BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Persepsi Menurut Bimo Walgito (dalam Sunaryo, 2004) persepsi adalah proses pengorganisasian, penginterpretasian terhadap rangsangan yang diterima oleh organisme atau individu sehingga merupakan aktivitas yang terintegrasi dalam diri individu.
Sedangkan menurut Maramis (dalam Sunaryo, 2004) persepsi
adalah daya mengenal barang, kualitas atau hubungan, dan perbedaan antara hal ini melalui proses mengamati, mengetahui, atau mengartikan setelah pancaindranya mendapatkan rangsang. Dengan persepsi, individu dapat menyadari hal yang berada disekitarnya maupun yang bersangkutan dengan dirinya. Menurut Robbins & Judge (2008), persepsi adalah proses dimana individu mengatur dan mengintepretasikan kesan-kesan sensoris mereka guna memberikan arti bagi lingkungan mereka. Lebih lanjut menurut Robbins & Judge (2008), faktor-faktor yang mempengaruhi persepsi adalah faktor dalam diri si pengarti, faktor situasi dan fator dalam diri target. Faktor dalam diri si pengarti seperti sikap, motif, minat, pengalaman dan harapan. Faktor situasi seperti waktu dan keadaan sosial. Sedangkan faktor dalam diri target adalah sesuatu yang baru, gerakan, suara, ukuran, latar belakang, kedekatan dan kemiripan. Macam-macam persepsi menurut Sunaryo (2004) adalah persepsi eksternal dan persepsi diri. Persepsi eksternal adalah persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang datang dari luar individu. Persepsi diri adalah persepsi yang terjadi karena adanya rangsangan yang berasal dari dalam diri
9
individu, dalam hal ini yang menjadi objek adalah dirinya sendiri. Lebih lanjut, syarat terjadinya persepsi adalah: a. Adanya objek : objek – stimulus – alat indera (reseptor). Stimulus berasal dari luar individu (langsung mengenai alat indra/ reseptor) dan dari dalam diri individu (langsung mengenai saraf sensoris yang bekerja sebagai reseptor). b. Adanya perhatian sebagai langkah pertama untuk mengadakan persepsi. c. Adanya alat indra sebagai resptor penerima stimulus. d. Saraf sensoris sebagai alat untuk meneruskan stimulus ke otak (pusat saraf atau pusat kesadaran). Dari otak dibawa melalui saraf motoris sebagai alat untuk mengadakan respons. Syarat untuk mengadakan persepsi melewati tiga proses, yaitu: a. Proses fisik – objek – stimulus – reseptor atau alat indra b. Proses fisiologis – stimulus – saraf sensoris – otak c. Proses psikologis – proses dalam otak sehingga individu menyadari stimulus yang diterima 2.2 Teori Klasik Pemerolehan Bahasa Ada beberapa argumen yang menyeruak tentang pemerolehan bahasa. Apakah kemampuan linguitik dibawa sejak lahir atau dipelajari? Pada tahun 1950 terjadi perdebatan dua aliran yang mencetuskan teori klasik pemerolehan bahasa. B.F. Skinner mengusung teori pembelajaran sedangkan lainnya oleh ahli bahasa Noam Chomsky. 2.2.1 Behavioristik Skinner (dalam Papalia dkk, 2009) berpendapat bahwa kemampuan
10
berbahasa sama hal nya dipelajari dan didapatkan seperti pembelajaran lainnya yaitu didasarkan pada pengalaman. Menurut teori pembelajaran klasik, anak mempelajari bahasa melalui operant conditioning yang pada awalnya adanya penuturan kata oleh bayi secara acak dan orang tua atau pengasuh mempertegas suara yang muncul.Jika respon tersebut dapat diterima maka orang tua atau pengasuh akan memberikan reinforcement berupa tepuk tangan atau tindak afeksi pada sang anak. Dengan adanya penguatan atau reinforcement kemudian oleh bayi penegasan kata-kata tersebut diulang kembali. Suara-suara yang bukan bagian dari bahasa natif tidak dipertegas lalu secara bertahap anak berhenti mengucapkannya. Menurut teori pembelajaran sosial, bayi mengikuti suara yang dikeluarkan oleh orang dewasa dan hal tersebutlah yang mendorongnya untuk melakukannya kembali. Pembelajaran kata bergantung pada dorongan selektif seperti kata meonghanya didorong bila familia kucing muncul. Dengan adanya proses ini, anak didorong untuk berbicara makin mirip dengan orang dewasa. Anak kemudian mempelajari urutan kata dengan urutan dasar (S-P-O-K) seperti “Aku mau makan” dan mempelajari bahwa kata lain dapat mensubstitusi ke dalam tiap kategori, seperti “Kakak minum susu”. Menurut teori pembelajaran sosial, observasi, imitasi dan dorongan berperan terhadap perkembangan bahasa. 2.2.2 Nativisme Dalam teori yang diusung oleh Chomsky (dalam Papalia dkk, 2009), kombinasi kata dan nuansa sangat banyak dan rumit sehingga tidak dapat diperoleh dengan dorongan dan imitasi saja karena seringkali pengasuh tidak benar-benar mengucapkan kata secara gramatik. Orang dewasa juga terkadang mempunyai pengucapan jabatan kata yang salah, kalimat yang kurang lengkap hingga selip lidah pada orang dewasa yang diucapkan ke anak sehingga dinilai
11
