Bab 4 Analisis Data Pada bagian ini, penulis akan menganalisa data berupa kutipan artikel koran yang isinya berhubungan dengan pelanggaran yang dilakukan oleh perusahaan dan melihat persamaan antara pelanggaran tersebut dengan teori berupa ciri burakku kigyou yang telah penulis jabarkan pada Bab 2. 4.1 Analisis Kasus Burakku Kigyou pada perusahaan Watami 4.1.1 Kasus dari 2 Artikel mengenai kematian Mina Mori Penulis menganalisa hubungan burakku kigyou dengan kasus kematian Mina Mori dalam dua artikel di bawah ini; Artikel 1: On June 28, Tsuyoshi and Yuko Mori, parents of a 26-year-old daughter who had committed suicide in June 2008 — two months after joining Watami — due to what is claimed to be death by overwork (karoshi), marched into the LDP headquarters in Nagatacho to demand that the party drop Watanabe as a candidate. “Is a business executive who uses and discards young people qualified to be a Diet member?” they asked. In the first of two articles beginning from its July 11 issue, Shukan Asahi Geino related the circumstances leading to Mori’s death on June 12, 2008, when she jumped from the upper floor of an apartment building. She did not leave a suicide note, but among her possessions was a schedule book in which she had scribbled, “My body hurts … I can’t move quickly … help me please, somebody.” According to coworkers, after a perfunctory training period Mori had been saddled with heavy job responsibilities, overtime and “homework” in the form of written reports, to be compiled on her days off. The day before she died, she had risen at dawn to attend an obligatory oncemonthly early morning training session at the company’s Tokyo headquarters. At the session, participants were tested on their ability to cite passages from an inspirational book by Watanabe — the cost for which was deducted from employees’ wages. It’s possible that Mori’s low score of 68 out of 100 points may have also factored in her suicide. At least some LDP members view Watanabe’s candidacy as an embarrassment. During a committee meeting, an unnamed LDP Diet member allegedly remarked that he’d been told a Watami restaurant in 26
27
his district had not been paying dues to the neighborhood business association, and that the firm did not pay unemployment and other social insurance benefits for its workers Sumber: The Japan Times. ‘Black’ business tales cast shadow on candidate. Mark Schreiber, 13 Juli 2013. Artikel 2: On Feb. 14, the Kanagawa Prefecture Labor Standards Office deemed the death of 26-year-old Mina Mori, who committed suicide on June 12, 2008, to be a case of karōshi, or “death from overwork.” Mori killed herself two months after being hired as a regular employee at the Yokosuka branch of the Watami restaurant chain. Since starting the job Mori worked an average of 140 hours overtime per month, or 60 hours above the threshold at which the labor ministry deems karōshi “more likely to occur.” The question of whether she was forced to work overtime is at the heart of the case, and the ministry has found that the company violated laws related to saburoku kyōtei, or agreements on working conditions concluded between employers and employees. Conditions for overtime work must be verified by all employees either through their in-company labor union or a representative chosen by at least half of all the employees, both regular and part-time. Watami concludes an overtime agreement with employees at each of its 530 outlets throughout Japan every year, and since there is no union in the company they are each signed by an employee representative. However, the LSO found that these representatives do not actually represent. Watami’s standard operating procedure is to have the branch manager select an employee to sign the agreement without explaining to the employee what the agreement says. There is no meeting of other employees and no voting for a representative. The agreement for the Yokosuka branch stipulated maximum overtime at 120 hours a month, so even by the company’s own standard, Mori’s work load was a violation. Takeshi Tsukada, an executive of Watami, admitted to Tokyo Shimbun that the company’s procedure for concluding overtime agreements was basically “empty.” Managers chose “long-term part-timers” to sign the agreements and then just sent the documents back to the head office for filing. He said the company would correct the process in the future. However, another executive told the newspaper that Watami never bothered to change this system because “it was not a problem in the past,” implying that if no one had died they’d still be doing it the old way. But if you read the actual law, it’s easy to see how a company would act the way Watami did. The regulation in question states that working hours are limited to eight hours a day or 40 hours a week, and that if an employer wants an employee to work longer, the two parties must
28
conclude an agreement stipulating maximum overtime, which “shall not exceed 45 hours a month.” Exceptions can be made, however, in consideration of what Tokyo Shimbun called the “power gap” between employer and employee, in which case there is “no ceiling” for overtime. In other words, if the employer sees the necessity, he can exercise his prerogative as an employer and set any limit he wants; or, as Hashimoto might put it, “I pay your salary so you do what I say.” Such “empty” agreements are not limited to Watami. A former labor inspector told Tokyo Shimbun that he once carried out a survey and found that 20 percent of overtime agreements are “improper,” but that, in any case, if you look at proper agreements, even those concluded between management and labor unions, there are almost none where employees reject the initial offer made by the employer. The agreement is no more than a formality executed for appearances. The labor ministry revised the rules in 1988 in order to make the agreement process more rigorous, but nothing changed. The parents of one karōshi victim, a 28-year-old employee of an oil company in Yokohama who killed himself after working an average of 218 hours of overtime a month for four months (the agreement concluded between the company and the labor union allowed a maximum of 200 hours), weren’t satisfied with suing his employer. They also sued the labor ministry. Sumber: The Japan Times. Watami under scrutiny after karōshi. Philip Brasor, 17 Juni 2012 Analisis: Kedua artikel di atas, menceritakan mengenai kasus Mina Mori yang melakukan bunuh diri dua bulan setelah bekerja pada perusahaan Watami yang bergerak pada bidang kuliner. Mori melompat dari atas suatu gedung apartemen tanpa meninggalkan surat wasiat, namun, dalam buku jadwalnya ditemukan kalimat berupa permintaan tolong dan keluhan akan keadaannya. Setelah diusut lebih lanjut, baru lah diketahui bahwa selama dua bulan ia bekerja sebagai karyawan pada perusahaan Watami cabang Yokosuka, ia menjalankan lembur sekitar 140 jam setiap bulannya. Untuk menyatakan suatu perusahaan sebagai burakku kigyou, perusahaan tersebut harus memenuhi beberapa ciri tertentu. Salah satu yang tercermin dalam artikel di atas adalah pemberlakuan jam lembur yang terlalu panjang hingga menyebabkan karoshi atau karojisatsu (Morioka, 2011:13). Seperti yang dapat kita lihat pada kasus di atas, Mori dibebani dengan berbagai pekerjaan berat hingga menyita hari liburnya dan bunuh diri yang ia lakukan setelah bekerja selama dua bulan di perusahaan Watami telah dinyatakan sebagai karojisatsu.
29
Pada bagian awal artikel pertama diceritakan mengenai keberatan kedua orang tua Mina Mori akan diikut sertakannya partai Watanabe, presiden dari perusahaan Watami tempat Mina Mori bekerja sebagai kandidat anggota legislatif dengan argumen, “Apakah seorang eksekutif bisnis yang memanfaatkan dan membuang anak-anak muda memenuhi syarat untuk menjadi anggota legislatif?” Maksud dari kalimat ‘memanfaatkan dan membuang anak-anak muda’ merujuk pada motif atau latar belakang pemikiran burakku kigyou (Konno,2012:78-79). Kalimat itu menggambarkan situasi dimana perusahaan melakukan perekrutan massal dan memeras pikiran serta tenaga para karyawan muda sampai pada titik dimana mereka kelelahan kemudian menekan agar mereka mengundurkan diri saat dinilai sudah tidak akan mampu lagi menahan beban pekerjaan yang berlebihan seolah karyawan tersebut merupakan komoditas yang dapat dibuang setelah dimanfaatkan. Hal ini berdasarkan teori yang diungkapkan Konno (2012:7879) sama dengan sistem sekali pakai. Kemudian pada bagian selanjutnya, artikel menceritakan mengenai pesan terakhir yang ditemukan dalam buku jadwal Mina Mori setelah ia terjun dari sebuah gedung apartemen pada 12 Juni 2008. Isi dari pesan tersebut adalah, “Tubuhku sakit... Aku tidak bisa bergerak cepat... Seseorang tolong aku.” Selain itu, terdapat suatu kesaksian dari rekan kerja Mori mengenai pembebanan pekerjaan dengan tanggung jawab yang berat, lembur, dan “PR” dalam bentuk laporan tertulis untuk disusun Mori pada hari-hari liburnya sesaat setelah periode pelatihan ala kadarnya dari Watami berakhir. Beberapa peristiwa ini mendukung karakteristik karojisatsu. Pelaku karojisatsu sendiri memiliki beberapa karakteristik seperti yang dinyatakan oleh Takashi Amagasa, Takeo Nakayama, dan Yoshitomo Takashi (2005:161-162), sebagian yang tercermin dalam diri Mori adalah pembebanan tanggung jawab yang berat dan tugas yang banyak serta jam kerja yang panjang yaitu mencapai 141 jam lembur dalam 1 bulan. Selain itu, meski sebagian besar pelaku karojisatu tidak mengeluh mengenai perasaan depresinya kepada orang lain, biasanya mereka memiliki keluhan yang berhubungan dengan keadaan fisik seperti sakit pada bagian dada atau perut maupun demam ringan. Pada kasus di atas, dalam buku jadwalnya Mori menulis keluhan mengenai tubuhnya yang terasa sakit dan tidak dapat bergerak cepat. Ia juga meneriakkan perasaan tertekannya dalam pesan tersebut dengan menambahkan kalimat, “seseorang tolong aku.”
