BAB 2 TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Kebijakan Kesehatan 2.1.1 Pengertian Kebijakan Banyak definisi yang dibuat oleh para ahli untuk menjelaskan arti kebijakan. Thomas Dye menyebutkan kebijakan sebagai pilihan pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu (whatever government chooses to do or not to do). Friedrich mengatakan bahwa yang paling pokok bagi suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective) atau kehendak (purpose) (Abidin, 2002). Definisi kebijakan publik dari Thomas Dye tersebut mengandung makna bahwa : a. Kebijakan publik tersebut dibuat oleh badan pemerintah. b. Kebijakan publik menyangkut pilihan yang harus dilakukan atau tidak dilakukan oleh badan pemerintah (Abidin, 2002). Menurut Dunn proses kebijakan publik terdiri dari lima tahapan yaitu sebagai berikut : a. Penyusunan agenda (agenda seting), yakni suatu proses agar suatu masalah bisa mendapat perhatian dari pemerintah. b. Formulasi kebijakan (policy formulation), yakni suatu proses perumusan pilihanpilihan atau alternatif pemecahan masalah oleh pemerintah.
8 Universitas Sumatera Utara
c. Penentuan kebijakan (policy adoption), yakni suatu proses dimana pemerintah menetapkan alternatif kebijakan apakah sesuai dengan kriteria yang harus dipenuhi, menentukan siapa pelaksana kebijakan tersebut, dan bagaimana proses atau strategi pelaksanaan kebijakan tersebut. d. Implementasi kebijakan (policy implementation), yaitu suatu proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil, pada tahap ini perlu adanya dukungan sumberdaya dan penyusunan organisasi pelaksana kebijakan. e. Evaluasi kebijakan (policy evaluation), yakni suatu proses untuk memonitor dan menilai hasil atau kinerja kebijakan (Subarsono, 2005). 2.1.2.Pengertian Kebijakan Kesehatan Kebijakan publik bersifat multidisipliner termasuk dalam bidang kesehatan sehingga kebijakan kesehatan merupakan bagian dari kebijakan publik. Dari penjelasan tersebut maka diuraikanlah tentang pengertian kebijakan kesehatan yaitu konsep dan garis besar rencana suatu pemerintah untuk mengatur atau mengawasi pelaksanaan pembangunan kesehatan dalam rangka mencapai derajat kesehatan yang optimal pada seluruh rakyatnya (AKK USU, 2010). Kebijakan kesehatan merupakan pedoman yang menjadi acuan bagi semua pelaku pembangunan kesehatan, baik pemerintah, swasta, dan masyarakat dalam penyelenggaraan
pembangunan
kesehatan
dengan
memperhatikan
kerangka
desentralisasi dan otonomi daerah (Depkes RI, 2009).
Universitas Sumatera Utara
2.2. Implementasi Kebijakan Implementasi adalah proses untuk melaksanakan kebijakan supaya mencapai hasil. Kebijakan yang telah direkomendasikan untuk dipilih oleh policy makers bukanlah jaminan bahwa kebijakan tersebut pasti berhasil dalam implementasinya (Subarsono, 2005). Secara garis besar fungsi implementasi adalah untuk membentuk suatu hubungan yang memungkinkan tujuan-tujuan ataupun sasaran-sasaran kebijakan publik diwujudkan sebagai outcome (hasil akhir) kegiatan-kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah (Wahab, 2008). Van
Meter
dan
Horn
menyatakan
bahwa
implementasi
kebijakan
menghubungkan antara tujuan kebijakan dan realisasinya dengan hasil kegiatan pemerintah dimana tugas implementasi adalah membangun jaringan yang memungkinkan tujuan kebijakan publik direalisasikan melalui aktivitas instansi pemerintah
yang
melibatkan
berbagai
pihak
yang
berkepentingan
(policy
stakeholders) (Subarsono, 2005). Tahap implementasi kebijakan dapat dicirikan dan dibedakan dengan tahap pembuatan kebijakan. Pembuatan kebijakan di satu sisi merupakan proses yang memiliki logika bottom-up, dalam arti proses kebijakan diawali dengan penyampaian aspirasi, permintaan atau dukungan dari masyarakat. Sedangkan implementasi kebijakan di sisi lain di dalamnya memiliki logika top-down, dalam arti penurunan alternatif kebijakan yang abstrak atau makro menjadi tindakan konkrit atau mikro (Parsons, 2008).
