BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PERUMUSAN HIPOTESIS
2.1
Tinjauan Teoretis
2.1.1 Laporan Keuangan Laporan keuangan (financial statement) adalah laporan yang memberikan informasi keuangan yang dapat dipercaya mengenai hak dan kewajiban perusahaan atau organisasi (Ngumar, 2000: 8). Laporan keuangan merupakan ringkasan dari transaksi-transaksi keuangan yang terjadi selama tahun buku yang bersangkutan. Laporan keuangan ini dibuat oleh manajemen dengan ujuan untuk mempertanggungawbkan tugas-tugas yang dibebankan kepadanya oleh pemilik perusahaan serta sebagai laporan kepada pihak-pihak di luar perusahaan (Baridwan, 2004). Pernyataan Standar Akuntansi Keuangan (PSAK) No.1 menyatakan bahwa laporan keuangan merupakan bagian dari proses pelaporan keuangan. Laporan keuangan yang lengkap biasanya meliputi (1) neraca (balance sheet) yang melaporkan aktiva, kewajiban dan ekuitas pemegang saham perusahaan bisnis pada suatu tanggal tertentu; (2) laporan laba rugi (income statement) yang mengukur keberhasilan operasi perusahaan selama periode tertentu, laporan ini menyediakan informasi yang diperlukan oleh investor, dan kreditor untuk membantu mereka memprediksi jumlah, penetapan waktu, dan ketidakpastian dari arus kas masa depan; (3) laporan arus kas (statement of cash flow) menyediakan informasi yang relevan
23
mengenai penerimaan dan pembayaran kas sebuah perusahaan selama suatu periode, laporan ini melaporkan empat hal yakni : kas yang mempengaruhi operasi selama satu periode, transaksi investai, transaksi pembiayaan, dan kenaikkan atau penurunan bersih kas selama satu periode; (4) laporan ekuitas pemilik atau pemegang saham (statement of retained earnings) yang menunjukkan jumlah awal dan akhir dari akun yang ditahan (Kieso, et al.2007). Selain keempat laporan keuangan tersebut diatas, ada suatu laporan yang disebut dengan catatan atas laporan keuangan. Menurut Ikatan Akuntan Indonesia dalam Standar Akuntansi Keuangan (2009: par 1), yakni : “Catatan atas laporan keuangan meliputi penjelasan naratif atau rincian jumlah yang tertera dalam neraca, laporan laba rugi, laporan arus kas, dan laporan perubahan ekuitas serta informasi tambahan seperti kewajiban kontijensi dan komitmen. Catatan atas laporan keuangan juga mencakup pada informasi yang diharuskan dan dianjurkan ututk diungkapkan dalam PSAK serta pengungkapanpengungkapan lain yang diperlukan untuk menghasilkan penyajian laporan keuangan secara wajar”
Laporan keuangan untuk tujuan umum adalah memberi informasi tentang posisi keuangan, kinerja, dan arus kas perusahaan yang bermanfaat bagi sebagian besar kalangan pengguna laporan dalam rangka membuat keputusan-keputusan ekonomi serta menunjukkan pertanggungjawaban (stewardship) manajemen atas penggunaan sumber-sumber daya yang dipercayakan kepada mereka. Jadi, laporan keuangan merupakan sumber informasi bagi pihak-pihak yang berkepentingan dengan informasi keuangan perusahaan, misalnya investor sekarang, investor potensial, karyawan, kreditor, pemasok, pelanggan, pemerintah
24
serta lembaga-lembaga lain, dan masyarakat. Namun informasi yang terdapat dalam laporan keuangan hanya bersifat umum, tidak sepenuhnya dapat memenuhi kebutuhan informasi setiap pemakai. 2.1.2 Pengguna Laporan Keuangan Pengguna laporan keuangan meliputi: a.
Investor Mereka membutuhkan informasi untuk membantu menentukan apakah harus membeli, menahan, atau menjual investasi yang mereka lakukan. Pemegang saham juga tertarik pada informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan untuk membayar dividen.
b.
Karyawan Karyawan dan kelompok-kelompok yang mewakili mereka tertarik pada informasi mengenai stabilitas dan profitabilitas perusahaan. Mereka juga tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk menilai kemampuan perusahaan dalam memberikan balas jasa, imbalan pasca kerja, dan kesempatan kerja.
c.
Pemberi pinjaman Pemberi pinjaman tertarik dengan informasi keuangan yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah pinjaman serta bunganya dapat dibayar pada saat jatuh tempo.
d.
Pemasok dan kreditor usaha lainnya Pemasok dan kreditor usaha lainnya tertarik dengan informasi yang memungkinkan mereka untuk memutuskan apakah jumlah yang terutang akan
25
dibayar pada saat jatuh tempo. Kreditor usaha berkepentingan pada perusahaan dalam tenggang waktu yang lebih pendek daripada pemberi pinjaman kecuali kalau sebagai pelanggan utama mereka bergantung pada kelangsungan hidup perusahaan. e.