30
Pernyataan rekan kerja Mori mengenai keadaan setelah periode pelatihan, dimana Mori dibebani pekerjaan dengan tanggung jawab yang berat, lembur serta tugas dalam bentuk laporan tertulis yang menyita waktu liburnya juga sesuai dengan ciri perlakuan yang umum dilakukan oleh burakku kigyou (Ryo Nitta, 2013:39) yaitu mengenai pembebanan tugas yang berat setelah pelatihan dan pemaksaan bekerja di hari libur. Meski perusahaan tidak secara langsung meminta Mori untuk masuk pada hari liburnya, pembebanan tugas secara belebihan dapat juga dilihat sebagai paksaan kerja di hari libur karena waktu bebas yang seharusnya dimiliki Mori harus berkurang demi mengerjakan tugas tersebut. Sehari sebelum meninggal, Mori telah bangun sejak dini hari guna menghadiri sesi pelatihan wajib yang diadakan sekali dalam sebulan pada pagi hari di kantor pusat perusahaan Watami di Tokyo. Menurut Ryo Nitta (2013:39-40) merupakan hal yang wajar apabila burakku kigyou menuntut para karyawannya untuk hadir lebih awal dari jadwal, sehingga tidaklah aneh bila Mori mempersiapkan dirinya sejak dini hari agar dapat hadir lebih awal sebelum pelatihan dimulai. Hal lain yang menunjukkan ciri perlakuan burakku kigyou adalah memaksa karyawan membeli produk yang dikeluarkan oleh perusahaan (Ryo Nitta, 2013:40). Seperti contohnya dalam artikel di atas, dikatakan bahwa saat sesi pelatihan wajib tersebut, karyawan diminta mengutip ayat-ayat dari buku inspirasional yang ditulis oleh Watanabe, pemilik jaringan restoran Watami dan biaya dari buku itu sendiri dibebankan kepada karyawan dengan pemotongan upah. Meski buku tersebut digunakan untuk kepentingan pelatihan dari perusahaan dan bukan keinginan para karyawan untuk membelinya, perusahaan tetap melakukan pemotongan upah seharga buku tersebut. Kemudian pada bagian akhir artikel pertama, dikatakan bahwa beberapa anggota LDP (Liberal Democrat Party) juga tidak menyetujui pencalonan Watanabe sebagai anggota legislatif dan mengatakan bahwa ia mendengar keadaan dimana restoran Watami pada distriknya belum membayar iuran pada asosiasi bisnis lingkungan dan bukan hanya itu, dikatakan bahwa perusahaan juga tidak membayar tunjangan pengangguran dan asuransi sosial lainnya untuk karyawan. Hal ini kembali menunjukkan pola perilaku burakku kigyou yang diungkapkan oleh Ryo Nitta (2013:39-40) dimana perusahaan tidak terdaftar dalam asuransi sosial. Burakku kigyou dianggap oleh masyarakat sebagai perusahaan yang memiliki masalah internal atau manajemen dalam perusahaannya (Kanisawa,
31
2010:21), selain itu, juga terdapat citra dimana perusahaan tersebut dapat menyebabkan karyawannya mengalami karoshi atau karojisatsu dan jam lembur tanpa bayaran yang sepadan juga sering terjadi (Morioka, 2011:13). Dengan kata lain, perusahaan seperti ini tidak memperhatikan kesejahteraan karyawannya, oleh sebab itu, tidak membayarkan asuransi sosial demi kebaikan karyawannya merupakan hal yang wajar bila dilakukan oleh burakku kigyou. Pada artikel kedua, kasus masih menceritakan mengenia kematian Mina Mori, namun, ditinjau dari sudut pandang yang berbeda. Pada bagian awal artikel diceritakan mengenai telah diakuinya kematian Mina Mori sebagai kasus karoshi oleh Kantor Standar Ketenagakerjaan pada perfektur Kanagawa. Hal yang melatar belakangi keputusan ini adalah kenyataan bahwa sejak mulai bekerja pada Watami, Mori bekerja dengan rata-rata lembur sebanyak 140 jam per bulan. Sesungguhnya,
UUD
Ketenagakerjaan
telah
melarang
perusahaan
membiarkan karyawannya bekerja lebih dari 40 jam seminggu atau 8 jam kali 5 hari dan Departemen Kesehatan, Perburuhan dan Kesejahteraan telah menyatakan bahwa bekerja lembur lebih dari 80 jam dalam sebulan dapat berakibat pada terjadinya karoshi atau pun karojisatsu. Hal itu berarti, Mori bekerja 60 jam lebih dari batasan yang digalakkan pemerintah. Tindakan perusahaan Watami ini juga menunjukkan ciri
burakku
kigyou
dalam
hal
pemberlakuan
jam
kerja
yang panjang
(Matsuzawa,2010:1). Meskipun dalam UUD ketenagakerjaan pasal ke 32 telah ditetapkan mengenai jam kerja karyawan yang tidak boleh melebihi 40 jam dalam seminggu (tidak termasuk istirahat), namun, terdapatnya suatu celah dalam pasal 36 yang memungkinkan perusahaan untuk melewati batas jam kerja tersebut selama terdapat persetujuan dari serikat buruh. Dalam pasal 36 itulah, dibahas mengenai Saburoku Kyotei atau perjanjian mengenai kondisi kerja yang disepakati antara perusahaan dan karyawan. Isi dari pasal 36 itu sendiri mengurus mengenai lembur dan bekerja pada hari libur. Dikatakan apabila perusahaan ingin melemburkan atau mempekerjakan karyawannya pada hari libur, diperlukan penanda tanganan kesepakatan antara pengelola perusahaan dan karyawan. Hal ini dimaksudkan pemerintah untuk melibatkan karyawan dalam penentuan jam lembur. Namun, pada prakteknya tidak sedikit perusahaan yang secara diam-diam melakukan pelanggaran terhadap peraturan ini. Dalam pasal juga dikatakan bahwa perjanjian harus disetujui oleh
32
anggota serikat pekerja dan penanda tanganan perjanjian dilakukan oleh perwakilan dari serikat pekerja atau seseorang yang dipilih oleh mayoritas pekerja sebagai wakil. Setelah itu, perjanjian diarsipkan pada Labour Standards Inspection Office. Namun, pada artikel kedua di atas, dijelaskan bahwa kenyataan yang dijalankan Watami tidak sesuai dengan peraturan yang diminta. Kementrian telah menemukan pelanggaran pada Saburoku Kyotei yang diajukan Watami. Kondisi untuk bekerja lembur sudah seharusnya diverifikasi oleh semua karyawan melalui serikat kerja di perusahaan, yang sayangnya tidak dimiliki oleh Watami atau perwakilan yang dipilih oleh sedikitnya setengah dari keseluruhan karyawan. Setiap tahunnya, Watami menyerahkan perjanjian lembur dengan karyawan di masing-masing dari 539 outletnya. Namun, kecurangan yang ditemukan LSO (Labour Standards Office) pada Watami akhirnya adalah Watami yang tidak memiliki serikat pekerja meminta tiap manajer cabangnya untuk memilih seorang karyawan yang bekerja pada cabang tersebut untuk menanda tangani perjanjian tersebut tanpa mengadakan pemungutan suara. Sehingga dapat dikatakan perwakilan tersebut tidak benar-benar mewakili. Terlebih lagi, karyawan yang ditunjuk menjadi penanda tangan tidak dijelaskan mengenai isi perjanjian tersebut. Hal ini juga telah diakui oleh Takeshi Tsukada, seorang eksekutif dari Watami. Sementara jam lembur yang dijalani Mori telah mencapai rata-rata 140 jam dalam sebulan, perjanjian yang dikirimkan Watami cabang Yokosuka menetapkan lembur maksimum pada 120 jam per bulan. Hal ini berarti, bukan hanya mengarsipkan perjanjian “kosong”, tapi Watami juga sudah melanggar standar yang tertera dalam perjanjian “kosong” tersebut. Meski pihak Watami melalui Takeshi Tsukuda menyampaikan bahwa mereka akan memperbaiki masalah proses pembuatan Saburoku Kyotei ini di masa depan, tidak semua pihak eksekutif Watami yang mempercayainya. Mereka berpendapat apabila tidak terjadi kasus bunuh diri yang dilakukan oleh Mina Mori yang mengundang perhatian dan memunculkan masalah ini, maka perusahaan tidak akan mau repot-repot mengubah sistem yang telah lama mereka jalankan. Berbagai pelanggaran terhadap UUD Ketenagakerjaan di atas juga sesuai dengan salah satu ciri burakku kigyou yang diutarakan oleh Matsuzawa (2010:1). 4.1.2 Kasus Tingginya Angka Pengunduran Diri Watami
