9
BAB 2 Tinjauan Pustaka
2.1 Kesehatan Jiwa Kesehatan Jiwa mahasiswa menjadi fenomena yang menarik untuk peneliti, karena telah menjadi bagian masalah kesehatan masyarakat (public health) yang dihadapi semua negara. Salah satu pemicu terjadinya berbagai masalah dalam kesehatan jiwa adalah dampak modernisasi dimana tidak semua orang siap untuk menghadapi cepatnya perubahan dan kemajuan teknologi baru (Anna, 2011).
Kesehatan jiwa merupakan sesuatu yang dibutuhkan oleh semua orang, mempunyai perasaan sehat dan bahagia serta mampu menghadapi tantangan hidup, dapat menerima orang lain sebagaimana adanya dan mempunyai sikap positif terhadap diri sendiri dan orang lain (Sumiati, 2009).
Gangguan jiwa tidak menyebabkan kematian secara langsung namun akan menyebabkan penderitanya menjadi tidak produktif dan menimbulkan beban bagi keluarga penderita dan lingkungan masyarakat sekitarnya, Dalam UU No.23 tahun 1992 tentang kesehatan, pasal (4) disebutkan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan yang optimal. Definisi sehat menurut kesehatan dunia (WHO) adalah suatu keadaan sejahtera yang meliputi fisik, mental dan sosial yang tidak hanya bebas dari penyakit atau kecacatan. Maka secara analogi kesehatan jiwa pun bukan hanya sekedar bebas dari gangguan tetapi lebih kepada perasan sehat, sejahtera dan bahagia ( well being ), ada keserasian antara pikiran, perasaan, perilaku, dapat merasakan
10
kebahagiaan dalam sebagian besar kehidupannya serta mampu mengatasi tantangan hidup sehari-hari (Prianto,2007). Faktor yang juga mempengaruhi kesehatan jiwa yaitu rasa cemas dan kesepian. keunikan di antara segala pengalaman, yaitu bahwa pengalamanpengalaman ini sungguh-sungguh tidak diinginkan dan diharapkan. Karena rasa cemas begitu menyakitkan, manusia memiliki kecendrungan secara alamiah untuk
menghindarinya,
secara
inheren
menyukai
kondisi
euforia,atau
penghilangan tegang secara total (Sullivan,1954). Ciri-ciri orang yang sehat jiwa nya adalah sikap positif terhadap diri sendiri, tumbuh kembang dan aktualisasi diri, integrasi (keseimbangan keutuhan), otonomi, persepsi realitas, dan penguasaan lingkungan (Stuart & Laraia, 2005). Federasi Dunia untuk Kesehatan Jiwa tahun 2011 mencanangkan seruan untuk mendorong investasi di bidang kesehatan jiwa. Di Indonesia, masalah gangguan kesehatan jiwa berupa gangguan kecemasan dan depresi pada orang dewasa secara nasional mencapai 11,6 persen. Investasi di bidang kesehatan jiwa diperlukan untuk menekan prevalensi.
”Populasi orang dewasa mencapai sekitar 150 juta. Dengan demikian ada 1.740.000 orang di Indonesia yang mengalami gangguan mental emosional,” kata Direktur Jenderal Bina Upaya Kesehatan Kementerian Kesehatan Supriyantoro, Rabu (28/9), pada seminar dalam rangka Hari Kesehatan Jiwa Sedunia di Jakarta. (Anna, 2011)
Menurut Supriyantoro, berinvestasi sumber daya manusia di antaranya dimaknai dengan kegiatan prevensi dan promosi kesehatan jiwa bagi kelompok
11
remaja untuk beradaptasi terhadap tekanan dan konflik yang berlangsung seharihari. Tantangan yang harus dihadapi, antara lain, faktor ekonomi dan disfungsi komunikasi di tengah keluarga yang makin meningkatkan masalah psikososial (Kompas, 2011). 2.2 Pemanfaatan Ruang Terbuka Publik
Ruang terbuka publik adalah ruang tidak terbangun dalam kota yang berfungsi untuk meningkatkan kualitas estetika, lingkungan, dan kesejahteraan warganya. Stephen Carr dalam bukunya Public Space, menyatakan bahwa ruang terbuka publik harus responsif, demokratis dan bermakna. Responsif artinya ruang terbuka publik harus dapat digunakan untuk berbagai kegiatan dan kepentingan luas. Demokratis berarti ruang terbuka publik seharusnya dapat digunakan oleh masyarakat umum dari berbagai latar belakang sosial, ekonomi dan budaya serta aksesibel bagi penyandang cacat tubuh, lanjut usia dan berbagai kondisi fisik manusia. Sedangkan bermakna berarti ruang terbuka publik harus memiliki tautan dengan manusia, dunia luas, dan konteks sosial. Perkembangan kota yang pesat, menyebabkan banyak masalah, salah satu diantaranya adalah terjadinya perubahan fungsi lahan. Kebiasaan yang sering dilakukan oleh Pemerintah kota dan pihak swasta adalah merubah fungsi ruang terbuka hijau menjadi ruang terbangun. Dampak dari kesemuanya itu adalah hilangnya fasilitas umum yang bisa menjadi ajang untuk bersosialisasi antar sesama (Carr, 1992).
