BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Pneumokoniosis 2.1.1. Definisi Pneumokoniosis International Labour Organization (ILO) mendefinisikan pneumokoniosis sebagai suatu kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang menyebabkan reaksi jaringan terhadap debu tersebut. Reaksi utama akibat pajanan debu di paru adalah fibrosis (Susanto, 2011). 2.1.2. Penyebab Pneumokoniosis Penyebab Pneumokoniosis adalah inhalasi debu mineral. Pneumokoniosis digunakan untuk menyatakan berbagai keadaan berikut : a. Kelainan yang terjadi akibat pajanan debu anorganik seperti silika (silikosis), asbes (asbestosis) dan timah (stannosis). b. Kelainan yang terjadi akibat pekerjaan seperti pneumokoniosis batubara. c. Kelainan yang ditimbulkan oleh debu organik seperti kapas (bisinosis). 2.1.3. Gejala Gejala sering kali timbul sebelum kelainan radiologis seperti : batuk produktif yang menetap dan sesak nafas saat beraktifitas (Susanto, 2011). 2.1.4. Patogenesis Faktor utama yang berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah partikel debu dan respons tubuh khususnya saluran napas terhadap partikel debu tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Komposisi kimia, sifat fisis, dosis dan lama pajanan menentukan dapat atau mudah tidaknya terjadi pneumokoniosis. Patogenesis pneumokoniosis dimulai dari respons makrofag alveolar terhadap debu yang masuk ke unit respirasi paru. Terjadi fagositosis debu oleh makrofag dan proses selanjutnya sangat tergantung pada sifat toksisitas partikel debu. Reaksi jaringan terhadap debu bervariasi menurut aktivitas biologi debu. Jika pajanan terhadap debu anorganik cukup lama maka timbul reaksi inflamasi awal. Gambaran utama inflamasi ini adalah pengumpulan sel di saluran napas bawah. Alveolitis dapat melibatkan bronkiolus bahkan saluran napas besar karena dapat menimbulkan luka dan fibrosis pada unit alveolar yang secara klinis tidak diketahui. Sebagian debu seperti debu batubara tampak relatif inert dan menumpuk dalam jumlah relatif banyak di paru dengan reaksi jaringan yang minimal. Debu inert akan tetap berada di makrofag sampai terjadi kematian oleh makrofag karena umurnya, selanjutnya debu akan keluar dan difagositosis lagi oleh makrofag lainnya, makrofag dengan debu di dalamnya dapat bermigrasi ke jaringan limfoid atau ke bronkiolus dan dikeluarkan melalui saluran napas. Pada debu yang bersifat sitoktoksik, partikel debu yang difagositosis makrofag akan menyebabkan kehancuran makrofag tersebut yang diikuti dengan fibrositosis. Menurut Lipscomb, partikel debu akan merangsang makrofag alveolar untuk mengeluarkan produk yang merupakan mediator suatu respons peradangan dan memulai proses proliferasi fibroblast dan deposisi kolagen. Mediator yang paling banyak berperan pada patogenesis pneumokoniosis adalah Tumor Necrosis Factor
Universitas Sumatera Utara
(TNF)-α, Interleukin (IL)-6, IL-8, platelet derived growth factor dan transforming growth factor (TGF)-β. Sebagian besar mediator tersebut sangat penting untuk proses fibrogenesis. Mediator makrofag penting yang bertanggung jawab terhadap kerusakan jaringan. Sitokin telah terbukti berperan dalam patogenesis pneumokoniosis. Pappas merangkum sitokin yang dihasilkan oleh makrofag alveolar dalam merespon partikel debu yang masuk ke paru yang selanjutnya menyebabkan fibrosis pada jaringan interstitial paru. Sitokin ini terdiri atas faktor fibrogenesis seperti TNF-α, PDGF, IGF-1 dan fibronektin serta faktor proinflamasi seperti LBT4, IL-8, IL-6, MIP1a. Disamping proses fagositosis debu oleh makrofag alveolar, yang lebih penting adalah interstisialisasi partikel debu tersebut. Bila partikel debu telah difagositosis oleh makrofag dan ditransfer ke sistem mukosilier maka proses pembersihan debu yang masuk dalam saluran napas dikategorikan berhasil. Hilangnya integritas epitel akibat mediator inflamasi yang dilepaskan makrofag alveolar merupakan kejadian awal proses fibrogenesis di interstitial paru. Bila partikel debu telah masuk dalam interstitial maka nasibnya ditentukan oleh makrofag interstitial, difagositosis untuk kemudian di transfer ke kelenjar getah bening mediastinum atau terjadi sekresi me diator inflamasi kronik pada interstitial. Sitokin yang dilepaskan di interstitial seperti PDGF, TGF, TNF, IL-1 menyebabkan proliferasi fibroblas dan terjadilah pneumoko niosis. Sifat toksisitas debu menentukan reaksi jaringan yang terjadi pada pneumokoniosis. Debu silika dan asbes mempunyai efek biologis yang sangat kuat.