kurang realistis untuk diimitasi. Selain itu, teori pembelajaran yang diusung oleh Skinner tidak memperhitungkan cara imajinatif anak dalam mengucapkan hal yang belum pernah ia dengar sebelumnya, seperti ketika Anna yang berusia 2 tahun menggambarkan sprained-ankle (tumit lecet) sebagai “sprangle”. Tidak seperti pembelajaran behavioristik, pandangan ini yang dikenal juga sebagai nativisme, lebih menekankan pada peran aktif pembelajar. Selain itu juga bahasa bersifat universal dan luas bagi manusia. Menurut Chomsky (dalam Papalia dkk, 2009), otak manusia memiliki kapasitas untuk memperoleh bahasa dan bayi dapat belajar berbicara sealamiah mereka belajar berjalan. Ia berpendapat bahwa terdapat alat pemeroleh bahasa (language acquisition device – LAD) bawaan memprogram otak bayi untuk menganalisis bahasa ang mereka dengar dan untuk menemukan aturan-aturannya. Dukungan terhadap pendapat nativis ini didapatkan dengan adanya kemampuan bayi yang merespon pada suara yang mirip yang memperlihatkan bahwa mereka lahir dengan dibekali kemampuan mengumpulkan berbagai karakteristik bicara. Pandangan nativisme ini juga menyebutkan bahwa anak menguasai bahasa natif yang sesuai dengan usia mereka tanpa adanya pengajaran yang formal.Menurut Gannon, Holloway, Broadfield & Braun (dalam Papalia dkk, 2009), otak manusia adalah satu-satunya mahkluk yang dapat mengembangkan bahasa penuh, memiliki struktur yang lebih besar di salah satu sisi dibanding sisi lainnya yang kemudian menunjukkan bahwa suatu mekanisme bawaan untuk suara dan pengolahan bahasa mungkin teralokasi di hemisfer yang lebih besar yang terdapat di sisi kiri pada sebagian besar individu. Tetapi pendekatan ini kurang menjelaskan mengapa beberapa anak lebih cepat dalam
penguasaan bahasa daripada anak
perkembangan bahasa ini
yang lain, mengapa
tampak bergantung pada hadir atau tidaknya
12
seseorang yang aktif untuk mengajak bicara, bukan hanya sekedar mendengar bahasa yang diucapkan. Papalia dkk (2009) berpendapat bahwa kebanyakan ilmuwan perkembangan sekarang percaya bahwa pemerolehan bahasa, seperti kebanyakan aspek perkembangan lain, bergantung pada keterkaitan antara nature dan nurture. Anak memiliki kapasitas bawaan untuk memperoleh bahasa yang mungkin diaktifkan atau dibatasi oleh pengalaman. 2.3 Perkembangan Bahasa Perkembangan bahasa anak diawali sejak anak tersebut berada di dalam kandungan dan setiap anak dibekali dengan hal tersebut. Di tahap awal sebelum menggunakan kata, bayi dalam pengungkapannya menggunakan suara tangisan yang mengeluarkan bunyi tanpa arti kemudian imitasi sengaja maupun tidak sengaja yang dikenal dengan prelinguistic speech (bicara prelinguistik). Dalam pertumbuhannya bayi juga mengembangkan kemampuannya untuk memahami suara bicara dan isyarat tindakan. Kata pertama yang diucapkan oleh bayi dimulai dari sekitar akhir tahun pertama. Kemudian bayi mengembangkan kemampuan berbahasa secara bertahap guna mendukung pengungkapan pesan-pesan komunikasi secara jelas. Menurut Mulyani & Gracinia (2007), kemampuan berbahasa adalah kemampuan menyampaikan dan menerima pesan dalam arti luas yang dapat digunakan untuk membina hubungan dengan sesamanya. Menurut Papalia dkk (2009), berikut ini adalah daftar titik awal perkembangan bahasa dari lahir hingga usia 3 tahun.
13
Tabel 2 - 1: Karakteristik Perkembangan Bahasa
Usia dalam bulan
Karakteristik Perkembangan bahasa Mampu mempersepsi bicara, menangis, dapat melakukan
Lahir respon terhadap suara. 1,5 – 3
Mengeluarkan bunyi tanpa arti sama sekali dan tertawa.
3
Bermain dengan suara bicara. Mengeluarkan suara konsonan, mencoba mencocokkan hal
5–6 yang ia dengar. 6 - 10
Menceloteh untaian konsonan dan vocal. Mengeluarkan isyarat untuk berkomunikasi dan bermain
9 isyarat. Mulai memahami kata (biasanya “tidak” dan nama sendiri); 9 - 10 meniru suara. 9 - 12
Menggunakan beberapa isyarat sosial. Tidak lagi dapat membedakan suara bukan dari bahasanya
10 – 12 sendiri. 10 – 14
Mengucapkan kata pertama (biasanya label untuk sesuatu).
10 – 18
Mengucapkan satu kata. Memahami fungsi simbolis persamaan, menggunakan
13 isyarat yang lebih terelaborasi. 14
Menggunakan isyarat simbolis.
16 – 24
Mempelajari banyak kata baru, memperluas kosa kata
14
dengan sangat cepat, dari sekitar 50 hingga sebanyak 400 kata; menggunakan kta kerja dan kata sifat. 18 – 24
Mengucapkan kalimat pertama (2 kata). Berkurang dalam menggunakan isyarat; menamakan lebih
20 banyak hal. 20 – 22
Komprehensi meledak. Menggunakan fase dua kata; tidak lagi ingin berceloteh;
24 ingin berbicara. Mempelajari kata baru hampir setiap hari; berbicara dalam 30
kombinasi tiga atau lebih kata; memahami dengan baik; membuat kesalahan gramatikal. Mengucapkan hingga 1.000 kata, 80 persen tidak jelas,
36 membuat kesalahan pada sintaks. Papalia, Olds, Feldman (2009)
Schaerlaekens (dalam Dariyo, 2007) mengelompokkan tiga tahap perkembangan bahasa pada anak usia lima tahun pertama, yaitu periode prelingual, periode lingual dini, dan periode diferensiasi. 1. Periode prelingual (usia 0 - 1 tahun) Periode prelingual merupakan suatu periode yang ditandai dengan kemampuan bayi berkomunikasi dengan orang tuanya, dengan cara mengoceh. Bayi bersikap pasif dalam menerima stimulus eksternal dari orang tuanya dan merespon secara positif maupun negatif pada setiap stimulus yang berbeda. Pada tahap ini, anak mengalami vokalisasi awal yaitu
perilaku
mengeluarkan
suara
15
seperti
menangis,
berceloteh,
mengoceh, dan meniru kata-kata.Tahap ini, menurut Papalia (dalam Dariyo, 2007) disebut juga sebagai tahap pre-linguistic. a. Menangis Menangis merupakan cara seorang bayi berkomunikasi dengan lingkungan sekitarnya, serta berbahasa untuk menyampaikan pesan kebutuhan dasarnya pada saat merasa lapar dan haus. Menangis merupakan pesan awal seorang bayi menunjukkan dirinya pada saat ia terlahir ke dunia. Perilaku menangis merupakan perilaku yang mengandung pesan secara kompleks, oleh karena itu bayi menangis ketika ia menghadapi masalah dalam hidupnya misalnya ketika ia mengantuk,
terkejut,
sakit
atau mimpi
buruk.
Setiap
tangisan
mengandung arti yang berbeda tergantung konteks waktu dan pengalaman yang dirasakan oleh masing-masing bayi. b. Berceloteh Perilaku berceloteh (cooing behavior) merupakan perilaku yang ditandai dengan upaya untuk mengeluarkan suara-suara yang belum ada artinya oleh
bayi.