Pelanggan Para pelanggan berkepentingan dengan informasi mengenai kelangsungan hidup perusahaan, terutama kalau mereka terlibat dalam perjanjian jangka panjang dengan, atau bergantung pada perusahaan.
f.
Pemerintah Pemerintah dan berbagai lembaga yang berada di bawah kekuasaannya berkepentingan dengan alokasi sumber daya dan karena itu berkepentingan dengan aktivitas perusahaan. Mereka juga membutuhkan informasi untuk mengatur aktivitas perusahaan, menetapkan kebijakan pajak, dan sebagai dasar untuk menyusun statistik pendapatan nasional dan statistik lainnya.
g.
Masyarakat Perusahaan memengaruhi anggota masyarakat dalam berbagai cara. Misalnya, perusahaan dapat memberikan kontribusi berarti pada perekonomian nasional, termasuk jumlah orang yang dipekerjakan dan perlindungan kepada penanaman modal domestik. Laporan keuangan dapat membantu masyarakat dengan menyediakan informasi kecenderungan (tren) dan perkembangan terakhir kemakmuran perusahaan serta rangkaian aktivitasnya.
26
2.1.3 Teori Keagenan Belkoui (dalam Ahmad, 2011: 30) menyatakan bahwa hubungan keagenanan adalah sebuah kontrak antara manajer (agent) dengan investor (prinsipal). Dalam hubungan keagenan terdapat suatu kotrak satu orang atau lebih sebagai pemilik (prinsipal) dengan orang lain sebagai (agent), pemilik memberi perintah kepada agen untuk melakukan suatu jasa atas nama pemilik dan memberi wewenang kepada agen untuk membuat keputusan yang terbaik. Hubungan antara prinsipal dan agen dapat mengarah pada kondisi ketidakseimbangan informasi karena agen mempunyai posisi yang memiliki informasi yang lebih banyak tentang perusahaan dibandingkan prinsipal. Informasi yang disampaikan terkadang diterima tidak sesuai dengan kondisi perusahaan yang sebenarnya. Kondisi ini dikenal sebagai informasi yang simetris atau asimetris informasi. Asimetri agen antara agen dengan prinsipal memberikan kesempatan kepada manajer untuk bertindak oportunis atau mempeoleh keuntungan pribadi. Dengan asumsi bahwa individu-individu agen bertindak untuk memaksimalkan kepentingan diri sendiri, maka dengan asimetri informasi yang dimilikinya akan mendorong agen untuk menyembuyikan beberapa informasi yang tidak diketahui prisipal. Dalam kondisi yang asimetri tersebut, agen dapat mempengaruhi angka-angka akuntansi yang disajikan dalam laporan keuangan dengan cara melakukan manajemen laba (earnings management). Didalam teori keagenenan menjelaskan bahwa apabila kinerja perusahaan buruk, manajer dapat bertindak oportunistik dengan menaikkan laba akuntansi untuk menyembunyikan kinerja buruk, sebaliknya apabila kinerjanya baik,
27
manajer dapat bertindak oportunistik dengan menurunkan laba akuntansi untuk menunda kinerja baiknya. Karena angka-angka akuntansi sering digunakan dalam kontrak atau sebagai mekanisme monitoring dalam hubungan keagenan (Widodo dalam Ahmad, 2011). Seorang prinsipal tentu menginginkan hasil kinerja yang baik dari agen. Hubungan antara teori keagenan dengan penelitian ini adalah manajemen tugas untuk memilih kebijakan akuntansi dan strategi yang seperti apa agar pemegang saham (prinsipal) sebagia yang ikut memiliki perusahaan tetap percaya. Hal tersebut ditunujkkan melalui kinerja perusahaan yang cenderung naik atau turun. 2.14 1.
Laba (Income) Pengertian Laba Menurut Suwardjono (2006:509) laba adalah tambahan kemampuan
ekonomik yang ditandai dengan kenaikkan capital dalam suatu periode ang berasal dari kegiatan produktif dalam arti luas yang dapat dikonsumsikan atau ditarik oleh entitas penguasa atau pemilik capital tanpa mengurangi kemampuan ekonomik capital semula. Laba dalam teori akuntansi biasanya lebih banyak menunjuk pada konsep yang oleh FASB disebut dengan laba komprehensif. Laba komprehensif dimaknai sebagai kenaikkan aset bersih selain yang berasal dari transaksi dengan pemilik. Karena akuntansi secara umum menganut kos historis, asa akrual, dan konsep penandingan, laba akuntansi yang sekarang dianut dan dimaknai sebagai selisih antara pengukuran pendapatan dan biaya (Suwadjono, 2005: 455).
28
Suwardjono (2006:465) mengemukakan laba mempunyai karateristik umum sebagai berikut : 1.
Kenaikkan kemakmuran yang dimiliki atau dikuasai suatu entitas. Entitas dapat berupa perorangan atau individual, kelompok individual, institusi, badan, lembaga, atau perusahaan.
2.
Perubahan terjadi dalam suatu kurun waktu (periode) sehingga harus diidentifikasi kemakmuran awal dan kemakmuran akhir.