Universitas Sumatera Utara
Reaksi parenkim dapat berupa fibrosis nodular yaitu contoh klasik dari silikosis, fibrosis difus pada asbestosis dan pembentukan makula dengan emfisema fokal akibat debu batubara (Susanto, 2011). 2.1.5. Jenis Pneumokoniosis Penamaan pneumokoniosis tergantung pada debu penyebabnya, pajanan asbes menyebabkan asbestosis, debu silika berhubungan dengan silikosis, debu batubara menyebabkan pneumokoniosis batubara dan lain-lain. Secara ringkas beberapa yang dikategorikan pneumokoniosis berdasarkan jenis debu penyebabnya terlihat pada tabel 2.1. Tabel 2.1. Beberapa Jenis Pneumokoniosis Berdasarkan Debu Penyebabnya Jenis Debu
Pneumokoniosis
Asbes
Asbestosis
Silika
Silikosis
Batubara
Pneumokoniosis Batubara
Besi
Siderosis
Berilium
Beriliosis
Timah
Stanosis
Aluminium
Aluminosis
Grafit
Pneumokoniosis grafit
Debu antimony
Antimony Pneumokoniosis
Debu Mineral Barite
Baritosis
Debu Karbon
Pneumokoniosis Karbon
Debu Polyvinyl Chloride (PVC)
Pneumokoniosis PVC
Debu Bakelite
Pneumokoniosis Bakelite
Titanium Oksida
Pneumokoniosis Titanium
Universitas Sumatera Utara
Tabel 2.1. (lanjutan) Zirkonium
Pneumokoniosis Zirkonium
Silicon Carbide
Carborundum Pneumokoniosis
Hard Metal
Tungsten Carbide Pneumokoniosis
Nylon Flock
Flock Worker’s Lung
Debu Campuran : Campuran SiliKa dan Besi
Silikosiderosis
Silikat
Silikatosis
Slate (campuran mica, feldspar, crystalline quartz)
Slate worker’s Pneumokoniosis
Kaolin
Pneumokoniosis Kaolin
Mica
Mica Pneumokoniosis
Sumber: Susanto, 2011
2.1.6. Diagnosis Diagnosis pneumokoniosis tidak dapat ditegakkan hanya dengan gejala klinis. Ada tiga kriteria mayor yang dapat membantu untuk diagnosis pneumokoniosis. Pertama, pajanan yang signifikan dengan debu mineral yang dicurigai dapat menyebabkan pneumokoniosis dan disertai dengan periode laten yang mendukung. Oleh karena itu, diperlukan anamnesis yang teliti mengenai kadar debu di lingkungan kerja, lama pajanan dan penggunaan alat pelindung diri serta kadang diperlukan pemeriksaan kadar debu di lingkungan kerja. Gejala seringkali timbul sebelum kelainan radiologis seperti batuk produktif yang menetap dan atau sesak napas saat aktivitas yang mungkin timbul 10-20 tahun setelah pajanan. Kedua, gambaran spesifik penyakit terutama pada kelainan radiologi dapat membantu menentukan jenis pneumokoniosis. Gejala dan tanda gangguan respirasi serta abnormalitas faal paru sering ditemukan pada pneumokoniosis tetapi tidak spesifik untuk mendiagnosis
Universitas Sumatera Utara
pneumokoniosis. Ketiga, tidak dapat dibuktikan ada penyakit lain yang menyerupai pneumokoniosis. Pneumokoniosis kemungkinan mirip dengan penyakit interstisial paru difus seperti sarkoidosis, idiophatic pulmonary fibrosis (IPF) atau interstitial lung disease (ILD) yang berhubungan dengan penyakit kolagen vascular. Beberapa pemeriksaan
penunjang
diperlukan
untuk
membantu
dalam
diagnosis
pneumokoniosis yaitu pemeriksaan radiologi, pemeriksaan faal paru dan analisis debu penyebab (Susanto, 2011). 2.1.6.1. Pemeriksaan Radiologi a. Foto Toraks Pada pneumokoniosis digunakan klasifikasi standar menurut International Labour Organization (ILO) untuk interpretasi gambaran radiologi kelainan parenkim difus yang terjadi. Klasifikasi ini digunakan untuk keperluan epidemiologik penyakit paru akibat kerja dan mungkin untuk membantu interpretasi klinis (Susanto, 2011). b. Computed Tomography (CT) Scan Computed Tomography (CT) Scan bukan merupakan bagian dari klasifikasi pneumokoniosis secara radiologi. Pemeriksaan CT mungkin sangat bermanfaat secara individual untuk memperkirakan beratnya fibrosis interstisial yang terjadi, menilai luasnya emfisema dan perubahan pleura atau menilai ada tidaknya nekrosis atau abses yang bersamaan dengan opasiti yang ada. High Resolution CT (HRCT) lebih sensitif dibanding radiologi konvensional untuk evaluasi abnormalitas parenkim pada asbestosis, silikosis dan pneumokoniosis lainnya. Gambaran paling sering HRCT pada pneumokoniosis adalah nodular sentrilobular atau high attenuation pada area
Universitas Sumatera Utara