Perilaku
berceloteh
diataranya
berteriak
(sequeals),
mendenguk (gurgles), dan mengeluarkan kata-kata seperti kata “aaaa”. Bayi sudah mulai dapat bermain dengan menggunakan suara-suara sebagai respon terhadap kata-kata yang di dengarnya pada usia sekitar 3 bulan dan pada usia sekitar 3-6 bulan, bayi dapat mengeluarkan suara untuk menunjukkan ekspresi perasaan emosi positif dan negatif (perasaan bahagia, gembira, senang, sedih,marah, kesal dan lain-lain).
16
c. Mengoceh Mengoceh,
menurut
Marat
dalam
Dariyo
(2007),
merupakan
kemampuan untuk mengucapkan kata-kata kombinasi antara huruf vokal dan konsonan secara berulang yang terjadi pada usia anak 6-10 bulan, seperti ungkapan kata ba-ba-ba, ma-ma-ma, pa-pa-pa. Dengan mengoceh, bayi memfungsikan organ-organ tenggorokan, hidung, lidah, pernafasan
sebagai
persiapan
pembelajaran
perkembangan
bahasanya. Pada tahap berikutnya, mengoceh akan berkembang menjadi kata-kata yang memiliki arti dan dapat digunakan untuk berkomunikasi dengan orang lain. d. Meniru suara kata-kata Setelah melewati beberapa perilaku sebagai tanda berbahasa atau berkomunikasi,
bayi
akan
mengembangkan
kemampuan
untuk
mengingat stimulasi eksternal seperti tanda-tanda, kata-kata, kalimat, ungkapan, perasaan atau perilaku yang didengar, dilihat, dirasakan dari lingkungan. Bayi mampu mengungkapkan suara-suara bahasa awal yang erat hubungannya dengan figur terdekat baginya, yaitu orang tuanya. Pada umumnya, bayi lebih mampu mengungkapkan suara bahasa yang ringan dan mudah, yaitu konsonan “m” dibanding konsonan “p” atau “b”. Oleh karena itu, pada awalnya bayi mengungkapkan suara bahasa seperti ma-ma-ma-ma, kemudian pa-papa atau ba-ba-ba. Pada usia 5 hingga 6 bulan, dengan cara mendengar dan mengingat dalam otaknya, bayi dapat mempelajari suara-suara dasar. Dengan kemampuan yang sudah dimiliki bayi akan menjadikan hal ini sebagai modal untuk berinteraksi dengan orang tua maupun oranglain.
Dengan
kemampuan
17
yang
sudah
ada,
bayi
juga
mengembangkan kesadaran diri (self-awareness), kemampuan diri (self-competence), dan konsep diri (self-concept). Menurut penelitian di Jepang (Papalia dalam Dariyo, 2007), pada usia 9 hingga 10 bulan, anak-anak
terkadang
mengalami
kehilangan
kemampuan
untuk
membedakan suara dan kehilangan bagian dari bahasa yang pernah diucapkan, misalnya kata-kata “la” berubah menjadi “ra”. 2. Periode lingual dini (1 - 2,5 tahun) Periode lingual dini merupakan periode perkembangan bahasa yang ditandai dengan kemampuan anak dalam membuat kalimat satu hingga dua kata dalam suatu percakapan dengan orang lain. Periode lingual dini terdiri dari tiga tahap yaitu (a) Periode kalimat satu kata (holophrase), yaitu periode dimana kemampuan anak membuat kalimat yang hanya terdiri dari satu
kata
tetapi mempunyai
pengertian
menyeluruh
dalam
suatu
pembicaraan. Misalnya kata “ibu” yang memiliki arti “ibu tolong saya”, “ibu kesini”, “itu baju ibu”, dan lain-lain. (b) Periode kalimat dua kata, yaitu perkembangan bahasa anak yang ditandai dengan kemampuan anak dalam membuat dua kata sebagai ungkapan berkomunikasi dengan orang lain. Bahasa yang diucapkan adalah kalimat yang belum sempurna yaitu kalimat yang tidak berstruktur subjek-predikat-objek (S-P-O), misalnya anak mengatakan “kakak jatuh”, “papa sakit”, dan lain-lain. (c) Periode kalimat lebih dua kata (more word sentence), merupakan periode perkembangan bahasa yang sempurna, sesuai dengan struktur S-P-O dan mampu berkomunikasi secara aktif dengan orang lain. Pada umumnya, kalimat pertama yang diucapkan oleh seorang anak terdiri dari kata benda, kata kerja, dan kata sifat. Perpaduan dari kata-kata tersebut memiliki arti yang dapat dimengerti oleh lingkungan sosial anak.
18
Anak
mulai
mampu
belajar
menggunakan
aturan
kata-kata
yang
dipergunakan dalam kalimat, misalnya kata depan (di-, pada, atas, bawah), kata bilangan (sebuah, sebanyak), kata sambung (dan, tapi, karena) pada usia sekitar 20-30 bulan. Dengan kemampuan tersebut, anak mampu membuat kalimat-kalimat secara jelas. 3. Periode diferensiasi (2,5 - 5 tahun) Periode diferensiasi merupakan suatu periode yang ditandai dengan kemampuan anak dalam menguasai aturan tata bahasa yang baik, yaitu susunan bahasa yang terdiri dari subjek, predikat, dan objek.Ahli psikologi perkembangan seperti Berk, Harris dan Liebert, Turner dan Helms, dan Papalia (dalam Dariyo, 2007), menyebutkan terdapat tiga karakteristik perkembangan bahasa pada anak, yaitu sederhana, memahami hubungan gramatika (tata bahasa), dan memahami arti kata-kata.Perkembangan bahasa dengan karakteristik sederhana dijelaskan bahwa kata-kata yang diucapkan oleh anak bersifat sederhana, mudah dipahami, dan pendek. Kesederhanaan dipengaruhi
oleh
kalimat
struktur
kompleks.Perkembangan
yang
diucapkan
kematangan bahasa
oleh
kognitif
dengan
seorang
anak
yang
belum
anak
karakteristik
memahami
hubungan gramatika, dalam hal ini anak sudah memahami susunan tata bahasa namun belum mampu mengungkapkan dalam bentuk kalimat yang sempurna.Susunan tata bahasa yang digunakan anak untuk kalimat satu kata berpola subjek atau predikat atau objek saja.Namun, kata yang diucapkan oleh anak dapat dipahami oleh dirinya sendiri dan oranglain. Nisha
(2006)
mengungkapkan
tahapan
dapat
merepresentasikan
perkembangan bahasa yang anak-anak pada umumnya meskipun tidak semua anak mengikuti secara tepat tahapan tersebut. Tahapan tersebut adalah:
19
Tabel 2 - 2: Tahapan perkembangan bahasa anak berdasarkan usia
Usia Perkembangan bahasa anak
(dalam bulan) 6
Vokalisasi dengan intonasi, merespon jika dipanggil namanya, merespon kepada suara yang dikenali dengan memalingkan pandangan mata dan kepala ke arah suara tersebut, dapat memahami berbagai nada suara seperti suara senang, marah, terkejut, dan lainnya.
