BAB 2 TINJAUAN TEORITIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoritis
2.1.1
Experiential Marketing Menurut Schmitt (2004:22) Experiential Marketing adalah suatu konsep
pemasaran yang menawarkan produk dan jasanya dengan merangsang unsur – unsur emosi konsumen yang menghasilkan berbagai pengalaman bagi konsumen. Experiential marketing adalah merupakan pendekatan pemasaran yang melibatkan emosi dan perasaan konsumen dengna menciptakan pengalaman – pengalaman positif yang tidak terlupakan sehingga konsumen mengkonsumsi dan fanatik terhadap produk tertentu (Schmitt, 2004:26). Experiential Marketing menurut Kartajaya (2004) adalah suatu konsep pemasaran yang bertujuan untuk membentuk konsumen-konsumen yang loyal dengan menyentuh emosi mereka dan memberikan suatu feeling yang positif terhadap produk dan servis. Menurut Malcolm Tatum (2008), Experiential Marketing ialah suatu konsep yang menggabungkan elemen emosi, logika dan keseluruhan proses berpikir lalu kemudian menguhubungkannya kepada konsumen. Tujuan dari experiential marketing ialah untuk membangun hubungan dimana konsumen merespon produk yang ditawarkan berdasarkan emosi dan tingkat pemikiran mereka. Dengan mempertimbangkan berbagai macam variasi dari panca indera yang dimiliki oleh seseorang, experiential marketing mencari tempat yang khusus
dalam benak konsumen untuk menarik perhatian mereka dimana dilakukan dengan mempengaruhi alam pikir mereka mengenai kenyamanan dan kesukaan apa yang mereka idamkan. Dengan kata lain, para marketer harus berusaha merenggut dan mempengaruhi pola pikir konsumen yang menjadi target pasar mereka. 1. Karakteristik Experiential Marketing Pendekatan pemasaran experiential marketing merupakan pendekatan yang mencoba menggeser pendekatan pemasaran tradisional, pendekatan non tradisional ini menurut Schmitt (dalam Rahmawati, 2003) memiliki 4 (empat) karakteristik yaitu: a. Fokus pada pengalaman konsumen Suatu pengalaman terjadi sebagai pertemuan, menjalani atau melewati situasi tertentu yang memberikan nilai-nilai indrawi, emosional, kognitif, perilaku dan relasional
yang
menggantikan
nilai-nilai
fungsional.
Dengan
adanya
pengalaman tersebut dapat menghubungkan badan usaha beserta produknya dengan gaya hidup konsumen yang mendorong terjadinya pembelian pribadi dan dalam lingkup usahanya. b. Menguji situasi konsumen Berdasarkan pengalaman yang telah ada konsumen tidak hanya menginginkan suatu produk dilihat dari keseluruhan situasi pada saat mengkonsumsi produk tersebut tetapi juga dari pengalaman yang didapatkan pada saat mengkonsumsi produk tersebut. c. Mengenali aspek rasional dan emosional sebagai pemicu dari konsumsi
Dalam Experiential Marketing, konsumen bukan hanya dilihat dari sisi rasional saja melainkan juga dari sisi emosionalnya. Jangan memperlakukan konsumen hanya sebagai pembuat keputusan yang rasional tetapi konsumen lebih menginginkan untuk dihibur, dirangsang serta dipengaruhi secara emosional dan ditantang secara kreatif. d. Metode dan perangkat bersifat elektik Metode dan perangkat untuk mengukur pengalaman seseorang lebih bersifat elektik. Maksudnya lebih bergantung pada objek yang akan diukur atau lebih mengacu pada setiap situasi yang terjadi daripada menggunakan suatu standar yang sama. Pada Experiential Marketing, merek bukan hanya sebagai pengenal perusahaan saja, melainkan lebih sebagai pemberi pengalaman positif pada konsumen sehingga dapat menimbulkan loyalitas pada konsumen terhadap perusahaan dan merek tersebut. Pendekatan Experiential Marketing juga terdapat karakteristik yang dominan yaitu: a.
Mengutamakan pengalaman konsumen, baik pengalaman panca indera, pengalaman perasaan, dan pengalaman pikiran.
b.
Memperhatikan situasi pada saat mengkonsumsi seperti keunikan lay out, pelayanan yang diberikan, fasilitas-fasilitas yang disediakan.
c.
