BAB 35 PERKEMBANGAN EKONOMI MAKRO DAN PEMBIAYAAN PEMBANGUNAN
Perkembangan ekonomi makro bulan Oktober 2004 hingga bulan Juli 2008 dapat diringkas sebagai berikut. Pertama, stabilitas ekonomi tetap terjaga dari tekanan eksternal, yaitu berupa tingginya harga minyak mentah dan harga bahan pangan dunia, dampak subprime mortgage di AS, melambatnya pertumbuhan ekonomi dunia, serta bencana alam tsunami di NAD dan Sumatera Utara. Nilai tukar rupiah terjaga dalam besaran Rp9.000,00—9.200,00 per dolar AS; laju inflasi menurun menjadi 6,6 persen pada tahun 2006 dan 2007, terjaga pada tingkat 11,9 persen pada bulan Juli 2008 (year on year) dalam tekanan harga komoditas dunia yang sangat tinggi, serta cadangan devisa meningkat menjadi USD 60,6 miliar pada akhir Juli 2008. Kedua, sektor riil membaik tercermin dari pertumbuhan ekonomi yang meningkat dengan peranan investasi yang makin besar, daya beli masyarakat yang terjaga, serta ekspor yang meningkat. Secara bertahap, pertumbuhan ekonomi meningkat dari 5,0 persen pada tahun 2004 menjadi 6,3 persen pada tahun 2007 didukung oleh pembentukan modal tetap bruto yang tumbuh dua
digit sejak semester II/2007 serta ekspor nonmigas yang meningkat rata-rata 18,0 persen per tahun dalam empat tahun terakhir. Dalam semester I/2008, ekonomi tumbuh 6,4 persen (year on year) didorong oleh investasi dan ekspor serta didukung oleh daya beli masyarakat yang terjaga. Ketiga, stabilitas ekonomi yang terjaga dan kegiatan ekonomi yang meningkat mendorong perbaikan kesejahteraan masyarakat yang tercermin dari menurunnya angka pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin. Pada bulan Februari dan Maret 2008, pengangguran terbuka dan jumlah penduduk miskin menurun berturut-turut menjadi 9,4 juta orang (8,5 persen) dan 35,0 juta orang (15,4 persen). Secara keseluruhan, kebijakan ekonomi makro tetap diarahkan untuk menjaga stabilitas ekonomi, mempertahankan kesinambungan pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan kualitas pembangunan agar semakin besar kemampuannya dalam menciptakan lapangan kerja dan mengurangi jumlah penduduk miskin. I.
Ekonomi Dunia
Pertumbuhan ekonomi nasional tidak terlepas dari perkembangan ekonomi dunia. Dalam tahun 2005 perekonomian dunia tumbuh sebesar 4,4 persen dan tetap tinggi hingga tahun 2007. Dalam tahun 2007 ekonomi dunia tumbuh 5,0 persen dengan Asia sebagai penggerak ekonomi dunia, didorong oleh China, India dan negara-negara emerging market lainnya (World Economic Outlook, update Juli 2008). Ekonomi dunia yang tumbuh tinggi didukung pula oleh kegiatan perdagangan dunia dan harga komoditas yang meningkat. Dalam tahun 2005, volume perdagangan dunia tumbuh 7,6 persen dan terus meningkat hingga mencapai 9,2 persen pada tahun 2006. Perekonomian dunia yang tumbuh tinggi berpengaruh terhadap bursa saham global. Pada akhir tahun 2005. Indeks Nikkei di Jepang dan Indeks Straits Times di Singapura meningkat masingmasing 40,2 persen dan 18,0 persen dibandingkan dengaan tahun 2004. Indeks Dow Jones di New York menurun sebesar 0,6 persen dalam periode yang sama. Pada pertengahan tahun 2006 terjadi 35 - 2