Universitas Sumatera Utara
Langkah implementasi kebijakan dapat disamakan dengan fungsi actuating dalam rangkaian fungsi manajemen. Aksi disini merupakan fungsi tengah yang terkait erat dengan berbagai fungsi awal, seperti perencanaan (planning), pengorganisasian (organizing), pembenahan personil (stuffing) dan pengawasan (controlling). Sebagai langkah awal pada pelaksananan adalah identifikasi masalah dan tujuan serta formulasi kebijakan. Untuk langkah akhir dari rangkaian kebijakan berada pada monitoring dan evaluasi (Abidin, 2002). Implementasi kebijakan dipengaruhi oleh beberapa variabel dan masingmasing variabel tersebut saling berhubungan satu sama lain. Dalam pandangan Edward III (1980), implementasi kebijakan mempunyai 4 variabel yaitu : a. Komunikasi Implementasi kebijakan mensyaratkan implementor mengetahui apa yang harus dilakukan. Apa yang menjadi tujuan dan sasaran kebijakan harus ditransmisikan kepada kelompok sasaran sehingga akan mengurangi distorsi implementasi. Apabila tujuan dan sasaran suatu kebijakan tidak jelas atau bahkan tidak diketahui sama sekali oleh kelompok sasaran, maka kemungkinan akan terjadi resistensi dari kelompok sasaran (Subarsono, 2005). Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran atas program maka akan mengurangi tingkat penolakan dan kekeliruan dalam mengaplikasikan kebijakan (Indiahono, 2009). b. Sumber Daya Walaupun isi kebijakan sudah dikomunikasikan secara jelas dan konsisten, tetapi apabila implementor kekurangan sumberdaya untuk melaksanakan, implementasi
Universitas Sumatera Utara
tidak akan berjalan efektif. Sumberdaya tersebut dapat berwujud sumberdaya manusia maupun sumberdaya finansial (Subarsono, 2005). Sumberdaya manusia adalah kecukupan baik kualitas dan kuantitas implementor yang dapat melingkupi seluruh kelompok sasaran. Sumberdaya finansial adalah kecukupan modal dalam melaksanakan kebijakan. Keduanya harus diperhatikan dalam implementasi kebijakan. Tanpa sumberdaya, kebijakan hanya tinggal dikertas menjadi dokumen saja (Indiahono, 2009). c. Disposisi Disposisi adalah watak dan karateristik yang dimiliki oleh implementor seperti komitmen, kejujuran, sifat demokratis. Apabila implementor memiliki disposisi yang baik maka dia akan dapat menjalankan kebijakan dengan baik seperti apa yang diinginkan oleh pembuat kebijakan. Ketika implementor memiliki sikap atau perspektif yang berbeda dengan pembuat kebijakan maka proses implementasi kebijakan juga menjadi tidak efektif (Subarsono, 2005). Kejujuran mengarahkan implementor untuk tetap berada dalam arah program yang telah digariskan dalam program. Komitmen dan kejujurannya membawanya semakin antusias dalam melaksanakan tahap-tahap program secara konsisten. Sikap yang demokratis akan meningkatkan kesan baik implementor dan kebijakan dihadapan anggota kelompok sasaran. Sikap ini akan menurunkan resistensi dari masyarakat dan menumbuhkan rasa percaya dan kepedulian kelompok sasaran terhadap implementor dan kebijakan (Indiahono, 2009).