percabangan seperti gambaran lesi bronkiolar. Fibrosis interstisial mungkin bermanifestasi bronkiektasis traksi, sarang tawon/honey comb atau hyperattenuation. Gambaran HRCT yang khas pada silikosis, pneumokoniosis batubara dan asbestosis adalah terdapat opasitas halus (small nodular opacities) yang predominan pada zona paru atas (upper zone). Gambaran opasitas halus pada HRCT ada 2 karakteristik (1) ill defined fine branching lines dan (2) well defined discrete nodules. Asbestosis menunjukkan gambaran garis penebalan interlobular dan intralobular, opasitas subpleura atau curvilinier dan honey comb, predominan terdistribusi pada basal paru. (Susanto, 2011). 2.1.6.2. Pemeriksaan Faal Paru Pemeriksaan faal paru diperlukan untuk 2 tujuan yaitu studi epidemiologi pekerja yang terpajan debu dan diagnosis penyakit paru akibat kerja. Pemeriksaan faal paru memerlukan pemeriksaan volume paru dengan spirometri dan pemeriksaan kapasitas difusi (DLco), namun tidak selalu tersedia. Pemeriksaan faal paru juga diperlukan untuk menilai hendaya yang telah terjadi. Pada pneumokoniosis dapat ditemukan nilai faal paru normal atau bisa juga terjadi obstruksi, restriksi ataupun campuran. Sebagian besar penyakit paru difus yang disebabkan debu mineral ber hubungan dengan kelainan restriksi karena terjadi fibrosis di parenkim paru. Pada kasus dengan fibrosis interstisial yang luas umumnya terjadi penurunan kapasitas difusi. Inflamasi, fibrosis dan distorsi pada saluran napas dengan konsekuensi terjadi obstruksi saluran napas dapat ditemukan pada beberapa kondisi. (Susanto, 2011). Putranto (2007) dalam penelitiannya menemukan bahwa konsentrasi debu 229
Universitas Sumatera Utara
µg/m³ menyebabkan terjadinya penurunan fungsi paru sebanyak 31% pekerja dengan umur antara 20 sampai 45 tahun. 2.1.7. Penatalaksanaan Pneumokoniosis tidak akan mengalami regresi, menghilang ataupun berkurang progresivitasnya hanya dengan menjauhi pajanan. Tata laksana medis umumnya terbatas hanya pengobatan simptomatik. Tidak ada pengobatan yang efektif yang dapat menginduksi regresi kelainan ataupun menghentikan progesivitas pneumokoniosis (Susanto, 2011). 2.1.8. Pencegahan Pneumokoniosis Pencegahan merupakan tindakan yang paling penting. Regulasi dalam pekerjaan dan kontrol pajanan debu telah dilakukan sejak lama terutama di negara industri
dan
pneumokoniosis
terus
dilakukan
dengan
perbaikan-perbaikan.
Pada
bentuk
sub akut dengan manfaat yang didapat untuk efek jangka
panjangnya terutama jika bahan penyebab masih ada di paru. Menjaga kesehatan dapat dilakukan dengan cara : a. Berhenti merokok b. Pengobatan dilakukan bila dicurigai terdapat penyakit paru obstruktif kronik (PPOK) c. Gunakan APD seperti Masker d. Pencegahan infeksi dengan vaksinasi dapat dipertimbangkan
Universitas Sumatera Utara
2.2. Alat Pelindung Diri 2.2.1. Pengertian Alat Pelindung Diri Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/VII/2010 tentang alat pelindung diri, bahwa APD adalah suatu alat yang mempunyai kemampuan untuk melindungi seseorang yang fungsinya mengisolasi sebagian atau seluruh tubuh dari potensi bahaya di tempat kerja. Alat pelindung diri (APD) yang baik adalah APD yang memenuhi standar keamanan dan kenyamanan bagi pekerja (Safety and Acceptation), apabila pekerja memakai APD yang tidak nyaman dan tidak bermanfaat maka pekerja enggan memakai, hanya berpura-pura sebagai syarat agar masih diperbolehkan untuk bekerja atau menghindari sanksi perusahaan (Khumaidah, 2009). Dengan demikian alat pelindung diri merupakan pertahanan terakhir, Oleh karenanya alat pelindung diri tidak pernah dipertimbangkan sebagai suatu pertahanan yang utama untuk menghilangkan atau mengendalikan bahaya dalam upaya pencegahan kecelakaan kerja (termasuk agar tenaga kerja tidak menderita penyakit akibat kerja). Kebanyakan alat pelindung diri mengakibatkan beberapa perasaan tidak enak dan menghalangi gerakan atau tanggapan panca indera si pemakai. Oleh karena itu, umumnya tenaga kerja akan menolak memakai alat pelindung diri bila diberi. (Suardi, 2005). 2.2.2. Syarat-syarat APD Menurut Budiono (2005), Pemilihan APD yang cermat adalah merupakan
Universitas Sumatera Utara
persyaratan mutlak yang sangat mendasar. Pemakaian APD yang tidak tepat dapat mencelakakan tenaga kerja yang memakainya karena mereka tidak terlindung dari bahaya potensial yang ada di tempat mereka terpapar. Oleh karena itu agar dapat memilih APD yang tepat, maka perusahan harus mampu mengidentifikasi bahaya potensial yang ada, khususnya yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan, serta memahami dasar kerja setiap jenis APD yang akan digunakan di tempat kerja dimana bahaya potensial tersebut ada dengan ketentuan : a. Dapat memberikan perlindungan yang adekuat terhadap bahaya yang spesifik atau bahaya-bahaya yang dihadapi oleh tenaga kerja. b. Berat alat hendaknya seringan mungkin, dan alat tersebut tidak menyebabkan rasa ketidaknyamanan yang berlebihan. c. Dapat dipakai secara fleksibel d. Bentuknya harus cukup menarik e. Tahan untuk pemakaian yang lama f. Tidak menimbulkan bahaya tambahan bagi pemakainya, yang dikarenakan bentuk dan bahayanya tidak tepat atau karena salah dalam penggunaannya. g. Harus memenuhi standar yang telah ada h. Tidak membatasi gerakan dan persepsi sensoris pemakainya i. Suku cadangnya harus mudah didapat guna mempermudah pemeliharaannya Menurut Suma’mur (1992), menyatakan bahwa persyaratan yang harus dipenuhi APD : a. Enak dipakai