gejolak pada bursa saham global dan nilai tukar mata uang di beberapa negara termasuk Indonesia akibat gejolak modal jangka pendek yang terjadi di Turki dan Brasil. Menjelang akhir tahun 2006 pasar bursa dunia kembali menguat. Tingginya pertumbuhan ekonomi dunia turut meningkatkan permintaan, terutama dari negara nonOECD, minyak mentah dunia. Sementara itu, sisi pasokan dihadapkan pada keterbatasan produksi terutama negara non OPEC serta kuatnya komitmen negara-negara anggota OPEC untuk menjaga tingkat produksinya. Tingginya peningkatan permintaan dan terbatasnya kenaikan produksi minyak mentah dunia mendorong kenaikan harga minyak. Harga minyak mentah West Texas Intermediate (WTI) meningkat dari USD 56,4 per barel pada tahun 2005 menjadi USD 66,1 per barel pada tahun 2006 dan USD 72,3 per barel pada tahun 2007. Meningkatnya harga minyak mentah dunia tersebut berdampak pada kenaikan harga komoditas pertanian termasuk pangan dan bahan pertanian yang dapat digunakan sebagai bahan bakar. Pada bulan Juli 2007, stabilitas keuangan dunia mengalami gejolak akibat krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Indeks saham di AS dan berbagai bursa dunia mengalami penurunan dan pengaruhnya masih dirasakan hingga pertengahan tahun 2008. Krisis keuangan di AS selanjutnya berpengaruh terhadap investasi residensial dan menurunnya harga perumahan di AS. Dalam tahun 2007, pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat mencapai 2,0 persen, lebih rendah dibandingkan rata-rata tiga tahun sebelumnya yang mencapai 3,2 persen per tahun (Bureau of Economic Analysis, US, Agustus 2008). Dalam mencegah ekonomi AS dari kemungkinan terjadinya resesi, kebijakan ekonomi Amerika Serikat diarahkan untuk mengamankan sektor keuangan dan memberikan stimulus fiskal dalam rangka mendorong ekonomi. Suku bunga Fed Funds diturunkan secara bertahap hingga mencapai 2,0 persen pada akhir bulan April 2008. Stimulus fiskal berupa tax rebates sebesar USD 168 miliar diberikan guna menopang penurunan daya beli masyarakat.
35 - 3
Krisis subprime mortgage yang berpengaruh pada bursa saham dunia dan nilai tukar dolar AS tersebut mengakibatkan likuiditas global yang lebih beralih ke pasar komoditas terutama minyak mentah serta memberi tekanan spekulasi besar terhadap harga komoditi dunia hingga pertengahan tahun 2008. Harga minyak mentah WTI terus meningkat hingga mencapai USD 133,5 per barel pada bulan Juli 2008 [EIA, US Dept. of Energy, Agustus 2008]. Harga komoditi non-energi dalam bulan Juni 2008 meningkat sebesar 17,7 persen (year on year) dengan dorongan terbesar dari kelompok komoditi pangan yang harganya meningkat 44,4 persen (y-o-y) [IMF, Primary Commodity Price, Juli 2008]. Tingginya harga minyak mentah dunia dan harga komoditi dunia telah memberi tekanan inflasi secara global dan mendorong bank sentral di berbagai negara untuk meningkatkan suku bunganya secara bertahap. Menjelang akhir Juli 2008 harga harian minyak mentah dunia turun menjadi di bawah USD 130 per barel dengan berkurangnya kekhawatiran geopolitik di Timur Tengah serta pengaruh badai di Teluk Meksiko dan meningkatnya cadangan minyak mentah di AS dan OECD. Dalam keseluruhan tahun 2008, pertumbuhan ekonomi dunia diperkirakan melambat dengan tingkat harga komoditas dunia yang masih tinggi. II.