Menyadari bahwa konsumen adalah mahkluk rasional dan sekaligus emosional, maksudnya bahwa konsumen tidak hanya menggunakan rasio tetapi juga mengikut sertakan emosi dalam melakukan keputusan pembelian.
Adapun pergeseran dari pendekatan pemasaran tradisional ke pendekatan pemasaran experiential terjadi menurut Schmitt (dalam Rahmawati, 2003) karena adanya perkembangan tiga faktor di dunia bisnis, yaitu: a. Teknologi
informasi
yang dapat
diperoleh
di
mana-mana
sehingga
kecanggihan- kecanggihan teknologi akibat revolusi teknologi informasi dapat menciptakan suatu pengalaman dalam diri seseorang dan membaginya dengan orang lain dimanapun berada. b. Keunggulan dari merek, melalui kecanggihan teknologi informasi maka informasi mengenai brand dapat tersebar luas melalui berbagai media dengan cepat dan global. Ketika brand atau merek memegang kendali, suatu produk atau jasa tidak lagi sekelompok fungsional tetapi lebih berarti sebagai alat pencipta experience bagi konsumen. c. Komunikasi
dan
banyaknya
hiburan
yang
ada
dimana-mana
yang
mengakibatkan semua produk dan jasa saat ini cenderung bermerek dan jumlahnya banyak. 2. Modul Stratregi Experiential (Strategic Experiential Modules) Menurut Schmitt, (2004:26) Strategic Experiential Modules (SEMs) merupakan modul yang dapat digunakan untuk menciptakan berbagai jenis pengalaman bagi konsumen. Strategic Experiential Modules (SEMs) meliputi : a. Panca Indera (Sense) Menurut Schmitt, (2004:26) Sense marketing merupakan cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui pengalaman yang dapat diperoleh konsumen lewat panca indera (mata, telinga, lidah, kulit, dan hidung) yang
mereka miliki melalui produk dan service. Sense marketing menurut Kartajaya (dalam Hamzah, 2007) merupakan salah satu cara untuk menyentuh emosi konsumen melalui pengalaman yang dapat diperoleh konsumen lewat panca indera (mata, telinga, lidah, kulit dan hidung) yang mereka miliki melalui produk dan pelayanan. Lebih lanjut Kartajaya (2006) menyebutkan bahwa sense artinya panca indera yang merupakan pintu masuk ke seorang manusia harus dirangsang secara benar dengan menggunakan teknik multy-sensory, yang penting harus dijaga konsistensi pesan yang ingin disampaikan. Pada dasarnya sense marketing yang diciptakan oleh pelaku usaha dapat berpengaruh positif maupun negatif terhadap loyalitas. Mungkin saja suatu produk dan jasa yang ditawarkan oleh produsen tidak sesuai dengan selera konsumen atau mungkin juga konsumen menjadi sangat loyal, dan akhirnya harga yang ditawarkan oleh produsen tidak menjadi masalah bagi konsumen. Kelima indera yang dirangsang ini diharapkan bisa membawa masuk suatu pesan yang solid dan terintegrasi. Pada saat konsumen datang ke salon, mata melihat desain lay out yang menarik, hidung mencium aroma terapi, telinga mendengar alunan musik yang menghibur dan kulit merasakan kesejukan AC. b. Perasaan (Feel) Marketing Menurut Schmitt, (2004:26) Feel Marketing ditujukan terhadap perasaan dan emosi konsumen dengan tujuan mempengaruhi pengalaman yang dimulai dari suasana hati yang lembut sampai dengan emosi yang kuat terhadap kesenangan dan kebanggaan. Feel menurut Kartajaya (2004) adalah suatu perhatianperhatian
kecil yang ditunjukkan kepada konsumen dengan tujuan untuk
menyentuh emosi konsumen secara luar biasa. Kartajaya (2006) menambahkan bahwa dalam mengelola perasaan ini, ada dua hal yang mesti diperhatikan, yaitu mood dan emotion. Seorang pemasar yang berhasil apabila dapat membuat mood dan emotion si konsumen sama dengan apa yang diinginkannya. Feel marketing merupakan bagian yang sangat penting dalam strategi experientaial marketing. Feel dapat dilakukan dengan servis dan layanan yang bagus, serta keramahan pelayan atau karyawan. Agar konsumen mendapatkan feel yang kuat terhadap suatu produk atau jasa, maka produsen harus mampu memperhitungkan kondisi konsumen dalam arti memperhitungkan mood yang dirasakan konsumen. Kebanyakan konsumen akan menjadi konsumen apabila mereka merasa cocok terhadap produk atau jasa yang ditawarkan, untuk itu diperlukan waktu yang tepat yaitu pada waktu yang tepat yaitu pada waktu konsumen dalam keadaan good mood sehingga produk dan jasa tersebut benar-benar mampu memberika memorable experience sehingga berdampak positif terhadap loyalitas konsumen. Pelayanan yang memuaskan sangat diperlukan termasuk didalamnya keramahan dan sopan santun karyawan, pelayanan yang tepat waktu, dan sikap simpatik yang membuat konsumen merasa puas sehingga mendorong konsumen untuk melakukan pembelian ulang produk atau jasa yang ditawarkan di masa yang akan datang.