Universitas Sumatera Utara
b. Tidak mengganggu kerja c. Memberikan perlindungan efektif terhadap jenis bahaya 2.2.3. Fungsi dan Jenis Alat Pelindung Diri Berdasarkan Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Republik Indonesia Nomor Per.08/Men/VII/2010, bahwa fungsi dan jenis alat pelindung diri: a. Alat pelindung kepala a.1 Fungsi Alat pelindung kepala adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi kepala dari benturan, terantuk, kejatuhan atau terpukul benda tajam atau benda keras yang melayang atau meluncur di udara, terpapar oleh radiasi panas, api, percikan bahan-bahan kimia, jasad renik (mikro organisme) dan suhu yang ekstrim. a.2 Jenis Jenis alat pelindung kepala terdiri dari helm pengaman (safety helmet), topi atau tudung kepala, penutup atau pengaman rambut, dan lain-lain. b. Alat pelindung mata dan muka b.1 Fungsi Alat pelindung mata dan muka adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi mata dan muka dari paparan bahan kimia berbahaya, paparan partikel-partikel yang melayang di udara dan di badan air, percikan benda-benda kecil, panas, atau uap panas, radiasi gelombang elektromagnetik yang mengion maupun yang tidak mengion, pancaran cahaya, benturan atau
Universitas Sumatera Utara
pukulan benda keras atau benda tajam. b.2 Jenis Jenis alat pelindung mata dan muka terdiri dari kacamata pengaman (spectacles), goggles, tameng muka (face shield), masker selam, tameng muka dan kacamata pengaman dalam kesatuan (full face masker). c. Alat pelindung telinga c.1 Fungsi Alat pelindung telinga adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi alat pendengaran terhadap kebisingan atau tekanan. c.2 Jenis Jenis alat pelindung telinga terdiri dari sumbat telinga (ear plug) dan penutup telinga (ear muff). d. Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya d.1 Fungsi Alat pelindung pernapasan beserta perlengkapannya adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi organ pernapasan dengan cara menyalurkan udara bersih dan sehat dan/atau menyaring cemaran bahan kimia, mikroorganisme, partikel yang berupa debu, kabut (aerosol), uap, asap, gas/ fume, dan sebagainya. d.2 Jenis Jenis alat pelindung pernapasan dan perlengkapannya terdiri dari masker, respirator, katrit, kanister, Re-breather, Airline respirator, Continues Air
Universitas Sumatera Utara
Supply Machine=Air Hose Mask Respirator, tangki selam dan regulator (SelfContained Underwater Breathing Apparatus /SCUBA), Self-Contained Breathing Apparatus (SCBA), dan emergency reathing apparatus. e. Alat pelindung tangan e.1 Fungsi Pelindung tangan (sarung tangan) adalah alat pelindung yang berfungsi untuk melindungi tangan dan jari-jari tangan dari pajanan api, suhu panas, suhu dingin, radiasi elektromagnetik, radiasi mengion, arus listrik, bahan kimia, benturan, pukulan dan tergores, terinfeksi zat patogen (virus, bakteri) dan jasad renik. e.2 Jenis Jenis pelindung tangan terdiri dari sarung tangan yang terbuat dari logam, kulit, kain kanvas, kain atau kain berpelapis, karet, dan sarung tangan yang tahan bahan kimia. f. Alat pelindung kaki f.1 Fungsi Alat pelindung kaki berfungsi untuk melindungi kaki dari tertimpa atau berbenturan dengan benda-benda berat, tertusuk benda tajam, terkena cairan panas atau dingin, uap panas, terpajan suhu yang ekstrim, terkena bahan kimia berbahaya dan jasad renik, tergelincir. f.2 Jenis Jenis Pelindung kaki berupa sepatu keselamatan pada pekerjaan peleburan,
Universitas Sumatera Utara
pengecoran logam, industri, kontruksi bangunan, pekerjaan yang berpotensi bahaya peledakan, bahaya listrik, tempat kerja yang basah atau licin, bahan kimia dan jasad renik, dan/atau bahaya binatang dan lain-lain. g. Pakaian pelindung g.1 Fungsi Pakaian pelindung berfungsi untuk melindungi badan sebagian atau seluruh bagian badan dari bahaya temperatur panas atau dingin yang ekstrim, pajanan api dan benda-benda panas, percikan bahan-bahan kimia, cairan dan logam panas, uap panas, benturan (impact) dengan mesin, peralatan dan bahan, tergores, radiasi, binatang, mikroorganisme patogen dari manusia, binatang, tumbuhan dan lingkungan seperti virus, bakteri dan jamur. g.2 Jenis Jenis pakaian pelindung terdiri dari rompi (Vests), celemek (Apron/Coveralls), Jacket, dan pakaian pelindung yang menutupi sebagian atau seluruh bagian badan. h. Alat pelindung jatuh perorangan h.1. Fungsi Alat pelindung jatuh perorangan berfungsi membatasi gerak pekerja agar tidak masuk ke tempat yang mempunyai potensi jatuh atau menjaga pekerja berada pada posisi kerja yang diinginkan dalam keadaan miring maupun tergantung dan menahan serta membatasi pekerja jatuh sehingga tidak membentur lantai dasar.
