTA - - - -
Gambar 4.1. Hasil Uji TG-DTA dari TiO2 gel
Dari Grafik DTA terlihat jelas terdapat dua puncak yaitu puncak endotermik pada daerah 100°C - 200°C yang diakibatkan penguapan pelarut, dan puncak eksotermik pada daerah 325°C - 460°C yang diakibatkan dekomposisi klor dan block copolymer dari sampel dan perubahan fasa TiO2 dari amorf menjadi anatase
yang dimulai pada temperatur 350°C[26]. Seperti terlihat pada gambar, data dari
27
grafik TGA berkorelasi secara langsung dengan data dari grafik DTA dimana proses kehilangan massa dari sampel selalu diikuti dengan munculnya proses eksotermik maupun endotermik.
4.2. Analisis XRD
X-Ray Diffraction (XRD) digunakan menganalisa efek dari jenis pelarut, temperatur kalsinasi, dan kelembaban relatif (RH) reaksi tehadap fasa kristal dan derajat kristalin sampel. Dari pola difraksi untuk keseluruhan sampel, terbukti bahwa sampel merupakan TiO2 kristal dengan fasa anatase (Ti-a, Ti-b, Ti-d) dan fasa bikristal anatase-rutile (Ti-c) menurut JCPDS (21-1272) untuk anatase dan JCPDS (21-1276) untuk rutile. Hasil ini sesuai dengan data TG-DTA yang menyatakan bahwa perubahan fasa kristal dari amorf menjadi anatase dimulai pada temperatur 350oC sehingga penggunaan temperatur kalsinasi 400oC dan 450oC pada penelitian ini sudah menghasilkan TiO2 yang terkristalisasi dengan baik. Pola difraksi sampel tersebut ditunjukkan pada Gambar 4.2.
Tabel 4.2. Ukuran Kristalit Sampel
Sampel
Ukuran kristalita
Ti-a
11,05 nm
Ti-b
13,94 nm
Ti-c
17,36 nm
Ti-d
12,9 nm
a
Persamaan Scherrer pada bidang (101)
4.2.1. Efek Jenis Pelarut Pada penelitian ini dilakukan perbandingan pola XRD sampel TiO2 dengan pelarut methanol (Ti-b) dan pelarut ethanol (Ti-c) dengan parameter jenis block copolymer dan temperatur kalsinasi dijaga tetap.
28
(101)
Ti-a Methanol+PE6200+400oC (RH 30%) (200)
(004) (103)
(112)
(211) (105) (204)
Intensitas (counts)
Ti-b Methanol+PE6200+450oC (RH 30%)
R : rutile
Ti-c R *
R *
ethanol+PE6200+450oC (RH 30%)
R *
Ti-d ethanol+PE6200+450oC (RH 70-90%)
2θ (derajat) Gambar 4.2. Pola XRD TiO2
Dari pola XRD terlihat bahwa jenis pelarut mempengaruhi fasa kristal dari TiO2. Penggunaan pelarut methanol (Ti-b) menghasilkan TiO2 dengan fasa kristal murni
29
anatase sedangkan pelarut ethanol (Ti-c) menghasilkan fasa bikristal anatase dan rutile (pada gambar ditunjukkan dengan simbol R). Perbedaaan struktur kristal ini diakibatkan perbedaan dari keasaman larutan. Pelarutan TiCl4 dalam larutan alkohol mengakibatkan sistem menjadi asam. Larutan dengan sistem pelarut ethanol memiliki derajat keasaman yang lebih tinggi dibandingkan sistem pelarut methanol karena dengan meningkatnya jumlah atom karbon maka kecenderungan grup alkoxy untuk menggantikan Cl menjadi lebih rendah sehingga lebih banyak Cl yang ada dalam sistem[25]. Keadaan asam dalam sistem ini akan menjadi katalis dalam proses nukleasi dan kristalisasi Hasil ini sesuai dengan penelitian Hongmei Luo dimana dengan bertambahnya jumlah atom karbon pada pelarut maka sistem akan menjadi lebih asam, yang dengan keadaan ini cenderung untuk membentuk fasa rutile[25].
4.2.2. Efek Temperatur Kalsinasi Temperatur kalsinasi divariasikan untuk melihat perubahan derajat kristalinitas dan efeknya pada struktur kristal TiO2. Ti-a merupakan TiO2 dengan temperatur kalsinasi 400°C sedangkan Ti-b mempunyai temperatur kalsinasi 450°C. Kedua sampel menggunakan pelarut methanol dan jenis block copolymer yang sama.