3.
Perubahan dapat dinikmati, didistribusikan, atau ditarik oleh entitas yang menguasi kemakmuran asalkan kemakmuran awal dipertahankan.
2.
Tujuan Pelaporan Laba Dalam kenyataan, para pemakai mempunyai konsep laba dan model
pengambilan keputusan yang berbeda-beda. Apapun pengertian dan cara pengukuran, laba akuntansi dengan berbagai interpretasi diharap dapat digunakan sebagi berikut: a. Indikator efisiensi penggunaan dana yang tertanam dalam perusahaan yang diwujudkan dalam tingkat kembalian atas investasi (rate of returm on invested capital). b. Pengukur prestasi atau kinerja badan usaha dan manajemen. c. Dasar penentuan besarnya pengenaan pajak. d. Alat pengendalian alokasi sumber daya ekonomik suatu negara. e. Dasar penentuan dan penilaian kelayakan tarif dalam perusahaan publik. f. Alat pengendalian terhadap debitor dalam kontrak utang. g. Alat motivasi manajemen dalam pengendalian perusahaan. h. Dasar pembagian dividen.
29
2.1.5 1.
Manajemen Laba Pengertian Manajemen Laba
Manajemen laba didefinisikan sebagai berikut, Schiper (dalam Ushada dan Wirawan Yasa,2009: 168) melihat manajemen laba sebagai suatu intervensi yang disengaja pada proses pelaporan eksternal dengan maksud untuk memperoleh beberapa keuntungan pribadi, yang dapat dilakukan melalui pemilihan metodemetode akuntansi dalam GAAP ataupun dengan menerapkan metode-metode yang dipilih dengan cara tertentu. Definisi tersebut mengartikan bahwa manajemen laba merupakan perilaku oportunistik manajer untuk memaksimalkan utilitas mereka. Healy dan Wahlen (dalam Ahmad, 2011: 35) manajemen laba terjadi apabila manajer menggunakan penilaian dalam pelaporan keuangan dan dalam struktur transaksi untuk mengubah laporan keuangan guna menyesatkan pemegang saham mengenai prestasi ekonomi perusahaan atau mempengaruhi akibat-akibat perjanjian yang mempunyai kaitan dengan angka-angka yng dilaporkan dalam laporan keuangan. Manajemen laba berhubungan erat dengan tingkat peolehan laba (earnings) atau prestasi usaha suatu organisasi. Hal ini tidak aneh karena tingkat keunutngan atau laba yang diperoleh sering dikaitkan dengan prestai manajemen di samping memang suatu hal yang lazim bahwa besar kecilnya bonus yang akan diterima oleh manajer tergantung dari besar kecilnya laba yang diperoleh. Oleh karena itu manajer sering berusaha menonjolkan prestasi melalui tingkat keuntungan laba yang dicapai.
30
2.
Motivasi Manajemen Laba Secara umum terdapat beberapa hal yang memotivasi individu atau badan
usaha melakukan tindakan manajemen laba, diantaranya sebagai berikut (Sulistiawan, 2011): 1) Alasan bonus (bonus scheme) Dalam sebuah perjanjian bisnis, pemegang saham akan memberikan sejumlah insentif dan bonus sebagai feedback atau evaluasi atas kinerja manajer. Kinerja manajemen salah satunya diukur dari pencapaian laba usaha. Pengukuran kinerja berdasarkan laba dan skema bonus tersebut memotivasi para manajer untuk memberi performa terbaiknya sehingga tidak menutup peluang melakukan tindakan manajemen laba 2) Motivasi Utang Manajer seringkali melakukan beberapa kontrak bisnis dengan pihak ketiga, dalam hal ini kreditor untuk kepentingan ekspansi bisnisnya. Agar kreditor mau menginvestasikan dananya di perusahaan, tentunya manajemen harus menunjukkan performa yang baik dari perusahaannya. Oleh karena itu manajer berusaha menampilkan performa yang baik dengan melakukan manajemen laba. 3) Motivasi pajak Salah satu insentif yang dapat memicu manajer untuk melakukan rekayasa laba adalah untuk meminimalkan pajak atau total pajak yang harus dibayarkan perusahaan.
31
4) Motivasi penjualan saham Perusahaan yang akan go public akan melakukan penawaran saham perdananya ke publik (IPO) untuk memperoleh tambahan modal usaha dari calon investor. Proses penjualan saham perusahaan ke publik akan direspon positif oleh pasar ketika perusahaan penerbit saham (emiten) dapat “menjual” kinerja yang baik. Salah satu ukuran kinerja yang dilihat calon investor adalah penyajian laba pada laporan keuangan. Kondisi ini sering kali memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba. 5) Motivasi pergantian Direksi Menjelang berakhirnya masa jabatan, direksi cenderung bertindak kreatif dengan memaksimalkan laba agar performa kerjanya tetap terlihat baik pada tahun terakhir ia menjabat. Sehingga direksi akan memperoleh bonus yang maksimal pada akhir masa jabatannya. 6) Motivasi politis Motivasi ini biasanya terjadi pada perusahaan besar yang bidang usahanya banyak menyentuh masyarakat luas. Demi menjaga tetap mendapatkan subsidi,
perusahaan-perusahaan
tersebut
cenderung
menjaga
posisi
keuangannya dalam keadaan tertentu sehingga prestasi atau kinerjanya tidak terlalu baik. Hal ini dilakukan untuk mengurangi visibilitas perusahaan sehingga tidak menarik perhatian pemerintah, media, atau konsumen yang dapat menyebabkan meningkatnya biaya politis perusahaan. Rendahnya biaya politis akan menguntungkan manajemen.