Universitas Sumatera Utara
h.2 Jenis Jenis alat pelindung jatuh perorangan terdiri dari sabuk pengaman tubuh (harness), karabiner, tali koneksi (lanyard), tali pengaman (safety rope), alat penjepit tali (rope clamp), alat penurun (decender), alat penahan jatuh bergerak (mobile fall arrester), dan lain-lain. i. Pelampung i.1. Fungsi Pelampung berfungsi melindungi pengguna yang bekerja di atas air atau dipermukaan air agar terhindar dari bahaya tenggelam dan atau mengatur keterapungan (buoyancy) pengguna agar dapat berada pada posisi tenggelam (negative buoyant) atau melayang (neutral buoyant) di dalam air. i.2. Jenis Jenis pelampung terdiri dari jaket keselamatan (life jacket), rompi keselamatan (life vest), rompi pengatur keterapungan (Bouyancy Control Device). Menurut Budiono (2005), APD yang tepat bagi tenaga kerja yang berada pada lingkungan kerja dengan paparan debu berkonsentrasi tinggi adalah : a. Masker Masker untuk melindungi dari debu atau partikel-partikel yang lebih kasar yang masuk ke dalam saluran pernafasan. Masker terbuat dari kain dengan ukuran poripori tertentu. Terdiri atas beberapa jenis yaitu : a.1 Masker penyaring debu Masker ini berguna untuk melindungi pernafasan dari serbuk-serbuk logam,
Universitas Sumatera Utara
penggerindaan atau serbuk kasar lainya. a.2 Masker berhidung Masker ini dapat menyaring debu atau benda sampai ukuran 0,5 mikron, bila kita sulit bernafas waktu memakai alat ini maka hidungnya harus diganti karena filternya tersumbat oleh debu. Alat pelindung pernapasan/masker diperlukan di tempat kerja dimana udara didalamnya tercemar. Pencemaran udara berkisar dari pencemaran yang tidak berbahaya sampai pada pencemaran yang sangat berbahaya. Bahan pencemaran udara biasanya dalam bentuk debu, uap, gas, asap, atau kabut. Untuk menentukan alat pelindung diri pernapasan, maka lebih dahulu ditentukan jenis dan kadar bahan pencemar yang ada serta dievaluasi tingkat bahayanya. a.3 Masker bertabung Masker bertabung mempunyai filter yang baik daripada masker berhidung. Masker ini sangat tepat digunakan untuk melindungi pernafasan dari gas tertentu. Bermacam-macam tabungnya tertulis untuk macam-macam gas yang sesuai dengan jenis masker yang digunakan. a.4. Masker kertas Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-pertikel berbahaya dari udara agar tidak masuk ke jalur pernafasan. Pada penggunaan masker kertas, udara disaring permukaan kertas yang berserat sehingga partikel-partikel halus yang terkandung dalam udara tidak masuk ke saluran pernafasan.
Universitas Sumatera Utara
a.5 Masker plastik Masker ini digunakan untuk menyerap partikel-partikel berbahaya dari udara agar tidak masuk jalur pernafasan. Ukuran masker ini sama dengan masker kertas, namun ada lubang-lubang kecil dipermukaannya untuk aliran udara, tetapi tidak bisa menyaring udara, fungsi penyaring udara terletak pada sebuah tabung kecil yang diletakkan di dekat rongga hidung. Didalam tabung ini diisikan semacam obat yang berfungsi sebagai penawar racun. b. Respirator Respirator berguna untuk melindungi pernafasan dari debu, kabut, uap, logam, asap dan gas. Alat ini dibedakan menjadi : b.1 Respirator pemurni udara Membersihkan udara dengan cara menyaring atau menyerap kontaminan dengan toksisitas rendah sebelum memasuki sistem pernafasan. Alat pembersihnya terdiri dari filter untuk menangkap debu dari udara atau tabung kimia yang menyerap gas, uap dan kabut. b.2 Respirator penyalur udara Membersihkan aliran udara yang terkontaminasi secara terus menerus. Udara dapat dipompa dari sumber yang jauh (dihubungkan dengan selang tahan tekanan) atau dari persediaan yang portable (seperti tabung yang berisi udara bersih atau oksigen). Jenis ini biasa dikenal dengan SCBA (Self Contained Breathing Apparatus) atau alat pernafasan mandiri. Digunakan untuk tempat kerja yang terdapat gas beracun atau kekurangan oksigen
Universitas Sumatera Utara
Dengan mengenakan masker, diharapkan
pekerja
melindungi
dari
kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan akibat terpapar udara yang kadar debunya tinggi. Walaupun demikian, tidak ada jaminan bahwa dengan mengenakan masker, seorang pekerja akan terhindar dari kemungkinan terjadinya gangguan pernafasan (Khumaidah, 2009). 2.2.4. Manfaat Pemakaian APD Pemakaian APD bermanfaat untuk melindungi tenaga kerja dan juga merupakan salah satu upaya mencegah terjadinya kecelakaan kerja dan penyakit akibat kerja oleh bahaya potensial pada suatu perusahaan yang tidak dapat dihilangkan atau dikendalikan (Suma’mur, 1996).