c. Think Marketing Menurut Schmitt, (2004:26) Think Marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk menciptakan kognitif, pemecahan masalah yang mengajak konsumen untuk berpikir kreatif. Think marketing menurut Kartajaya (2004,) adalah salah satu cara yang dilakukan oleh perusahaan untuk membawa komoditi menjadi pengalaman (experience) dengan melakukan cuztomization secara terus-menerus. Think menurut Kartajaya (2006) dibagi menjadi dua, yang pertama divergent thinking atau pola pikir menyebar, dan yang kedua adalah convergent thinking atau pola pikir menyatu. Ketika konsumen sedang mencari beberapa alternatif, inilah yang disebut divergent thinking. Kemudian ketika konsumen sudah mulai mengevaluasi untuk kemudian menyempitkan alternatif dan menyatukan pilihan, itulah yang dimaksud convergent thinking. Kedua pilihan itu boleh diberikan sama-sama sekaligus kepada konsumen. Ketika konsumen masuk toko, konsumen dihadapkan pada pilihan produk atau servis yang diberikan, kemudian konsumen diharapkan mengkombinasikan pilihannya sendiri untuk menentukan dan menikmati kombinasi pikiran konsumen tersebut. d. Act Marketing Menurut Schmitt, (2004:27) Act Marketing merupakan tipe experience yang bertujuan untuk mempengaruhi perilaku, gaya hidup dan interaksi dengan konsumen. Act Marketing menurut Kartajaya (2004) adalah salah satu cara untuk membentuk persepsi konsumen terhadap produk dan jasa yang
bersangkutan. Act menurut Kartajaya (2006) adalah tindakan dari konsumen karena pengaruh luar dan opini dalam dari konsumen. Act marketing ini memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen ketika act marketing mampu mempengaruhi perilaku dan gaya hidup konsumen maka akan berdampak positif terhadap loyalitas konsumen karena konsumen merasa bahwa produk atau jasa tersebut sudah sesuai dengan gaya hidupnya. Akan tetapi sebaliknya juga dapat
berpengaruh negatif apabila konsumen
merasa produk atau jasa tidak sesuai dengan gaya hidupnya. Seorang pemasar dalam hal membentuk act dari konsumennya agar konsumennya tersebut memperoleh pengalaman tak terlupakan (memorable experience) adalah dengan melakukan pengaruh eksternal untuk digabungkan dengan kondisi feel dan think yang ada di dalam diri konsumen untuk menjadi suatu aksi. e. Relate Marketing Relate menurut Schmitt (dalam Hamzah, 2007) merupakan tipe experience yang digunakan untuk mempengaruhi konsumen dan menggabungkan seluruh aspek, sense, feel, think dan act serta menitik beratkan pada penciptaan persepsi positif dimata konsumen. Relate marketing menurut Kertajaya (2004) adalah salah satu cara membentuk atau menciptakan komunitas konsumen dengan komunikasi. Relate marketing dapat memberikan pengaruh positif terhadap loyalitas konsumen ketika relate marketing mampu membuat konsumen masuk dalam komunitas serta merasa bangga dan diterima. Sebaliknya relate marketing dapat memberikan pengaruh negatif terhadap loyalitas konsumen ketika relate
marketing tidak berhasil mengkaitkan individu dengan apa yang ada di luar dirinya maka konsumen tersebut tidak akan mungkin loyal. 3. Key Experiential Provider (ExPross) Kotler dan Keller (2006) mengutip pernyataan Schmitt bahwa pengalaman konsumen dapat dilakukan melalui experience providers (sarana/alat yang memberikan/menyediakan pengalaman bagi konsumen). Strategi ini mencakup :
a. Communications: Iklan, public relations,
laporan
tahunan,
brosur,
newsletters dan magalogs. b. Visual/ verbal identity:
Nama merek, logo, signage, kendaraan sebagai
