2. TINJAUAN PUSTAKA 2.1.
Sensor Sensor adalah perangkat yang mengubah fenomena fisik menjadi sinyal
elektronik. Sensor menerima rangsangan dan meresponnya dengan perubahan sinyal listrik dan merupakan jembatan antara dunia sebenarnya dengan perangkat elektronik (Sarwono, et al, 1992). Sensor merupakan bagian dari satu sistem yang lebih besar yang memiliki rangkaian pengondisi sinyal dan bermacam-macam pemrosesan sinyal analog atau digital. Setiap sensor memiliki karakteristik tertentu. Karakter ini menentukan baik buruknya sebuah sensor pada aplikasi tertentu. Karakter ini pula menentukan rangkaian yang digunakan sebagai penyangga sensor. Beberapa karakter penting diantaranya (Carr, 1993): 1. Transfer Function Transfer Function merupakan hubungan fungsi antara sinyal masukan fisik dan sinyal keluaran elektris. Biasanya, hubungan ini digambarkan sebagai grafik antara sinyal masukan dan keluaran. 2. Sensitivitas Sensitivitas merupakan rasio antara perubahan kecil dalam sinyal elektris terhadap perubahan kecil pada sinyal fisik dan dapat diekspresikan sebagai fungsi turunan Transfer Function terhadap sinyal fisik. Satuan yang biasa digunakan adalah volt/Kelvin, milivolt/kilopascal. Contoh, sebuah termometer akan memiliki sensitivitas tinggi apabila perubahan suhu kecil di lingkungan akan mengakibatkan perubahan tegangan yang
3
4
tinggi. Karena perubahan tegangan yang signifikan memudahkan pengamatan terhadap sinyal elektris. 3. Span atau Dynamic Range Rentang masukan sinyal fisik yang bisa dikonversi ke dalam bentuk sinyal elektris. Sinyal fisik diluar rentang ini diperkirakan memiliki akurasi yang sangat rendah. Satuan yang digunakan antara lain kelvin, pascal, newton. 4. Accuracy atau Uncertainty Merupakan perkiraan kesalahan terbesar antara sinyal keluaran sebenarnya dan sinyal keluaran ideal. Accuracy merupakan istilah kualitatif, berbeda dengan uncertainty yang bersifat kuantitatif. Contoh, sebuah sensor memiliki akurasi yang lebih tinggi ketika uncertainty sebesar 1% dibandingkan dengan uncertainty 3%. 5. Hysteresis Beberapa sensor tidak kembali ke nilai semula ketika terjadi rangsangan naik atau turun. Besarnya kesalahan yang diperkirakan dalam kuantitas yang diukur merupakan Hysteresis 6. Nonlinearity Terkadang juga disebut linearity, merupakan penyimpangan maksimum dari Transfer Function linear terhadap Dynamic Range. 7. Noise Beberapa sensor menghasilkan noise bersamaan dengan sinyal keluaran. Beberapa kasus menunjukkan noise pada sensor lebih kecil dibandingkan dengan noise pada rangkaian elektronik selanjutnya.
5
2.2.
Sensor Infrared Sensor infrared merupakan sensor yang mampu menghasilkan gelombang
infrared sebagai detektor yang akan direspon dari objek. Menurut Sarwono et al. (1992) berdasarkan panjang gelombangnya Infrared dibagi kedalam 3 jenis yaitu : 1.
Infrared jarak dekat Infrared Jarak dekat merupakan infrared yang bekerja pada panjang gelombang 0.75 µm – 1.5 µm atau lebih dikenal dengan Near-Infrared (NIR).
2.
Infrared jarak menengah Infrared jarak menengah merupakan infrared yang bekerja pada panjang gelombang 1.5 µm – 10 µm.
3.