33
Penulis menganalisa hubungan burakku kigyou dengan tingginya angka pengunduran diri yang terjadi pada perusahaan Watami dalam artikel yang penulis terjemahankan berikut ini:
ワタミ=ブラック企業のイメージは 2013 年も強まる一方だった。 弁護士など専門家が選考に関わる「ブラック企業大賞」で大賞 を獲得。ワ タミの 3 年内離職率は 12 年度で 42.8%。目安とさ れる 30%を大きく上回るが、厚生労働省の「宿泊業・飲食サー ビス業平均」の 48.5%は下回る。渡 邉氏が「ブラック企業では ない」と反論する根拠だ。だが、「飲食業界を担う人材として 社員を育てているか、4 割はふるい落としても構わないと思って いるの か。疑問に感じる人も少なくないでしょう」(今野氏)。 Sumber: 週刊朝日. ワタミはどう? ース. 29 Desember 2013.
労基法に抵触せずブラック企業になるケ
Analisis: Pada bagian awal kutipan artikel di atas, kita dapat melihat sindiran terhadap Watami yang pada tahun 2013 juga dinominasikan bahkan memenangkan acara yang disebut sebagai “Black Corporation Award.” Suatu acara yang diselenggarakan untuk menobatkan perusahaan terkejam sepanjang tahun ini diselenggarakan oleh komite eksekutif yang sebagian berprofesi sebagai penulis buku mengenai burakku kigyou. Sehingga dapat dikatakan memiliki pengetahuan yang cukup mendalam mengenai fenomena ini. Sementara, 10 orang juri yeng dipilih juga memiliki profesi sebagai jurnalis, profesor universitas atau aktivis. Pemungutan suara untuk acara penghargaan ini terbuka pada seluruh dunia, namun, nominasinya hanya terbatas pada perusahaan Jepang. Terpilihnya kembali Watami sebagai pemenang dalam acara ini menunjukkan bahwa pandangan masyarakat mengenai Watami sebagai burakku kigyou belumlah berubah. Sementara pada bagian selanjutnya dari artikel dikatakan mengenai angka pengunduran diri pegawai dalam 3 tahun terakhir. Pemerintah dalam upaya menjaga agar para pencari kerja memilki gambaran sembelum melamar pada suatu perusahaan meminta perusahaan untuk memberi tahukan tingkat pengunduran diri yang terjadi pada perusahaannya selama 3 tahun terakhir. Hal ini dilakukan berkenaan dengan pemikiran burakku kigyou mengenai konsep “sekali pakai” maupun konsep “penyeleksian” (Konno, 2012:78-79).
34
Kedua konsep tersebut sering kali disebut sebagai pola pemikiran burakku kigyou dimana perusahaan tidak melihat karyawan yang masuk ke dalam perusahaannya sebagai anggota yang berharga, melainkan sebagai suatu komoditas. Pada umumnya burakku kigyou digambarkan sebagai perusahaan yang melakukan perekrutan massal karena ia tahu bahwa kondis kerja yang berat dalam perusahaannya akan menyebabkan banyaknya pekerja yang mengundurkan diri. Pola pikir “penyeleksian” dimaksudkan untuk menyisakan pekerja yang sesuai atau dapat menerima perlakuan dari perusahaan itu begitu saja. Sehingga pekerja yang akhirnya bertahan lama merupakan karyawan dengan tipe pekerja keras yang menuruti tuntutan dari perusahaan begitu saja. Sementara pola pikir “barang sekali pakai” yang dimaksud adalah setelah memeras tenaga dan pikiran pekerja, terutama pekerja muda yang baru saja masuk ke perusahaan sampai jangka waktu tertentu, bila perusahaan merasa karyawan tersebut sudah mencapai batasnya dan tidak akan bisa lagi mengikuti arus yang ia tentukan, perusahaan akan menekan agar pekerja tersebut mengundurkan diri. Kedua pola pikir itu menyebabkan perusahaan melakukan perekrutan massal karena merasa merupakan suatu hal yang wajar bila pada suatu titik tertentu, baik pekerja yang masuk dalam pola pikir “penyeleksian” maupun “barang sekali pakai” akan mencapai batasnya. Banyak pekerja yang memiliki keahlian dan peluang kerja lain, tidak lama setelah menyadari dirinya telah masuk ke dalam burakku kigyou, akhirnya memutuskan untuk mengundurkan diri. Ada pula pekerja yang telah berusaha keras mengikuti tuntutan perusahaan, namun, saat tubuh atau keadaannya dirasa sudah mencapai batas, ditekan oleh perusahaan untuk mengundurkan diri secara sukarela. Hal inilah yang menyebabkan munculnya ciri burakku kigyou yang diungkapkan oleh Matsuzawa (2010:1) berupa tingginya tingkat pengunduran diri. Pemerintah sengaja meminta data pengunduran diri karyawan selama 3 tahun terakhir agar para pencari kerja dapat menjadikannya sebagai pertimbangan sebelum melamar. Perusahaan yang memiliki angka pengunduran diri yang berlebih tentunya memiliki suatu masalah sehingga menyebabkan banyak pekerja yang tidak mau atau mampu bertahan. Pada data di atas, dinyatakan bahwa angka pengunduran diri pada perusahan Watami mencapai angka 42.8%. Sesungguhnya, Watami sendiri telah mengatakan pada media bahwa ia menagetkan angka sebesar 30%. Meski gagal mencapai angka tersebut, Tuan Watanabe, presiden Watami menggunakan patokan 48.5% yang
35
dikeluarkan oleh Departemen Kesehatan dan Kesejahteraan Buruh mengenai “ratarata industri penginapan dan jasa makanan” dan mengklaim perusahaannya bukanlah burakku kigyou. Hal ini mendapat kritikan dari seorang penulis Asahi shinsho dan buku mengenai burakku kigyou bernama Konno. Melihat jauhnya hasil yang dicapai Watami dari target yang ia tentukan sendiri, Konno pun menyuarakan keraguannya, “Apa kalian benar-benar percaya sebagai perusahaan yang bergerak dalam industri makanan dan minuman, perusahaan telah mendidik karyawannya sebagai personil yang bertanggung jawab? Bila benar, mengapa sebanyak 40% berpikir keluar pun tidak masalah? Pasti orang yang merasa ragu tidak akan sedikit bukan?” Pernyataan ini cukup wajar bila kita tinjau dari sisi makna bekerja yang dalam bagi orang Jepang. Apabila suatu perusahaan dapat mebuat karyawan merasa menemukan tempat dirinya, maka karyawan terntunya akan berusaha mempertahankan pekerjaan tersebut. Angka pengunduran diri pada perusahaan Watami yang masih terbilang tinggi memenuhi ciri burakku kigyou menurut Matsuzawa (2010:1).