transportasi. c. Product presense : Desain produk, packaging, point-of-sale displays. d. Co-branding: Event marketing, sponsorships, alliances & partnership (kemitraan), licencing (hak paten), iklan di TV atau bioskop. e. Environments : Retail and public spaces, trade booths, corporate buildings, interior kantor dan pabrik. f. Web sites and electronic media : Situs perusahaan, situs produk dan jasa, CDROMs, automated emails, online advertising, intranets. g. People: Salespeople, customer service representtatives, technical support/ repair providers (layanan perbaikan), company spokepersons, CEOs dan eksekutif terkait. 4. Manfaat Experiential Marketing
Fokus utama dari suatu Experiential Marketing adalah pada tanggapan panca indra, pengaruh, tindakan serta hubungan. Oleh karena itu suatu badan usaha harus dapat menciptakan experiential brands yang dihubungkan dengan kehidupan nyata dari konsumen. Dan Experiential Marketing dapat dimanfaatkan secara efektif apabila diterapkan pada beberapa situasi tertentu. 2.1.2 Loyalitas Konsumen Loyalitas didefinisikan sebagai suatu sikap yang ditujukan oleh konsumen terhadap penyediaan produk atau jasa. Seorang konsumen akan menunjukan sikap loyalnya jika suatu perusahaan
mampu
memberikan
kepuasan
kepada
konsumennya. Konsumen yang loyal adalah seorang konsumen yang selalu membeli kembali dari provider atau penyedia jasa yang sama dan memilihara suatu sikap positif terhadap penyedia jasa itu dimasa yang akan datang (Griffin, 2007;4). Menurut Griffin (2007;4) pengertian Loyalitas adalah perilaku pembelian yang didefinisikan pembelian nonrandom yang diungkapkan dari waktu ke waktu oleh beberapa unit pengambil keputusan”. Dari definisi diatas terlihat bahwa loyalitas konsumen adalah komitmen konsumen bertahan secara mendalam untuk berlangganan kembali atau melakukan pembelian ulang produk/jasa yang terpilih, secara konsisten dimasa yang akan datang, meskipun pengaruh situasi dan uasaha-uasaha pemasaran mempunyai potensi untuk menyebabkan perubahan perilaku. Loyalitas konsumen memiliki peran penting dalam sebuah perusahaan, mempertahankan mereka berarti meningkatkan kinerja keuangan dan mempertahankan kelangsungan hidup perusahaan, hal ini menjadi alasan utama bagi sebuah perusahaan untuk menarik
dan mempertahankan mereka. Usaha untuk memperoleh konsumen yang loyal tidak bisa dilakukan sekaligus, tetapi melalui beberapa tahapan, mulai dari mencari konsumen potensial sampai memperoleh partners (Hurriyati, 2008). 1. Karakteristik Loyalitas Konsumen Menurut Griffin (2007;33) Loyalitas dapat didefinisikan berdasarkan perilaku membeli. Adapun karekteristik konsumen yang loyal adalah a. Melakukan pembelian berulang yang teratur; Konsumen yang telah melakukan pembelian suatu produk atau jasa sebanyak dua kali atau lebih. b. Membeli di Luar Lini Produk atau Jasa (Purchases Across Product and Service Lines); Konsumen tersebut membeli semua barang atau jasa yang ditawarkan dan mereka butuhkan. Para konsumen tersebut membelin secara teratur, hubungan dengan jenis konsumen ini sudah kuat dan berlangsung lama serta membuat mereka tidak terpengaruh oleh produk pesaing. c. Mereferensikan Kepada Orang Lain (Refers Other). Membeli barang atau jasa ditawarkan dan yang mereka butuhkan, serta melakukan pembelian secara teratur. Selain itu, mereka mendorong orang lain agar membeli barang atau jasa perusahaan tersebut. Secara tidak langsung, mereka telah melakukan pemasaran untuk perusahaan dan membawa konsumen kepada perusahaan. d. Menunjukkan Kekebalan Daya Tarik dari Pesaing (Demonstrates an Immunity to The Full of The Competition).