Infrared jarak jauh Infrared jarak jauh merupakan infrared yang bekerja pada panjang gelombang 10 µm – 100 µm. Boknæs et al. (2002) melakukan pendugaan kesegaran cairan dan fillet
ikan cod dingin dengan mengukur nilai spectrometer dari gelombang pendek infrared (Near Infrared (NIR)). Pengujian NIR dilakukan dengan menggunakan panjang gelombang spectrum 1,000 - 2,222 nm. Uddin et al. (2002) mengaplikasikan NIR panas tubuh ikan dengan menggunakan nilai spectrum 1100 - 2500 nm dan pada tahun 2005 melakukan pengujian kesegaran pada kamboko gel dengan menggunakan NIR. Sivertsen et al. (2010) melakukan pengukuran kesegaran ikan cod (Gadus morhua) menggunakan NIR dengan panjang gelombang 400-2500 nm dan resolusi spectral 0,5 nm dimana rancangan alat yang digunakan dapat dilihat pada Gambar 1.
6
Gambar 1. Interactance setup for online measurements. (Sivertsen et al, 2010) Sensor suhu merupakan sensor yang mendeteksi rangsangan suhu dan merubahnya menjadi sinyal listrik. Ada enam gejala fisik benda yang dapat digunakan sebagai dasar dalam pengukuran suhu, yaitu: pemuaian zat cair, padat, ataupun gas; perubahan tahanan listrik; perubahan dalam gaya gerak listrik; pancaran gelombang elektromagnetik dari permukaan suatu benda; perubahan frekuensi dari permukaan suatu benda; perubahan frekuensi dari permukaan suatu benda dan kecepatan reaksi kimia (Griffiths, 1976). Sensor suhu merupakan alat yang berfungsi untuk mengindera perubahan suhu lingkungan suatu zat tertentu (padat, cair, gas). Sensor suhu yang baik adalah sensor yang memiliki respon yang peka terhadap perubahan suhu sekecil mungkin. Sensor suhu yang digunakan pada penelitian ini adalah sensor suhu digital jenis DS1820 (Gambar 2). Sensor suhu ini mampu mendeteksi suhu dengan kisaran -55 - 125 oC. Tingkat akurasi sensor suhu ini adalah ± 0.5 oC pada kisaran -10 - 85 oC. Kecepatan pembacaan data maksimal 750 ms (DS1820, 2010).
7
Gambar 2. Konfigurasi Pin DS1820 (DS1820, 2010) 2.2.
Catu Daya Setiap perangkat elektronik memerlukan sumber tenaga untuk bekerja.
Sumber tenaga terdiri dari dua jenis yaitu tegangan searah (DC) dan tegangan bolak-balik (AC). Setiap komponen elektronika umumnya membutuhkan sumber tenaga dari tegangan searah (DC). Pada tegangan AC untuk mendapatkan tegangan DC diperlukan converter disebut konverer AC/DC. Tegangan DC sudah memiliki tegangan yang sesuai dengan komponen akan tetapi masih memerlukan penyesuaian besarnya kebutuhan tegangan sehingga masih dibutuhkan konverter yang disebut konverter DC/DC. Sistem yang dirancang bersifat portable sehingga sumber yang digunakan adalah tegangan searah (DC). Salah satu sumber DC yaitu baterai yang akan digunakan dengan sistem konverter DC/DC. 2.3.
Baterai Baterai merupakan alat yang mengonversi energi kimia dalam bahan aktif
yang terkandung didalamnya langsung menjadi energi listrik melalui reaksi reduksi oksidasi (Linden, 2002). Reaksi oksidasi ( redoks) adalah proses
8
berkurangnya bilangan oksidasi (reduksi) suatu zat dan terjadi penambahan bilangan oksidasi pada zat lainnya (Park, 1988). Terdapat dua jenis baterai yaitu baterai primer dan baterai sekunder. Baterai primer adalah baterai yang tidak dapat secara efektif diisi ulang. Baterai tipe ini hanya bisa dipakai sekali. Kelebihan baterai ini adalah murah, biasanya ringan, memiliki waktu penyimpanan yang lama, kepadatan energi yang cukup baik, serta tidak perlu perawatan. Baterai sekunder adalah baterai yang energinya bisa diisi ulang kekondisi semula. Cara pengisiannya adalah dengan mengalirkan arus berbalik arah terhadap arus ketika penghabisannya. Terdapat dua aplikasi utama baterai sekunder. Pertama adalah sebagai penyimpan energi, dihubungkan dengan alat elektronik dan diisi menggunakan sumber energi utama. Kedua adalah baterai sekunder yang digunakan sebagai sumber utama pada sebuah alat. Lalu diisi ulang ketika energinya habis. 2.4.