4.2 Analisis Kasus Burakku Kigyou pada perusahaan TEPCO 4.2.1 Kasus Unjuk Rasa Pekerja Pembangkit Listrik Tenaga Nuklir No.1 Fukushima Penulis menganalisa terdapatnya praktek burakku kigyou melalui kasus unjuk rasa yang dikabarkan dalam artikel berikut ini: Workers from the Fukushima No. 1 nuclear plant rallied Friday outside the headquarters of Tokyo Electric Power Co., complaining they are being forced to work for meager pay in dangerous conditions. The group of about 100 demonstrators shouted and pumped their fists in the air as they railed against being cheated by contractors hired to find recruits to clean up the shattered site and surrounding area. “Workers at the Fukushima plant have been forced to do unreasonable tasks with no decent safety measures,” said one man in his 30s who declined to give his name. He said he was laid off after several months in the job due to heavy radiation exposure. “Workers are forced to handle contaminated water in such grim working conditions, where any human being should not be put to work,”
36
he said. “They tend to make easy mistakes under the pressure, but it’s not they who are at fault — it’s the conditions that force them to do terrible tasks.” Three years since the tsunami plunged the Fukushima nuclear plant into darkness on March 11, 2011, and sent reactors into meltdown, plant workers have yet to even start the dismantling process. The decommissioning process is expected to stretch over decades. Several thousand employees at the plant are locked in a daily — and dangerous — scramble to keep the site as safe as possible, making myriad repairs and building tanks for the vast amounts of water contaminated after being used to cool reactors. On Friday, demonstrators also rallied outside the office of Maeda Corp., one of the contractors hired to run cleanup operations at the plant and in surrounding areas. Questions have swirled about the working conditions created by the web of Fukushima contractors and subcontractors. Some demonstrators said they received far less pay than promised as various layers of bosses docked money for supplying meals, transportation and other expenses. They also said many had not received a ¥10,000 daily premium for decontamination work. “Most people are working for small pay without getting the special compensation,” said a 51-year-old man, who said he was doing cleanup work near the plant.Maeda did not immediately respond to a request for comment about working conditions in the stricken area. Sumber: The Japan Times. Fukushima No.1 workers rally against TEPCO. Afp Jiji, 14 Maret 2014 Analisis: Pada artikel di atas, diceritakan mengenai unjuk rasa yang dilakukan oleh kelompok pekerja pembangkit listrik tenaga nuklir No.1 Fukushima yang berjumlah sekitar 100 demonstran. Mereka menyuarakan ketidak setujuannya karena dipaksa bekerja dalam kondisi berbahaya dengan upah yang kecil. Menurut salah seorang demonstran, mereka telah dipaksa untuk melakukan tugas-tugas yang tidak masuk akal tanpa langkah-langkah keamanan yang layak. Sudah sepatutnya apabila perusahaan memperhatikan keselamatan pekerjanya. Namun, dalam artikel diatas, dikatakan bahwa perusahaan memberikan para pekerjanya tugas yang berbahaya dan hal itu tidak diseimbangi dengan langkah
37
keamanan yang layak guna mengurangi resiko terjadinya kecelakaan. Melihat situasi kerja pada pembangkit listrik tenaga nuklir tersebut dan kurangnya langkah perlindungan seperti yang telah disinggung dalam artikel, dapat kita katakan perusahaan tidak melakukan usaha maksimal demi menjaga keselamatan pekerjanya. Hal ini melanggar Undang-Undang Kesehatan Industri Nomor 57 tahun 1972 pasal ke 60-2 dimana perusahaan dituntut untuk sebisa mungkin menjaga keselamatan pegawainya terutama apabila operasi kerja yang dilakukan oleh pekerja itu berbahaya. Pelanggaran terhadap perundang-undangan ini kembali menunjukkan ciri burakku kigyou yang dikemukakan oleh Matsuzawa (2010:1). Kemudian responden tersebut memberikan kesaksian mengenai dirinya yang dipecat setelah beberapa bulan bekerja dan dalam tubuhnya ditemukan paparan radiasi yang tinggi. Sesungguhnya hal ini tidaklah aneh karena kondisi kerja dimana para pegawai dituntut untuk menangani air yang sudah terkontaminasi, sehingga cepat atau lambat paparan radiasi pada tubuh mereka pun meningkat. Di tambah lagi dengan kurangnya penanaman langkah-langkah keamanan oleh perusahaan, sehingga bila terjadi kesalahan-kesalahan kecil, seperti yang dikatakan oleh responden di atas bahwa memang hal tersebut sering terjadi, pekerja tidak dapat dengan sigap menanggapi keadaan tersebut. Dalam peristiwa ini kita juga dapat melihat gambaran pemikiran burakku kigyou mengenai barang sekali pakai (Konno,2012:78-79). Dimana setelah pegawai dimanfaatkan untuk melakukan tugas-tugas berbahaya yang dapat mengancam kesehatannya sendiri, saat merasa pegawai tersebut sudah tidak dapat lagi memenuhi tuntutan pekerjaan yang berat, perusahaan memecat karyawan tersebut. Pada hari Jumat itupun, terdapat kelompok demonstran lain yang berkumpul di luat kantor Maeda Corp, salah satu kontraktor yang disewa untuk menjalankan operasi pembersihan di pabrik No.1 Fukushima dan wilayah sekitarnya. Di sana beberapa demonstran memberi kesaksian bahwa mereka menerima jauh lebih sedikit dari yang dijanjikan kepada mereka sebagai gaji. Dikatakan bahwa beberapa lapisan atasan mengurangi uang dengan alasan untuk pemasokkan makanan, transportasi dan biaya lainnya. Yang dimaksud dengan lapisan bos di sini adalah lapisan kontraktor dan sub-kontraktor. Selain melakukan perekrutan sendiri, perusahaan TEPCO juga menyewa kontraktor untuk membantu tugas pembersihan. Begitu pula dengan kontraktor yang ternyata juga menyewa sub-kontraktor. Sehingga terdapat juga kelompok yang memiliki beberapa lapis atasan.