2.3. Perilaku 2.3.1. Pengertian Perilaku Dari aspek biologis perilaku adalah suatu kegiatan atau aktivitas organisme atau makhluk hidup yang bersangkutan (Notoatmodjo, 2012). Menurut Skinner dalam Notoatmodjo (2012) merumuskan bahwa perilaku merupakan respons atau reaksi seseorang terhadap stimulus (rangsangan dari luar). Dengan demikian perilaku manusia terjadi melalui proses : Stimulus --- Organisme--- Respon, sehingga teori Skinner ini disebut teori “SOR”. Berdasarkan Teori SOR, maka perilaku manusia dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni : a. Perilaku tertutup (covert behavior); Perilaku tertutup terjadi bila respons terhadap
Universitas Sumatera Utara
stimulus tersebut masih belum dapat diamati orang lain (dari luar) secara jelas. Respon seseorang masih terbatas dalam bentuk perhatian, perasaan, persepsi, pengetahuan dan sikap terhadap stimulus. b. Perilaku terbuka (overt behavior); Perilaku terbuka terjadi bila respons terhadap stimulus tersebut sudah berupa tindakan atau praktik ini dapat diamati orang lain dari luar Berdasarkan pembagian domain oleh Bloom, dan untuk kepentingan pendidikan praktis, dikembangkan menjadi tingkat ranah perilaku sebagai berikut (Notoatmodjo, 2012) : a. Pengetahuan (Knowledge) Pengetahuan adalah hasil penginderaan manusia, atau hasil tahu seseorang terhadap objek melalui indra yang dimilikinya (mata, hidung, telinga, dan sebagainya). b. Sikap (Attitude) Sikap adalah respon tertutup seseorang terhadap stimulus atau objek tertentu, yang sudah melibatkan faktor pendapat dan emosi yang bersangkutan. c. Tindakan atau praktik (Practice) Seperti telah disebutkan di atas bahwa sikap adalah kecenderungan untuk bertindak (praktik). Sikap belum tentu terwujud dalam tindakan, sebab untuk terwujudnya tindakan perlu faktor lain; adanya fasilitas atau sarana dan prasarana. 2.3.2. Determinan Perilaku Kesehatan Faktor penentu atau determinan perilaku manusia sulit untuk dibatasi karena
Universitas Sumatera Utara
perilaku merupakan resultansi dari berbagai faktor, baik internal maupun eksternal (lingkungan). Secara lebih terinci perilaku manusia sebenarnya merupakan refleksi dari berbagai gejala kejiwaan, seperti pengetahuan, keinginan, kehendak, minat, motivasi, persepsi, sikap dan sebagainya. Namun demikian pada realitasnya sulit dibedakan atau dideteksi gejala kejiwaan yang menentukan perilaku seseorang. Apabila ditelusuri lebih lanjut, gejala kejiwaan tersebut ditentukan atau dipengaruhi oleh berbagai faktor lain, diantaranya adalah faktor pengalaman, keyakinan, sarana fisik, sosiobudaya masyarakat dan sebagainya (Notoatmodjo, 2012). 2.3.3. Faktor-Faktor yang Memengaruhi Perilaku Menurut teori Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2012) menyatakan bahwa perilaku manusia dipengaruhi oleh 2 faktor pokok, yakni faktor perilaku (behavior causes) dan faktor di luar perilaku (non behavior causes). Selanjutnya perilaku itu sendiri ditentukan atau terbentuk dari 3 faktor yaitu : a. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yang mencakup pengetahuan, sikap, kepercayaan, keyakinan, nilai-nilai dan sebagainya. b. Faktor Pendukung (Enabling Factors), yang mencakup lingkungan fisik, tersedia atau tidak tersedianya fasilitas-fasilitas atau sarana-sarana keselamatan kerja, misalnya ketersediaan alat pelindung diri (APD), pelatihan, dan sebagainya. c. Faktor Penguat (Reinforcing Factors), faktor-faktor ini meliputi undangundang, peraturan-peraturan, kebijakan, pengawasan dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
Predisposing Factors - kebiasaan - kepercayaan - tradisi - pengetahuan - sikap
Pendidikan Kesehatan
Enabling Factors - ketersediaan fasilitas - ketercapaian fasilitas
Non Perilaku
Masalah Kesehatan Perilaku
Reinforcing Factors - sikap dan perilaku petugas - peraturan pemerintah Gambar 2.1 Bagan Precede Lawrence W. Green 2.3.3.1. Faktor Predisposisi (Predisposing Factors) 2.3.3.1.1. Pengetahuan Pengetahuan merupakan hasil dari tahu, dan ini terjadi setelah orang melakukan penginderaan terhadap objek tertentu. Penginderaan terjadi melalui panca indera manusia, yakni indera penglihatan, pendengaran, penciuman, rasa dan raba. Sebagian besar pengetahuan manusia
diperoleh
melalui
mata
dan
telinga
(Notoatmodjo, 2012). Apabila penerimaan perilaku baru atau adopsi perilaku melalui proses yang didasari pengetahuan, kesadaran dan sikap yang positif, maka perilaku tersebut akan bersifat langgeng (long lasting) daripada perilaku yang tidak didasari oleh
Universitas Sumatera Utara
pengetahuan. Pengetahuan atau kognitif merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan seseorang dalam hal ini pengetahuan yang tercakup dalam domain kognitif mempunyai 6 tingkatan (Notoatmodjo, 2012). a. Tahu (know) Tahu diartikan sebagai mengingat suatu materi yang telah dipelajari sebelumnya. Termasuk ke dalam pengetahuan tingkat ini adalah mengingat kembali (recall) sesuatu yang spesifik dari seluruh bahan yang dipelajari atau rangsangan yang telah diterima. Oleh sebab itu tahu ini merupakan tingkat pengetahuan yang paling rendah. b. Memahami (comprehension) Memahami diartikan sebagai suatu kemampuan untuk menjelaskan secara benar tentang objek yang diketahui, dan dapat menginterpretasikan materi tersebut secara benar. Orang yang telah paham terhadap objek atau materi harus dapat menjelaskan, menyebutkan contoh, menyimpulkan, meramalkan dan sebagainya terhadap objek yang telah dipelajari. c. Aplikasi (application) Aplikasi diartikan sebagai kemampuan untuk menggunakan materi yang telah dipelajari pada situasi atau kondisi real (sebenarnya). Aplikasi di sini dapat diartikan sebagai aplikasi atau penggunaan hukum-hukum, rumus, metode, prinsip dan sebagainya dalam konteks atau situasi yang lain. d. Analisis (analysis) Analisis adalah suatu kemampuan untuk menjabarkan materi atau suatu
Universitas Sumatera Utara
objek ke dalam komponen-komponen, tetapi masih di dalam struktur organisasi, dan masih ada kaitannya satu sama lain. Kemampuan analisis ini dapat dilihat dari penggunaan kata kerja, seperti dapat menggambarkan (membuat bagan), membedakan, memisahkan, mengelompokkan dan sebagainya. e.