Moneter, Perbankan, dan Pasar Modal
Menjelang akhir tahun 2004 dan sepanjang tahun 2005, stabilitas ekonomi Indonesia menghadapi tekanan yang cukup berat dengan bencana alam dan gelombang tsunami di NAD dan Sumatera Utara, meningkatnya harga minyak dunia, serta berlanjutnya siklus pengetatan moneter di AS. Menurunnya kepercayaan terhadap rupiah dan kekkhawatiran terhadap ketahanan fiskal berpengaruh stabilitas ekonomi. Nilai tukar rupiah melemah hingga mencapai Rp12.000 per dolar AS pada perdagangan harian bulan Agustus 2005. Untuk meredam gejolak ekonomi, Pemerintah bersama-sama dengan Bank Indonesia menempuh kebijakan moneter dan fiskal, antara lain kenaikan suku bunga dan penyesuaian harga BBM di dalam negeri. Secara bertahap nilai tukar rupiah dan laju inflasi yang pada bulan Oktober 2005 35 - 4
mencapai Rp10.310 per dolar AS dan 17,9 persen (year on year) dapat diturunkan menjadi Rp9.840 per dolar AS dan 17,1 persen (year on year) pada bulan Desember 2005. Stabilitas ekonomi dan moneter terus terjaga pada tahun 2006 dan 2007 tercermin dari stabilnya nilai tukar rupiah dan menurunnya laju inflasi. Rata-rata harian nilai tukar rupiah pada tahun 2006 dan 2007 masing-masing mencapai Rp9.168,00 per USD dan Rp9.140,00 per USD. Sedangkan laju inflasi pada periode yang sama masingmasing mencapai 6,6 persen. Laju inflasi yang menurun dan nilai tukar rupiah yang stabil memberi ruang bagi penurunan suku bunga dalam negeri. Secara bertahap suku bunga acuan (BI Rate) diturunkan dari 12,75 persen pada bulan April 2006 hingga mencapai 8,00 persen pada akhir tahun 2007. Suku bunga deposito dan pinjaman mengikuti pergerakan suku bunga acuan. Pada bulan April 2006, suku bunga deposito 1 bulan mencapai 11,7 persen dan terus menurun hingga mencapai 7,2 persen pada bulan Desember 2007. Demikian pula suku bunga kredit modal kerja, investasi dan konsumsi yang masing-masing menurun dari 16,3 persen, 15,9 persen, dan 17,7 menjadi 13,0 persen, 13,0 persen dan 16,1 persen pada periode yang sama. Langkah-langkah untuk meningkatkan iklim investasi dan mendorong ekspor selanjutnya mendorong kembali penyaluran kredit perbankan. Dalam tahun 2007, penyaluran kredit perbankan mencapai Rp995,1 triliun atau meningkat 26,4 persen dibandingkan tahun 2006. Meningkatnya penyaluran kredit tersebut diikuti pula oleh membaiknya tingkat kesehatan perbankan. non-performing loan menurun dari Rp47,5 triliun pada akhir tahun 2006 menjadi Rp40,0 triliun pada akhir tahun 2007. Stabilitas ekonomi yang terjaga hingga akhir tahun 2007 mendorong kinerja bursa saham di dalam negeri. Indeks harga saham gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI) mencapai 2745,8 pada akhir bulan Desember 2007 atau naik 52,1 persen dibandingkan akhir tahun 2006.