12
Menggunakan satu kata lebih yang telah mempunyai arti, mengerti instruksi sederhana yang diberikan secara lisan maupun isyarat.
18
Mempunyai kosa kata sebanyak 5 – 20 kata, kosakata umumnya terdiri dari kata benda
hasildari echolalia
(membeo), dapat mengikuti instruksi sederhana. 24
Mengetahui nama dari objek yang familiar dilihat, biasanya telah menggunakan dua preposisi (kata perangkai) seperti: in, on, under, telah mengkombinasikan kata menjadi kalimat pendek yang telah mempunyai arti dan 2 dari 3 anak mengatakannya dengan jelas, memiliki kosa kata sekitar 150 – 300 kata, volume dan nada suara belum terkontrol dengan baik, dapat menggunakan kata ganti (I, me, you, walaupun I dan me mengandung arti yang sama tetapi berbeda penggunaannya),
36
Dapat menggunakan kata jamak (bananas, cars, dolls) dan past tense (susunan kata yang menggambarkan masa
20
lampau), mengetahui bagian-bagian yang familiar dari badan dan dapat menunjuk ke bagian tersebut, menggunakan tiga kata yang dirangkai menjadi satu kalimat dan sekitar 90% anak dapat mengucapkannya dengan jelas, ucapan dengan verbs (kata kerja) menonjol, dapat mengerti pertanyaan sederhana mengenai aktivitas dan lingkungan sekitar yang familiar, mengaitkan pengalaman sebagai dalam menjawab seperti “apa yang kamu lakukan ketika haus, mengantuk atau lapar?”, dapat menjawab ketika ditanya nama, umur, jenis kelamin. 48
Mengenal nama binatang yang familiar, dapat menyebutkan nama objek yang terlihat di buku gambar atau majalah, dapat mengulang angka sebanyak empat angka ketika diberikan secara perlahan, mengenali satu atau lebih warna, dapat mengulangi empat suku kata, dapat membedakan pengertian lebih dan kurang, menggunakan banyak kata vokal, diftong (kerbau, koboi), dan konsonan seperti p, b, m, w, n dengan baik. Mengerti konsep secara lebih menyeluruh sewaktu pemahaman disampaikan melalui arahan sederhana Dapat mengerti instruksi meskipun tanpa penyertaan objek stimulus. Melakukan banyak pengulangan kata-kata, frase, dan suara.
Einon (2005) juga menjabarkan tahapan perkembangan bahasa anak yang senada dengan Nisha, yaitu: 1. Sampai umur 2 tahun
21
• Anak menguasai kosakata sekitar 50 kata dan mengerti beberapa ratus kata pada umur 2 tahun. Anak menggunakan kalimat yang terdiri atas dua kata pada umur 2 tahun dan bertambah menjadi tiga kata atau lebih pada umur 2,5 tahun. • Mulai menggunakan pronomina (aku, dia) dan preposisi (di atas, di dalam) dalam bahasa yang sederhana. Dapat mengucapkan beberapa kata tetapi akhiran masih belum digunakan seperti: “Aku pergi” yang mempunyai maksud “Aku ingin ikut pergi”, “Pergi mobil” yang mempunyai maksud “Apakah kita pergi menggunakan mobil?”. •
Mengekspresikan adanya kejadian berulang “mau permen lagi”; ketiadaan “susu habis”; penjelasan “mobil besar”; nomina “bola itu”; pelaku kegiatan “gigitan anjing”; objek kegiatan “anjing menggigit tulang”.
•
Mengerti petunjuk sederhana dan berbicara tentang apa yang telah dilakukan. Bila dibujuk anak akan member tahu apa yang ia inginkan.
• Tahu nama lengkapnya dan mungkin tempat tinggalnya. 2. Sampai umur 2,5 tahun • Anak belajar 50 kata baru tiap bulan dan memahami sekitar 1.000 kata pada umur 2,5 tahun. Berbicara dengan kalimat yang terdiri atas dua sampai tiga kata. • Dapat menyebutkan nama anggota keluarga dan binatang peliharaannya, serta tempat tinggalnya.
22
• Sering menggunakan promomina “Aku” dan “Punya aku” tetapi penggunaannya tidak selalu benar. Menggunakan kata “di dalam” dan “di atas”. • Dapat mengekspresikan perasaannya, bertanya arti sebuah kata dan apa sebutan benda tertentu. • Suka buku cerita dan dapat mengikuti bahasa dan cerita yang lebih rumit. 3. Sampai umur 3 tahun • Anak terus menambah kosa katanya sekitar 50 kata per bulan. • Menggunakan kalimat yang terdiri atas dua sampai empat kata, seringkali menggabungkan kalimat untuk mengutarakan ide-ide yang lebih kompleks. Anak mengatakan apa yang diinginkannya serta dapat menceritakan apa yang terjadi pada hari itu. •
Dapat menggunakan kalimat negatif seperti “Aku tidak suka sayur”, “Ini bukan punyamu”, dan “Bukan aku”.
• Menggunakan pertanyaan mengapa, apa, dimana secara terus menerus. Dapat menggunakan kalimat dengan tambahan kerja bantu seperti “Aku sedang berjalan”, “Aku memang suka mie”. 4. Sampai umur 3,5 tahun • Anak menguasai sekitar 1.250 kata dan terus menambah kosa katanya sekitar 50 kata tiap bulan. • Kalimatnya memiliki struktur yang lebih kompleks seperti “Kata ibu, aku bisa lari cepat”, “Aku tahu maksud kamu”. Anak juga dapat menceritakan dongeng sederhana.