Ruang terbuka membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat atau meningkatkan kohesi, dan tata ruang terbuka publik mampu menjadi lebih dari sekedar tempat untuk rekreasi: mengintegrasikan infrastruktur hijau ke dalam
12
infrastruktur masyarakat yang dibangun dan akan menghasilkan manfaat lingkungan yang kuantitatif (Braza, 2003).
Berkurangnya ruang terbuka publik ini tidak saja merupakan persoalan pakar lingkungan, tetapi menjadi beban psikologis masyarakat kota akan kebutuhan ruang sebagai aktualisasi diri (Sukawi, 2007).
Stephen Carr, dkk (1992) melihat ruang terbuka publik sebagai ruang milik bersama, tempat masyarakat melakukan aktivitas fungsional dan ritualnya dalam suatu ikatan komunitas, baik kehidupan sehari-hari maupun dalam perayaan berkala yang telah ditetapkan sebagai sesuatu yang terbuka, tempat masyarakat melakukan aktivitas pribadi dan kelompok. Pengertian-pengertian mengenai ruang terbuka publik yang dikemukakan oleh para ahli perencanaan kota sangat beragam.
Beberapa pengertian ruang terbuka publik tersebut, adalah: 1.
Ruang terbuka publik adalah lahan tidak terbangun di dalam kota dengan
penggunaan
tertentu.
Pertama,
ruang
terbuka
kota
didefinisikan sebagai bagian dari lahan kota yang tidak ditempati oleh bangunan dan hanya dapat dirasakan keberadaanya jika sebagian atau seluruh lahannya dikelilingi pagar. Selanjutnya ruang terbuka didefinisikan sebagai lahan dengan penggunaan spesifik yang fungsi atau kalitas terlihat dari komposisinya (Rapuano, 1964). 2.
Ruang terbuka publik merupakan ruang wadah aktivitas sosial yang melayani dan juga mempengaruhi kehidupan masyarakat kota. Ruang terbuka juga merupakan wadah dari kegiatan fungsional maupun
aktivitas
ritual
yang
mempertemukan
sekelompok
13
masyarakat dalam rutinitas normal kehidupan sehari-hari maupun dalam kegiatan periodik (Carr,1992). 3.
Ruang terbuka publik merupakan elemen vital dalam sebuah ruang kota karena keberadaannya di kawasan yang berintensitas kegiatan tinggi. Sebagai lahan
tidak terbangun, ruang
terbuka biasanya
berada di lokasi strategis dan banyak dilalui orang (Nazarudin, 1994). 2.3 Kohesi Sosial
Kohesivitas adalah sebuah kesatuan kelompok. Banyak teori-teori yang menjelaskan hal tersebut sebagai “belongingness” atau “we-ness”, yang merupakan esensi dari kohesivitas kelompok. Anggota-anggota dalam kelompok yang kohesif memberikan rasa kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar bahwa terdapat persamaan antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif—dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi – akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat, dalam menghadapi masalahmasalah
sosial
maupun
interpersonal.
Kohesivitas
merupakan
sebuah
ketertarikan. Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal (Lott & Lott, 1965). Menurut Mitchell (1994) ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu: 1. komitmen individu untuk norma dan nilai umum, 2. kesalingtergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan 3. individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu.