Mikrokontroler Mikrokontroler adalah rangkaian elektronik atau chip yang sangat
terintegrasi untuk membuat sebuah alat kontrol. Biasanya terdiri dari CPU (Central Processing Unit), RAM (Random Access Memory), sebagian bentuk ROM (Read Only Memory), IO (Input/Output) port, dan timers. Bagian-bagian utama dari mikrokontroler antara lain : 1.
CPU Merupakan jantung utama dari mikrokontroler. Bagian ini mengambil instruksi di memori program, mengolahnya, lalu mengeksekusi perintah tersebut. CPU itu sendiri terdiri dari registers, arithmetic logic unit (ALU), instruction decoder, dan sirkuit kontrol.
9
2.
Memori Program Tempat menyimpan perintah-perintah yang berbentuk program. Untuk mengakomodasi program berukuran besar, memori program dapat dipartisi menjadi memori program internal dan memori program eksternal pada beberapa jenis mikrokontroler. Memori program biasanya bersifat nonvolatile dan berupa tipe EEPROM, Flash, Mask ROM atau OTP (one-time programmable).
3.
RAM Digunakan oleh mikrokontroler untuk menyimpan data. CPU menggunakan RAM untuk menyimpan variabel yang disusun bertumpuk (stack). Stack tersebut digunakan CPU untuk menyimpan alamat kembali suatu perintah setelah melewati sub rutin atau panggilan interrupt.
4.
Pembangkit Clock Mikrokontroler mengeksekusi program dari memori program berdasarkan kecepatan tertentu. Kecepatan ini ditentukan oleh frekuensi dari pembangkit clock. Pembangkit clock bisa berupa rangkaian internal RC-oscillator atau sebuah pembangkit eksternal seperti kristal quartz, sirkuit resonansi LC, atau bahkan sebuah sirkuit RC. Ketika mikrokontroler diberikan tegangan, oscillator langsung beroperasi.
5.
Port Serial Merupakan port yang digunakan mikrokontroler untuk berkomunikasi dengan perangkat eksternal lain dengan hubungan serial. Port ini dapat dioperasikan pada kecepatan transfer data tertentu. Ada dua jenis serial port, synchronous dan asynchronous. Data synchronous memerlukan sinyal clock dalam setiap
10
bit sebagai informasi waktu, sedangkan asynchronous tidak memerlukan sinyal clock. 6.
Port I/O Digital Port yang digunakan untuk berkomunikasi dengan perangkat luar lain. Berbeda dengan port serial yang mentransfer data 1 bit dalam waktu tertentu, data dalam port I/O digital ditransfer sebagai byte secara paralel. Akan tetapi, secara software bisa diemulasikan untuk menerima data serial.
7.
Port I/O Analog Masukan sinyal analog dilakukan melalui ADC (analog-to-digital converter) sehingga menjadi sinyal digital yang dapat diproses di mikrokontroler. Contoh aplikasi ADC adalah untuk mendapatkan nilai dari sensor suhu, tekanan, cahaya, dsb. Perubahan tegangan yang dihasilkan sensor tersebut akan dibaca oleh ADC. Keluaran sinyal analog dilakukan dengan melalui digital-to-analog converter (DAC). Biasanya DAC digunakan untuk melakukan kontrol terhadap motor, menghasilkan suara, dsb.
2.5.