Seorang konsumen dikatakan loyal jika ia mempunyai suatu komitmen yang kuat untuk menggunakan lagi jasa yang diberikan secara rutin. 2. Tahapan Loyalitas Konsumen Dalam proses untuk menjadi konsumen yang benar-benar loyal, konsumen akan melalui beberapa tahapan. Proses ini harus sangat dipahami oleh para pemasar karena pada setiap tahapnya memiliki kebutuhan khusus. Griffin (2007:35) menyebutkan bahwa, dengan mengenali setiap tahap dan memenuhi kebutuhan khusus dari tiap tahap tersebut, perusahaan mempunyai peluang yang lebih besar untuk mengubah pembeli menjadi konsumen atau klien yang loyal. Dan kemudian Griffin (2007:35) membahas tiap tahapannya sebagai berikut: a. Suspect Merupakan orang yang mungkin membeli produk atau jasa perusahaan. b. Prospect Prospek adalah orang yang membutuhkan produk atau jasa perusahaan dan memiliki kemampuan membeli. Meskipun prospek belum membeli dari perusahaan, mereka mungkin telah mendengar, membaca atau bahkan ada seseorang yang telah merekomendasikan mengenai perusahaan kepada mereka. c. Disqualified Prospect (prospek yang didiskualifikasi) Prospek yang didiskualifikasi adalah prospek yang telah cukup dipelajari oleh perusahaan untuk mengetahui bahwa
mereka
(prospek) tidak
membutuhkan, atau tidak memiliki kemampuan membeli produk perusahaan. d. First Time Customer (konsumen pertama-kali)
Adalah orang yang telah membeli dari perusahaan satu kali. Orang tersebut bisa menjadi konsumen perusahaan dan juga sekaligus konsumen pesaing perusahaan. e. Repeat Customer (konsumen berulang) Konsumen berulang adalah orang-orang yang telah membeli produk atau jasa perusahaan lebih dari satu kali. f. Clients Klien adalah orang yang membeli secara teratur. Klien membeli apapun yang perusahaan tawarkan dan dapat mereka gunakan. Klien memiliki hubungan yang kuat dan berlanjut dengan perusahaan, yang menjadikan klien dapat kebal terhadap tarikan pesaing g. Advocates (penganjur) Seperti klien, penganjur juga membeli apapun yang perusahaan tawarkan dan dapat mereka gunakan serta membelinya secara teratur.
Namun,
penganjur juga mendorong orang lain untuk mengkonsumsi produk atau jasa dari perusahaan. Mereka melakukan pemasaran bagi perusahaan dan dapat membawa konsumen kepada perusahaan. 3. Jenis-Jenis Loyalitas Menurut Griffin (2007;22), menyatakan bahwa jenis loyalitas dapat dibagi menjadi 4 yaitu : a. Tanpa loyalitas Beberapa konsumen tidak mengembangkan loyalitas terhadap produk atau jasa tertentu.Tanpa
loyalitas ditandai
dengan
keterikatannya
yang rendah
dikombinasikan dengan tingkat pembelian yang rendah pula. Secara umum, perusahaan harus menghindari membidik para pembeli jenis ini karena mereka tidak akan menjadi konsumen yang loyal. b. Loyalitas yang lemah Ditandai dengan keterikatan yang rendah digabung dengan pembelian berulang yang tinggi menghasilkan loyalitas yang lemah.Konsumen ini membeli karena kebiasaan. Dengan kata lain, faktor non sikap dan faktor situasi merupakan alasan utama membeli. Loyalitas jenis ini paling umum terjadi pada produk yang sering dibeli. c. Loyalitas tersembunyi Tingkat keterikatan yang relatif tinggi digabung dengan tingkat pembelian berulang yang rendah menunjukkan loyalitas tersembunyi.Bila konsumen memilki loyalitas tersembunyi, pengaruh situasi dan bukan pengaruh sikap yang menentukan pembelian berulang. d. Loyalitas premium Loyalitas premium, jenis loyalitas yang paling dapat ditingkatkan, terjadi bila ada keterikatan yang tinggi dan tingkat pembelian ulang yang juga tinggi.Ini merupakan jenis loyalitas yang lebih disukai untuk semua konsumen di setiap perusahaan. 2.1.3 Kepuasan Konsumen Menurut Kotler dalam Lupiyoadi (2001) “Kepuasan konsumen yaitu tingkat perasaan dimana seseorang menyatakan hasil perbandingan atas kinerja produk atau jasa yang diterima sesuai yang diharapkan. Menurut Kotler dan Amstrong
