BAB 2 TINJAUAN TEORETIS DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS
2.1. Tinjauan Teoritis 2.1.1. Teori Agensi Jensen dan Meckling (1976) dalam Fala (2007) menggambarkan hubungan agensi sebagai suatu hubungan antara prinsipal perusahaan dengan agen dalam pendelegasian wewenang pengambilan keputusan kepada agen. Prinsipal adalah partisipan-partisipan yang berkontribusi pada modal, sedangkan agen adalah partisipan-partisipan yang berkontribusi dalam keahlian dan tenaga kerja. Jensen dan Meckling (1976) dalam Fala (2007) juga memperkenalkan ide mengenai kontrak antara investor dan manajer mengenai spesifikasi-spesifikasi apa saja yang akan dilakukan manajer di segala kemungkinan yang terjadi dan bagaimana laba perusahaan akan dialokasikan. Namun, ada faktor-faktor yang sulit untuk diramalkan sebelumnya sehingga kontrak yang lengkap sulit untuk diwujudkan. Oleh karena itu, investor memberikan hak pengendalian residual kepada manajer. Hak residual adalah hak untuk membuat keputusan dalam kondisi-kondisi tertentu yang sebelumnya belum ada dikontrak. Hak pengendalian residual yang dimiliki manajer dimungkinkan untuk diselewengkan. Hal ini dapat menyebabkan kepercayaan investor terhadap perusahaan menurun. Berikut asumsi-asumsi yang melandasi teori keagenan adalah asumsi sifat manusia, asumsi keorganisasian, dan asumsi informasi Eisenhardt (1989) dalam Darmawati, Khomsiyah, dan Rahayu (2004). Asumsi sifat manusia menekankan
bahwa manusia memiliki sifat mementingkan diri sendiri, memiliki keterbatasan rasionalitas, dan tidak menyukai risiko. Asumsi keorganisasian adalah adanya konflik antar anggota organisasi, efisiensi sebagai kriteria efektivitas, dan adanya asimetri informasi antara prinsipal dan agen. Asumsi informasi adalah bahwa informasi sebagai barang komoditi yang dapat diperjualbelikan. Teori keagenan ditekankan untuk mengatasi dua permasalahan yang dapat terjadi. Pertama yaitu masalah keagenan yang timbul saat pemilik perusahaan dan agen mempunyai kepentingan yang berbeda serta adanya kesulitan bagi pemilik perusahaan dalam memverifikasi tentang apa yang benar-benar dilakukan oleh agen. Permasalahannya adalah pemilik tidak dapat memverifikasi apakah agen telah melakukan sesuatu secara tepat. Kedua, adalah masalah pembagian risiko yang timbul saat prinsipal dan agen memiliki sikap yang berbeda terhadap risiko. Dengan demikian, prinsipal dan agen mungkin memiliki perbedaan tindakan karena adanya perbedaan preferensi terhadap risiko 2.1.2. Konservatisme Akuntansi Konservatisme akuntansi menurut glossary dalam FASB Statement of Concept No.2 adalah reaksi yang hati-hati terhadap ketidakpastian dengan mencoba meyakinkan bahwa ketidakpastian resiko yang ada pada kondisi bisnis cukup layak untuk di pertimbangkan. (Kieso dan Weygandt, 2004) menyatakan konservatisme didefinisikan sebagai solusi pilihan yang paling akhir pada saat aset dan laba overstated. Konservatisme menurut manajemen didefinisikan sebagai metode akuntansi berterima umum yang melaporkan aktiva dengan nilai terendah, kewajiban dengan nilai tertinggi, menunda pengakuan pendapatan, serta
mempercepat pengakuan biaya.(Penmang dan Zhang, 2000) mendefinisikan konservatisme akuntansi tidak saja berkaitan dengan pemilihan metode akuntansi, tetapi juga melibatkan nilai buku aktiva yang menjadi lebih rendah. Menurut Basu (1997) konservatisme adalah pengakuan laba bad news di awal, dan pengakuan laba good news di akhir. Selain itu dalam konservatisme akuntansi juga memliki anggapan bahwa pengakuan return saham saat ini menjadi efisisen apabila harapan nilai saham dalam aliran kas perusahaan di masa mendatang masih mengandung bad news dan good news. Konservatisme merupakan konvensi laporan keuangan yang penting dalam akuntansi, sehingga disebut sebagai prinsip akuntansi yang dominan. Konvensi seperti konservatisme menjadi pertimbangan dalam akuntansi dan laporan keuangan karena aktivitas perusahaan dilingkupi oleh ketidakpastian. Masalah konservatisme merupakan masalah penting bagi investor. Investor dapat mengambil keputusan investasi dari laba yang dilaporkan dalam laporan keuangan yang konservatif. Konsep konservatisme menyatakan bahwa dalam keadaan yang tidak pasti manajer perusahaan akan menentukan pilihan perlakuan atau tindakan akuntansi yang didasarkan pada keadaan, harapan kejadian, atau hasil yang dianggap menguntungkan. Praktik konservatisme bisa terjadi karena standar akuntansi yang berlaku di Indonesia memperbolehkan perusahaan untuk memilih salah satu metode akuntansi dari kumpulan metode yang diperbolehkan metode akuntansi adalah terhadap angka-angka dalam laporan keuangan, baik laporan neraca maupun laba-rugi. Penerapan metode akuntansi yang berbeda akan menghasilkan angka yang berbeda dalam laporan keuangan.