35 - 5
Memasuki tahun 2008, tekanan eksternal berupa tingginya harga komoditas dunia termasuk harga minyak mentah serta meluasnya dampak krisis subprime mortgage di Amerika Serikat berpengaruh pada stabilitas ekonomi di dalam negeri. Rata-rata nilai tukar rupiah pada bulan Januari 2008 mencapai Rp9.406 per USD atau melemah 0,6 persen dibandingkan bulan sebelumnya. Indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia turun 4,3 persen pada periode yang sama. Sentimen negatif bursa saham global dan regional terus berlangsung hingga semester I/2008 dan berdampak pada bursa saham Indonesia. Pada akhir Juli 2008 indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia menurun menjadi 2304,5 atau 16,1 persen lebih rendah dibandingkan akhir tahun 2007. Tingginya harga minyak mentah dunia menuntut dilakukannya penyesuaian harga BBM di dalam negeri. Upaya ini ditempuh untuk meningkatkan efektivitas pemberian subsidi agar lebih tepat sasaran dan mengurangi beban anggaran. Selanjutnya untuk menjaga daya beli masyarakat kurang mampu, khususnya masyarakat miskin, bantuan langsung tunai (BLT) diberikan kepada 19,1 juta rumah tangga miskin. Dalam tekanan eksternal yang terus meningkat serta langkahlangkah penyesuaian, termasuk penyesuaian harga BBM, yang harus ditempuh, laju inflasi hingga semester I/2008 dapat dijaga pada tingkat 11,0 persen (year on year) dan hingga akhir Juli mencapai 11,9 persen (year on year); sedangkan nilai tukar rupiah hingga Juli 2008 dapat dijaga dalam kisaran Rp9.000 – Rp9.200 per dolar AS. Tingginya ekspektasi terhadap inflasi menuntut langkahlangkah untuk mengendalikan likuiditas ekonomi. Suku bunga acuan yang dipertahankan pada tingkat 8,00 persen hingga bulan April 2008, secara bertahap mulai ditingkatkan sebesar 25 bps menjadi 8,25 persen pada bulan Mei 2008, 8,75 persen pada bulan Juli 2008, dan 9,00 persen pada bulan Agustus 2008. Dengan program stabilisasi harga kebutuhan pokok masyarakat didukung oleh kebijakan moneter yang berhati-hati, laju inflasi dalam keseluruhan tahun 2008 tetap terkendali. Langkah-langkah untuk meningkatkan stabilitas ekonomi mampu menjaga kepercayaan dunia usaha dan pembiayaan 35 - 6
perbankan. Sampai dengan bulan Juni 2008, posisi kredit perbankan mencapai Rp 1.142,1 triliun atau meningkat 33,6 persen (y-o-y) dengan kenaikan yang berimbang antara pembiayaan untuk investasi, modal kerja, dan konsumsi.
III.
Neraca Pembayaran
Kondisi neraca pembayaran pada tahun 2005 dan 2006 tetap terjaga didukung oleh pertumbuhan ekonomi dunia dan volume perdagangan dunia yang tinggi. Dengan kondisi neraca pembayaran tersebut, pembayaran sisa utang kepada IMF dipercepat. Keseluruhan utang yang seharusnya jatuh tempo pada tahun 2010 dilunasi pada bulan Juni dan Oktober 2006. Pada akhir bulan Desember 2006, cadangan devisa mencapai USD 42,6 miliar, meningkat USD 7,9 miliar dibandingkan dengan akhir tahun 2005. Tingginya pertumbuhan ekonomi dan harga komoditas dunia pada tahun 2007, ikut berperan dalam mendorong kinerja neraca pembayaran Indonesia. Total penerimaan ekspor pada tahun 2007 mencapai USD 118,0 miliar atau meningkat 14,0 persen dibandingkan tahun 2006. Kenaikan tersebut didorong oleh kenaikan ekspor migas dan nonmigas masing-masing sebesar 8,4 persen dan 15,6 persen. Impor meningkat sejalan dengan membaiknya kegiatan ekonomi. Pada tahun 2007, total impor mencapai USD 85,3 miliar atau naik 15,6 persen dibandingkan tahun sebelumnya. Kenaikan itu didorong oleh meningkatnya