(2008) kepuasan konsumen adalah tingkatan di mana kinerja anggapan produk sesuai dengan ekspektasi pembeli. Sedangkan menurut Rangkuti (2006) Kepuasan konsumen didefinisikan sebagai respons konsumen terhadap ketidaksesuaian antara tingkat kepentingan sebelumnya dan kinerja aktual yang dirasakannya setelah pemakaian. Tiga komponen utama dalam definisi kepuasan konsumen sebagai berikut (Dalam Tjiptono, 2006). a. Tipe respons (baik respons emosional/afektif maupun kognitif) dan intensitas respons (kuat hingga lemah, biasanya dicerminkan lewat istilah-istilah seperti “sangat puas”, “netral”, “sangat senang”, “frustrasi”, dan sebagainya). b. Fokus respons, berupa produk, konsumsi, keputusan pembelian, wiraniaga, toko, dan sebagainya. c. Timing respons, yaitu setelah konsumsi, setelah pilihan pembelian, berdasarkan pengalaman akumulatif, dan seterusnya. 1. Faktor-Faktor Penyebab Kepuasan Konsumen Dalam menentukan tingkat kepuasan konsumen, terdapat lima faktor utama yang harus diperhatikan oleh perusahaan antara lain: (Lupiyoadi, 2011). a. Kualitas produk : konsumen akan merasa puas bila hasil evaluasi mereka menunjukkan bahwa produk yang mereka gunakan berkualitas. b. Kualitas pelayanan : terutama untuk industri jasa. Konsumen akan merasa puas bila mereka mendapatkan pelayanan yang baik atau yang sesuai dengan yang diharapkan.
c. Emosional : Konsumen akan merasa bangga dan mendapatkan keyakinan bahwa orang lain akan kagum terhadap dia bila menggunakan produk dengan merek tertentu yang cenderung mempunyai tingkat kepuasan yang lebih tinggi. Kepuasan yang diperoleh bukan karena kualitas dari produk tetapi nilai sosial atau self-esteem yang membuat konsumen menjadi puas terhadap merek tertentu. d. Harga : Produk yang mempunyai kualitas yang sama tetapi menetapkan harga yang relatif murah akan memberikan nilai yang lebih tinggi kepada konsumennya. 2. Sebab-sebab timbulnya ketidakpuasan konsumen Menurut Alma (2004) tentu banyak sebab-sebab munculnya rasa tidak puas terhadap sesuatu antara lain: a. Tidak sesuai harapan dengan kenyataan. b. Layanan selama proses menikmati jasa tidak memuaskan. c. Perilaku personil kurang memuaskan. d. Suasana dan kondisi fisik lingkungan tdak menunjang. e. Cost terlalu tinggi, karena jarak terlalu jauh, banyak waktu terbuang dan harga tidak sesuai. f. Promosi/iklan terlalu muluk. Tidak sesuai dengan kenyataan. 3. Pengukuran Kepuasan Konsumen Menurut Tjiptono (2012) enam konsep inti mengenai objek pengukuran kepuasan konsumen sebagai berikut. a. kepuasan konsumen keseluruhan (Overall Customer Satisfaction)
Cara yang paling sederhana untuk mengukur kepuasan konsumen adalah langsung menanyakan kepada konsumen seberapa puas mereka dengan produk atau jasa spesifik tertentu. Biasanya, ada dua bagian dalam proses pengukurannya. Pertama mengukur tingkat kepuasan konsumen terhadap produk dan atau jasa perusahaan bersangkutan. Kedua, menilai dan membandingkannya dengan tingkat kepuasan konsumen keseluruhan terhadap produk dan/atau jasa para pesaing. b. Dimensi Kepuasan konsumen Berbagai penelitian memilah kepuasan konsumen ke dalam komponenkomponennya. Umumnya, proses semacam ini terdiri atas empat langkah. Pertama, mengindentifikasi
dimensi-dimensi kunci kepuasan konsumen.