2.1.2.1. Hal-Hal yang Mendorong Penggunaan Konservatisme Menurut Penman dan Zhang (2000) konservatisme justru menyebabkan kualitas lebih rendah, karena akuntansi konservatif akan langsung menyebabkan laba menjadi lebih rendah dan tercipta hidden reserve (cadangan tersembunyi). Bila pada tahun berikutnya perusahaan menurunkan biaya investasinya, maka akan terjadi likuidasi cadangan tersembunyi sehingga laba menjadi lebih tinggi. Eksistensi keberadaaan konservatisme lebih penting dalam laporan keuangan (Watts, 2003). Ia mengatakan bahwa ada empat masalah yang yang mendorong penggunaaan konservatisme : 1) Kontrak Didalam menyajikan
laporan
perjanjian keuangan
kontrak kepada
manajer
berkewajiban
pihak-pihak
ekternal
untuk yang
berkepentingan dalam perusahaan seperti pemegang saham, kreditor, dan dewan komisaris. Pada saat penyajian laporan keuangan biasanya moral hazard (moral dalam penyampaian) akan timbul selama laporan tersebut berfungsi untuk memberi informasi kepada investor tentang kinerja manajer karena informasi tersebut akan mempengaruhi keputusan investor dalam investasi dan kesejahteraan manajer. Kesejahteraan manajer ini juga akan mempengaruhi motivasi manajer untuk memasukan bias and noise (kesalahan) ke dalam laporan keuangan. Dampak lainnya adalah adanya peningkatan nialia perusahaan karena konservatisme akian membatasi opportunistic payment (penerimaan bonus) terhadap menajer dan juga terhadap pihak shareholder (penerimaan deviden).
2) Tuntutan Hukum Tuntutan hukum mendorong perkembangan konservatisme karena tuntutan hukum selalu terjadi saat laba dan aktiva di catat terlalu tinggi, selain itu juga adanya potensi tuntutan hukum disebabkan pencatatan yang overstatement. Sehingga manajer dan auditor terdorong untuk melaporkan laba dan aktiva yang konservatif. 3) Perpajakan Penundaan terhadap pembayaran pajak juga mendorong penggunaan konservatisme. Dengan konservatisme, perusahaan dapat mengurangi present value pajak dengan jalan menunda pengakuan pendapatan. 4) Peraturan Peraturan yang di keluarkan oleh standar akuntansi memberikan insentif kepada perusahaan untuk menerapkan akuntansi yang konservatif. Bagi penyusun standar akuntansi, konservatisme akan menghindarkan mereka dari kritik akibat penyajian laporan keuangan yang overstate. 2.1.2.2. Pengukuran Konservatisme akuntansi Terdapat tiga cara yang dapat digunakan untuk mengukur tingkat konservatisme di dalam berbagai penelitian yang ada, antara lain: a. Conservatism Index sebagai proksi konservatisme neraca yang di kembangkan oleh (Penman dan Zhang, 2002), di mana karakteristik dari konservatisme adalah net assets yang dilaporkan di
laporan keuangan
lebih rendah
dibandingkan nilai pasarnya dalam jangka panjang. Konservatisme sebagai perbedaan yang persisten antara nilai pasar dan nilai buku dimana
perbedaan tersebut berbeda dengan perbedaan temporary akibat economic gains dan losses yang diakui dalam nilai buku secara bertahap sepanjang waktu. b. Net asset measure dengan menggunakan price to book ratios. Rasio yang bernilai lebih dari 1, mengindikasikan penerapan akuntansi konservatisme (Fala, 2007), di mana nilai tersebut dikali dengan nilai negatif satu agar nilai positif mencerminkan tingkat konservatisme yang lebih tinggi. Hal ini karena apabila perusahaan menggunakan prinsip konservatisme, maka nilai buku perusahaan akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nilai pasarnya sehingga
price to book ratio akan lebih rendah dibandingkan dengan
perusahaan yang tidak menerapkan prinsip konservatisme. c. Earning accrual measures pengukuran konservatisme ini dikembangkan oleh Dewi (2003), dimana menggunakan akrual sebelum depresiasi sebagai proksi akuntansi
yang
konservatif.