Universitas Sumatera Utara
d. Struktur Birokrasi Struktur organisasi yang bertugas mengimplementasikan kebijakan memiliki pengaruh yang signifikan terhadap implementasi kebijakan. Salah satu dari aspek struktur yang penting dari setiap organisasi adalah adanya prosedur operasi yang standar (SOP atau standard operating procedures). SOP menjadi pedoman bagi setiap implementor dalam bertindak. Struktur organisasi yang terlalu panjang akan cenderung melemahkan pengawasan dan menimbulkan red-tape, yakni prosedur birokrasi yang rumit dan kompleks. Ini menyebabkan aktivitas organisasi tidak fleksibel (Subarsono, 2005). Keempat variabel diatas dalam model yang dibangun oleh Edward memiliki keterkaitan satu dengan yang lain dalam mencapai tujuan dari kebijakan. Semuanya saling bersinergi dalam mencapai tujuan dan satu variabel akan mempengaruhi variabel yang lain. Misalnya bila implementor tidak jujur akan mudah sekali melakukan mark up dan korupsi atas dana kebijakan sehingga program tidak optimal dalam mencapai tujuannya. Begitu pula bila watak dari implementor kurang demokratis akan sangat mempengaruhi proses komunikasi dengan kelompok sasaran. Model implementasi dari Edward ini dapat digunakan sebagai alat menggambarkan implementasi program diberbagai tempat dan waktu. Tidak semua kebijakan berhasil dilaksanakan secara sempurna karena pelaksanaan kebijakan pada umumnya memang lebih sukar dari
sekedar
merumuskannya. Proses perumusan memerlukan pemahaman tentang berbagai aspek dan disiplin ilmu terkait serta pertimbangan mengenai berbagai pihak namun
Universitas Sumatera Utara
pelaksanaan kebijakan tetap dianggap lebih sukar. Dalam kenyataannya sering terjadi implementation gap yaitu kesenjangan atau perbedaan antara apa yang dirumuskan dengan apa yang dilaksanakan. Kesenjangan tersebut bisa disebabkan karena tidak dilaksanakan dengan sebagaimana mestinya (non implementation) dan karena tidak berhasil atau gagal dalam pelaksanaannya (unsuccessful implementation) (Abidin 2002). Dalam implementasi kebijakan terdapat beberapa faktor eksternal yang biasanya mempersulit pelaksanaan suatu kebijakan, antara lain : a. Kondisi Fisik Terjadinya perubahan musim atau bencana alam. Dalam banyak hal kegagalan pelaksanaan kebijakan sebagai akibat dari faktor-faktor alam ini sering dianggap bukan sebagai kegagalan dan akhirnya diabaikan, sekalipun dalam hal-hal tertentu sebenarnya bisa diantisipasi untuk mencegah dan mengurangi resiko yang terjadi. b. Faktor Politik Terjadinya perubahan politik yang mengakibatkan pertukaran pemerintahan dapat mengubah orientasi atau pendekatan dalam pelaksanaan bahkan dapat menimbulkan perubahan pada seluruh kebijakan yang telah dibuat. Perubahan pemerintahan dari kepala pemerintahan kepada kepala pemerintahan lain dapat menimbulkan
perbedaan
orientasi
pemerintahan,
perubahan
dari
industrialisasi
ke
orientasi
sentralisasi
orientasi
agri-bisnis,
yang
ke
desentralisasi
memprioritaskan
perubahan
dari
orientasi
sistem strategi yang
memprioritaskan pasar terbuka ke strategi dependensi dan sebagainya.
Universitas Sumatera Utara
c. Attitude Attitude dari sekelompok orang yang cenderung tidak sabar menunggu berlangsungnya proses kebijakan dengan sewajarnya dan memaksa melakukan perubahan. Akibatnya, terjadi perubahan kebijakan sebelum kebijakan itu dilaksanakan. Perubahan atas sesuatu peraturan perundang-undangan boleh saja terjadi, namun kesadaran untuk melihat berbagai kelemahan pada waktu baru mulai diberlakukan tidak boleh dipandang sebagai attitude positif dalam budaya bernegara. d. Terjadi penundaan karena kelambatan atau kekurangan faktor inputs. Keadaan ini terjadi karena faktor-faktor pendukung yang diharapkan tidak tersedia pada waktu yang dibutuhkan, atau mungkin karena salah satu faktor dalam kombinasi faktor-faktor yang diharapkan tidak cukup. e. Kelemahan salah satu langkah dalam rangkaian beberapa langkah pelaksanaan. Jika pelaksanaan memerlukan beberapa langkah yang berikut : A > B > C > D, kesalahan dapat terjadi diantara A dengan B atau diantara B dengan C dan atau antara C dengan D. f. Kelemahan pada kebijakan itu sendiri. Kelemahan ini dapat terjadi karena teori yang melatarbelakangi kebijakan atau asumsi yang dipakai dalam perumusan kebijakan tidak tepat (Abidin, 2002). Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan diinginkan, asumsi yang realistis dan informasi yang relevan dan lengkap. Tetapi tanpa pelaksanaan yang baik, sebuah rumusan kebijakan yang baik sekalipun hanya akan merupakan sekedar
Universitas Sumatera Utara
suatu dokumen yang tidak mempunyai banyak arti dalam kehidupan bermasyarakat (Abidin, 2002).
2.3. Kebijakan Kesehatan sebagai Tanggung Jawab Pemerintah Menurut UU No. 36 tahun 2009 tentang kesehatan bahwa kesehatan adalah keadaan sehat, baik secara fisik, mental, spiritual maupun sosial yang memungkinkan setiap orang untuk hidup produktif secara sosial dan ekonomi. Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 5 disebutkan bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh derajat kesehatan. Menurut UU Kesehatan No.36 tahun 2009 pasal 14 disebutkan bahwa pemerintah bertanggung jawab merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat.