23
• Terus bertanya mengapa, apa dan dimana tetapi masih kesulitan dalam menjawab pertanyaan tersebut. Anak dapat menggunakan kata “kalau” dan “karena”. 5. Sampai umur 4 – 5 tahun • Anak menguasai 1.800 kata dan terus menambah kosa katanya sekitar 50 kata per bulan. • Berbicara dengan kalimat yang terdiri dari empat sampai lima kata. Bahasa anak sudah lebih lancar dan kesalahan telah berkurang. • Mengerti tetapi mungkin tidak dapat menghasilkan kalimat kompleks seperti “Ia tahu bahwa Sam akan datang untuk makan siang”. • Menggunakan kata sambung “Aku suka kue tapi aku masih kenyang”, “Aku mau pergi ke toko dan membeli permen”. • Menceritakan dongeng pada boneka-bonekanya dan berpura-pura membacakan buku untuk mereka. Anak seringkali berbicara sambil bermain ataupun berbicara sendiri. 2.3.1 Pengaruh Terhadap Perkembangan Bahasa Awal 2.3.1.1 Faktor Neurologis Semasa bulan-bulan dan tahun-tahun awal pertumbuhan anak sangat erat dikaitkan dengan perkembangan bahasa karena adanya pertumbuhan dan penataan ulang. Pada tahun pertama celoteh berulang-ulang oleh bayi mungkin muncul dengan maturasi dari bagian korteks motorik yang mengendalikan gerakan wajah dan tenggorokan. Menurut Owen (dalam Papalia dkk, 2009), berkembang pada tahun kedua pada saat anak mulai berbicara, jalur saraf menhubungkan auditori dan aktivitas motorik menjadi matang. Wilayah yang
24
berkaitan dengan bahasa yang disebut dengan kortikal terus berkembang hingga kurang lebih masa pra sekolah berakhir atau bahkan sampai dewasa. Leteralisasi fungsi linguistik di otak ternyata terjadi pada awal masa hidup menurut Holowka & Petitto (2002). Menurut Nobre, Plunkett & Owen (dalam Papalia dkk, 2009) pada sekitar 98 persen orang, hemisfer kiri dominan untuk bahasa walaupun hemisfer kanan berpartisipasi dalam bicara orang dewasa. Otak bayi yang normal memiliki plastisitas yang memungkinkan berbagai fungsi ditransfer dari area yang satu ke area yang lain jika terjadi kerusakan. Menurut Mills, Cofley-Corina & Neville (dalam Papalia dkk, 2009) antara usia 13 sampai 20 bulan, periode yang ditandai dengan pertumbuhan kosakata secara pesat, bayi menunjukkan peningkatan lateralisasi dan lokalisasi pemahanman. Temuan ini menunjukkan bahwa penugasan fungsi bahasa pada struktur bahasa mungkin merupakan proses bertahap yang terkait dengan pengalaman verbal dan perkembangan kognitif (Nobre & Plunket dalam Papalia dkk, 2009). 2.3.1.2 Interaksi Sosial : Peran Orang tua dan Pengasuh Orang tua dan pengasuh memiliki andil yang sangat penting dalam tiap tahap perkembangan bahasa karena bahasa merupakan alat komunikasi sosial. Periode Pralinguistik. Menurut Hardy-Brown, Plomin & DeFries (dalam Papalia dkk, 2009) dalam tahap berceloteh, orang tua dan pengasuh mengulang-ulang suara bayi yang dapat mendorong perkembangan bicara anak yang utuh. Imitasi oleh orang tua terhadap suara bayi mempengaruhi kecepatan pembelajaran bahasa. Proses ini juga membantu bayi mengalami aspek sosial bicara, rasa bahwa percakapan mengandung ide, yang dimana pada umumnya bayi tangkap pada sekitar 7,5 hingga 8 bulan. Bahkan pada usia 4 bulan, bayi menunjukkan kepekaan terhadap struktur pertukaran sosial dengan orang dewasa ditengah permainan cilukba (Rochat, Querido & Striano dalam Papalia dkk, 2009).
25
Menurut Tamis-LeMonda, Bornstein & Baumwell (dalam Papalia dkk, 2009) pada penelitian longitudinal, tingkat respon ibu terhadap vokalisasi dan bermain anak usia 9 bulan sampai 13 bulan dapat dijadikan sebagai prediksi waktu loncatan bahasa, seperti kata dan kalimat lisan pertama. Dengan mendengarkan hal yang diucapkan oleh orang dewasa, bayi mempelajari bahasa dan mengembangkan kosa katanya. Orang tua dan pengasuh sering membantu bayi untuk mengulang bicara dan membantu bayi melafalkannya dengan benar. Menurut Dunham & Curwin (dalam Papalia dkk, 2009)
kosakata
bertambah
cepat
berkembang
ketika
orang
dewasa
menggunakan peluang yang tepat ketika mengajarkan kata baru kepada anak. Bila seorang anak mencari boneka dan ibunya berkata “ini boneka”, ia akan lebih ingat bila dibandingkan dengan saat ia bermain dengan sesuatu yang lain dan si ibu mencoba mengalihkan perhatiannya ke boneka tersebut. Bayi yang belum juga dapat berbicara ternyata dapat mempelajari kata yang baru dengan cara yang sama. Menurut Schafer (dalam Papalia, 2009) dalam sebuah eksperimen laboratorium, bayi yang berusia 9 bulan, yang oleh orang tuanya diajarkan nama-nama objek sederhana dirumah dengan berulangulang menunjuk pada gambar objek tersebutdan menyebut nama objek tersebut, diperlihatkan dua gambar sekaligus dimana salah satu objek, misalnya bola, adalah yang namanya telah diajarkan dan salah satunya lagi, misalnya mobil, belum diajarkan. Ketika secara verbal disigapkan dengan kata “Lihat itu!” maka bayi menunjukkan preferensi untuk melihat ke objek yang belum diajarkan. Namun ketika disigapkan untuk melihat objek yang disebutkan dengan nama yang lebih spesifik “Lihat bola!” atau “Mobil.. Mobil!” maka anak akan cenderung melihat kepada objek yang namanya sudah diajarkan. Menurut Hoff (dalam Papalia, 2009), ibu yang memiliki anak umur 2 tahun
26
yang memiliki status ekonomi lebih tinggi, cenderung menggunakan kosa kata yang lebih banyak dan ucapan yang lebih panjang cenderung memiliki kosakata lisan yang lebih banyak. Tetapi demikian, sensitivitas dan tingkat responsif terhadap tingkat perkembangan anak lebih berperan dibandingkan jumlah kata yang digunakan ibu mereka. 2.3.2 Bahasa Kedua Jika anak dibesarkan dalam lingkungan yang menggunakan lebih dari satu bahasa, anak tidak menemui kebingungan karena mereka dapat menggunakan berbagai elemen dari kedua bahasa tersebut dengan baik yang disebut dengan pencampuran kode (mixing code). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Petitto, Katerelos dkk; Petito & Kovelman (dalam Papalia dkk, 2009)bahwa anak tidak bingung terhadap kedua bahasa di lingkungan yang menggunakan lebih dari satu bahasa. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh De Houwer (dalam Baker, 2011 ) mempelajari anak usia 3 tahun yang menggunakan bahasa Belanda dan bahasa Inggris, menunjukkan bahwa anak dapat melakukan pemilihan bahasa yang tepat ketika berbicara dengan orang yang menggunakan hanya satu bahasa saja. Misalnya anak akan menggunakan bahasa Belanda dalam percakapan ketika ia bertemu dengan orang yang berbicara menggunakan bahasa Belanda saja. Kemampuan berpindah dari satu bahasa ke bahasa yang lain menurut Berk (2008) disebut dengan pertukaran kode (code switching). Melalui daycare dan preschool, anak dapat memperoleh bahasa kedua melalui instruksi informal dengan pemahaman dan arti daripada penekanan secara formal kepada bentuk bahasa itu sendiri. Menurut Baker (2011), tidak terdapat perbedaan pemerolehan bahasa kedua sejak bayi dan anak yang yang mempelajarinya melalui pendidikan informal seperti daycare atau preschool. Anak usia dini yang menggunakan lebih dari satu bahasa mempelajarinya secara