14
Istilah kohesi sosial digunakan untuk menggambarkan proses yang lebih dari kondisi atau keadaan akhir, itu dipandang sebagai rasa yang melibatkan komitmen, dan keinginan atau kemampuan untuk hidup bersama dalam harmoni. (Jensen, 1998).
2.4 Kerangka Berpikir
Kesehatan jiwa mahasiswa di Jakarta tidak terlepas dari faktor lingkungan yang ada, berbagai faktor yang terjadi menyebabkan seseorang bertindak di luar akal sehat manusia. Faktor sosialisasi dan komunikasi berperan penting terhadap perkembangan jiwa seseorang. Seperti yang ada dalam teori Sullivan, faktor kecemasan juga berdampak pada kesehatan jiwa. Tidak adanya kesempatan untuk berbagi ataupun bercerita membuat seseorang memiliki tingkat kecemasan dan merasa kesepian. Sehingga hanya memilih jalan pintas untuk menyelesaikan masalah nya tanpa berpikir panjang.
Kesehatan jiwa mengacu pada kesejahteraan psikologis seseorang, termasuk kondisi mental positif seperti puas dengan kehidupan, kebahagiaan, atau bebas dari stres. Kesehatan jiwa juga mencangkup keadaan psikologis yang buruk seperti stres, merasa cemas, ketakutan, bosan atau tidak senang. Dan pada akhirnya kesehatan jiwa dapat mencangkup penyakit mental seperti depresi berat atau bahkan menjadi pecandu alkohol (O’Campo et al, 2009).
Faktor ketidakperdulian antar
sesama,
tidak memiliki rasa
ikatan
antarpersonal, dan kecanggihan teknologi menjadikan lingkungan bersosialisasi tidak efektif, dan menimbulkan banyak masalah di kehidupan sehari-hari.
15
Banyak hal-hal yang bisa individu lakukan untuk menjaga kesehatan jiwanya, diantaranya adalah membiasakan diri untuk berpikir positif. Dalam mensikapi perubahan perubahan yang terjadi dalam hidup ini, jangan hanya melihat dari sisi negatif, lihat pula positif atau sisi baiknya. Untuk itu lakukan penyesuaian diri pada setiap perubahan yang terjadi dengan sikap positive thinking. Kemudian agar jiwa tetap sehat, individu perlu melakukan rehat diselasela pekerjaanya. Hal ini perlu untuk menghindari ketegangan sehingga pikiran dan jiwa kita tetap pada kondisi normal dan sehat (Renata, 2010).
Kohesi sosial memiliki hubungan dengan pemanfaatan ruang terbuka publik. Ruang terbuka publik kini jarang digunakan lagi untuk ajang berkumpul para mahasiswa. Padahal, ruang terbuka publik adalah simpul dan sarana komunikasi pengikat sosial untuk menciptakan interaksi antar kelompok masyarakat (Carr, 1992). Sedangkan saat ini mahasiswa lebih memilih mall dan sebagainya untuk menghabiskan waktu senggang. Dikarenakan fasilitas yang ada di arena ruang terbuka publik kebanyakan tidak senyaman seperti yang diharapkan. Sehingga, keengganan untuk mengunjungi ruang terbuka publik pun semakin menjadi.
16
Gambar 2.1 Bagan Kerangka Berpikir
Ruang Terbuka Publik
Kohesi Sosial
Kesehatan Jiwa
≠ Sumber: Diolah Oleh Penulis
Dalam
bagan
ini
digambarkan
bahwa,
seseorang
yang
dapat
memanfaatkan ruang terbuka publik dengan baik dan optimal kemudian bisa mengalami kohesi sosial sebagai hasil interaksi sosial pada saat memanfaatkan ruang terbuka publik tersebut maka dapat memiliki kesehatan jiwa yang baik. Karena, interaksi yang terjadi pada saat memanfaatkan ruang terbuka publik antara sesama warga kota dapat membantu meningkatkan kepercayaan masyarakat, meningkatkan kerekatan atau kohesi, dan tata ruang terbuka publik mampu menjadi lebih bermanfaat dari sekedar tempat untuk rekreasi. Sedangkan jika pada saat memanfaatkan ruang terbuka publik tidak mengalami atau tidak terjalin kohesi sosial dalam hal ini adalah interaksi sosial secara langsung dengan warga kota lainnya maka pemanfaatan ruang terbuka publik sama sekali tidak dapat menjelaskan kesehatan jiwa seseorang.