Kedua, meminta konsumen menilai produk dan/ atau jasa perusahaan berdasarkan item-item spesifik, seperti kecepatan layanan, fasilitas layanan, atau keramahan staf layanan konsumen. Ketiga, meminta konsumen menilai produk dan / atau jasa pesaing berdasarkan item-item spesifik yang sama. Dan keempat, meminta para konsumen untuk menentukan dimensi-dimensi yang menurut mereka paling penting dalam menilai kepuasan konsumen keseluruhan. c. Konfirmasi Harapan (Confirmation of Expectations) Dalam konsep ini, kepuasan tidak diukur langsung, namun disimpulkan berdasarkan kesesuaian/ketidaksesuaian antara harapan konsumen dengan kinerja aktual produk perusahaan pada sejumlah atribut atau dimensi penting. d. Minat Pembelian Ulang (Repurchase Intent)
Kepuasan konsumen diukur secara behavior dengan jalan menanyakan apakah konsumen akan berbelanja atau menggunakan jasa perusahaan lagi. e. Kesediaan untuk merekomendasi (Willingness to Recommend) Dalam kasus produk yang pembelian ulangnya relatif lama atau bahkan hanya terjadi satu kali pembelian(seperti pembelian mobil, broker rumah, asuransi jiwa, tur keliling dunia, dan sebagainya), kesediaan konsumen untuk merekomendasikan produk kepada teman atau keluarganya menjadi ukuran yang penting untuk dianalisis dan ditindaklanjuti. f. Ketidakpuasan Konsumen (Customer Dissatisfaction) Beberapa macam aspek yang sering ditelaah guna mengetahui ketidakpuasan konsumen meliputi (a) komplin; (b) retur atau pengembalian produk; (c) biaya garansi; (d) product recall (penarikan kembali produk dari pasar); (e) gethok tular negatif; dan (f) defections (konsumen yang beralih ke pesaing). Empat metode yang banyak dipergunakan dalam mengukur kepuasan konsumen (Tjiptono, 2006), sebagai berikut : a. Sistem Keluhan dan Saran Setiap organisasi jasa yang berorientasi pada konsumen wajib memberikan kesempatan seluas-luasnya bagi para konsumennya untuk menyampaikan saran, kritik, pendapat, dan keluhan mereka. Media yang digunakan bisa berupa kotak saran yang diletakkan di tempat-tempat strategis (yang mudah diakses atau sering dilalui konsumen), kartu komentar (yang bisa diisi blangsung maupun yang dikirim via pos kepada perusahaan), saluran telepon khusus bebas pulsa, website, dan lain-lain. Informasi-informasi yang diperoleh
melalui metode ini dapat memberikan ide-ide baru dan masukan yang berharga kepada perusahaan, sehingga memungkinkannya untuk bereaksi dengan tanggap dan cepat untuk mengatasi masalah-masalah yang timbul. Akan tetapi, karena metode ini bersifat pasif, maka sulit mendapatkan gambaran lengkap mengenai kepuasan atau ketidakpuasan konsumen. Tidak semua konsumen yang tidak puas akan menyampaikan keluhannya. Sangat mungkin mereka langsung berganti pemasok dan tidak akan membeli produk atau jasa perusahaan yang bersangkutan lagi. Upaya mendapatkan saran yang bagus dari konsumen juga sulit diwujudkan dengan metode ini. Terlebih lagi bila perusahaan tidak memberikan timbal balik dan tidak lanjut yang memadai kepada mereka yang telah bersusah payah „berfikir‟ (menyumbang ide) kepada perusahaan. b. Ghost Shopping Salah satu metode untuk memperoleh gambaran mengenai kepuasan konsumen adalah dengan memperkerjakan beberapa orang ghost shoppers untuk berperan sebagai konsumen potensial jasa perusahaan pesaing. Mereka diminta melaporkan berbagai temuan penting berdasarkan pengalamannya mengenai kekuatan dan kelemahan jasa perusahaan dibandingkan para pesaing. Selain itu para ghost shoppers juga dapat mengobservasi cara perusahaan dan pesaingnya melayani permintaan spesifik konsumen, menjawab pertanyaan konsumen, dan menangani setiap masalah atau keluhan konsumen. Ada baiknya para manajer perusahaan terjun langsung sebagai ghost shoppers untuk mengetahui secara langsung bagaimana karyawannya berinteraksi dan memperlakukan para