27
alami seperti ia belajar cara berjalan atau mengendarai sepeda. Hal ini terdapat dalam pernyataan Baker (2011) yang mengatakan bahwa: “In early childhood, becoming bilingual is often a subsconcious event, as natural learning to walk or to ride a bicycle”. Baker (2011) juga mengatakan bahwa dengan mempelajari bahasa lainbukan berarti bahasa ibu (native) menjadi hilang. 2.4 Daycare Menurut Departemen Pendidikan Nasional (dalam Amini, 2007), Tempat Penitipan
Anak
(daycare)
adalah
wahana
pendidikan
dan
pembinaan
kesejahteraan anak yang berfungsi sebagai pengganti keluarga untuk jangka waktu tertentu selama orang tuanya berhalangan atau tidak memiliki waktu yang cukup dalam mengasuh anaknya karena bekerja atau sebab lain. Keputusan Menteri Sosial RI Nomor 47/HUK/1993 (dalam Amini, 2007) batasan daycare ini dapat dilengkapi dengan pernyataan Menteri Sosial bahwa TPA (daycare) diperuntukkan bagi anak usia 3 bulan sampai memasuki pendidikan dasar. Lebih lanjut, pengasuhan dan pelayanan TPA perlu mengacu pada prinsip-prinsip yang mendasari KHA (Konvensi Hak-hak Anak) yaitu
bahwa
semua keputusan yang menyangkut kesehatan anak, kesejahteraan, harga diri, dan harus mempertimbangkan kepentingan yang paling baik bagi anak. Tercatat dalam konvesi tersebut bahwa anak memiliki beberapa hak yaitu hak untuk kelangsungan hidup, hak untuk tumbuh kembang, hak untuk memperoleh perlindungan, dan hak turut serta atau berpartisipasi. Selain itu, pelayananan anak di daycare perlu memiliki prinsip-prinsip: 1.
Pelayanan sosial bagi anak yang bertujuan untuk mewujudkan kesejahteraan anak, terutama terlindunginya hak-hak anak untuk tumbuh kembang dan kelangsungan hidupnya
28
2. Pelayanan sosial bagi anak dilaksanakan secara utuh, baik pada anak maupun pada orang tua 3. Pelayanan sosial bagi anak yang dititipkan tidak mengambil alih tanggung jawab orang tua terhadap tugaspembinaan kesejahteraan anak di dalam keluarga 4. Pelayanan sosial bagi anak berupa asuhan,rawatan, pendidikan dan bimbingan sosial mempengaruhi perkembangan anak selanjutnya, 5. Pelaksanaan kegiatan mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi pelayanan sosial, berdasarkan metode, pendekatan serta prinsipprisnsip pekerjaan sosial, dan profesi lainsebagai pendukung 2. Potensi anak tidak terbatas dan setiap anak adalah individu yang baik, sehingga
bermain
merupakan
wahana
dalam
mengembangkan
kemampuan dan kepribadian anak agar dapat belajar mandiri 7. Adanyaakses orang tua terhadap anak-anaknya yang beradadi TPA mendukung pengawasan, dukungan dan pemberian kasih sayang bagi anak 8. Pelayanan sosial kepada orang tua selalu berlandaskan pada upaya unyuk meningkatkan hubungan antara anak dan orang tua semakin serasi dan harmonis 9. Pelayanan sosial kepada masyarakat berupaya untuk meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya melindungi hak-hak anakdemi masa depan anak yang terbaik. Disamping itu menurut Direktorat Pembinaan Pendidikan Anak Usia Dini (2011), tujuan layanan program daycare adalah: 1.
Memberikan layanan kepada anak usia 0 – 6 tahun yang terpaksa ditinggal orang tua karena pekerjaan atau halangan lainnya.
29
2.
Memberikan layanan yang terkait dengan pemenuhan hak-hak anak untuk tumbuh dan berkembang, mendapatkan perlindungan dan kasih saying, serta hak untuk berpartisipasi dalam lingkungan sosialnya.
2.5 Preschool Preschool adalah lembaga dalam upaya membentuk individu menjadi lebih baik dalam perkembangannya. Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 27 Tahun 1990, pendidikan prasekolah (preschool) adalah pendidikan untuk membantu pertumbuhan dan perkembangan jasmani dan rohani anak didik diluar lingkungan keluarga sebelum memasuki pendidikan dasar, yang diselenggarakan di jalur pendidikan sekolah atau di jalur pendidikan luar sekolah. Lebih lanjut, pendidikan prasekolah (preschool) bertujuan untuk membantu meletakkan dasar ke arah perkembangan sikap, pengetahuan, ketrampilan,
dan daya
cipta
yang diperlukan oleh anak
didik
dalam
menyesuaikan diri dengan lingkungannya dan untuk pertumbuhan serta perkembangan sekalnjutnya. Anak usia prasekolah menurut Biechler dan Snow (dalam Patmonodewo, 2003) adalah anak sebelum memasuki usia sekolah dasar. Menurut Yusuf (2006) anak usia prasekolah adalah anak yang berusia sekitar 2 sampai 6 tahun yang sedang mengalami fase perkembangan individu dan biasanya anak disebut dengan usia Taman Kanak- Kanak (TK). Hal ini juga diperkuat oleh Gunarsa (2008) yang mengatakan bahwa anak preschool adalah anak yang memasuki masa kanak-kanak awal dengan usia terbentang antara 2 – 6 tahun. Masa ini diperinci lagi ke dalam dua masa: (1) masa vital, karena pada usia ini individu menggunakan fungsi biologisnya untuk menemukan berbagai hal dalam dunianya, dan (2) masa estetik karena pada masa ini dianggap sebagai masa
30