2.4. Kebijakan Kesehatan dalam Program Pemberantasan DBD Depkes
telah
melewati
pengalaman
yang
cukup
panjang
dalam
penanggulangan penyakit DBD. Pada awalnya strategi utama pemberantasan DBD adalah memberantas nyamuk dewasa melalui pengasapan. Kemudian strategi diperluas dengan menggunakan larvasida yang ditaburkan ke TPA (Tempat Penampungan Air). Kedua metode ini sampai sekarang belum memperlihatkan hasil yang memuaskan terbukti dengan peningkatan kasus dan bertambahnya jumlah wilayah yang terjangkit DBD. Mengingat obat dan vaksin untuk membunuh virus dengue belum ada maka cara yang paling efektiv untuk mencegah penyakit DBD
Universitas Sumatera Utara
ialah dengan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) yang dilaksanakan oleh masyarakat atau keluarga secara teratur setiap seminggu sekali. Oleh karena itu saat ini Departemen Kesehatan lebih memprioritaskan upaya Pemberantasan Sarang Nyamuk (Ditjen PP & PL, 2004). Berdasarkan wawancara yang dilakukan peneliti kepada Bagian PMK (Pengendalian Masalah Kesehatan) Dinkes Tebing Tinggi tentang kebijakan pemberantasan DBD di Tebing Tinggi dipaparkan sebagai berikut : a. Untuk pencegahan penyakit DBD dilaksanakan PSN (Pemberantasan Sarang Nyamuk) melalui 3M Plus dengan melibatkan masyarakat yaitu 3M yakni menguras dan menyikat tempat penampungan air, menutup rapat tempat penampungan air, mengubur barang bekas yang dapat menampung air. Kegiatan lainnya yang melibatkan masyarakat yaitu gotong royong dan ini dilakukan 1x 1minggu. Plus yakni memelihara ikan pemakan jentik, memasang kawat kasa, mengatur ventilasi dan pencahayaan dalam ruangan, mengganti air vas bunga atau tempat minum burung, menghindari menggantung pakaian dalam kamar, menggunakan obat anti nyamuk, menaburkan larvasida di tempat penampungan air, dan lainnya. Sosialiasi dibuat dalam bentuk leaflet, spanduk, baliho. Selain kegiatan tersebut pemerintah juga melakukan fogging massal dan abatesasi. b. Kegiatan yang melibatkan peran serta masyarakat diwujudkan kembali dalam kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala (PJB) yang dilaksanakan 1 bulan 1 kali oleh kader Jumantik ditiap puskesmas. Saat ini di Tebing Tinggi terdapat 356 kader
Universitas Sumatera Utara
Jumantik (2 orang kader per lingkungan) dengan penggajian Rp. 25.000 per bulan untuk setiap jumantik. c. Survailens / Penyelidikan Epidemiologi di Tebing Tinggi dilakukan pada setiap kasus yang dimiliki dengan radius 200 meter dari rumah penderita. Bila ditemukan bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya ataupun ditemukan faktor resiko (jentik) maka dilakukan fogging fokus dengan siklus 2 kali dan fogging massal bila diperlukan. d. Setiap RS di Tebing Tinggi memiliki Laporan Kewaspadaan Dini Rumah Sakit (KD-RS) DBD yang dikirim dalam 24jam setelah penegakan diagnosis sebagai laporan ke Dinas Kesehatan bahwa ada ditemukan penderita baru untuk segera dilaksanakan surveilans epidemiologi. Kriteria penetapan suatu daerah sebagai KLB (Kejadian Luar Biasa) sesuai dengan Peraturan Menkes RI No.1501/Menkes/Per/X/2010 yaitu : a. Timbulnya kasus yang sebelumnya tidak ada, atau tidak dikenal pada suatu daerah. b. Jumlah kasus dalam periode 1 bulan menunjukkan kenaikan 2 kali atau lebih dibandingkan dengan angka rata-rata kasus perbulan tahun sebelumnya. c. Angka kematian (CFR) dalam suatu kurun waktu tertentu menunjukkan kenaikan 50% atau lebih dibandingkan angka kematian periode seelumnya dalam kurun waktu yang sama (Ditjen PP & PL 2011). Sebagai pedoman dalam upaya untuk memberantas penyakit DBD maka telah dikeluarkan beberapa ketentuan melalui aspek hukum, antara lain : a. UU RI No.4 tahun 1984 tentang wabah penyakit menular.