32
3.
Pola Manajemen Laba Menurut Scott (dalam Sulistiawan, 2011:40) pola dalam praktik
manajemen laba dapat dilakukan dengan cara: a) Taking a bath Pola ini dilakukan dengan cara mengatur laba perusahaan tahun berjalan menjadi sangat tinggi atau rendah dibandingkan laba periode tahun sebelumnya atau tahun berikutnya. Pola ini terjadi selama periode pada saat terjadinya reorganisasi seperti adanya pergantian CEO baru. Jika manajer merasa harus melaporkan kerugian, manajer baru cenderung melaporkan nilai kerugian dalam jumlah yang besar. Dengan tindakan ini, manajer berharap dapat meningkatkan laba yang akan datang dan kesalahan atas kerugian perusahaan dapat dilimpahkan kepada manajer lama. b) Income minimization Pola ini dilakukan dengan menjadikan laba periode tahun berjalan lebih rendah dari laba sebenarnya. Perusahaan akan meminimumkan laba pada saat perusahaan memperoleh profitabilitas yang tinggi dengan tujuan agar tidak mendapat perhatian secara politis. Kebijakan yang diambil biasanya berupa pembebanan pengeluaran iklan serta riset dan pengembangan yang cepat. c) Income maximization Manajemen laba dilakukan dengan cara menjadikan laba tahun berjalan lebih tinggi dari laba sebenarnya. Teknik yang dilakukan beragam, diantaranya menunda pelaporan biaya-biaya periode tahun berjalan ke periode mendatang,
33
pemilihan metode akuntansi yang dapat memaksimalkan laba, sampai dengan meningkatkan
jumlah
penjualan
dan
produksi.
Manajer
kemungkinan
memaksimumkan laba bersih yang dilaporkan untuk tujuan bonus. Perusahaan yang
melakukan
pelanggaran
perjanjian
utang
mungkin
juga
akan
memaksimumkan pendapatan dengan tujuan agar kreditur masih memberi kepercayaan pada perusahaan tersebut. d) Income smoothing (perataan laba) Pola ini dilakukan dengan mengurangi fluktuasi laba sehingga laba yang dilaporkan relatif stabil. Dalam dunia keuangan, fluktuasi mencerminkan ketidakpastian sehingga makin fluktuatif laba, perusahaan dapat dikatakan berisiko. 4.
Teknik Manajemen Laba Teknik
manajemen
laba
menurut
Sulistiawan
(2011),
dapat
dikelompokkan ke dalam lima teknik, yaitu: a)
Mengubah metode akuntansi dalam menilai aset perusahaan. Beberapa bentuk pilihan metode akuntansi diantaranya yaitu metode
penilaian persediaan menggunakan First In First Out (FIFO) atau Last In First Out (LIFO). Bagi pemilik akan menguntungkan dalam aspek pajak ketika memilih untuk menggunakan metode LIFO karena penilaian persediaan dengan LIFO akan menekan jumlah arus kas keluar untuk pembayaran pajak. Namun LIFO tidak diperkenankan dalam aturan perpajakan di Indonesia. Sementara, pihak manajemen cenderung memilih menggunakan metode FIFO karena akan
34
meningkatkan laba perusahaan yang berarti kinerja manajer pada periode tersebut dinilai memuaskan. Metode akuntansi lainnya yaitu metode penyusutan aset tetap dengan menggunakan metode garis lurus dan saldo menurun. Manajer cenderung memilih menggunakan metode garis lurus dibanding saldo menurun, karena metode garis lurus akan menghasilkan laba yang lebih besar dibanding laba dari metode saldo menurun pada awal periode penyusutan. Metode garis lurus akan mengalokasi biaya depresiasi dengan jumlah yang sama sepanjang masa manfaat, sedangkan metode saldo menurun akan membebankan biaya depresiasi yang lebih besar pada awal periode pembebanan. Jadi jika manajer ingin laba naik, mesin baru harus disusutkan menggunakan metode garis lurus dan mesin lama diubah metode penyusutannya dari metode garis lurus menjadi metode saldo menurun. b) Membuat estimasi akuntansi Teknik ini dilakukan dengan tujuan memengaruhi laba akuntansi melalui kebijakan dalam membuat estimasi akuntansi. Beberapa bentuk estimasi akuntansi diantaranya estimasi dalam menentukan besarnya biaya kerugian piutang. Untuk menaikkan laba maka salah satu cara yang dilakukan adalah mengecilkan biaya kerugian piutang dengan mengecilkan prosentase nilai untuk menghitung biaya kerugian piutang. Sebaliknya untuk menurunkan laba maka cara yang dapat dilakukan adalah dengan memperbesar biaya kerugian piutang untuk satu periode tertentu, yaitu dengan memperbesar prosentase nilai untuk menghitung biaya kerugian piutang.