perkembangan rasa keindahan. Lebih lanjut, menurut Iswidharmajaya (2008), pendidikan akan lebih efektif apabila dimulai ketika seseorang masih berusia dini. Tetapi fenomena yang terjadi di Indonesia adalah orang tua biasanya menyekolahkan anaknya ketika anak berusia 5 tahun.Hal ini berdasarkan kesiapan anak secara fisik serta mental. Namun sebenarnya, usia 5 tahun ini dikatakan sebuah keterlambatan sebab justru di usia dini daya serap anak dalam menelaah pengetahuan justru dalam tingkat yang paling tinggi. Hal ini diperkuat oleh Tony (dalam Iswidharmajaya, 2008)bahwa ketika individu dilahirkkan adalah seorang jenius, bahkan dalam 2 tahun pertama ia memiliki daya serapnya melebihi seorang doktor di bidang apapun.Di Negara-negara maju seperti Amerika, seorang anak dikatakan mampu memulai program pendidikan ketika ia berusia 2 tahun. Pada era yang berkembang seperti sekarang ini, menurut Sudono, Tangyong, Vijaya, Hadis, Pangemanan, dkk (2009) telah terjadi perubahan dan perubahan tersebut disesuaikan dengan perubahan mendasar yaitu bahwa anak preschool masuk dalam usia dini sesuai dengan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional No.20 bab 1 pasal 3, yang menyatakan bahwa anak usia dini adalah anak dari lahir sampai 6 tahun yang harus mendapatkan layanan pendidikan dalam pengembangan jasmani dan psikologis. Hal utama yang harus selalu disadari adalah perubahan yang mengacu dan berorientasi pada kebutuhan dan sesuai perkembangan anak, serta bahwa bermain merupakan hal yang penting dalam pembelajaran anak. Dengan maraknya wahana preschool di Indonesia, berkembang juga berbagai macam metode dan cara pengajaran. Tujuan dari pendidikan dalam preschool berbeda-beda tergantung pada keputusan orang tua sang anak dengan melihat pada persepsi dan kepentingan masing-masing.Adapun
31
keberagaman tujuan tersebut tetapi tetap membantu anak untuk tumbuh dan berkembang pada usia dini. Hal ini juga sepaham dengan yang dikemukakan oleh Frobel (dalam Patmonodewo, 2003) bahwa: “Memandang pendidikan dapat membantu perkembangan anak secara wajar. Ia menggunakan taman sebagai suatu simbol dari pendidikan anak. Apabila anak mendapatkan pengasuhan yang tepat, maka seperti halnya tanaman muda atau binatang yang berkembang secara wajar dan mengikuti hukumnya sendiri. Pendidikan taman kanak-kanak perlu mengikuti sifat dari anak. Bermain dipandang sebagai suatu metode dari pendidikan dan cara dari anak untuk meniru kehidupan orang dewasa secara wajar”. 2.6 Royal Academy Dalam pengajarannya, Royal Academy menggunakan pendekatan yang lebih melibatkan proses bermain disertai praktek lapangan tetapi memiliki unsur edukasi didalamnya daripada proses belajar formal biasa. Hal ini tercermin dari program pengajarannya seperti kelas memasak, kelas berenang, kelas pidato dan drama, kelas paduan suara, kelas melukis, kelas menari Indonesia, dan kelas pembangunan karakter. Pada kelas memasak Royal Academy, anak didorong untuk berimajinasi, mengeksplor dan mengkreasikan apa yang ada di pikiran mereka. Selain mempunyai kebebasan untuk mencoba resep-resep masakan, anak dilengkapi dengan peralatan-peralatan dapur yang aman dan higienis, cara menyajikan makanan, teknik memasak dan memanggang, presentasi makanan, cara penyusunan meja, tata cara makan di meja serta pengetahuan dasar untuk memasak. Keuntungan yang ditawarkan kelas memasak Royal Academy adalah anak dapat mempelajari teknik dasar memasak, membangun rasa percaya diri dan mandiri, membantu mengembangkan kreativitas dan imajinasi, memperkuat
32
kerjasama dalam tim dan mempelajari tata cara saat berada di meja makan dan dapur. Dalam kelas berenang, mengajarkan anak untuk mengatasi rasa takut dan meningkatkan kemampuan dalam hal keselamatan diri. Selain itu, kelas berenang juga memiliki potensi untuk meningkatkan kecerdasan, konsentrasi, kewaspadaan diri, kemampuan perseptual, peningkatan terhadap kemampuan sosial serta fisik. Keuntungan mengikuti kelas berenang Royal Academy adalah mengatasi rasa takut ketika bermain dalam air, adanya latihan fisik untuk meningkatkan kekuatan paru-paru, jantung serta kekuatan anggota tubuh, membangun gaya hidup aktif dan sehat serta dapat meningkatkan pertumbuhan fisik terutama tinggi badan. Di kelas pidato dan drama, anak dapat belajar untuk mengekspresikan diri mereka secara bebas dengan mengeksplor kreativitas dan potensial yang mereka punya. Kelas ini memperkenalkan anak-anak pada drama, komedi dan teater melalui akting, debat dan memberikan pidato. Keuntungan yang ditawarkan dengan mengikuti kelas pidato dan drama Royal Academy adalah mempromosikan disiplin diri dan motivasi diri, membangun rasa percaya diri, kreativitas dan imajinasi, memperkuat bahasa musik dan kemampuan untuk berbicara di depan umum, membangun interaksi dengan orang baru dan menjalin pertemanan, mempelajari seni serta budaya dan memperlihatkan kerjasama tim serta membangun kemampuan untuk menyelesaikan masalah. Kelas paduan suara, sebagai salah satu tambahan dari kelas pidato dan drama mendorong anak untuk mempelajari cara bernyanyi yang berkualitas serta mempunyai pemahaman terhadap not balok. Kelas paduan suara mengajarkan anak untuk mempunyai kemampuan vokal yang kuat, kedisiplinan diri, tanggung
33
jawab serta memperkuat kepercayaan diri melalui pertunjukan. Kelas paduan suara Royal Academy juga mengajarkan macam-macam tipe lagu dari jenjang masa yang berbeda serta jenis lagu yang berbeda seperti pop hingga countries. Melalui kelas paduan suara ini, anak juga dapat mengembangkan kemampuan interpersonalnya. Teknik yang akan diajarkan kelas paduan suara Royal Academy adalah teknik bernyanyi yang baik dan benar, teknik bernafas, postur tubuh ketika bernyanyi serta cara membaca not balok. Keuntungan yang ditawarkan oleh kelas paduan suara Royal Academy adalah anak akan memiliki dasar yang baik dan harmoni dalam bermusik dan bernyanyi, memiliki rasa percaya diri dan disiplin, memiliki pengaturan emosi yang baik, mempelajari nilai dari kerjasama antar tim agar mencapai hasil yang memuaskan serta menjadi karakter yang memiliki ketekunan dan keteguhan. Pada kelas melukis, anak diberikan kesempatan untuk mengeksplor potensi diri yang ada di dalam diri mereka dan kreativitas mereka dengan adanya pencampuran dari seni, desain, bentuk dan warna. Kelas melukis Royal Academy menyediakan aktivitas yang dapat mengembangkan imajinasi anak, teknik artistik anak, adanya pemahaman mengenai seni, pengembangan kognitif dan juga bahasa. Keuntungan yang ditawarkan kelas melukis Royal Academy adalah
memperluas
kreativitas
dan
imajinasi
anak,
mengembangkan
kemampuan spasial dan kemampuan motorik, mengembangkan kesadaran sensori dan mengembangkan kepercayaan diri. Sebagai Negara yang kaya akan budaya, anak juga diperkenalkan pada kelas menari Indonesia. Dalam kelas menari Indonesia anak akan belajar berbagai macam budaya Indonesia yang merepresentasikan keunikan dari masing-masing suku budaya seperti tari Jaipong dari Jawa Barat, Tari Saman dari Aceh, Tari Piring dari Sumatra Barat, Tari Kipas dari Sulawesi Selatan, dan
34
tari Legong dari Bali. Dengan mempelajari berbagai macam tarian dari budaya Indonesia,
anak
dapat
belajar
menghargai
Indonesia
dan
budayanya.