Kesegaran Ikan Kesegaran ikan merupakan keadaan dari saat ikan mati hingga memasuki
tahapan penurunan mutu ikan. Secara umum penurunan mutu ikan terdiri dari empat tahap yaitu hiperaemia (pre-rigor), rigor mortis, autolisa dan penyerangan bakteri. Kemunduran mutu ikan setiap fase bergantung terhadap waktu dan jenis ikan. Tingkatan kesegaran ikan adalah tolak ukur untuk membedakan ikan yang bermutu baik dan buruk. Ikan dikatakan masih segar jika perubahan-perubahan biokimia, mikrobiologi dan fisika yang terjadi belum menyebabkan perubahan
11
sifat-sifat ikan pada waktu masih hidup. Menurut Hadiwiyoto (1993) kesegaran ikan dapat digolongkan menjadi 4 kelas mutu, yaitu : 1. Ikan yang kesegarannya masih baik sekali (prima) Ikan pada kondisi ini merupakan ikan yang baru saja ditangkap dan baru saja mengalami kematian, sehingga semua organ tubuhnya baik daging, mata maupun insangnya masih benar-benar dalam keadaan segar. Secara fisik ikan masih memiliki mata cerah, bola mata menonjol, kornea jernih, insang berwarna merah dan jernih, sayatan daging merah cemerlang. 2. Ikan yang kesegarannya masih baik (advanced) Pada kondisi ini, ikan masih dalam keadaan segar namun tidak sesegar seperti saat kondisi pertama. Kondisi ikan secara fisik yaitu, bola mata agak cerah, kornea agak keruh, warna insang agak kusam, warna daging masih cemerlang namun agak lunak bila ditekan. 3. Ikan yang kesegarannnya sudah mulai mundur Ikan pada kondisi ini organ tubuhnya sudah banyak mengalami perubahan. Secara fisik kondisi ikan memiliki bola mata agak cekung, kornea agak keruh, warna insang mulai berubah menjadi merah muda, warna sayatan daging mulai pudar dan daging agak lunak. 4. Ikan yang sudah tidak segar lagi (busuk) Pada kondisi ini ikan sudah tidak layak untuk dikonsumsi. Daging ikan pada kondisi ini sudah lunak dengan sayatan daging tidak cemerlang, bola mata cekung, insang berubah warna menjadi coklat tua, sisik mudah lepas, dan sudah menyebar bau busuk.
12
Ikan yang baik adalah ikan yang masih segar, sehingga disukai oleh konsumen. Penanganan dan sanitasi yang baik sangat diperlukan untuk tetap menjaga kesegaran ikan, makin lama berada di udara terbuka maka makin menurun kesegarannya. Alasalvar dan Taylor (2002) menyatakan bahwa umumnya ada dua metode yang tersedia untuk memperkirakan kesegaran ikan, yaitu sensor dan non-sensor. Metode sensor tergantung pada indera manusia dengan pengecualian pendengaran dan digunakan dalam industri perikanan untuk menilai kualitas dengan penglihatan , peraba/sentuhan (tekstur), bau dan rasa. Metode non-sensor adalah metode objektif yang digunakan untuk menentukan kesegaran ikan dan kualitas ikan yang temasuk dalam metode lain. Menurut Hadiwiyanto (1997) ada 7 parameter fisik yang menandakan kesegaran ikan yaitu : 1. Kenampakan luar a. Cerah, tidak suram (segar) karena perubahan biokimiawi belum terjadi, metabolisme dalam tubuh ikan masih normal. b. Makin lama menjadi suram warnanya, berlendir sebagai akibat berlangsungnya proses biokimiawi lebih lanjut dan berkembangnya mikrobia. 2. Kelenturan daging ikan a. Ikan segar dagingnya cukup lentur, apabila dibengkokkan akan kembali kebentuk semula. b. Kelenturan ini disebabkan belum terputusnya benang-benang daging. c. Pada ikan yang telah busuk, sudah banyak benang-benang daging yang sudah putus dan dinding-dinding selnya banyak yang rusak.
13
3. Keadaan mata a. Ikan Segar, biasanya menonjol ke luar, cerah. b. Ikan Busuk, cekung, masuk ke dalam rongga mata. 4. Keadaan daging a. Ikan segar, dagingnya kenyal, jika ditekan dengan jari telunjuk/ibu jari, maka bekasnya akan segera kembali. b. Daging ikan masih banyak cairan, sehingga daging masih kelihatan basah, permukaan tubuh belum terdapat lendir. c. Setelah beberapa jam daging ikan menjadi kaku. d. Kerusakan terjadi pada benang-benang daging, timbul tetes-tetes air akhirnya daging kehilangan tekstur kenyalnya. 5. Keadaan insang dan sisik a. Ikan segar, insang berwarna merah cerah, sisik melekat. b. Ikan tidak segar, insang menjadi coklat gelap, dan sisiknya mudah lepas dari tubuhnya. c. Insang merupakan pusat darah mengambil O2 dari dalam air. Kematian ikan dapat menyebabkan peranan darah (hemoglobin) berhenti, darah teroksidasi sehingga warnanya berubah menjadi merah gelap. 6. Keadaan Ruas Badan/Ruas Kaki a. Parameter ini biasanya digunakan pada hasil perikanan yang beruasruas, misalnya udang, lobster, kepiting, rajungan, dan lain-lain. b. Keadaan segar, ruas badan/kaki masih kuat, tidak mudah putus. Faktor-faktor yang mempengaruhi kualitas ikan (mutu) dikaitkan dengan kesegaran dan kerusakan ikan menurut Ramadhan (2006) diantaranya:
14
1. Daerah Penangkapan Jumlah dan jenis mikrofloranya (lingkungan), adanya cemaran pada daerah-daerah tertentu, memungkinkan mempengaruhi cita rasa daging ikan. 2. Metode/cara penangkapan dan pendaratan ikan Jarak pengangkutan dari tempat penangkapan ke tempat pendaratan. 3. Cara penanganan pasca tangkap hasil perikanan Peralatan yang digunakan, penggunaan bahan-bahan pendingin (es), cara penyimpanan, pengangkutan, dan lain-lain. 5. Keadaan cuaca/suhu Ikan nila merah merupakan ikan air tawar yang banyak dikonsumsi oleh masyarakat. Di Indonesia dikembangkan pada tahun 1986 dengan tujuan untuk meningkatkan diversifikasi komoditi perikanan dan pemenuhan kebutuhan protein hewani (Warta Mina, 1990 dan Techner, 1993). Ikan nila merah yang dijual di pasar umumnya diletakkan di atas wadah/meja pada suhu ruang. Ikan harus habis terjual dalam waktu 12 jam, sehingga ikan yang dijual relatif sedikit dengan keuntungan yang kecil. Hal ini disebabkan karena penurunan mutu ikan yang sangat cepat. Menurut Nurjanah (2004) batasan nilai kesegaran ikan nila merah berdasarkan kemunduran ikan dapat dilihat dalam Tabel 1. Masa setiap fase memiliki perbedaan waktu dengan nilai Total Vibrio Count (TVB), Total Plate Count (TPC) dan Potensial Hidrogen (pH) yang berbeda.
15
Tabel 1. Standar Nilai Pengukuran Kesegaran Ikan Nila Merah No
Fase
1
Pre rigor
Waktu ( Jam ) 2 Jam
TVB mg N/100 g 18,67 – 20
2
Rigor Mortis
10 Jam
20-24
3
Post rigor
> 10 jam
> 24
TPC Kol/g
pH
3,4 x 10 – 6,3 x 10
4
4
6,7
4
5
2,2 x 10 - 3,7 x 10
6,2-6,60
> Log 5
7,2
Ikan lele dumbo (Clarias gariepinus) adalah ikan air tawar yang bernilai ekonomis penting dan sudah tersebar luas di Indonesia. Kebutuhan lele konsumsi dalam negeri terus mengalami peningkatan sejalan dengan semakin populernya lele sebagai hidangan yang sangat lezat. Perkembangan produksi ikan lele selama 5 tahun terakhir menunjukkan hasil sangat signifikan yaitu sebesar 21,82% per tahun dari 69.386 ton pada Tahun 2005 menjadi 145.099 ton pada Tahun 2009 dan pada tahun 2010 mencapai 270.600 ton (peikanan-budidaya. KKP, 2010). Peluang ekspor lele dalam bentuk fillet mulai terbuka untuk pasar Amerika dan Eropa. Lele sudah dijadikan komoditi ekspor (DKP, 2006).