Lebih
lanjut,
akrual
dihitung
dengan
menjumlahkan total akrual dengan mengeluarkan depresiasi (net income sebelum ekstraordinary item ditambah dengan biaya depresiasi dikurangi dengan cash flow operasi) dibagi dengan asset dan kemudian dikalikan dengan -1, sehingga peningkatan jumlah akrual negatif, yang mencerminakan adanya konservatisma akuntansi (KONAKT). Semakin tinggi nilai KONAKT semakin konservatif. Dalam penelitian ini pengukuran konservatisme menggunakan model Net asset measure dengan menggunakan price to book ratios. Hal ini karena apabila perusahaan menggunakan prinsip konservatisme, maka nilai buku perusahaan
akan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan nilai pasarnya sehingga rasio book-to-price akan lebih rendah dibandingkan dengan perusahaan yang tidak menerapkan prinsip konservatisme. 2.1.3. Corporate Governance Corporate governance didefinisikan sebagai suatu sistem yang di bangun untuk mengarahkan dan mengendalikan perusahaan sehingga tercipta tata hubungan yang baik, adil dan transparan di antara berbagai pihak yang terkait yang memliki kepentingan dalam perusahaan Solomon dan Solomon (2004) dalam Maksum (2005). Di dalam corporate governance terdapat dua prinsip utama yang terkait yaitu stewardship theory dan agency theory (Chinn, 2000; Shaw, 2003 dalam Kaihatu, 2006). Stewardship theory dibangun atas asumsi filosofi mengenai manusia yaitu manusia pada hakikatnya dapat dipercaya, dan mampu bertindak dengan penuh tanggung jawab, memiliki intregritas dan kejujuran terhadap pihak lain. Sedangkan agency theory memandang bahwa manajemen perusahaan sebagai agen bagi para pemegang saham yang akan bertindak dengan penuh kesadaran untuk kepentingan atau keuntungan sendiri Jensen dan Meckling (1976) dalam Fala (2007). Teori ini memandang manajer bukan sebagai pihak yang arif dan bijaksana serta adil terhadap pemegang saham. 2.1.3.1. Prinsip Good Corporate Governance Terdapat beberapa versi yang menyangkut prinsip-prinsip corporate governance, namun pada dasarnya mempunyai banyak kesamaan. Dalam pedoman umum Good Corporate Governance Indonesia yang di keluarkan oleh
Komite Nasional Kebijakan Governance (KNKCG) pada tahun 2006, asas dalam GCG antara lain : 1. Transparasi Untuk menjaga obyektivitas dalam bisnis, perusahaan harus perusahaan harus menyediakan informasi yang material dan relevan dengan cara yang mudah di akses dan mudah di pahami oleh investor. Perusahaan harus berinisiatif untuk mengungkapkan tidak hanya masalah yang di tuliskan oleh peraturan perundangundangan, tetapi juga hal yang penting untuk pengambilan keputusan oleh pemegang saham, kreditor, dan pemangku kepentingan. 2. Akuntanbilitas Perusahaan harus dapat mempertanggung jawabkan kinerja secara transparan dan wajar. Maka dari itu harus dikelola dengan benar, terukur, dan sesuai dengan kepentingan perushaan dan kepentingan pemegang saham dan pamngku kepentingan. Dan satu-satunya syarat yang diperlukan untuk mencapai kinerja yang berkesinambungan adalah akuntanbilitas. 3. Kesetaraan dan Kewajaran Dalam
melaksanakan
kegiatannya
perusahaan
harus
senantiasa