Keuntungan yang ditawarkan kelas menari Indonesia ini adalah anak menjadi sadar dan familiar dengan keunikan budaya Indonesia, membangun apresiasi dan mengembangkan nilai-nilai patriotik terhadap Indonesia, melatih kebugaran fisik dan fleksibilitas tubuh, mengembangkan atensi, memori kerjasama tim serta kepercayaan diri anak Kelas pembangunan karakter mengajarkan anak moral serta adanya kesadaran diri karena tidak cukup jika hanya mempunyai kemampuan intelektual baik tetapi tidak diiringi dengan karakter yang baik. Dengan mengikuti kelas ini, anak dapat mempelajari, menghargai dan menerapkan hubungan intrapersonal, interpersonal dan mempunyai sikap sebagai individu yang menghargai orang lain. Keuntungan yang ditawarkan dalam kelas pembangunan karakter Royal Academy adalah mengajarkan anak untuk bertanggung jawab secara moral dan menjadi warga Negara yang disiplin, membangun standar diri anak yang mempunyai moral, membangun pemahaman anak mengenai penerapan nilai di dalam kehidupan mereka seperti menghargai uang, mempunyai rasa hormat, mempunyai sifat kedermawanan dan keberanian yang bertanggungjawab serta mengedukasi anak untuk mempraktekkan kasih sayang dan kepercayaan terhadap orang lain. Bermain merupakan kesenangan anak-anak dan bermain tidak dapat dipisahkan anak-anak. Bermain menurut Sudono (2006) adalah suatu kegiatan yang dilakukan dengan atau tanpa mempergunakan alat yang menghasilkan pengertian atau memberikan imajinasi pada anak.Menurut Montessori (dalam Sudono, 2006) ketika anak bermain, ia akan mempelajari dan menyerap segala sesuatu yang terjadi di lingkungan sekitarnya. Hal ini juga didukung dengan
35
banyaknya jenis kegiatan bermain akan membawa manfaat yang berbeda jika dilakukan dengan seimbang. Anak dapat belajar banyak dari bermain, seperti contoh ketika anak bermain dengan permainan kata-kata dimana anak mengucapkan kata-kata merupakan suatu kegiatan melatih otot organ bicara sehingga di kemudian hari pengucapan kata-kata menjadi lebih sempurna. Proses ini tentu akan berbeda dengan penerapan proses belajar formal karena proses belajar normal merupakan proses yang membosankan bagi anak-anak dan anak-anak umumnya lebih tertarik dengan permainan. Ketika seorang anak bermain maka ia mendapatkan kesempatan untuk mempelajari dan menyerap apa yang terjadi di lingkungannya. Bermain juga membawa dampak positif bagi anak terutama dalam perkembangan bahasa. Seperti teori modern yang diungkapkan oleh Bateson (dalam Tedjasaputra, 2001), bermain dapat memajukan kemampuan untuk memahami berbagai tingkatan makna. Bermain penting untuk kehidupan manusia karena dapat menunjang potensi adaptif dalam pengertian yang luas. Nelson & Bloom (dalam Tedjasaputra, 2001) melalui penelitian di bidang neurologi
menunjukkan
bahwa
potensi
adapted
ini
terbentuk
dalam
perkembangan otak manusia yang berlangsung pada masa dini. Lebih lanjut Smith (dalam Tedjasaputra, 2001) mengatakan bahwa mulai usia 10 bulan sampai 10 tahun jumlah koneksi sinaps mengalami penurunan dari 1000 triliyun menjadi 500 triliyun. Ini menandakan bahwa otak berada dalam tahap potensial yang tinggi, demikian juga halnya dengan bermain. Sehingga fungsi bermain pada anak usia dini dapat membantu aktualiasai potensi otak karena menyimpan lebih banyak variabilitas yang secara potensial sudah ada di dalam otak.
36
2.7 Kerangka Berpikir Adanya efek gadget jika digunakan berlebihan yang dapat mengganggu perkembangan bahasa anak serta alasan keamanan anak jika bermain diluar rumah menimbulkan kekhawatiran orang tua. Oleh karena itu hadir daycare dan preschool terutama Royal Academy yang mempunyai program edukasi dengan pendekatan bermain sehingga anak tetap dapat bermain dan mempunyai interaksi sosial sehingga dapat meningkatkan kemampuan berbahasa tanpa ada rasa cemas akan keamanan anak. Menurut Suhartono (2005), bahasa digunakan sebagai alat komunikasi dan merupakan sarana utama untuk berpikir serta bernalar. Tetapi aktivitas dan perbedaan jam kehadiran yang fleksibel pada daycare berbeda dengan preschool yang memiliki aktivitas dan jam kehadiran yang rutin. Oleh karena itu peneliti ingin melihat apakah terdapat perbedaan persepsi kemampuan berbahasa anak di daycare dengan di preschool Royal Academy, sehingga kerangka berpikir dapat dilihat sebagai berikut:
Ada kekhawatiran orang tua akan efek gadget yang berlebihan serta keamanan anak bermain diluar rumah
Daycare dan preschool Royal Academy hadir dengan program edukasi dengan pendekatan bermain
Kegiatan-kegiatan tersebut melibatkan bahasa sebagai alat komunikasi.
Daycare mempunyai jam dan aktivitas fleksibel
Preschool mempunyai jam kehadiran dan aktivitas rutin
37
Apakah terdapat perbedaan persepsi kemampuan berbahasa di Royal Academy?