impor migas dan nonmigas masingmasing mencapai 18,8 persen dan 14,5 persen. Dengan defisit jasa (termasuk pendapatan dan transfer) yang mencapai USD 22,4 miliar, surplus neraca transaksi berjalan pada tahun 2007 mencapai USD 10,4 miliar atau sedikit lebih rendah dibandingkan dengan tahun sebelumnya (USD 10,8 miliar). Krisis subprime mortgage di Amerika Serikat yang terjadi pada semester II/2007 memperlambat arus masuk investasi portfolio yang meningkat hingga akhir semester I/2007. Dampak krisis itu berimbas pula pada pelepasan surat utang negara (SUN) dan surat berharga Bank Indonesia (SBI) pada triwulan IV/2007. Secara 35 - 7
keseluruhan neraca modal dan finansial pada tahun 2007 mencapai surplus USD 3,3 miliar, sedikit lebih tinggi dibandingkan dengan tahun sebelumnya yang mencapai USD 2,9 miliar, dan cadangan devisa mencapai USD 56,9 miliar atau cukup untuk membiayai 5,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri Pada saat memasuki tahun 2008, stabilitas eksternal tetap terjaga dengan meningkatnya ketidakpastian global terutama tingginya harga minyak mentah dan harga komoditas dunia lainnya, serta perlambatan ekonomi dunia termasuk Amerika Serikat. Dalam triwulan I/2008, total penerimaan ekspor mencapai USD 34,4 miliar atau meningkat 29,2 persen dibandingkan dengan triwulan I/2007. Kenaikan penerimaan ekspor itu didorong oleh meningkatnya penerimaan ekspor migas dan nonmigas masingmasing sebesar 63,2 persen dan 21,8 persen. Total nilai impor pada triwulan I/2008 mencapai USD 26,8 miliar atau meningkat 41,9 persen dibandingkan periode yang sama tahun 2007. Kenaikan nilai impor ini didorong oleh meningkatnya impor migas dan nonmigas masing-masing sebesar 45,3 persen dan 41,1 persen. Dengan defisit neraca jasa dan pendapatan sebesar USD 6,1 miliar, necara transaksi berjalan mengalami surplus sebesar USD 2,8 miliar. Kondisi neraca arus modal dan finansial sepanjang triwulan I/2008 masih dipengaruhi oleh krisis subprime mortgage di Amerika Serikat. Arus investasi portofolio swasta hanya mencapai USD 0,2 miliar pada akhir triwulan I/2008 menurun dibandingkan dengan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai USD 0,4 miliar. Investasi lainnya mengalami defisit yang meningkat dari USD 0,5 miliar pada triwulan I/2007 menjadi USD 3,7 miliar pada triwulan I/2008. Secara keseluruhan, neraca modal dan finansial pada triwulan I/2008 mengalami defisit sebesar USD 1,4 miliar atau menurun dibandingkan periode yang sama pada tahun sebelumnya yang mencapai surplus USD 1,8 miliar. Dalam triwulan II/2008 perekonomian tetap meningkat memanfaatkan momentum perekonomian dunia yang tinggi. Penerimaan ekspor hingga semester I/2008 dari data yang dikumpulkan oleh BPS mencapai USD 70,4 miliar atau meningkat sekitar 30,8 persen (year on year) didorong oleh penerimaan ekspor 35 - 8
migas dan nonmigas yang berturut-turut naik sekitar 65,3 persen dan 23,2 persen. Kegiatan ekonomi meningkatkan pula kebutuhan impor. Dalam semester I/2008 pengeluaran impor mencapai USD 52,2 miliar atau naik 54,9 persen (year on year) didorong oleh impor migas dan nonmigas yang meningkat masing-masing sekitar 77,4 persen dan 46,2 persen. Cadangan devisa hingga akhir triwulan I/2008 mencapai USD 59,0 miliar atau setara dengan 5,0 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. Pada akhir bulan Juli 2008, cadangan devisa meningkat menjadi USD 60,6 miliar atau setara dengan 4,7 bulan impor dan pembayaran utang luar negeri pemerintah. IV.