memeprhatikan kepentingan pemegang saham dan pemangku kepentingan lainnya berdasarkan asas kewajaran dan kesetaraan. Terdapat lima prinsip corporate governance yaitu : a. Perlindungan terhadap hak-hak pemegang saham b. Perlakuan yang adil terhadap para pemegang saham c. Peranan stakeholder dalam corporate governance
d. Pengungkapan dan transparasi e. tanggung jawab direksi dan komisaris 2.1.3.2. Mekanisme Good Corporate Governance Benhart dan Rosenstein (1998) dalam Siallagan dan Mas’ud (2006) menyatakan bahwa di dalam mekanisme good corporate governance seperti mekanisme internal, seperti struktur dan dewan komsisaris, serta mekanisme eksternal seperti pasar untuk kontrol perusahaan diaharapkan dapat mengatasi masalah keagenan. Adanya konflik keagenan mengakibatkan rendahnya kualitas laba dan rendahnya kualitas laba biasanya dapat mengakibatkan kesalahan dalam pengambilan kepada pembuat keputusan sseperti investor, dan kreditor sehingga nilai perusahaan akan berkurang. Indikator mekanisme corporate governance terdiri dari kepemilikan manajerial dan dewan komisaris independen. Mekanisme corporate governance yang dilakukan dengan baik dapat meningkatkan nilai ekuitas perusahaan (Fala, 2007). 1. Kepemilikan manajerial Pemahaman terhadap kepemilikan perusahaan sangat penting karena berkaitan dengan pengendalian perusahaan. Dari sudut pandang teori akuntansi, manajemen laba sangat oleh motivasi manajer perusahaan. Pengaruh dari motivasi ini yakni dengan motivasi yang menghasilkan besaran manajemen laba berbeda, seperti manajer yang juga sebagai pemegang saham dan manajer yang tidak sebagi pemegang saham. Hal ini sesuai dengan system pengelolaan perusahaan dalam dua kriteria : (a) perusahan dipimpin oleh manajer dan pemilik, (b)
Perusahaan yang di pimpin oleh manajer non pemilik. Dua kriteria di atas akan mempengaruhi manajemen laba, sebab kepmilikan seorang manajer akan menentukan kebijakan dan pengambilan keputusan terhadap metode akuntansi yang akan diterapakan oleh perusahaan. Kepemilikan managerial adalah kepemilikan saham perusahaan oleh managerial. Kepemilikan managerial merupakan alat monitoring internal yang penting untuk memecahkan konflik agensi antara external stockholders dan manajemen Chen dan Steiner (1999) dalam Fala (2007), sehingga potensi munculnya konflik dalam hubungan agensi sangat besar, yaitu ketika manajemen perusahaan memiliki kurang dari 100% saham biasa milik perusahaan maka potensi konflik itupun muncul. Jensen dan Meckling (1976) dalam Fala (2007) menemukan bahwa kepemilikan manajerial berhasil menjadi mekanisme untuk mengurangi masalah keagenan dari manajer dengan menyelaraskan kepentingan-kepentingan manajer dengan pemegang saham. Penelitian mereka menemukan bahwa kepentingan manajer dengan pemegang saham eksternal dapat disatukan jika kepemilikan saham oleh manajer diperbesar sehingga manajer tidak akan memanipulasi laba untuk kepentingannya. Dalam kepemilikan saham yang rendah, maka insentif terhadap kemungkinan terjadinya perilaku oportunistik manajer akan meningkat (Shleifer dan Vishny, 1997). Warfield et al., (1995) dalam penelitiannya yang menguji kepemilikan manajerial dengan discretionary accrual dan kandungan informasi laba menemukan bukti bahwa kepemilikan manajerial berhubungan dengan negatif dengan discretionary accrual.