Dari pola difraksi kedua sampel terlihat bahwa Ti-a dan Ti-b merupakan TiO2 dalam fasa anatase. Seperti terlihat pada Tabel 4.2, temperatur kalsinasi yang lebih tinggi menghasilkan ukuran kristalit TiO2 yang lebih besar dan terlihat pada pola XRD, intensitas puncak difraksi
Ti-b lebih tinggi dibandingkan Ti-a
menandakan peningkatan derajat kristalinitas dikarenakan temperatur yang lebih tinggi akan mengakibatkan proses difusi atom akan menjadi lebih cepat sehingga akan mempercepat proses kristalisasi. Hal ini juga sesuai dengan penelitian Beltran yang membuktikan bahwa kristalisasi sempurna TiO2 terjadi pada temperatur 550°C[9]. Terlihat dari perbandingan pola difraksi Ti-a dan Ti-b, bahwa transisi pertumbuhan kristal antara temperatur 400-450°C cenderung pada bidang miller (101) yang merupakan bidang terluas pada struktur kristal anatase TiO2 sedangkan untuk bidang miller yang lain cenderung menjadi lebih halus menandakan atom sudah lebih terorientasi pada masing-masing bidang tersebut..
30
4.2.3. Efek Kelembaban Relatif (RH) Pada penelitian ini juga ditemukan bahwa kelembaban relatif dari lingkungan juga mempengaruhi proses kristalisasi dari TiO2. Terlihat pada pola difraksi TiO2 sampel Ti-c dan Ti-d, bahwa sampel dengan komposisi yang sama namun berbeda dalam kelembaban relatif atmosfer pada saar aging dapat menghasilkan fasa yang berbeda. Kelembaban relatif yang rendah cenderung untuk membentuk fasa bikristal yaitu gabungan anatase dan rutile. Kelembaban relatif yang lebih rendah akan menyebabkaan interaksi sistem dengan H2O di lingkungan akan semakin kecil sehingga larutan akan cenderung lebih asam bila dibandingkan sintesa pada kelembaban relatif tinggi dan akan cenderung membentuk fasa rutile.
4.3. Analisis SANS (Small-angle Neutron Scattering)
Untuk menganalisa struktur pori dari sampel TiO2, dilakukan analisa Small angle Neutron Scattering (SANS) pada sampel Ti-a dan Ti-b. Terlihat pada pola
hamburan neutron kedua sampel (Gambar 4.3), terdapat puncak yang disebabkan adanya struktur yang teratur sehingga meyebabkan interferensi hamburan neutron dengan ukuran rata-rata d = 2π / Q peak . Puncak hamburan pada sudut rendah ini merupakan karakteristik material mesopori, yang mempunyai karaktersitik keteraturan pori, dengan nilai d = 30,58 nm untuk Ti-a dan d = 34,63 nm untuk Ti-b. Nilai d ini merupakan jarak rata-rata antar dinding inorganik TiO2 yang melingkupi struktur pori atau bisa dianalogikan juga sebagai jarak rata-rata antar pori terstruktur. Kenaikan temperatur kalsinasi menyebabkan ukuran pori menjadi lebih besar diindikasikan dengan nilai d yang lebih besar untuk Ti-b.
31
Ti-a Ti-b
Gambar 4.3. Pola SANS Sample TiO2 (Ti-a dan Ti-b)
Dari perbandingan pola hamburan neutron Ti-a dan Ti-b juga terlihat bahwa intensitas relatif hamburan neutron Ti-a lebih besar dibandingkan Ti-b. Ini menandakan area homogen untuk menghasilkan interferensi hamburan neutron lebih banyak pada Ti-a. sehingga dapat disimpulkan keteraturan struktur pori sampel Ti-a lebih besar bila dibandingkan Ti-b.
4.4. Analisis Adsorpsi Gas N2
Metoda Adsorpsi gas Nitrogen (N2) dilakukan untuk menganalisa efek dari temperatur kalsinasi dan juga jenis block copolymer terhadap luas permukaan spesifik dari TiO2 yang ditunjukkan pada Tabel 4.3. Luas permukaan spesifik paling tinggi didapat dari sampel Ti-a yaitu 108 m2/g dan paling rendah Ti-e yaitu 80 m2/g. Semua sample memiliki luas permukaan yang lebih besar dibandingkan
32
dengan nano-TiO2 Degussa P-25 yang sering digunakan sebagai referensi untuk aplikasi dalam sel surya maupun fotokatalis dengan luas permukaan sebesar 50 m2/g, walaupun semua sampel mempunyai luas permukaan yang lebih kecil dibandingkan hasil eksperimen Peidong Yang sebagai referensi utama[4], dengan perbedaan penggunaan jenis block copolymer dan temperatur kalsinasi, namun TiO2 yang dihasilkan mempunyai derajat kristalisasi lebih tinggi yang merupakan syarat penting penggunaan TiO2 pada berbagai aplikasinya[28]. Tabel 4.3. Nilai Luas Permukaan Spesifik Sampel
Sampel
Luas permukaan spesifik (m2/g)
Ti-a
108
Ti-b
88
Ti-e
80
Nano-TiO2
50
(Degussa P-25)
4.4.1. Efek temperatur kalsinasi Seperti terlihat pada data di Tabel 4.3., peningkatan temperatur kalsinasi menyebabkan luas permukaan material menurun dari 108 m2/g (Ti-a) menjadi 88 m2/g (Ti-b). Temperatur kalsinasi yang lebih tinggi selalu diikuti dengan luas permukaan yang lebih rendah karena proses kristalisasi dari TiO2 selalu diikuti oleh rusaknya struktur mesopori dari material[29]. Fenomena ini juga sesuai dengan hasil SANS yang menunjukan bahwa sampel Ti-a, yang disintesa pada temperatur kalsinasi lebih rendah memiliki keteraturan pori yang lebih besar dibandingkan Ti-b yang berimplikasi terhadap lebih besarnya luas permukaan spesifik Ti-a.
4.4.2. Efek jenis Block Copolymer Pemilihan surfaktan juga menentukan struktur akhir dari material mesoporous. Untuk sample yang menggunakan surfaktan block copolymer Pluronic PE 6200 (Ti-b) dihasilkan TiO2 yang mempunyai luas permukaan lebih tinggi yaitu 88
33
m2/g dibandingkan dengan TiO2 yang memakai surfaktan Pluronic PE 8100 (Ti-e) yaitu 80 m2/g. Hal ini kemungkinan dikarenakan kedua block copolymer memiliki berat molekul yang tidak jauh berbeda namun Pluronic PE 8100 mempunyai rantai hidrophobic (PPO) yang lebih panjang yaitu PPO40:PPO30 (Pluronic PE 8100: Pluronic PE 6200) sehingga meningkatkan volume maksimal bagian hidropobic dan ukuran micelle yang dibentuk untuk temperatur yang sama. Hal ini akan berpengaruh terhadap ukuran pori yang lebih besar untuk TiO2 dengan surfaktan Pluronic PE 8100 yang berkorelasi terhadap berkurangnya luas permukaan material.
4.5. Analisis SEM (Scanning Electron Microscope)
Ti-a
Ti-b
Gambar 4.4. Hasil SEM dari Sampel Ti-a dan Ti-b dengan Berbagai Perbesaran
Morfologi dari sampel TiO2 ditunjukkan pada Gambar 4.4. Partikel-partikel dari sampel umumnya mempunyai bentuk spherical dengan diameter rata-rata 50 nm untuk Ti-a dan 60 nm untuk Ti-b. Secara kualitatif, dapat terlihat bahwa struktur
34
kedua sampel terdiri dari partikel-partikel yang beraglomerasi, ditunjukkan dengan struktur partikel yang bersambung dengan partikel yang lain (close-packed particles). Ti-b mempunyai ukuran partikel dan aglomerasi yang lebih besar
karena kenaikan temperatur kalsinasi menyebabkan proses difusi atom menjadi lebih cepat sehingga partikel akan cenderung membentuk aglomerasi yang lebih besar. Hasil SEM ini sesuai dengan hasil dari adsorpsi gas N2 bahwa sampel dengan ukuran partikel yang lebih kecil (Ti-a) mempunyai luas permuakaan spesifik yang lebih tinggi karena untuk luas permukaan yang sama jumlah partikel yang ada lebih banyak. Selain itu terlihat dari hasil SEM bahwa porositas dari sampel tidak hanya diakibatkan oleh pori intrapartikel, tapi juga pori interpartikel (antar-partikel).
35