38
Bukan hanya jumlah gaji yang tidak sesuai, banyak juga dari mereka yang mengatakan bahwa mereka belum menerima ¥ 10,000 premi harian untuk pekerjaan dekontaminasi. Padahal uang itu sudah dijanjikan pada mereka. Namun, banyak dari mereka yang bekerja hanya untuk upah kecil dan tanpa mendapatkan kompensasi khusus. Ketidaksesuaian yang terjadi pada banyaknya pekerja yang belum menerima premi harian berupa ¥10,000 dan jumlah gaji yang tidak sesuai, menunjukkan keadaan kerja yang ternyata berbeda dengan informasi saat perekrutan. Hal ini menunjukkan salah satu perlakuan yang menggambarkan burakku kigyou menurut Ryo Nitta (2013:39-40). Dimana terjadi penundaan gaji atau pembayaran dalam bentuk lain. Dari sini kita dapat melihat perlakuan yang sangat tidak adil terhadap para pekerja pabrik ini. Mereka bukan hanya diminta menjalankan tugas yang berbahaya, namun juga terus diperas dengan pemotongan gaji dan penundaan premi harian yang sudah jelas merupakan hak mereka. 4.2.2 Kasus Pemecatan Karyawan yang Menyuarakan Ketidak Setujuan Penulis menganalisa terdapatnya praktek burakku kigyou berhubungan dengan kasus pemecatan karyawan dalam artikel berikut ini: Most workers grin and bear it without a peep of protest, fearful of losing the only job they can find. Recently, however, one worker employed by a fifth-tier subcontractor took action. He was told upon hiring that he would not have to work in dangerous conditions, yet he was assigned to increasingly high-exposure tasks, such as removing glass near one of the reactor buildings. The day after he protested that he had been promised a safe job, he was fired. He joined a labor union, which requested collective bargaining with five companies, including Tepco itself, over demands such as reinstatement, an end to false outsourcing (gisō ukeoi) and the payment of the promised danger money. Only his direct employer — the fifth-tier subcontractor — agreed to negotiate. His union sued Tepco and the other defiant firms in the Tokyo Labor Commission for refusing to engage in collective bargaining. Tepco claimed to know nothing of the request for collective bargaining and refused to comment. Sumber: The Japan Times. The year in labor: The Top 5 pains of 2013. Hifumi Okunuki, 11 Desember 2013 Analisis:
39
Artikel di atas menceritakan mengenai perlakuan yang diterima salah seorang pekerja yang ditugaskan pada pabrik Fukushima No 1 yang kita ketahui mengalami masalah akibat peristiwa Tsunami pada tahun 2011 lalu. Dalam artikel, meski pada saat perekrutan pekerja ini dijanjikan tidak akan diberikan tugas-tugas yang berbahaya, kenyataan saat ia mulai bekerja berbeda. Misalnya seperti yang diceritakan dalam artikel, ia diminta untuk melepaskan kaca yang berada dekat dengan salah satu bangunan reaktor. Karena merasa hal ini berbahaya ia pun memberanikan diri untuk memprotes karena jelas keadaan yang ia hadapi tidak sesuai dengan perjanjian awal. Hal ini sesuai dengan pemikiran Ryo Nitta (2013:3940) mengenai perlakuan burakku kigyou terhadap karyawannya dimana situasi yang dijelaskan saat interview sangat berbeda dengan situasi aktual. Bukan hanya itu, setelah menyuarakan ketidak setujuannya terhadap penugasan tersebut, keesokkan harinya sang pegawai di pecat. Bila kita melihat dari mata umum, hal ini sangatlah tidak adil, sebab ia hanya menyuarakan ketidak setujuannya pada pihak manajemen, bukan melakukan suatu kesalahan besar yang membuatnya pantas menerima pemecatan tersebut. Hal ini juga telah melanggar UUD Ketenagakerjaan pasal 18-2 dimana suatu pemecatan patutnya memiliki dasar yang cukup objektif dan sesuai dengan norma sosial yang berlaku secara umum. Hal ini juga menunjukkan ciri perilaku dimana manajemen menggunakan penilaian subjektif dalam menentukan pemecatan terhadap karyawannya dan tuntutan kepada karyawan untuk menghormati atau menuruti manajemen (Ryo Nitta, 2013:39-40). Selain itu, menurut pasal 20 UUD Ketenagakerjaan, perusahaan wajib memberikan pemberitahuan awal minimal 30 hari sebelum melakukan pemecatan. Kecuali bila perusahaan tidak dapat berlanjut karena kecelakaan di luar kuasa seperti bencana alam atau bila karyawan melakukan kesalahan yang membuatnya pantas di pecat, namun, hal itu juga harus menerima persetujuan dari Labour Standards Inspection Office terlebih dahulu. Dalam artikel ini kita dapat melihat ketidak patuhan perusahaan TEPCO terhadap UUD ketenagakerjaan yang berlaku. Hal ini kembali menunjukkan salah satu ciri burakku kigyou yaitu melakukan pelanggaran terhadap UUD Ketenagakerjaan (Matsuzawa,2010:1). Perlakuan ini akhirnya ditindak lanjuti oleh serikat buruh yang berusaha melindungi hak pekerja yang telah bergabung menjadi anggotanya sebab perbutan TEPCO memang melanggar UUD yang berlaku.
40
4.2.3 Kasus Krisis Tenaga Kerja Berkualitas Penulis menganalisa terdapatnya praktek burakku kigyou melalui kasus unjuk rasa yang dikabarkan dalam artikel terjemahan berikut ini: NARAHA, Japan — “Out of work? Nowhere to live? Nowhere to go? Nothing to eat?” the online ad reads. “Come to Fukushima.” That grim posting targeting the destitute, by a company seeking laborers for the ravaged Fukushima Daiichi nuclear plant, is one of the starkest indications yet of an increasingly troubled search for workers willing to carry out the hazardous decommissioning at the site. The plant’s operator, the Tokyo Electric Power Company, known as Tepco, has been shifting its attention away, leaving the complex cleanup to an often badly managed, poorly trained, demoralized and sometimes unskilled work force that has made some dangerous missteps. At the same time, the company is pouring its resources into another plant, Kashiwazaki-Kariwa, that it hopes to restart this year as part of the government’s push to return to nuclear energy three years after the world’s second-worst nuclear disaster. It is a move that some members of the country’s nuclear regulatory board have criticized. “I spoke out many times on the defects, but nobody listened,” Yoshitatsu Uechi said of safety problems at the damaged nuclear plant. That shift in attention has translated into jobs at Fukushima that pay less and are more sporadic, chasing away qualified workers. Left behind, laborers and others say, is a work force often assembled by flyby-night labor brokers with little technical or safety expertise and even less concern about hiring desperate people. Police and labor activists say some of the most aggressive of the brokers have mob ties. Regulators, contractors and more than 20 current and former workers interviewed in recent months say the deteriorating labor conditions are a prime cause of a string of large leaks of contaminated water and other embarrassing errors that have already damaged the environment and, in some cases, put workers in danger. In the worst-case scenario, experts fear, struggling workers could trigger a bigger spill or another radiation release. “There is a crisis of manpower at the plant,” said Yukiteru Naka, founder of Tohoku Enterprise, a contractor and former plant engineer for General Electric. “We are forced to do more with less, like firemen being told to use less water even though the fire’s still burning.” That crisis was especially evident one dark morning last October, when a crew of contract workers was sent to remove hoses and valves as part of a long-overdue upgrade to the plant’s water purification system.
41
According to regulatory filings by Tepco, the team received only a 20minute briefing from their supervisor and were given no diagrams of the system they were to fix and no review of safety procedures — a scenario a former supervisor at the plant called unthinkable. Worse yet, the laborers were not warned that a hose near the one they would be removing was filled with water laced with radioactive cesium. As the men shambled off in their bulky protective gear, their supervisor, juggling multiple responsibilities, left to check on another crew. They chose the wrong hose, and a torrent of radioactive water began spilling out. Panicked, the workers thrust their gloved hands into the water to try to stop the leak, spraying themselves and two other workers who raced over to help. Yoshitatsu Uechi is one of the people who has stepped in for more experienced workers. A former bus driver and construction worker, Mr. Uechi has never before worked at a nuclear plant. He was paid about $150 a day to work on one of the plant’s most pressing jobs: building tanks to store the vast quantities of contaminated water at the site. He describes hurried days, saying he was told at one point by his contractor to continue sealing the seams of the tanks despite rain and snow that made the sealant slide off. He believes such slipshod work eventually compromised the tanks, some of which have since leaked.“I spoke out many times on the defects, but nobody listened,” said Mr. Uechi, a father of four who says he left Okinawa and its depressed economy for Fukushima to provide a better life for his children. He said he rarely saw Tepco managers while on the job. He said he expressed his worries not only to his immediate bosses, but to Tepco. (Asked about the complaints, Tepco said it could not discuss individual workers out of privacy concerns.) Tepco has promised to increase pay to make up for the risky and unstable nature of the work. Still, workers eating dinner at a dormitory near the plant were skeptical, especially over whether they would receive any extra money. “Once the many levels of contractors skim off their share, there’s not very much left for us,” one worker in his 40s said, as he and two colleagues washed down a simple meal of chicken, eggplant and rice with beer and whiskey. Each of the men — who feared being fired if their names were used — were housed in tiny rooms with a bed and a desk. The area around the dormitory is mainly deserted since many people refused to move back after the accident.