Demikian halnya penelitian oleh (Midiastuty dan Machfoedz, 2003) menyatakan bahwa kepemilikan manajerial merupakan salah satu mekanisme yang dapat membatasi perilaku oprtunistik manajer dalam bentuk earnings management, walaupun (Wedari, 2004) menyimpulkan bahwa kepemilikan manajerial juga memiliki motif lain. Dalam penelitian ini mengacu pada teori yang ada yang menyatakan kepemilikan manajerial dapat berfungsi sebagai mekanisme corporate governanace sehingga dapat mengurangi tindakan manajer dalam memanipulasi laba. Dalam penelitian Jensen dan Meckling (1976) dalam Midiastuty dan Machfoedz (2003) menggunakan persentase jumlah saham yang dimiliki pihak manajemen untuk mengukur kepemilikan manajerial perusahaan. 2. Dewan Komisaris Independen Secara umum dewan komisaris ditugaskan dan diberi tanggung jawab atas pengawasan kualitas informasi yang terkandung dalam laporan keuangan. Hal ini penting mengingat adanya kepentingan dari manajemen untuk melakukan manajemen laba yang berdampak pada berkurangnya kepercayaan investor. Untuk mengatasinya dewan komisaris diperbolehkan untuk memiliki akses pada informasi perusahaan. Dewan komisaris tidak memiliki otoritas dalam perusahaan, maka dewan direksi bertanggung jawab untuk menyampaikan informasi terkait dengan perusahaan kepada dewan komisaris (NCCG, 2001). Selain mensupervisi dan memberi nasihat pada dewan direksi sesuai dengan UU No. 1 tahun 1995, fungsi dewan komisaris yang lain sesuai dengan yang dinyatakan dalam National Code for Good Corporate Governance (2001) adalah memastikan bahwa perusahaan telah melakukan tanggung jawab sosial dan
mempertimbangkan
kepentingan
berbagai
perusahaan
stakeholder
sebaik
memonitor efektifitas pelaksanaan good corporate governance. 2.1.4. Nilai Perusahaan Tujuan
jangka
panjang
dari
perusahaan
adalah
mengoptimalkan nilai perusahaan (Wahyudi dan Pawestri, 2006). Peningkatan penilaian ekuitas perusahaan dapat menggambarkan kesejahteraan pemilik perusahaan, sehingga pemilik perusahaan akan mendorong manajer agar bekerja lebih keras dengan menggunakan berbagai intensif untuk memaksimalkan penilaian ekuitas perusahaan. Didalam penelitian ini pengukuran nilai perusahaan menggunakan price to book value untuk penilaian ekuitas karena sangat dipengaruhi oleh nilai pasar terhadap nilai buku perusahaan. Beaver dan Ryan (2000) dalam Watts (2003) menggunakan
price to book ratio yang
mencerminkan nilai pasar terhadap nilai buku perusahaan.
Rasio nilai pasar
terhadap nilai buku memberikan penilaian akhir dan mungkin yang paling menyeluruh atas status pasar saham perusahaan. Rasio ini mengikhtisarkan pandangan investor tentang perusahaan secara keseluruhan, manajemennya, labanya, likuiditasnya, dan prospek masa depan perusahaan. Oleh karenanya dengan melihat rasio ini dapat dilihat reaksi pasar atas sinyal positif dari perusahaan tentang adanya penerapan konservatisma akuntansi yang diberikan melalui laporan keuangan.
2.1.5. Pengembangan Hipotesis 2.1.5.1. Konservatisma Akuntansi Berpengaruh Terhadap Nilai Perusahaan Para peneliti menyebutkan telah terjadi peningkatan konservatisma standar akuntansi secara global. Peningkatan ini disebabkan oleh meningkatnya tuntutan hukum, sehingga auditor dan manager cenderung melindungi dirinya dengan selalu melaporkan angka-angka yang konservatif dalam laporan keuangannya (Givoly dan Hayn, 2002). Secara empiris penelitian (Penman dan Zhang, 2002) menunjukkan bahwa earnings yang berkualitas diperoleh jika manajemen menerapkan akuntansi konservatif secara konsisten tanpa adanya perubahan metoda akuntansi atau perubahan estimasi. (Watts, 2003) menyatakan bahwa understatement aktiva bersih yang sistematik atau relatif permanen sebagai hallmark (informasi) mengenai konservatisme akuntansi telah membantu pengguna laporan keuangan dengan menyajikan laba dan aktiva yang tidak overstate. Mayangsari dan Wilopo (2002) yang menggunakan C-Score sebagai proksi konservatisma membuktikan bahwa konservatisme memiliki value relevance, sehingga laporan keuangan perusahaan yang menerapkan prinsip konservatisma dapat mencerminkan nilai pasar perusahaan. Penelitian mereka menunjukkan bahwa total akrual (discretionary dan non discretionary accrual) berpengaruh positif signifikan pada nilai perusahaan Penerapan kebijakan akuntansi konservatif yang di tunjukkan melalui laporan keuangan merupakan suatu sinyal positif dari manajemen kepada investor bahwa manajemen telah menerapkan akuntansi konservatif untuk menghasilkan