Sintesis (synthesis) Sintesis menunjukkan kepada suatu kemampuan untuk meletakkan atau menghubungkan bagian-bagian di dalam suatu bentuk keseluruhan yang baru. Dengan kata lain sintesis adalah suatu kemampuan untuk menyusun formulasi baru dari formulasi-formulasi yang ada. Misalnya dapat menyusun, dapat merencanakan, dapat meringkaskan, dapat menyesuaikan, dan sebagainya terhadap suatu teori atau rumusan-rumusan yang telah ada.
f.
Evaluasi (evaluation) Evaluasi ini berkaitan dengan kemampuan untuk melakukan justifikasi atau penilaian terhadap suatu materi atau objek. Penilaian-penilaian ini didasarkan pada suatu kriteria yang telah ditentukan sendiri, atau menggunakan kriteria- kriteria yang telah ada. Menurut Lavine (1962) pengetahuan pekerja dalam penggunaan alat pelindung
diri yang baik dan aman mutlak dimiliki penggunanya mengingat bahaya yang dapat ditimbulkan, untuk itu pekerja harus tahu fungsi dari APD itu sendiri serta potensi bahaya pada tempat kerjanya. Dengan demikian pengetahuan akan timbul akibat rasa takut akan sesuatu yang mungkin terjadi dan jika pekerja tahu akan dampak atau bahaya yang akan timbul jika tidak menggunakan APD, maka diharapkan
Universitas Sumatera Utara
pekerja akan memberikan perhatian dalam penggunaan APD (Elfrida, 2006). Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998 dikatakan
bahwa secara statistik tidak ada hubungan
pengetahuan
pekerja
dengan
perilaku
penggunaan
yang bermakna antara APD. Menurutnya bahwa
pengetahuan adalah sesuatu yang perlu tetapi bukan merupakan faktor yang cukup kuat untuk mengubah perilaku, bahkan tidak jarang mereka yang mempunyai pengetahuan yang
tinggi cenderung
bertindak
ceroboh,
dengan
demikian
pengetahuan yang tinggi merupakan sarana yang baik untuk mengubah perilaku, namun perlu dibarengi dengan niat yang kuat sehingga seorang pekerja akan bertindak sesuai dengan tingkatan pengetahuannya. 2.3.3.1.2. Sikap Sikap merupakan reaksi atau respons yang masih tertutup dari seseorang terhadap suatu stimulus atau objek. Dari batasan –batasan diatas dapat disimpulkan bahwa manifestasi sikap itu tidak dapat langsung dilihat, tetapi hanya dapat ditafsirkan terlebih dahulu dari perilaku yang tertutup (Notoatmodjo, 2012). Allport (1954) dalam Notoatmodjo (2003) menjelaskan bahwa sikap itu mempunyai 3 komponen pokok : 1. Kepercayaan (keyakinan), ide dan konsep terhadap suatu objek 2. Kehidupan emosional atau evaluasi tehadap suatu objek 3. Kecendrungan untuk bertindak (tend to behave)
Universitas Sumatera Utara
Ketiga komponen ini secara bersama-sama membentuk sikap yang utuh (total atitude). Dalam penentuan sikap yang utuh ini, pengetahuan, pikiran, keyakinan, dan emosi memegang peranan penting. 2.3.3.2. Faktor Pendukung (Enabling Factors) 2.3.3.2.1. Ketersediaan Alat Pelindung Diri Dalam UU No.1 Tahun 1970 pasal 14 butir c menyatakan bahwa pengurus (pengusaha)
diwajibkan
untuk mengadakan secara cuma-cuma,
semua alat
perlindungan diri yang diwajibkan pada tenaga kerja yang berada dibawah pimpinannya dan menyediakan bagi setiap orang lain yang memasuki tempat kerja tersebut, disertai dengan petunjuk-petunjuk yang diperlukan menurut petunjuk pegawai pengawas atau ahli-ahli keselamatan kerja. Perlindungan perorangan harus dianggap sebagai garis pertahanan terakhir, karena sering peralatan ini tidak praktis untuk dipakai dan menghambat gerakan. Karenanya tidak mengherankan bila kadangkala dikesampingkan oleh pekerja. Karena peralatan dirancang untuk mencegah bahaya luar agar tidak mengenai tubuh pekerja, ia menahan panas tubuh dan uap air di dalamnya, sehingga pekerja menjadi gerah, berkeringat dan cepat lelah (ILO, 1989). Oleh karena itu alat pelindung diri yang dianggap sebagai garis pertahanan terakhir harus disediakan sesuai dengan kebutuhan dan cocok untuk setiap pekerja yang menggunakannya agar tidak timbul adanya kecelakaan dan penyakit akibat kerja disebabkan karena ketidaknyamanan pekerja dalam menggunakan APD tersebut.