42
Sumber: The New York Times. Unskilled and Destitute Are Hiring Targets for Fukushima Cleanup. Hiroko Tabuchi, 16 Maret 2014. Analisis: Pada artikel di atas, kita dapat melihat kalimat yang digunakan oleh TEPCO dalam iklan perekrutan tenaga kerja yang dilakukannya secara online. Kalimat tersebut berbunyi sebagai berikut, “Tidak memilki pekerjaan? Tanpa tempat tinggal? Tiada memiliki tujuan? Tak ada makanan? Datanglah ke Fukushima.” Dari kalimat tersebut kita dapat melihat bahwa perusahaan menargetkan untuk merekrut orangorang yang memiliki masalah keuangan dan putus asa. Hal lain yang juga dapat kita temukan dari kalimat perekrutan itu adalah tujuan TEPCO untuk merekrut sebanyak mungkin peminat. Melihat citra yang dimiliki TEPCO saat ini, hal tersebut cukup wajar sebab berbagai berita mengenai perlakuannya terhadap para buruh yang dinilai tidak adil telah menuai banyak kritik dan mengurangi minat masyarakat untuk melamar. Selain itu, TEPCO juga menetapkan standar yang rendah dalam perekrutannya. Hal ini dapat kita lihat dari pernyataan para buruh dan beberapa pihak lain yang mengatakan bahwa tenaga kerja yang sering diberikan adalah buruh dengan sedikit keahlian teknis atau pengetahuan tentang keamanan saat bekerja pada situs seperti itu. Juga ditambahkan suatu pernyataan bahwa perusahaan seperti tidak khawatir mempekerjakan orang-orang yang putus asa. Melihat citra buruk yang beredar dalam masyarakat mengenai TEPCO, merupakan hal yang wajar apabila perusahaan ini dihindari, namun, TEPCO menurunkan standar dan memanfaatkan keinginan bekerja para pelamar. Berkurangnya peminat kerja di TEPCO sesuai dengan hasil survei DISCO mengenai pelamar kerja yang menghindari perusahaan dengan citra burakku kigyou. Namun, bukan berarti semua orang menghindarinya, terdapat pula pihak yang terpaksa bekerja pada perusahaan tersebut karena membutuhkan penghasilan atau alasan lainnya. Bekerja memiliki makna yang mendalam bagi masyarakat Jepang (Kurosawa Shuu,2013:14). Dimana bekerja merupakan jalan menuju kebebasan. Kebebasan yang dimaksud di sini adalah kebebasan secara finansial dimana seseorang tidak perlu lagi bergantung pada orang lain untuk hidup. Melalui pekerjaan juga, seseorang dapat memperoleh makna hidup dan menemukan jati dirinya. Saat ia menyadari
43
pekerjaannya berguna bagi banyak orang dan dapak mengaktualisasikan dirinya sendiri, ia dapat memperoleh suatu kepuasan tersendiri. Oleh sebab itu, meski kondisi kerja yang buruk di TEPCO telah banyak dikabarkan oleh media, orangorang yang belum dan ingin mendapatkan pekerjaan tetap melamar pada perusahaan tersebut. Namun, bukan berarti kesulitan mencari tenaga kerja ini membuat TEPCO memperbaiki manajemennya, TEPCO tetap mempekerjakan buruhnya dalam situasi kerja yang buruk. Dimana pekerja tidak memperoleh pelatihan yang cukup untuk menjaga keselamatannya saat bekerja pada situs yang dapat di katakan berbahaya karena berhubungan dengan radiasi nuklir. Pergeseran fokus kerja TEPCO ke pabrik lain yaitu Kashiwazaki-Kariwa, memperburuk keadaan pekerja di pabrik Fukushima. Hal in menyebabkan hal seperti penurunan gaji dan penurunan standar perekrutan yang berarti bahwa buruh baru memiliki pengetahuan yang sangat minim. Hal ini diperburuk dengan kurangnya pelatihan dari perusahaan terhadap para pekerja baru. Sehingga, para pekerja baru banyak melakukan kesalahan-kesalahan kecil yang dapat berakibat fatal. Seperti pada kasus dalam artikel di atas dimana pegawai hanya memperoleh briefing singkat selama 20 menit sebelum memulai pekerjaannya dan setelah itu, manajer yang bertanggung jawab meninggalkan mereka untuk menjalankan tugasnya sendiri. Kesalahan fatal yang dilakukan manajer adalah tidak memperingatkan para pekerja bahwa selang yang harus mereka lepaskan letaknya bersebelahan dengan selang yang berhubungan langsung dengan air bercampur cairan radioaktif cesium. Ditambah dengan kurangnya pengalaman para pekerja ini, mereka melakukan kesalahan pemilihan selang yang harus dilepaskan dan menyebabkan kebocoran cairan radioaktif tersebut. Kesalahan kecil yang terjadi pada medan yang berbahaya seperti tempat pembangkit listrik tenaga nuklir seperti pabrik Fukushima ini dapat berakibat fatal dan menyebabkan kerugian yang besar. Namun, bukannya mengusahakan pelatihan yang berkualitas agar para pekerjanya tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang dapat membahayakan diri karyawan itu sendiri dan orang-orang di sekitarnya, perusahaan bahkan tidak menunjuk seorang manajer yang dapat dengan maksimal mengawasi dan meperingati para pekerja itu agar menjaga keamanan. Peristiwa itu kembali menunjukkan bahwa TEPCO tidak mengikuti dengan baik peraturan yang ditetapkan oleh pemerintah dalam Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Industri Nomor 57 tahun 1972 yang masih digunakan sebagai standar
44
yang harus dipenuhi industri dalam meperlakukan pekerjanya. Peraturan pertama yang dilanggar adalah pasal ke 10 yang mengurus mengenai manajer keamanan umum dan kesehatan. Pada pasal tersebut perusahaan diminta untuk menunjuk seorang manajer dalam skala tertentu untuk mengarahkan pekerja dan melatih manajemen secara keseluruhan mengenai hal seperti langkah-langkah untuk pencegahan bahaya atau gangguan kesehatan para pekerja, hal yang berkaitan dengan penyediaan pendidikan mengenai keselamatan dan kesehatan para pekerja dan layanan yang diperlukan untuk mencegah kecelakaan industri. Namun, manajer yang ditunjuk pada kasus di atas memiliki beberapa tanggung jawab pada berbagai bagian sehingga tidak dapat fokus dan mengawasi proses kerja para pekerjanya. Selain itu, menurut pernyataan manajer sebelumnya di pabrik tersebut, briefing yang hanya berlangsung selama 20 menit tanpa memberikan diagram dari sistem yang akan mereka perbaiki juga tinjauan mengenai prosedur keselamatan sehingga bila terjadi kecelakaan secara tiba-tiba, pekerja tidak tau tindakan apa yang sebaiknya mereka ambil. Kesalahan seperti ini menurut penilaian manajer sebelumnya merupakan kesalahan yang tidak dapat diterima. Pelanggaran kedua terjadi pada pasal 60-2 yang megatakan bahwa perusahaan harus berusaha memberikan pendidikan mengenai keselamatan dan kesehatan bagi pekerjanya yang saat ini terlibat dalam operasi kerja yang berbahaya. Isi pelatihan mengenai operasional kerja yang berhubungan dengan pekerjaan mereka guan meningkatkan keselamatan dan kesehatan di tempat kerja mereka. Namun, seperti yang dapat kita lihat pada artikel di atas, perusahaan TEPCO tidak menyediakan suatu langkah pelatihan yang layak bagi para pekerjanya meski mengetahui bahwa para pekerjanya akan ditempatkan bertugas pada lingkungan yang berbahaya. Kurangnya pelatihan terhadap pekerja ini dapat meningkatkan terjadinya kesalahan-kesalahan dasar yang mengancam keselamatan para pekerja itu sendiri. Pelanggaran pada kedua peraturan ini kembali menunjukkan bahwa perusahaan TEPCO memenuhi ciri burakku kigyou dimana terjadi pelanggaran terhadap UUD Ketenagakerjaan. (Matsuzawa, 2010:1). Dalam artikel juga dikatakan bahwa pekerja jarang menemukan manajernya pada saat bekerja. Seorang manajer sepatutnya mengawasi pekerjaan karyawan terutama banyak diantara para pekerja yang tidak memiliki pengalaman dalam bidang tersebut membutuhkan bantuan lebih. Kemudian dalam cerita di atas juga
45
dikatakan mengenai seorang pekerja bernama Uechi yang tetap diminta merakit tanki meskti hujan dan salju sedang turun saat itu. Meski hal itu berbahaya dan ia telah menyuarakan ketidak setujuannya karena mengetahui bahwa hasil yang diperoleh tidak akan maksimal, perkataannya tidak digubris. Hal ini kembali menunjukkan ketidak pedulian manajemen terhadap keselamatan dan juga keadaan pekerja maupun hasil kerja jangka panjang. 4.2.4 Kasus Kebocoran Air Radiasi Ruang Bawah Tanah Unit 3 Penulis menganalisa terdapatnya praktek burakku kigyou dalam perusahaan TEPCO melalui kasus yang dikabarkan dalam artikel berikut ini: Shinichi, 46, described a harrowing scene of darkness and fear, wading with headlamps into a flooded basement through steaming radioactive water that felt warm even through workers' boots. “It was outrageous. We shouldn't even have been there,'' he said. He said his six-member team was sent to lay electric cables in the basement of the Unit 3 turbine on March 24, 10 days after its reactor building exploded, spewing massive amounts of radiation into the environment. Their mission was to restore power to pumps to inject cooling water into its overheating spent fuel pool. Shinichi said TEPCO and its primary subcontractor never warned them even though water leaks had been found elsewhere at the plant. Asked about Shinichi's allegations, TEPCO spokesman Yoshimi Hitosugi said the plant was aware of water leaks elsewhere but couldn't anticipate the water problem in Unit 3's basement. Shinichi's radiation exposure that day alone exceeded half the government's annual exposure limit, and he had to stop working on plant jobs soon afterward. Out of fear of harassment of his family due to the tendency of some Japanese to stigmatize those perceived as different or as troublemakers, Shinichi agreed to speak with the AP and several Japanese reporters on condition his face not be photographed. On Oct. 30, he filed a complaint with a labor standards office in Fukushima, asking authorities to confirm TEPCO's safety violations and issue improvement orders. He also is seeking penalties--up to six months in jail or fines of up to 500,000 yen ($6,250) under the Industrial Safety and Health Act--against the company that supervised him. Shinichi's direct employer--the subcontractor for TEPCO--stopped calling him for jobs in March, just telling him to stand by. He now works on radiation decontamination of “hot spots'' in Fukushima
46
prefecture. “So I decided I've had enough of this unjust treatment. That's why I decided to come forward,'' he said. On the morning of March 24, 2011, Shinichi's team gathered at Fukushima plant's emergency command center to be briefed about the day's work. They donned double-layer coveralls underneath waterproof hazmat suits, charcoal-filtered full-face masks and double-layered rubber gloves. Each picked up a pocket dosimeter, with an alarm set to 40 times the dose detected the day before, expecting only a moderate increase of radioactivity. The actual reading was 400 millisieverts that day--high enough to cause a temporary, but not life-threatening, decline in white blood cells. The March 11, 2011, earthquake and tsunami destroyed power and crucial cooling systems at the plant, sending three reactors into meltdowns and releasing massive amounts of radiation. Tons of cooling water were pumped into the overheated and damaged reactors and leaked right out, pouring into the basements of the buildings housing them and nearby facilities. Shinichi recalls a simple instruction: Just go in and connect the first floor and basement electrical switchboards. The radioactivity might be a bit high, but shouldn't be a problem. “There was no mention of the water,'' Shinichi said. So the men wore whatever boots were available--only two wore knee-high rubber boots, and four others, including Shinichi, wore short ones. With only headlamps on their helmets to light the way, they entered the building from a hole cut into the wall, since the electric door was still inoperable. Three men hired by two other contractors went into the basement, while Shinichi and his two colleagues waited on the first floor. Looking down, he saw water, with steam rising from the surface, and heaps of debris and mangled equipment. “It was eerie,'' he said. “If you're a nuclear plant worker, you know that water on the floor is bad news. You just don't touch it.'' The dosimeter alarms--set to beep five times before reaching a maximum-sounded several times shortly after they entered the site. Seconds after the three workers started going into the basement, the dosimeters began ringing loudly and then went silent, a sign the intended limit was exceeded, though the team's leader said it must be an error. The three workers in the basement waded through the ankle-deep water to check the wall-mounted switchboard and came back up, saying the water felt warm through their rubber boots.
47
Another team sent in to do other tasks rushed back out without doing any work, ignoring Shinichi's team, after measuring dangerously high radioactivity in the basement. But his group stayed, making several more trips into the flooded basement. Two workers wearing short boots got their feet soaked and suffered beta-ray burns which were not life threatening. The three men who stayed there the longest were exposed to about 180 millisieverts-nearly four times the annual safe limit, according to a government report released in July. Shinichi refused to help tie up the dangling cable in the basement because of his short boots, and a colleague wearing long boots volunteered to do it instead, saving Shinichi from injury. TEPCO spokeswoman Mayumi Yoshida said the team leaders later told officials that they decided to stay because they took their mission very seriously and that they might have been too occupied to think carefully about the water. But TEPCO should have thought more carefully given the unpredictable plant conditions, she said. Shinichi's radiation exposure from 13 days of working at the plant was just over 20 millisieverts, not considered a serious health risk, though he still worries. His lawyers, who are representing several nuclear plant workers in other cases, say TEPCO and its top contractor Kandenko illegally sent him and five other men into areas with radioactivity far exceeding the allowable limit without full protection. “Just sending the workers into the harsh environment and putting them at risk of exposure to dangerously high radiation is a labor safety violation,'' said Taku Yamazoe, a lawyer representing Shinichi. “Even if TEPCO didn't anticipate the consequences of all that water it had pumped in, it clearly lacked consideration for the workers' safety.'' Shinichi's experience was typical of the inadequate protection received by workers laboring in the extremely harsh conditions at the plant, though Yamazoe said the multi-tiered subcontracting system used at nuclear plants can obscure who is directly responsible in case of an accident. Investigations by the government, parliament and private groups have faulted TEPCO for inept crisis management, inadequate emergency training and miscommunication with authorities. The parliamentary investigation took TEPCO to task for failing to deal with leaking contaminated water until the two workers suffered betaray burns in Unit 3, concluding that the operator was fully aware of the consequences of massive spraying and pumping of water into the reactors and spent fuel pools from the very beginning.
48
Shinichi said that when he finished work at the nuclear plant each day, he would take off his clothes before entering his home to minimize the risk of radiation exposure for his 5-year-old son. He would toss the clothes into the washing machine and immediately rush into a bath. Many other nuclear workers face the same worries, he said. “I don't have education, and I'm already over 40. There is little choice,'' he said. “I was dumped. I worked hard, sacrificed my family and my child and this is how I ended up.'' Sumber: The Asahi Shimbun. UPDATE/ Worker: Japan nuke crisis crew not told of danger. The Associated Press, 01 November 2012. Analisis: Artikel di atas menceritakan mengenai kurangnya perlindungan yang dilakukan perusahaan TEPCO atas keselamatan jiwa pekerjanya. Di pekerjakan pada medan yang berbahaya karena seringkali terdapat situasi dimana perusahaan menuntut pekerjanya untuk melakukan perbaikan atau pembersihan pada area yang rawan paparan radiasi, pelatihan dan pemberitahuan informasi penting mengenai medan kerja yang akan mereka hadapi sangat penting untuk mengurangi kemungkinan terjadinya kecelakaan, Pada artikel di atas Shinichi menceritakan kepada media mengenai situasi yang ia hadapi saat ditugaskan untuk mengembalikan daya ke pompa yang bergungsi untuk menyuntikkan air pendingin ke kolam bahan bakar yang sudah berada pada keadaan terlalu panas. Untuk melakukan hal tersebut, ia dan ke 5 anggota tim lainnya dikirim di ruang bawah tanah pada turbin Unit 3 pada tanggal 24 Meret, 10 hari setelah gedung reaktornya meledak sehingga memuntahkan sejumlah radiasi ke lingkungan sekitarnya. Pagi hari pada tanggal 24 Maret 2011, tim Shinichi berkumpul di pusat komando darurat pabrik Fukushima untuk menerima pengarahan mengenai pekerjaan hari itu. Mereka mengenakan baju kerja sekadarnya karena pada saat pengarahan pun tidak disebutkan sama sekali mengenai kemungkinan kebocoran air yang telah terkontaminasi pada ruang bawah tanah yang akan mereka masuki. Pada pertemuan itu, mereka hanya diminta untuk masuk ke dalam dan menghubungkan lantai satu dengan papan hubung listrik ruang bawah tanah. Mereka juga diberi tahu bahwa radioaktivitas pada tempat itu mungkin agak tingggi tapi seharusnya
tidak
menjadi
masalah.
Sehingga
tim
Shinichi
tidak
terlalu
mengkhawatirkan mengenai perlengkapan yang mereka gunakan. Pada tim Shinichi
49
sendiri, hanya dua orang yang mengenakan sepatu boots karet setinggi lutut. Ia sendiri hanya memakai sepatu yang tersedia dan mengenakan boots karet pendek. Pada saat pengarahan ini, Shinichi mengatakan bahwa tidak ada pembahasan sama sekali mengenai kemungkinan atau adanya kebocoran air yang telah terkontaminasi pada ruang bawah tanah tersebut. Kemudian
setiap
dari
mereka
membawa
pengukur
dosis
untuk
memperingatkan mereka apabila kadar radiasi dalam tubuh mereka telah mencapai batas yang mereka atur. Karena tidak merasa khawatir dan hanya mengekspektasikan peningkatan jumlah radiasi yang normal seperti hari-hari sebelumnya, mereka mengatur alaram bada 40 kali dosis yang terdeteksi sehari sebelumnya. Penyebab dari genangan air yang terkontaminasi itu sesungguhnya behubungan dengan tindakan yang diambil pada tanggal 11 Maret 2011, ketika bencana gempa bumi dan tsunami menimpa Jepang, daya dan sistem pendingin utama di pabrik mengalami kehancuran sehingga menyebabkan tiga reaktor mengalami kebocoran dan melepaskan sejumlah besar radiasi. Langkah cepat yang dilakukan untuk menghadapi masalah itu adalah memompa berton-ton air pendingin ke reaktor yang terlalu panas dan rusak dengan maksud untuk menurunkan suhu. Air yang telah dipompa tersebut langsung tertumpah keluar kembali dan mengalir ke ruang bawah tanah. Karena telah bercampur dengan radiasi, air tersebut menjadi berbahaya. Melalui lubang yang sengaja dibuat pada dinding gedung, akhirnya Shinichi dan timnya masuk untuk menjalankan misi mereka. Dengan pencahayaan satusatunya dari senter pada helm mereka, tiga orang anggota dalam tim Shinichi masuk ke ruang bawah tanah. Sementara Shinichi dan dua rekannya menunggu di lantai pertama. Shinichi sangat terkejut ketika melihat ke bawah dan terdapat air yang mengeluarkan uap dari permukaannya. Sebagai orang yang bekerja pada pabrik nuklir, ia mengetahui bahwa genangan air seperti itu sangat berbahaya. Sementara tidak lama begitu ketiga pekerja mulai masuk ke ruang bawah tanah, alat pengukur dosis mereka mulai berdering dengan keras selama beberapa kali kemudian berhenti. Keadaan ini berarti batas radioaktif yang ditentukan sebelumnya telah mencapai maksimum. Namun, pemimpin tim Shinichi mengatakan bahwa hal itu pasti merupakan kesalahan pada alat yang mereka bawa.
50
Pekerja yang ditugaskan untuk turun ke ruang bawah tanah pun tidak lama setelah alaram berbunyi kembali naik ke lantai 1 dan mengatakan bahwa mereka telah mengarungi genangan air sedalam mata kaki mereka untuk mencari papan penghubung yang menempel pada dinding namun merasa cemas karena genangan air itu memunculkan sensasi hangat bahkan melalui boots mereka. Sementara tim lain yang juga dikirim untuk melakukan tugas berbeda bergegas keluar tanpa melakukan pekerjaan apa pun setelah mengukur tingginya radioaktivitas sampai tahap yang berbahaya pada ruang bawah tanah, tim Shinichi melakukan sedikit perjalanan ke dalam ruang bawah tanah yang telah tergenangi air yang terkontaminasi. Dua dari empat pekerja yang sebelumnya mengenakan boots pendek mendapati kaki mereka basah dan menglami luka bakar yang disebut sebagai beta-ray dan untungnya luka ini tidak mengancam nyawa. Selain itu, kadar radiasi pada tubuh ketiga orang yang paling lama berada pada ruang bawah tanah tersebut mencapai Sementara Shinichi yang juga mengenakan boots pendek menolak saat diminta untuk membantu mengikat kabel yang menggantung di ruang bawah tanah dan digantikan oleh salah seorang temannya yang memgenakan boots panjang terselamatkan dari cedera tersebut mencapai 180 millisieverts. Angka yang hampir mencapai empat kali lipat batas radiasi tahunan yang ditentukan pemerintah. Apabila pekerja diperingatkan dari awal mengenai kemungkinan terdapatnya kebocoran air radiasi, mereka tidak akan mengenakan pakaian pengaman yang ala kadarnya. Shinichi merasa aneh karena baik pihak TEPCO dan subkontraktor utama yang merekrutnya untuk bekerja tidak pernah mengingatkan apapun meski kebocoran air telah ditemukan di tempat lain di dalam pabrik. Mengenai tuduhan tersebut, juru bicara TEPCO mengatakan bahwa mereka kebocoran air di tempat lain tapi tidak dapat menganitsipasi masalah air di ruang bawah tanah Unit 3. Pada tanggal 30 Oktober akhirnya Shinichi mengajukan keluhan kepada kantor standar ketenagakerjaan di Fukushima, meminta pihak berwenang untuk mengkonfirmasi pelanggaran keamanan TEPCO dan mengeluarkan perintah perbaikan. Bukan hanya itu, ia juga sedang mengusahakan hukuman hingga enam bulan penjara atau denda sampai 500.000 yen di bawah Undang-Undang Keselamatan dan Kesehatan Industri terhadapa perusahaan yang membawahinya. Setelah itu, investigasi di lakukan oleh berbagai pihak seperi pemeritah, parlemen dan kelompok swasta yang memuruskan bahwa TEPCO tidak layak atau tidak
51
kompeten dalam pelatihan darurat dan terdapat masalah miskomunikasi dengan pihak berwenang. Perbuatan TEPCO yang tidak memperhatiakn keselamatan karyawannya ini lagi-lagi merupakan tindakan pelanggaran terhadap UUD Ketenagakerjaan pada pasal ke 42 dimana perusahaan tidak melakukan penjagaam maksimal terhadap keselamatan dan kesehatan pegawainya. Hal ini tampak pada saat pengarahan sebelum pekerja melakukan tugasnya. Dalam proses itu, tidak dilakukan lagi pengecekkan kepahaman pekerja terhadap pertolongan pertama yang harus mereka lakukan apabila menghadapi masalah saat menjalani tugas, perintah yang disampaikan juga sangat sederhana tanpa menyertakan skema lokasi tempat mereka akan melakukan tugas nantinya. Selain itu, dalam artikel juga dikatakan bahwa hasil dari investigasi yang dilakukan berbagai pihak mengenai kemampuan TEPCO melakukan pelatihan darurat terhadap pekerjanya, TEPCO dianggap masih tidak layak. Pelanggaran pada peraturan ini kembali menunjukkan bahwa perusahaan TEPCO memenuhi ciri burakku kigyou dimana terjadi pelanggaran terhadap UUD Ketenagakerjaan (Matsuzawa, 2010:1).