laba yang berkualitas. Dengan asumsi pasar telah efisien secara keputusan, investor diharapkan dapat menerima sinyal ini dan mengoreksi undervalue ekuitas perusahaan dengan menilai ekuitas perusahaan dengan harga yang lebih tinggi. 2.1.5.2. Kepemilikan Manajerial Berpengaruh Terhadap Hubungan Antara Konservatisma Akuntansi Dengan Nilai Perusahaan Menurut Lins dan Warnock (2004) dalam Fala (2007), secara umum mekanisme yang dapat mengendalikan perilaku manajemen atau sering disebut mekanisme corporate governance dapat diklasifikasikan kedalam dua kelompok. Pertama adalah mekanisme internal spesifik perusahaan yang terdiri atas struktur kepemilikan dan struktur pengelolaan. Kedua adalah mekanisme eksternal spesifik negara yang terdiri atas aturan hukum dan pasar pengendalian korporat. Karena corporate governance merupakan suatu mekanisme yang dapat mengendalikan (mengatur) perilaku stakeholders dengan demikian corporate governance dapat mempengaruhi pilihan manajemen dalam menerapkan prinsip akuntansi yang terkait dengan prinsip konservatisma. Ball et al., (2000) dalam Fala (2007) menyatakan bahwa pilihan terhadap suatu metoda akuntansi yang terkait dengan prinsip konservatisma dipengaruhi juga oleh struktur kepemilikan manajerial sebagai salah satu mekanisme corporate governance, sehingga struktur kepemilikan manajerial mempengaruhi pemilihan strategi akuntansi konservatif perusahaan dalam meningkatkan nilai perusahaan. Menurut Ross et al., (1999) dalam Fala (2007) bahwa semakin besar proporsi kepemilikan manajemen maka manajemen cenderung berusaha lebih giat untuk kepentingan pemegang saham untuk meningkatkan nilai perusahaan salah
satunya dengan menerapkan konservatisma akuntansi, di mana kepemilikan manajerial berpengaruh positif terhadap reaksi pasar dan mampu memoderasi interaksi income smoothing (konservatisme akuntansi) dengan reaksi pasar. 2.1.5.3. Jumlah Komisaris Independen Berpengaruh Terhadap Hubungan Antara Konservatisma Akuntansi Dengan Nilai Perusahaan Diantara berbagai faktor yang dapat mendorong terciptanya pengelolaan perusahaan yang efektif, dewan komisaris (struktur pengelolaan) merupakan faktor utama yang mempengaruhi perilaku manajer dalam pengelolaan perusahaan termasuk
dalam
penerapan
kebijakan
konservatisma
akuntansi
dalam
meningkatkan nilai perusahaan. Semakin besar jumlah komisaris fungsi service dan kontrol akan semakin baik dalam kebijakan konservatisma akuntansi, sehingga nantinya akan meningkatkan nilai perusahaan Fama dan Jensen (1983) dalam Kusumawati dan Riyanto (2005). Menurut Kusumawati dan Riyanto (2005), hubungan antara jumlah anggota dewan komisaris dengan nilai perusahaan didukung oleh konservatisme yang diberikan dewan komisaris. Konsultasi dan nasehat yang diberikan merupakan jasa yang berkualitas bagi manajemen yang tidak dapat diberikan oleh pasar. Penelitian mereka menemukan bahwa investor bersedia memberikan premium lebih terhadap perusahaan karena service dan kontrol yang dilakukan oleh komisaris. Midiastuty (2003) dalam Mudjiyanti (2005) yang menyimpulkan bahwa jumlah dewan mampu mengurangi konflik kepentingan antara stakeholders dan meningkatkan kepercayaan investor. Fungsi
service dan kontrol dewan
komisaris sebagai mekanisme corporate governance ini dapat dilihat sebagai
suatu sinyal kepada para investor bahwa perusahaan telah dikelola sebagaimana mestinya (sinyal positif). Dengan demikian, konservatisme akuntansi dengan penerapan good corporate governance berhubungan positif dengan kinerja perusahaan di mata investor Labelle (2002) dalam Kusumawati dan Riyanto (2005). 2.1.6. Penelitian Terdahulu 1. Fala (2007) Tujuan dari penelitian Fala (2007) adalah mengetahui pengaruh pemilihan kebijakan konservatisma akuntansi terhadap nilai ekuitas perusahaan dengan asumsi bahwa pasar telah efisien secara keputusan sehingga akan menilai lebih perusahaan-perusahaan
yang
memilih
kebijakan
konservatisma
untuk
akuntansinya dan menilai kemampuan Good Corporate Governance (GCG) dalam
menginteraksi
pengaruh
konservatisma
akuntansi
terhadap
nilai
perusahaan. Sampel perusahaan yang digunakan dalam penelitian adalah perusahaan yang terdapat di Bursa Efek Jakarta (BEJ) tahun 2000-2005. Hasil penelitian ini adalah (1) Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa akuntansi konservatisma berpengaruh positif secara signifikan terhadap penilaian ekuitas perusahaan. Hal ini berarti bahwa investor/ pasar menerima sinyal tentang penerapan konservatisma akuntansi dalam perusahaan dan menilai lebih dengan memberikan premium tinggi bagi harga saham perusahaan tersebut. (2) Hasil penelitian ini juga membuktikan bahwa variabel jumlah dewan komisaris sebagai salah satu mekanisme corporate governance merupakan variabel pemoderasi yang dapat menginteraksi hubungan antara konservatisma akuntansi dengan nilai
perusahaan dan variabel ini memiliki pengaruh negatif. Sebaliknya kepemilikan manajerial bukan merupakan variabel pemoderasi yang dapat menginteraksi hubungan konservatisma akuntansi dan nilai perusahaan. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Fala (2007) ialah sama-sama menggunakan teknik purposive sample. Variabel independen yang digunakan ialah konservatisme akuntansi dan corporate governance. Variabel dependen yang digunakan penilaian ekuitas perusahaan. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Fala (2007) terletak pada sampel penelitian dan periode penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian Fala (2007) ialah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2000-2005, sedangkan dalam penelitian ini ialah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2009-2011. 2. Suaryana (2008) Penelitian Suaryana (2008) adalah sebagai berikut : (1) sampel adalah perusahaan yang terdaftar di BEJ untuk periode 1999 sampai dengan 2004; (2) perusahaan yang dipilih adalah perusahaan manufaktur; (3) laporan keuangan disajikan dalam rupiah; dan (4) laporan keuangan tahunan dapat diperoleh secara lengkap dari tahun 1999. Variabel independen terdiri dari konservatisme, persistensi laba, pertumbuhan laba, struktur modal dan besaran perusahaan. Variabel dependen penelitian adalah cumulatif abnormal return, unexpected Earnings, dan daya prediksi laba. Penelitian ini bertujuan untuk menguji apakah perusahaan yang menerapkan prinsip akuntansi konservatif memiliki daya prediksi laba dan ERC yang lebih rendah dari perusahaan yang tidak menerapkan
prinsip akuntansi konservatif. Hasil penelitian mendukung hipotesis yang menyatakan bahwa perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif memiliki daya prediksi laba yang lebih buruk daripada perusahaan yang tidak menerapkan akuntansi konservatif. Hasil penelitian juga mendukung hipotesis bahwa ERC perusahaan yang menerapkan akuntansi konservatif lebih rendah daripada perusahaan tidak menerapkan akuntansi konservatif. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Suaryana (2008) ialah samasama menggunakan variabel independen yang digunakan ialah konservatisme akuntansi. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Suaryana (2008) terletak pada sampel penelitian dan periode penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian Suaryana (2008) ialah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 1999-2004, sedangkan dalam penelitian ini ialah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20092011. Kemudian variabel dependen penelitian Suaryana (2008) adalah koefisien respon laba, penelitian sekarang adalah nilai ekuitas perusahaan. 3. Wardani (2009) Penelitian Wardani (2009) dilakukan dengan kriteria objek penelitian yang meliputi : (i) terdaftar sebagai perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2003 hingga 2006; (ii) perusahaan yang bergerak pada industri manufaktur; (iii) memiliki nilai buku ekuitas positif; (iv) terdapat kelengkapan data yang dibutuhkan berturut-turut dari tahun 2003 hingga 2006. Variabel independen terdiri dari kepemilikan oleh dewan dan komite audit, sedangkan variabel dependen penelitian adalah konservatisme dan daya prediksi laba.
Tujuan dari penelitian ini yaitu: (i) mengetahui dan menganalisa pengaruh karakteristik board of directors yang terkait dengan independensi dari dewan komisaris terhadap praktek konservatisme di Indonesia; (ii) mengetahui dan menganalisa pengaruh karakteristik
board of directors yang terkait dengan
kepemilikan oleh dewan terhadap praktek konservatisme di Indonesia; (iii) mengetahui dan menganalisa pengaruh karakteristik board of directors yang terkait dengan keberadaan komite audit terhadap praktek konservatisme di Indonesia. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa keberadaan komite audit berpengaruh secara positif dan signifikan terhadap tingkat konservatisme dengan menggunakan ukuran akrual. Hasil ini menunjukkan bahwa dengan adanya komite audit dalam suatu perusahaan, maka proses pelaporan keuangan perusahaan akan termonitor dengan baik. Komite audit ini akan memastikan bahwa perusahaan menerapkan prinsip-prinsip akuntansi yang akan menghasilkan informasi keuangan perusahaan yang akurat dan berkualitas melalui penggunaan prinsip konservatisme yang lebih tinggi dalam proses pelaporan keuangan perusahaan. Penelitian ini tidak dapat membuktikan pengaruh dari independensi komisaris dan kepemilikan manajerial terhadap tingkat konservatisme akuntansi perusahaan yang diukur dengan menggunakan ukuran akrual. Persamaan penelitian ini dengan penelitian Wardani (2009) ialah samasama menggunakan variabel konservatisme akuntansi dan mekanismen corporate goverment. Perbedaan penelitian ini dengan penelitian Wardani (2009) terletak pada sampel penelitian dan periode penelitian. Sampel yang digunakan dalam penelitian Wardani (2009) ialah perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2003-2006, sedangkan dalam penelitian ini ialah
perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 20092011. Berikut ini Tabel perbandingan antara penelitian terdahulu dan sekarang. Tabel 1 Perbandingan Penelitian Terdahulu dan Penelitian Sekarang Pembanding Variabel dependen
Fala (2007) Penilaian ekuitas perusahaan
Suaryana (2008) Koefisien Respon Laba
Variabel independen
Konservatisme akuntansi dan corporate governance. Purposive sampling
Konservatisme Laba
Teknik sampel Alat pengujian hipotesis Objek penelitian
Regresi berganda
Periode penelitian
2000-2005
Tujuan penelitian
Pengaruh pemilihan kebijakan konservatisma akuntansi terhadap nilai ekuitas perusahaan
Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2000-2005
Purposive sampling Regresi berganda Perusahaan manufaktur yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 19992004 1999-2004 Perusahaan yang menerapkan prinsip akuntansi konservatif memiliki daya prediksi laba dan ERC yang lebih rendah dari perusahaan yang tidak menerapkan prinsip akuntansi konservatif.
Wardani (2009) Konservatisme dan daya prediksi laba Kepemilikan oleh dewan dan komite audit Purposive sampling Regresi berganda Perusahaan publik di Bursa Efek Indonesia (BEI) dari tahun 2003 hingga 2006 2003 hingga 2006 Tingkat Konservatisme Akuntansi Di Indonesia Dan Hubungannya Dengan Karakteristik Dewan Sebagai Salah Satu Mekanisme Corporate Governance
Penelitian sekarang Nilai perusahaan Konservatisme akuntansi dan corporate governance. Purposive sampling Regresi linier berganda Perusahaan manufaktur di BEI
2009-2011 Pengaruh pemilihan kebijakan konservatisma akuntansi terhadap nilai perusahaan
2.1.7. Model Penelitian Konservatisme
Nilai perusahaan
Good Corporate Governance : - Kepemilikan Manajerial - Dewan komisaris independen Gambar 1 Model Penelitian 2.2. Hipotesis Hipotesis – hipotesis yang akan dijawab dalam penelitian ini mengacu pada telaah pustaka yang telah diuraikan pada sub bab sebelumnya. Berdasarkan telaah pustaka, maka beberapa hipotesis yang diajukan dalam penelitian ini adalah: H1:
Konservatisma akuntansi berpengaruh positif terhadap nilai perusahaan
H2 :
Kepemilikan Manajerial memoderasi pengaruh antara konservatisma akuntansi pada nilai perusahaan.
H3:
Jumlah Komisaris Independen memoderasi pengaruh antara konservatisma akuntansi pada nilai perusahaan.