35
Cara lain untuk mendapatkan tambahan atau pengurangan laba adalah menggunakan estimasi dalam menentukan umur ekonomis aset, baik aset tetap maupun aset tidak berwujud. Jika mengharap kenaikan laba, perusahaan dapat mengubah estimasi aset tetap atau aset tidak berwujud menjadi lebih panjang. Hasilnya, laba menjadi lebih tinggi karena biaya penyusutan menurun. c)
Mengubah periode pengakuan pendapatan dan biaya Teknik ini dilakukan untuk mempercepat atau menunda pengakuan
pendapatan dan biaya dengan cara menggeser pendapatan dan biaya ke periode berikutnya agar memperoleh laba maksimum. Teknik ini biasanya ditemukan pada perusahaan yang akan melakukan IPO. Manajer akan mempercepat pengakuan pendapatan periode mendatang dengan melaporkannya ke periode tahun berjalan agar kinerja perusahaan pada tahun berjalan menjelang IPO terlihat baik dan menunjukkan laba maksimal. d) Mereklasifikasi akrual diskresioner dan akrual nondiskresioner Akrual diskresioner (discretionary accruals) adalah akrual yang dapat berubah sesuai dengan kebijakan manajemen, seperti pertimbangan tentang penentuan umur ekonomis aset tetap atau pertimbangan pemilihan metode depresiasi. Akrual nondiskresioner (nondiscretionary accruals) adalah akrual yang wajar, jika dilanggar akan memengaruhi kualitas laporan keuangan menjadi tidak wajar. Akrual
adalah penjumlahan antara akrual
diskresioner dan akrual
nondiskresioner. Akrual merupakan perbedaan laba dengan arus kas operasi. Semakin besar perbedaannya, maka perbedaan itu disebabkan karena aspek akrual
36
atau kebijakan akuntansi. Laba dipengaruhi oleh kebijakan akuntansi, sedangkan arus kas operasional hanya berasal dari transaksi kas riil. Semakin tinggi nilai akrual menunjukkan adanya strategi menaikkan laba dan semakin minus nilai akrual menunjukkan adanya strategi menurunkan laba. 5.
Metode Pengukuran Manajemen Laba Manajemen laba dalam penelitian ini diukur dengan proksi Discretionary
Accruals (DA) menggunakan model Modified Jones (Jones Modifikasian) yang dikembangkan oleh Dechow (1995). Discretionary accrual merupakan pengakuan akrual laba atau beban yang bebas, tidak diatur dan merupakan pilihan kebijakan manajemen. Model Modified Jones dikembangkan oleh Dechow et al. Model ini muncul untuk mengatasi kelemahan yang ada dalam Jones Model. Menurut Dechow et al. kelemahan Jones Model adalah secara implisit berasumsi bahwa diskresi manajemen tidak dilakukan terhadap pendapatan. Secara teknis, penentuan akrual diskresioner sebagai indikator manajemen laba dalam Modified Jones Model hampir sama dengan Jones Model. Perbedaannya hanya terletak pada penentuan Non Discretionary Accruals (NDA). Dalam Modified Jones Model, penentuan NDA telah memasukkan unsur perubahan piutang dan perubahan pendapatan untuk mengestimasi NDA. 2.1.6 Initial Public Offering (IPO) IPO atau penawaran saham perdana merupakan proses penjualan suatu saham kepada masyarakat umum untuk pertama kali (Jogiyanto, 2007). Tujuan perusahaan ingin melakukan IPO adalah mendapat tambahan modal dari masyarakat (publik) serta perusahaan akan semakin dikenal. Konsekuensinya
37
pemilik perusahaan harus bersedia berbagi kepemilikan untuk menginginkan penggalian dana yang tidak terbatas, yaitu dengan perusahaan menjual saham kepada masyarakat melalui pasar modal, sehingga dapat diartikan bahwa presentase kepemilikan akan berkurang. Sebelum melakukan IPO, perusahaan harus mendaftar ke Bapepam. Selanjutnya perusahaan harus memublikasikan prospektus yang merupakan syarat wajib untuk suatu perusahaan yang hendak melakukan penawaran ke publik, hal tersebut sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bapepam. Begitu pentingnya prospektus karena mempunyai peran sebagai iklan, guna untuk menarik investor agar membeli efek yang dijual dan di dalamnya berisi tentang jadwal proses go public, sejarah singkat perusahaan, Anggaran Dasar/Anggaran Rumah Tangga, para pengelola (komisaris dan direksi), struktur organisasi, pendapat dari konsultan hukum dan penilai, laporan keuangan yang sudah diaudit akuntan publik, kebijakan dividen dan risiko. Setelah perusahaan resmi tercatat di Bursa Efek Indonesia (BEI), perusahaan harus menunaikan kewajiban yang harus dipenuhi yaitu menerbitkan laporan keuangan tahunan, membayar biaya go public, mengadakan RUPS (Rapat Umum Pemegang Saham) dan perusahaan harus bersikap terbuka terhadap publik (Ahmad, 2011:43). Ketika dilakukan IPO, investor potensial hanya mengandalkan informasi yang terdapat dalam prospektus perusahaan yang melakukan IPO tersebut. Tidak terdapat media lain yang menyediakan informasi mengenai perusahaan yang sedang melakukan IPO, kecuali prospektus yang disyaratkan oleh pengawas pasar modal (Rao dalam Didi, 2008). Kelangkaan informasi mengenai perusahaan
38
sebelum IPO, memaksa investor potensial hanya mengandalkan informasi mengenai perusahaan tersebut pada prospektus. Padahal prospektus hanya menyediakan laporan keuangan selama tiga tahun sebelum IPO dan informasi non keuangan (Teoh et al. dalam Ahmad, 2011). Kondisi seperti ini memungkinkan manajemen melakukan manajemen laba untuk meningkatkan kinerjanya sehingga dapat menarik perhatian investor untuk berinvestasi. 2.1.7 Kinerja Keuangan Kinerja keuangan perusahaan merupakan suatu gambaran mengenai kondisi keuangan perusahaan yang meliputi posisi keuangan serta hasil-hasil yang telah dicapai terus-menerus oleh manajemen yang tercermin dalam laporan keuangan. Untuk mengetahui kinerja keuangan tersebut dilakukan analisis laporan keuangan dengan menggunakan rasio keuangan. Menurut Hanafi (2005:78) pengukuran rasio keuangan dapat menggunakan rasio berikut: 1.
Rasio Likuiditas (Liquidity) Rasio likuiditas yaitu rasio untuk mengukur kemampuan perusahaan untuk memenuhi kewajiban jangka pendek. Rasio perusahaan yang normal berkisar
pada angka 2, meskipun tidak ada standar yang pasti untuk penentuan rasio lancar yang seharusnya. Rasio yang rendah menunjukkan risiko likuiditas yang tinggi, sedangkan rasio lancar yang tinggi menunjukkan adanya kelebihan asset lancar, yang akan mempunyai pengaruh yang tidak baik terhadap profitabilitas perusahaan. Aset lancar secara umum menghasilkan return
yang lebih rendah dibanding aset tetap. Rasio likuiditas diukur
menggunakan current ratio (CR)
39
2.
Rasio solvabilitas (Leverage) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan memenuhi kewajiban jangka panjangnya. Perusahaan yang tidak solvable adalah perusahaan yang total utangnya lebih besar dibandingkan dengan total asetnya. Rasio ini dapat diukur menggunakan Debt to Equity Ratio (DER). Rasio ini mengukur besar kecilnya penggunaan utang jangka panjang dibandingkan dengan modal sendiri perusahaan. Semakin tinggi rasio ini mencerminkan risiko keuangan perusahaan semakin besar, dan sebaliknya.
3.
Rasio profitabilitas (Profitability) Rasio ini mengukur kemampuan perusahaan menghasilkan keuntungan (profitabilitas) pada tingkat penjualan, asset, dan modal saham tertentu. Rasio ini dapat diukur menggunakan Net Profit Margin (NPM). Rasio ini mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan laba bersih pada tingkat penjualan tertentu. Profit margin yang tinggi menandakan kemampuan perusahaan menghasilkan laba yang tinggi pada tingkat penjualan tertentu. Profit margin yang rendah menandakan penjualan yang terlalu rendah untuk tingkat biaya tertentu, atau biaya yang terlalu tinggi untuk tingkat penjualan tertentu, atau kombinasi dari kedua hal tersebut.
4.
Rasio Aktivitas (Turnover) Rasio ini menunjukkan bagaimana efektivitas perusahaan menggunakan keseluruhan aset untuk menciptakan penjualan dan mendapatkan laba. Rasio ini diukur menggunakan Fixed Assets Turnover (TAT). Rasio ini mengukur sejauh mana kemampuan perusahaan menghasilkan penjualan berdasarkan
40
aset tetap yang dimiliki perusahaan. Rasio ini menunjukkan sejauh mana efektivitas perusahaan menggunakan aset tetapnya. Semakin tinggi rasio ini berarti semakin efektif penggunaan aset tetap tersebut. 2.1.8
Penelitian terdahulu Sri Hastuti (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Hubungan
Manjemen Laba dengan Kinerja Operasi dan Return Saham Di Sekitar IPO”. Variabel independen yang digunakan dalam penelitian ini yaitu Kinerja Operasi dan Return Saham. Hasil studi ini menyimpulkan bahwa perusahaan sampel selama periode penelitian memiliki discretionary acrual (DA) yang positif dan signifikan, yang mengindikasikan bahwa dalam periode tersebut perusahaan melakukan manajemen laba dengan cara meningkatkan laba. Putra Galih Praditya (2008) melakukan penelitian yang berjudul “Manajemen Laba disekitar penawaran saham perdana (IPO) pada Perusahaan Manufaktur di Bursa Efek Indonesia (BEI)”. Penelitian ini menggunakan sampel penelitian perusahaan manufaktur pada penawaran saham perdana dari tahun 2001-2006 dengan menggunakan laporan keuangan sebanyak 6 tahun. Penelitian terdiri dari 14 peusahaan manufaktur. Berdasarkan uji statistik dapat diketahui bahwa perusahaan terbukti melakukan manajemen laba terutama sebelum dan setelah IPO. Selain itu penelitian ini juga meneliti adakah pengaruhnya manajemen laba dengan kinerja operasi dan size perusahaan. Hasilnya kinerja operasional perusahaan di BEJ setelah IPO rendah. Hasil ini dikuatkan dengan uji statistik yang signifikan 5% untuk pada pebandingan antara perubaahan ROA sebelum dengan sesudah.
41
Niken Astria dan Sylvia (2009) melakukan penelitian yang berjudul “Fenomena Manajemen Laba menjelang IPO dan kaitannya dengan Nilai Perusahaan Perdana serta Kinerja Perusahaan pasca-IPO : Studi Empiris pada Perusahaan yang IPO di Indonesia Tahun 2000-2003”. Sampel dari penelitian ini adalah Perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebanyak 39 perusahaan untuk periode 2000-2003. Hasil analisis menunjukkan bahwa secara rata-rata perusahaan melakukan manjamen laba yang meningkatkan laba melalui penggunaan komponen total akrual diskresioner pada periode satu tahun menjelang IPO. Ika Sari dan Ignata (2009) dalam judul “Analisis Pengaruh Mnajemen Laba (Earning Management) pada Kinerja Perusahaan yang melakukan IPO”. Sampel dari penelitian ini adalah perusahaan yang terdaftar di Bursa Efek Jakarta pada periode 2000-2005. Sampel yang digunakan sebanyak 56 perusahaan. Studi ini menyimpulkan bahwa manajemen laba (discretionary accrual) berpengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja (net profit margin) pada perusahaan yang terbukti melakukan IPO. Handoko A. Hastoro (2010) melakukan penelitian yang berjudul “Manajemen Laba di sekitar Penawaran Harga Saham Perdana (Initial Public Offering/ IPO) pada Perusahaan Manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia”. Sampel yang diteliti berasal dari perusahaan manufaktur yang melakukan IPO pada kurun waktu antara 2000-2008 dengan menggunakan periode pengamatan 1 tahun sebelum dan setelah IPO. Hasil penelitian menunjukkan bahwa penerapan manajemen laba sangatlah penting terutama pada
42
periode sebelum IPO. Ukuran perusahaan tidak berpengaruh secara signifikan sedangkan keinerja operasional terbukti berpengaruh. Era Wahyu Handayani (2012) dalam penelitian yang berjudul “Pengaruh Manjemen Laba terhadap Kinerja Operasi Perusahaan Di sekitar IPO diBursa Efek Indonesia” menunjukkan bahwa hipotesis menyatakan tdak ada pengaruh manajemen laba terhadap kinerja operasi disekitar IPO serta ada perbedaab kinerja operasi sebelum dan setelah IPO tidak teruji kebenarannya . Nirma Nur Fitriana (2012) melakukan penelitian yang berjudul “Indikasi Manajemen Laba di sekitar IPO dan kaitannya terhadap Kinerja Keuangan pada Perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia”. Penelitian ini menggunakan data sekunder. Sampel yang digunakan berasal dari populasi perusahaan yang melakukan IPO di Bursa Efek Indonesia dalam kurun waktu 2008-2009. Pengambilan sampel dengan metode purposive sampling dan diperoleh sebanyak 18 perusahaan. Hasil penelitian menyatakan bahwa perusahaan terindikasi melakukan praktik manajemen laba pada saat IPO. Dan berdasarkan hasil uji F secara simultan menunjukkan bahwa kinerja perusahaan secara bersama-sam berpengaruh secara simultan, sedangkan variabel independen net profit margin dan fixed asset turnover secara parsial berpengaruh terhadap manajemen laba.
43
2.2 Rerangka Pemikiran Gambar 1 Rerangka Pemikiran
Variabel Independen
current ratio(X1)
Variabel Depencent
debt to equity ratio (X2)
Manajemen Laba (Y)
net profit margin (X3) fixed asset turnover (X4)
Uji Regresi Berganda
2.3
Perumusan Hipotesis
Hubungan Praktik Manajemen Laba dengan IPO Proses penjualan dalam perusahaan kepublik akan direspon positif oleh pasar ketika perusahaan penerbit saham (emiten) dapat menjual kinerja dengan baik. Salah satu ukuran kinerja yang dilihat calon investor adalah penyajian laba pada laporan keuangan. Kondisi ini sering kali memotivasi manajer untuk melakukan manajemen laba. Dalam Friedlan (1994) melakukan penelitian terhadap manajemen laba menjelang IPO dengan menghitung mean discretionary accruals. Walaupun dalam penelitian tersebut menemukan kesulitan dalam menghitung discretionary accruals, disebabkan pertumbuhan yang cepat komponen akrual, namun dengan
44
melakukan beberapa kontrol, ia berhasil menemukan bahwa mean discretionary accruals lebih tinggi menjelang IPO. Gumanti (2001) memublikasikan penelitiannya tentang perilaku manajemen laba pada perusahaan manufaktur di Bursa Efek Jakarta dengan periode pengamatan dua tahun sebelum go public. Dengan menggunakan model modifikasi De Angelo, ditemukan bukti bahwa perusahaan tidak terbukti secara kuat melakukan earnings management pada periode satu tahun sebelum IPO, namun terjadi pada periode dua tahun sebelum IPO. Setiawati (2002) menguji apakah terjadi manajmen laba dalam laporan keuangan yang disajikan pada satu tahun sebelum IPO dan satu tahun setelah IPO dengan menggunakan proksi discretionary accruals. Penelitian ini menggunakan sampel 24 perusahaan manufaktur yang go public antara tahun 1995-2001. Hasilnya membuktikan terjadi manajemen laba pada laporan keuangan 1 tahun sebelum dan 1 tahun setelah IPO. Hasil penelitian Saiful (2004) menemukan bukti bahwa manajemen laba dilakukan pada periode dua tahun sebelum IPO, saat IPO, dan dua tahun setelah IPO. Hasil penelitian ini juga menunjukan secara implisit bahwa manajemen laba tidak dapat dilakukan selama 2 tahun berturut-turut, hal ini disebabkan manajemen laba dilakukan dengan mengambil akrual positif satu perioda yang akan datang. Sedangkan dalam penelitian Suprianto (2008) menemukan bukti bahwa manajemen laba terjadi pada sebelum IPO, saat IPO dan setelah IPO. Hal ini juga didukung oleh hasil penelitian Nirma Nur Fitriana (2012) yang menindikasikan perusahaan melakukan praktik manajemen laba pada saat IPO. Berdasarkan uraian diatas, maka hipotesis yang dirumuskan adalah :
45
H1: Perusahaan yang melakukan IPO di BEI terindikasi melakukan praktik manajemen laba. Hubungan praktik Manajemen Laba dengan Kinerja Keuangan Manajemen laba terjadi ketika manajer menggunakan kebijakannya untuk memengaruhi pelaporan keuangan sehingga dapat menyesatkan pengguna informasi keuangan untuk menilai kinerja perusahaan (Healy,1985). Manajer sebagai pengelola perusahaan lebih banyak mengetahui informasi internal dan prospek perusahaan di masa yang akan datang dibanding pemilik (pemegang saham)
sehingga
menimbulkan asimetri
informasi.
Manajer
diwajibkan
memberikan sinyal mengenai kondisi perusahaan kepada pemilik. Sinyal yang diberikan merupakan cerminan nilai perusahaan melalui pengungkapan informasi akuntansi seperti laporan keuangan. Asimetri informasi antara manajemen dan pemilik memberikan kesempatan pada manajer untuk melakukan manajemen laba guna meningkatkan nilai perusahaan pada saat tertentu sehingga dapat menyesatkan pemilik (pemegang saham) mengenai nilai perusahaan sebenarnya. Penelitian Widiatmaja (dalam Saffudin, 2011) menunjukkan bahwa pemakai laporan keuangan beranggapan kinerja keuangan yang dilaporkan dapat menunjukkan kinerja manajemen. Dengan demikian, semakin tinggi manajemen laba yang dilakukan maka kinerja keuangan akan semakin terlihat baik, dalam kaitannya dengan tujuan melakukan manajemen laba adalah untuk memperbaiki laporan keuangan perusahaan yang berbeda dengan kondisi yang sebenarnya. Jika
46
investor hanya mengandalkan informasi dari kinerja keuangan yang dilaporkan maka hal ini dapat merugikan investor. Penelitian Sriwedari menguji pengaruh manajemen laba terhadap kinerja keuangan. Kinerja keuangan dinyatakan dalam cash flow return on aset (CFROA). Hasilnya menunjukkan Discretionary Accruals berpengaruh negatif tidak signifikan terhadap manajemen laba. Penelitian Mardiyah menguji pengaruh manajemen laba terhadap kinerja. Kinerja dalam penelitian tersebut dinyatakan dalam EVA (Economic Value Added), hasil EVA yg positif menunjukkan nilai tambah yang terjadi di perusahaan. Hasilnya terdapat pengaruh manajemen laba terhadap kinerja keuangan. Dalam penelitian Ika Sari dan Ignata (2009) menyimpulkan bahwa manajemen laba (Discresionary accruals) berpengaruh positif yang signifikan terhadap kinerja (net profit margin) pada perusahaan yang terbukti melakukan IPO. H2 : Kinerja Keuangan perusahaan berpengaruh terhadap manajemen laba
47