Universitas Sumatera Utara
Menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Pudjowati pada tahun 1998 dikatakan bahwa secara statistik ada hubungan yang bermakna antara proporsi penggunaan APD yang mengatakan bahwa fasilitas tersedia cukup dan yang menyatakan fasilitas tersedia kurang. Menurut penjelasannya bahwa selain sebagian besar pekerjanya menyatakan bahwa fasilitas yang tersedia mencukupi juga berdasarkan informasi dari pihak manajemen yang disediakan telah mencukupi. Hal ini menunjukkan bahwa ketersediaan alat pelindung yang cukup menjadi salah satu faktor yang memudahkan untuk terbentuknya perilaku menggunakan APD. Sedangkan menurut hasil penelitian yang dilakukan oleh Sumbung pada tahun 2000 bahwa secara statistik menunjukkan tidak ada hubungan bermakna antara fasilitas dengan penggunaan APD. Menurut pernyataan sebagian besar pekerja bahwa fasilitas APD yang telah disediakan telah mencukupi namun masih terdapat beberapa jenis alat pelindung diri yang kurang nyaman pada saat dipakai. Sehingga memungkinkan pekerja tidak disiplin dalam menggunakannya. 2.3.3.3. Faktor Penguat (Reinforcing Factors) Faktor-faktor ini mencakup faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. 2.3.3.3.1. Dukungan Koperasi TKBM Hasil penelitian yang dilakukan oleh Haru (2008) terhadap praktek kerja TKBM di Pelabuhan Tanjung Emas Semarang Tahun 2008 menunjukkan bahwa ada pengaruh dukungan koperasi TKBM terhadap penggunaan APD untuk pencegahan kecelakaan kerja dan berkaitan dengan penyakit yang bisa ditimbulkan akibat kerja.
Universitas Sumatera Utara
2.3.3.3.2. Dukungan Petugas Kesehatan Hasil penelitian yang dilakukan oleh Hakim terhadap Perilaku penggunaan APD oleh pekerja radiasi pada Instalasi Radiologi Rumah Sakit di Kota Palembang Tahun 2004 bahwa dukungan petugas kesehatan menunjukkan hubungan yang bermakna dengan perilaku penggunaan APD, dimana dari hasil penelitian tersebut perlu dilakukan penyuluhan atau sosialisasi tentang perlunya penggunaan APD untuk pencegahan kecelakaan dan penyakit akibat kerja.
2.4. Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) Tenaga Kerja Bongkar Muat (TKBM) adalah semua tenaga kerja yang terdaftar pada pelabuhan setempat yang melakukan kegiatan bongkar muat di Pelabuhan (Dephub RI, 2007).
2.5. Kegiatan Bongkar Muat Kegiatan bongkar muat barang dari dan ke kapal adalah kegiatan yang meliputi : 2.5.1. Stevedoring Adalah pekerjaan membongkar barang dari kapal ke dermaga/tongkang/truk atau memuat barang dari dermaga/tongkang/truk kedalam kapal sampai dengan tersusun dalam palka kapal dengan menggunakan Derek kapal atau Derek darat. 2.5.2. Cargodoring Adalah pekerjaan melepaskan barang dari tali/jala-jala (ex tackle) di dermaga
Universitas Sumatera Utara
dan mengangkut dari dermaga ke gudang/lapangan penumpukan selanjutnya menyusun di gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya. 2.5.3. Receiving/Delivery Adalah pekerjaan memindahkan barang dari timbunan/tempat penumpukan di gudang/lapangan penumpukan dan menyerahkan sampai tersusun di atas kendaraan di pintu gudang/lapangan penumpukan atau sebaliknya. (Dephub RI, 2007).
2.6. Landasan Teori Dalam membuat kerangka konsep, peneliti menggunakan teori Lawrence Green (1980) dimana faktor perilaku ditentukan oleh 3 (tiga) faktor utama, yaitu : 2.6.1. Faktor-faktor Predisposisi (Predisposing Factors), yaitu faktor-faktor yang mempermudah atau mempredisposisi terjadinya perilaku seseorang, antara lain pengetahuan, sikap, keyakinan, kepercayaan, nilai-nilai, tradisi. 2.6.2. Faktor-faktor Pendukung (Enabling Factors) adalah faktor-faktor yang memungkinkan atau yang memfasilitasi perilaku atau tindakan. Yang dimaksud dengan faktor pemungkin adalah sarana dan prasarana atau fasilitas untuk terjadinya perilaku kesehatan. 2.6.3. Faktor-faktor Penguat (Reinforcing Factors) adalah faktor-faktor yang mendorong atau memperkuat terjadinya perilaku. Seperti keluarga, teman, guru, tokoh masyarakat, tokoh agama, petugas kesehatan dan pengambil kebijakan.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep Berdasarkan landasan teori diatas maka dapat disusun kerangka konsep penelitian sebagai berikut : Variabel Independent
Variabel Dependent
Faktor Predisposisi 1. Pengetahuan 2. Sikap Faktor Pendukung 1. Ketersediaan APD
Pencegahan Pneumokoniosis
Faktor Penguat 1. Dukungan Koperasi TKBM 2. Dukungan Petugas Kesehatan
Gambar 2.2 Bagan Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara