BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA
Kekerasan adalah perbuatan yang dapat berupa fisik maupun non fisik, dilakukan secara aktif maupun dengan cara pasif (tidak berbuat), dikehendaki oleh pelaku, dan ada akibat yang merugikan pada korban (fisik atau psikis) yang tidak dikendaki oleh korban. Kekerasan terhadap perempuan adalah setiap perbuatan berdasarkan pembedan jenis kelamin yang berakibat kesengsaraan dan penderitaan perempuan secara fisik, seksual, psikologis termasuk ancaman tindakan tertentu, pemaksaan atau perampasan kemerdekaan secara sewenang-wenang baik yang terjadi di depan umum atau dalam kehidupan pribadi.4,7,9 Pada tahun 1992, penegasan bahwa kekerasan terhadap perempuan sebagai salah satu bentuk diskriminasi terhadap perempuan merupakan memontum yang penting bagi advokasi gerakan penegak hak-hak asasi manusia khususnya hak asasi perempuan. Penegasan ini dilatari oleh penajaman konsep hak asasi manusia tersebut telah ditegaskan oleh Komite PBB yaitu tentang penghapusan diskriminasi terhadap perempuan. Seiring dengan dikeluarkannya duapuluh butir rekomendasi khusus dari Komite PBB tersebut yang isinya mengenai landasan aksi yang harus dilakikan oleh Negara-negara peserta Konvensi Penghapusan Segala bentuk Diskriminasi Terhadap Perempuan atau convention on the Elimination of All Forms of Discrimination against Women (CEDAW). Dari latar belakang ini mulai terjadi kemajuan dalam upaya pencegahan dan penanggulangan masalah kekerasan terhadap perempuan baik yang
Universitas Sumatera Utara
dilakukan oleh pemerintah maupun masyarakat diberbagai negara termasuk Indonesia. 3,4
Salah satu ulasan konvensi PBB menyebutkan bahwa sikap-sikap tradisional dimana perempuan dianggap sebagai subordinasi laki-laki atau seperti juga pembakuan peran-peran gender (stereotype) yang dalam prakteknya terus meluas berhubungan dengan kekerasan dan paksaan yang terjadi pada perempuan. Efek atas kekerasan tersebut terhadap integritas perempuan adalah penghilangan atau pencabutan atas kesamaan kenikmatan, pelaksanaan dan pengetahuan akan hak asasi manusia dan kebebasan fundamental.4,5,8 Sementara itu, sebagian besar fakta atau ancaman kekerasan atas dasar suatu konsekuensi yang mendasari bentuk-bentuk kekerasan berbasis gender tadi, membantu ikut serta membuka mata untuk menegakkan hak-hak perempuan dalam subordinasi perannya, atas rendahnya posisi perempuan dalam partipasi politik, rendahnya tingkat pendidikan, serta sedikitnya kesempatan kerja untuk perempuan.3,4
2.1.
Kekerasan dalam Rumah Tangga.
2.1.1. Definisi Kekerasan dalam Rumah Tangga adalah setiap perbuatan terhadap seseorang terutama perempuan, yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual, psikologis, dan/atau penelantaran rumah tangga termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum dalam lingkup rumah tangga.1,4,10
Universitas Sumatera Utara
Menurut UU PKDRT No. 23 Tahun 2004 Pasal 2 lingkup rumah tangga meliputi : a. Suami, isteri, dan anak; b. Orang-orang yang mempunyai hubungan keluarga dengan orang suami, istri, dan anak karena hubungan darah, perkawinan, persusuan, pengasuhan, dan perwalian, yang menetap dalam rumah tangga; dan/atau; c. Orang yang bekerja membantu rumah tangga dan menetap dalam rumah tangga tersebut.10,11
2.I.2. EPIDEMIOLOGI Kekerasan dalam rumah tangga memiliki tren yang terus meningkat dari tahun ketahun. Data yang dipeoleh dari Jurnal Perempuan edisi ke 45, menunjukkan bahwa dari tahun 2001 terjadi 258 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga. Tahun 2002 terjadi sebanyak 226 kasus, pada tahun 2003 sebanyak 272 kasus, tahun 2004 terjadi 328 kasus dan pada tahun 2005 terjadi 455 kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga.2 Namun dari berbagai bentuk kekerasan yang ada, data statistik Mitra Perempuan pada tahun 2005 menunjukkan bahwa perempuan lebih banyak mengalami kekerasan psikis. Dimana kekerasan fisik sejumlah 8,33%, kekerasan psikis sebanyak 45,83%, penelantaran ekonomi sebanyak 16,67%, kekerasan seksual sebanyak 12,50%.2-4 Menurut peneliian WHO pada tahun 1999 berdasarkan studi yang dilakukan pada 35 negara didapatkan bahwa jumlah kekerasan pada perempuan yang dilakukan oleh pasangannya berkisar 10-52% adalah kekerasan dalam bentuk fisik, 10%- 30% dalam bentuk kekerasan seksual.12 Beberapa studi menunjukkan prevalensi kekerasan yang dialami perempuan sangatlah bervariasi berkisar 20-50%.13
Universitas Sumatera Utara
Kekerasan dalam rumah tangga di negara Amerika Serikat insidennya sebanyak 25% dari populasi perempuan, dan sekitar 35% perempuan yang mengalami kekerasan tersebut dibawa ke unit gawat darurat untuk mendapatkan perawatan.5 Kekerasan dalam rumah tangga di Negara industri dicatat bahwa di Negara Kanada sebanyak 29% perempuan telah melapor telah mengalami serangan fisik yang dilakukan oleh pasangannya, di Negara Jepang pada tahun 1993, 59% dari 796 wanita yang disurvei telah mengalami kekerasan fisik, di Selandia Baru 20% dari 314 wanita yang disurvei dilaporkan dipukuli atau mengalami kekerasan secara fisik.5,7
2.I.3. BENTUK- BENTUK KEKERASAN DALAM RUMAH TANGGA Kekerasan dalam rumah tangga dapat berwujud : 10,14,15 a. Kekerasan Fisik b. Kekerasan Psikis c.
Kekerasan Seksual
d. Penelantaran rumah tangga
a.
Kekerasan fisik Kekerasan fisik adalah perbuatan yang mengakibatkan rasa sakit, jatuh sakit,
atau luka berat. Kekerasan fisik yang dialami korban seperti: pemukulan menggunakan tangan maupun alat seperti (kayu, parang), membenturkan kepala ke tembok, menjambak rambut, menyundut dengan rokok atau dengan kayu yang bara apinya masih ada, menendang, mencekik leher.4,9,10
Universitas Sumatera Utara
b.
Kekerasan psikis Kekerasan psikis adalah perbuatan yang mengakibatkan ketakutan, hilangnya
rasa percaya diri, hilangnya kemampuan untuk bertindak, rasa tidak berdaya, dan/atau penderitaan psikis berat pada seseorang. Kekerasan psikis berupa makian, ancaman cerai, tidak memberi nafkah, hinaan, menakut-nakuti, melarang melakukan aktivitas di luar rumah.4,9,10 c.
Kekerasan seksual Kekerasan seksual meliputi pemaksaan hubungan seksual yang dilakukan
terhadap orang yang menetap dalam lingkup rumah tangga tersebut, maupun pemaksaan hubungan seksual terhadap salah seorang dalam lingkup rumah tangganya dengan orang lain untuk tujuan komersial dan/atau tujuan tertentu. Kekerasan seksual seperti memaksa isteri melakukan hubungan seksual walaupun isteri dalam kondisi lelah dan tidak siap termasuk saat haid, memaksa isteri melakukan hubungan seks dengan laki-laki lain.7,8,9,10 d.
Penelantaran rumah tangga Penelantaran rumah tangga adalah seseorang yang menelantarkan orang dalam
lingkup rumah tangganya, padahal menurut hukum yang berlaku baginya atau karena persetujuan atau perjanjian ia wajib memberikan kehidupan, perawatan, atau pemeliharaan kepada orang tersebut. Selain itu, penelantaran juga berlaku bagi setiap orang yang mengakibatkan ketergantungan ekonomi dengan cara membatasi dan/atau melarang untuk bekerja yang layak di dalam atau di luar rumah sehingga korban berada di bawah kendali orang tersebut. Penelantaran seperti meninggalkan isteri dan anak
Universitas Sumatera Utara
tanpa memberikan nafkah, tidak memberikan isteri uang dalam jangka waktu yang lama bahkan bertahun-tahun.4,9,10
2.I.4. ETIOLOGI Adapun faktor-faktor terjadinya kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga khususnya yang dilakukan oleh suami terhadap istri, yaitu: 1,8 a. Adanya hubungan kekuasaan yang tidak seimbang antara suami dan istri. Anggapan bahwa suami lebih berkuasa dari pada istri telah terkonstruk sedemikian rupa dalam keluarga dan kultur serta struktur masyarakat. Bahwa istri adalah milik suami oleh karena harus melaksanakan segala yang diinginkan oleh yang memiliki. Hal ini menyebabkan suami menjadi merasa berkuasa dan akhirnya bersikap sewenang-wenang terhadap istrinya.1,4,8 b. Ketergantungan ekonomi. Faktor ketergantungan istri dalam hal ekonomi kepada suami memaksa istri untuk menuruti semua keinginan suami meskipun ia merasa menderita. Bahkan, sekalipun tindakan keras dilakukan kepadanya ia tetap enggan untuk melaporkan penderitaannya dengan pertimbangan demi kelangsungan hidup dirinya dan pendidikan anak-anaknya. Hal ini dimanfaatkan oleh suami untuk bertindak sewenang-wenang kepada istrinya.1,7,8 c. Kekerasan sebagai alat untuk menyelesaikan konflik. Faktor ini merupakan faktor dominan ketiga dari kasus kekerasan dalam rumah tangga.
Biasanya
kekerasan
ini
dilakukan
sebagai
pelampiasan
dari
ketersinggungan, ataupun kekecewaan karena tidak dipenuhinya keinginan,
Universitas Sumatera Utara
kemudian dilakukan tindakan kekerasan dengan tujuan istri dapat memenuhi keinginannya dan tidak melakukan perlawanan. Hal ini didasari oleh anggapan bahwa jika perempuan rewel maka harus diperlakukan secara keras agar ia menjadi penurut. Anggapan di atas membuktikan bahwa suami sering menggunakan
kelebihan
fisiknya
dalam
menyelesaikan
problem
rumah
tangganya.4,8 d. Persaingan Jika di muka telah diterangkan mengenai faktor pertama kekerasan dalam rumah tangga adalah ketimpangan hubungan kekuasaan antara suami dan istri. Maka di sisi lain, perimbangan antara suami dan istri, baik dalam hal pendidikan, pergaulan, penguasaan ekonomi baik yang mereka alami sejak masih kuliah, di lingkungan kerja, dan lingkungan masyarakat di mana mereka tinggal, dapat menimbulkan persaingan dan selanjutnya dapat menimbulkan terjadinya kekerasan dalam rumah tangga. Bahwa di satu sisi suami tidak mau kalah, sementara di sisi lain istri juga tidak mau terbelakang dan dikekang.4,8 e. Frustasi Terkadang pula suami melakukan kekerasan terhadap istrinya karena merasa frustasi tidak bisa melakukan sesuatu yang semestinya menjadi tanggung jawabnya.8
Universitas Sumatera Utara
2.2.
Visum et Repertum Psychiatricum (VeRP)
2.2.1. Tujuan Visum et Repertum Psychiatricum tersangka: untuk menilai kondisi kejiwaan terperiksa pada saat melakukan tindak pidana dalam kaitan dalam pertanggung jawaban pidananya. Visum et Repertum Psychiatricum korban: untuk menilai kondisi kejiwaan korban tindak pidana dalam rangka membantu hakim mengambil keputusan terhadap pelaku.16 2.2.2. Ruang Lingkup Sarana pelayanan kesehatan jiwa pemerintah meliputi Rumah Sakit Jiwa Pusat dan Daerah, bagian Kedokteran Jiwa rumah sakit Umum pemerintah pusat dan Daerah, TNI dan Polri yang terjamin keamanannya dan memiliki sarana untuk melakukan pengawasan.16 2.2.3. Uraian Dokter spesilis kedokteran jiwa pembuat visum et repertum psychiatricum adalah dokter spesialis kedokteran jiwa yang karena pendidikannya sudah memiliki kompetensi untuk melakukan kegiatan dibidang psikiatri forensik, khususnya VeRP sesuai standar profesi. Untuk dapat membuat VeRP, harus memiliki surat izin praktik (SIP) di sarana pelayanan kesehatan yang bersangkutan. Pemeriksaan dan observasi psikiatrik dilakukan oleh dokter spesialis kedokteran jiwa. Dalam keadaan tertentu pemeriksaan dan observasi psikiatrik dapat dilakukan dengan membentuk tim yang terdiri dari beberapa dokter spesialis jiwa, psikolog klinis, dan dokter spesialis lainnya sesuai dengan kebutuhan. Tim diketuai oleh dokter spesialis jiwa.1
Universitas Sumatera Utara
2.3.
Kerangka konsep
Visum et repertum psychiatricum
Perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga tahun 2007-2011
Faktor sosiodemografik • Usia • Tingkat pendidikan • Status pekerjaan • Status perkawinan
Bentuk-bentuk kekerasan dalam rumah tangga : Kekerasan fisik kekerasan psikis Kekerasan seksual Penelantaran rumah tangga
Universitas Sumatera Utara