Keuangan Negara
Dalam tahun 2005—2007, kebijakan keuangan negara diarahkan untuk memberikan stimulus fiskal pada peningkatan pertumbuhan ekonomi yang berkualitas bagi penciptaan lapangan kerja dan penurunan kemiskinan dengan tetap melanjutkan dan memantapkan upaya konsolidasi fiskal dalam rangka mewujudkan ketahanan fiskal yang berkelanjutan (fiscal sustainability). Upaya konsolidasi fiskal ditempuh melalui peningkatan penerimaan negara terutama penerimaan perpajakan yang lebih berkelanjutan, peningkatan efektivitas pengeluaran negara melalui penajaman alokasi belanja negara, serta optimalisasi pemanfaatan sumber pembiayaan anggaran. Dalam periode tersebut, perekonomian Indonesia dihadapkan pada lingkungan domestik yang kurang kondusif. Pertama, memasuki awal tahun 2005 terjadi gempa bumi dan gelombang tsunami yang melanda wilayah Sumatera Bagian Utara (Nanggroe Aceh Darussalam NAD dan Nias), pada tahun berikutnya, gempa bumi melanda Daerah Istimewa Yogyakarta dan sebagian Jawa Barat. Kedua, terjadinya perkembangan lingkungan eksternal yang menuntut dilakukannya penyesuaian terhadap asumsi makro yang digunakan dalam memperkirakan pendapatan negara dan belanja negara pada APBN. Perubahan lingkungan eksternal tersebut antara lain tingginya harga minyak mentah dunia mendorong disesuaikannya harga BBM di dalam negeri. 35 - 9
Dengan berbagai kondisi tersebut, pendapatan negara dan hibah dalam kurun waktu 2005—2007 meningkat rata-rata 19,6 persen. Peningkatan pendapatan negara tersebut didorong oleh peningkatan penerimaan pajak sebesar Rp144,0 triliun (meningkat dari Rp347,0 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp491,0 triliun pada tahun 2007). Sejalan dengan tingginya harga minyak mentah dunia, penerimaan bukan pajak juga mengalami peningkatan sebesar Rp.68,2 triliun (meningkat dari Rp146,9 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp215,1 triliun pada tahun 2007). Peningkatan penerimaan negara bukan pajak, terutama didorong oleh peningkatan pendapatan sumber daya alam minyak bumi dan gas alam yang meningkat dari Rp103,8 triliun menjadi Rp124,8 triliun. Dalam sektor belanja negara, sepanjang tahun 2005—2007 realisasi belanja negara meningkat sebesar Rp248,0 triliun atau meningkat dari Rp509,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp757,7 triliun pada tahun 2007. Peningkatan belanja negara tersebut, utamanya didorong oleh peningkatan belanja Pemerintah Pusat sebesar Rp143,4 triliun atau meningkat dari Rp361,2 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp504,6 triliun pada tahun 2007. Sejalan dengan pelaksanaan desentralisasi fiskal, alokasi anggaran yang didaerahkan juga mengalami peningkatan sebesar Rp102,8 triliun atau meningkat dari Rp150,5 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp253,3 triliun pada tahun 2007. Peningkatan alokasi belanja ke daerah tersebut terutama didorong oleh peningkatan alokasi untuk dana alokasi umum dan dana alokasi khusus yang meningkat masing-masing sebesar Rp76,0 triliun dan Rp.11,5 triliun sepanjang tahun 2005—2007. Dengan perkembangan tersebut, defisit anggaran tahun 2005—2007 masing-masing sebesar 0,5 persen PDB, 0,9 persen PDB dan 1,3 persen PDB. Defisit anggaran tersebut diatasi dengan pembiayaan dalam negeri terutama melalui surat berharga negara dan pembiayaan luar negeri dalam batas yang aman. Stok utang pemerintah menurun dari 47,2 persen PDB pada tahun 2005 menjadi 35,1 persen PDB pada tahun 2007. Sejak ditetapkannya UU Nomor 45 Tahun 2007 tentang APBN Tahun 2008, kondisi APBN sampai dengan minggu ke-4 35 - 10
Februari 2008 mendapat tekanan yang sangat berat, terutama oleh tingginya harga minyak mentah dunia dan tingginya harga komoditas dunia, serta melambatnya perekonomian dunia. Sebagai dampak perubahan lingkungan global tersebut, dilakukan perubahan terhadap asumsi makro yang mendasari perhitungan APBN, yaitu pertumbuhan ekonomi diturunkan dari 6,8 persen menjadi 6,4 persen, laju inflasi dinaikkan dari 6,0 persen menjadi 6,5 persen; harga ekspor minyak mentah Indonesia dinaikkan dari USD 60 per barel menjadi USD 95 per barel; lifting minyak mentah diturunkan dari 1.034 juta barel per hari menjadi 927 ribu barel per hari sedangkan nilai tukar rupiah tetap Rp 9.100,00 per dolar AS. Dengan perubahan tersebut, penerimaan negara dan hibah pada tahun 2008 diperkirakan meningkat sebesar 14,5 persen (meningkat dari Rp.781,4 triliun pada APBN menjadi menjadi Rp895,0 triliun pada APBN perubahan tahun 2008). Peningkatan penerimaan negara dan hibah tersebut, terutama didorong oleh peningkatan penerimaan negara bukan pajak sumber daya alam minyak bumi dan gas alam yang meningkat sebesar 55,1 persen dibandingkan target APBN. Belanja negara dalam APBN Perubahan Tahun 2008 juga mengalami peningkatan sebesar Rp.134,8 triliun (meningkat dari 854,7 triliun pada APBN menjadi Rp989,5 triliun pada APBN Perubahan). Peningkatan belanja negara tersebut, terutama didorong oleh peningkatan subsidi bahan bakar minyak yang meningkat hampir empat kali lipat dari pagu APBN, yakni dari Rp45,8 triliun dalam APBN dan diperkirakan menjadi Rp180,3 triliun dan subsidi listrik yang meningkat hampir tiga kali lipat dari pagu APBN. Dengan tingginya harga minyak mentah dunia yang dalam keseluruhan tahun 2008 diperkirakan lebih tinggi dari pada asumsi APBN Perubahan tahun 2008 sebesar USD 95 per barel dan dalam rangka pengamanan APBN serta menekan pemberian subsidi yang kurang tepat sasaran, harga BBM bersubsidi disesuaikan pada bulan Mei 2008 Penyesuaian harga BBM di dalam negeri didasarkan pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 16 Tahun 2008 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 45 Tahun 2007 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara tahun anggaran 2008 35 - 11
Pasal 14 ayat (2) apabila terjadi perubahan harga minyak yang sangat signifikan dibandingkan asumsi harga minyak yang ditetapkan, pemerintah dapat mengambil langkah-langkah kebijakan yang diperlukan di bidang subsidi BBM dan/atau langkah-langkah lainnya untuk mengamankan pelaksanaan APBN 2008, yang selanjutnya diusulkan dalam APBN Perubahan dan/atau disampaikan dalam Laporan Keuangan Pemerintah Pusat. Tekanan yang berat terhadap APBN Tahun 2008 juga berimbas kepada kebijakan transfer ke daerah. Lonjakan harga minyak mentah dunia membawa tambahan pendapatan bagi daerah penghasil migas karena kenaikan dana bagi hasil migas. Sebagai bagian dari langkah-langkah pengamanan APBN dan menjaga kesinambungan fiskal (fiscal sustainability), Pemerintah tidak membagihasilkan kenaikan PBB migas sebesar Rp1,95 triliun. Secara keseluruhan, defisit anggaran pada tahun 2008 diperkirakan meningkat menjadi 2,1 persen PDB atau meningkat sebesar 0,8 persen PDB dibandingkan realisasi APBN tahun 2007. Stok utang pemerintah pada tahun 2008 diperkirakan sekitar 33,0 persen PDB atau menurun sebesar 1,8 persen PDB dibandingkan dengan tahun 2007. V.
Pertumbuhan Ekonomi
Dengan langkah-langkah untuk menjaga stabiilitas ekonomi, perekonomian tahun 2005 mampu tumbuh 5,7 persen atau lebih tinggi dibandingkan dengan tahun 2004 (5,0 persen). Pertumbuhan ekonomi tahun 2005 tersebut, terutama didukung oleh investasi berupa pembentukan modal tetap bruto yang meningkat sebesar 10,9 persen dan konsumsi pemerintah yang tumbuh 6,6 persen, sedangkan konsumsi masyarakat tumbuh 4,0 persen. Pada sisi produksi, sektor pertanian, industri pengolahan dan pertambangan masing-masing tumbuh 2,7 persen, 4,6 persen, dan 3,2 persen. Adapun sektor tersier, antara lain sektor perdagangan serta pengangkutan dan komunikasi masing-masing tumbuh 8,3 persen serta 12,8 persen. Upaya untuk meredam gejolak ekonomi pada semester II/2005 mampu menjaga momentum pertumbuhan ekonomi. Dalam keseluruhan tahun 2006, perekonomian tumbuh 5,5 persen, didorong 35 - 12
oleh konsumsi pemerintah yang tumbuh 9,6 persen dan ekspor barang dan jasa yang tumbuh 9,4 persen. Pertumbuhan konsumsi masyarakat dan investasi melambat masing-masing menjadi 3,2 persen dan 2,5 persen. Pada sisi produksi, sektor pertanian, industri pengolahan serta pertambangan dan penggalian masing-masing tumbuh sebesar 3,4 persen, 4,6 persen dan 1,7 persen. Adapun sektor tersier, antara lain sektor perdagangan serta pengangkutan dan komunikasi masing-masing tumbuh 6,4 persen dan 14,4 persen. Langkah-langkah penguatan ekonomi dalam negeri didukung oleh pertumbuhan ekonomi dunia yang tinggi pada tahun 2007 mampu mengembalikan momentum pertumbuhan ekonomi. Dalam tahun 2007, ekonomi tumbuh 6,3 persen terutama didorong oleh investasi, ekspor barang dan jasa, serta konsumsi masyarakat yang berturut-turut meningkat 9,2 persen, 8,0 persen, dan 5,0 persen. Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi terutama didorong oleh sektor tersier yang tumbuh 8,9 persen dan sektor primer terutama pertanian yang meningkat 3,5 persen, sedangkan industri pengolahan tumbuh 4,7 persen.
Dalam semester I/2008, momentum pertumbuhan ekonomi tetap terjaga. Pada triwulan I dan II/2008, produk domestik bruto meningkat berturut-turut 6,3 persen dan 6,4 persen (y-o-y) sehingga dalam semester I/2008, ekonomi tumbuh 6,4 persen (y-o-y). Dari sisi permintaan, pertumbuhan ekonomi semester I/2008 didorong oleh pembentukan modal tetap bruto, ekspor barang dan jasa, dan konsumsi rumah tangga yang meningkat berturut-turut 14,1 persen, 15,8 persen, dan 5,5 persen (y-o-y). Dari sisi produksi, pertumbuhan ekonomi semester I/2008 terutama didorong oleh sektor pertanian dan sektor tersier yang tumbuh masing-masing 5,3 persen dan 9,3 persen. Adapun sektor industri pengolahan terutama nonmigas tumbuh 4,5 persen serta sektor pertambangan dan penggalian tumbuh negatif 1,4 persen.
35 - 13
VI.
Pengangguran dan Kemiskinan
Ketidakstabilan ekonomi yang terjadi pada tahun 2005 serta belum kondusifnya iklim ketenagakerjaan di Indonesia berdampak pada pengurangan terbuka. Pada bulan November 2005, jumlah pengangguran terbuka meningkat menjadi 11,9 juta orang (11,2 persen) dari 10,3 juta orang (9,9 persen) pada bulan Agustus 2004. Stabilitas ekonomi dan momentum pertumbuhan ekonomi yang terjaga sejak tahun 2006 menurunkan kembali tingkat pengangguran. Pada bulan Agustus 2006, jumlah pengangguran terbuka mencapai 10,9 juta orang (10,3 persen) dan terus menurun hingga mencapai 10,0 juta orang (9,1 persen) pada bulan Agustus 2007. Dalam bulan Februari 2008, jumlah pengangguran terbuka menurun lebih lanjut menjadi 9,4 juta orang (8,5 persen). Dengan upaya serius dalam menanggulangi kemiskinan, jumlah penduduk miskin menurun. Pada bulan Februari 2007 jumlah penduduk miskin menurun dari 39,3 juta orang (17,7 persen) pada bulan Maret 2006 menjadi 37,2 juta orang (16,6 persen). Pada bulan Maret 2008 jumlah penduduk miskin menurun lagi menjadi 35,0 juta orang (15,4 persen). Menurunnya jumlah penduduk miskin didukung oleh stabilitas ekonomi yang terjaga, lapangan kerja yang meningkat, serta bantuan program yang diarahkan untuk membantu golongan masyarakat yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
35 - 14