konsumennya. Tentunya karyawan tidak boleh tahu kalu atasannya sedang melakukan penelitian atau penilaian (misalnya dengan cara menelepon perusahaannya sendiri dan melontarkan berbagai keluhan atau pertanyaan). Bila karyawan tahu bahwa dirinya sedang dinilai, tentu saja perilakunya akan menjadi „sangat manis‟ dan hasil penilaian akan menjadi bias. c. Lost Customer Analysis Perusahaan seyogyanya menghubungi para konsumen yang telah berhenti membeli atau yang telah beralih pemasok agar dapat memahami mengapa hal itu terjadi dan supaya dapat mengambil kebijakan perbaikan
atau
penyempurnaan selanjutnya. Bukan hanya exit interview saja yang perlu, tetapi pemantauan customer loss rate juga penting, di mana peningkatan customer loss rate menunjukkan kegagalan perusahaan dalam memuaskan konsumen. Akan tetapi, kesulitan menerapkan metode ini adalah pada mengidentifikasi dan mengontak mantan konsumen yang bersedia memberikan masukan dan evaluasi terhadap kinerja perusahaan. d. Survei Kepuasan konsumen Umumnya
sebagian
besar
penelitian
mengenai
kepuasan
konsumen
menggunakan metode survei, baik via pos, telepon, e-mail, maupun wawancara langsung. Melalui survei, perusahaan akan memperoleh tanggapan dan umpan balik langsung dari konsumen dan juga memberikan sinyal positif bahwa perusahaan menaruh perhatian terhadap mereka.
2.2
Penelitian Terdahulu
1. Penelitian yang dilakukan oleh Alkilani et.al (2013), dengan hasil penelitian menggunakan Uji t menunjukkan experiental marketing dan customer comitment mempunyai hubungan yang positif terhadap customer satisfaction. 2. Penelitian yang dilakukan oleh Zena dan Hadisumarto (2012), dengan hasil penelitian menggunakan Uji t menunjukkan bahwa experiental marketing mempunyai hubungan yang positif terhadap customer satisfaction dan service quality. 3. Jahromi et.al (2015), dengan hasil penelitian menggunakan Uji t menunjukkan bahwa interretionship experiental marketing, experiental value dan purchase behavior mempunyai hubungan positif terhadap customer loyalty. 4. Rosita (2015), dengan hasil penelitian menggunakan Uji t menunjukkan bahwa experiental marketing mempunyai hubungan positif terhadap kepuasan pelanggan. 5. Nehemia dan Sutopo (2011), dengan hasil penelitian menggunakan Uji t menunjukkan bahwa experiental marketing mempunyai hubungan positif terhadap loyalitas konsumen. 6. Novia (2012), dengan hasil penelitian menggunakan Uji t menunjukkan bahwa experiental marketing mempunyai hubungan positif terhadap loyalitas konsumen. Secara tabulasi penelitian terdahulu ditunjukkan pada Tabel 5.
2.3 Kerangka Pemikiran Hubungan koseptual variabel – variabel diatas, dapat divisualisasikan kedalam model analisa sebagai berikut : Kepuasan Konsumen (KK)
Experiential marketing (EM)
Loyalitas Konsumen (LK)
Gambar 1 Kerangka Pemikiran Analisis Jalur (Path Analysis) 2.3 Perumusan Hipotesis Berdasarkan dari rumusan masalah pada Bab I, peneliti ingin melakukan kajian studi lapangan, untuk lebih mengetahui apakah Experiental Marketing pengaruh signifikan terhadap kepuasan konsumen yang berpengaruh terhadap loyalitas konsumen atau Experiental Marketing Berpengaruh secara langsung terhadap Loyalitas Konsumen. Sehingga Hipotesa dalam penelitian ini adalah : H1: Experiential marketing memilki pengaruh langsung terhadap Loyalitas Konsumen di G Suites Hotel Surabaya H2: Experiential marketing memilki pengaruh tidak langsung terhadap Loyalitas Konsumen di G Suites Hotel Surabaya yang dimediasi oleh Kepuasan Konsumen.