Universitas Sumatera Utara
b. Kepmenkes No.581 tahun 1992 tentang pemberantasan penyakit DBD. c. PP No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi sebagai daerah otonom. d. Kepmenkes
No.004/Menkes/SK/I/2003
tentang
kebijakan
&
strategi
desentralisasi bidang kesehatan . e. Permenkes No.741 tahun 2008 tentang SPM bidang kesehatan di kabupaten/kota dengan target 100% kejadian DBD ditangani sesuai standar. f. Permenkes No.1501/Menkes/Per/X/2010 tentang jenis penyakit menular tertentu yang dapat menimbulkan wabah dan upaya penanggulangannya (hasil revisi dari Permenkes No.560 tahun 1989 karena dipandang tidak memadai lagi dalam penanggulangan berbagai penyakit menular yang dapat menimbulkan wabah). Dengan diberlakukannya UU No.32 tahun 2004 sebagai revisi UU No.22 tahun 1999 tantang pemerintahan daerah serta PP No.25 tahun 2000 tentang kewenangan pemerintah & kewenangan provinsi sebagai daerah otonom telah terjadi pelimpahan kewenangan dari pusat ke daerah termasuk didalamnya kewenangan dalam bidang kesehatan. Namun lambatnya penanganan penyakit demam berdarah itu tidak lepas dari kendala jarak dalam hubungan struktural antara pemerintah pusat & pemerintah kabupaten atau kota sebagai pelaksana program (Hidayat, 2008). Melalui Kepmenkes No. 581 tahun 1992, telah ditetapkan Program Nasional Penanggulangan DBD yang terdiri dari beberapa pokok program yaitu : a. Surveilans epidemiologi dan Penanggulangan KLB. Untuk setiap kasus DBD harus dilakukan penyelidikan epidemiologi meliputi radius 100 meter dari rumah
Universitas Sumatera Utara
penderita. Apabila ditemukan bukti-bukti penularan yaitu adanya penderita DBD lainnya, ada 3 penderita demam atau ada faktor resiko yaitu ditemukan jentik, maka dilakukan penyemprotan (Fogging Fokus) dengan siklus 2 kali disertai larvasidasi, dan gerakan PSN. b. Puskesmas melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik Berkala ( PJB ) setahun 4 kali untuk memonitor kepadatan jentik diwilayahnya. c. Lebih
mengutamakan
pencegahan
yaitu
dengan
melaksanakan
PSN
(Pemberantasan Sarang Nyamuk ) melalui 3M Plus, dengan melibatkan masyarakat. d. Memfasilitasi terbentuknya tenaga Jumantik ( Juru Pemantau Jentik) e. Kemitraan melalui wadah Pokjanal (Kelompok Kerja Operasional), bersama Depdagri dan lintas sektor lainnya terutama Depdiknas. f. Penyuluhan kepada masyarakat agar masyarakat tetap waspada (Ditjen PP & PL, 2011). Adapun beberapa pengembangan program pencegahan DBD dari programprogram yang ada yaitu : a. Mengaktifkan kembali Kelompok Kerja Operasional (Pokjanal) di berbagai tingkat administrasi. b. Pengendalian DBD masuk dalam SPM bidang kesehatan kabupaten atau kota sehingga upaya pengendalian (operasional dan non operasional) menjadi tanggung jawab kabupaten atau kota (Permenkes 741 tahun 2008).
Universitas Sumatera Utara
c. Kegiatan pengendalian DBD telah dimasukkan dalam petunjuk teknis BOK tahun 2011 berupa : surveilans, pelacakan dan penemuan kasus, serta pengendalian dan pemberantasan vektor. d. Advokasi kepada bupati atau walikota didaerah agar meningkatkan komitmen terhadap pengendalian DBD seperti meningatkan pendanaan untuk kegiatan juru pemantau jentik (Jumantik) contoh DKI Jakarta, Mojokerto (Jawa Tengah), Denpasar (Bali). e. Adanya regulasi pemerintah daerah tentang pengendalian DBD contoh beberapa daerah yang telah memiliki perda tentang pengendalian DBD antara lain DKI Jakarta, Jawa Timur, NTT. f. Meningkatkan kerjasama dengan sektor terkait : 1. Kementrian Pendidikan Nasional & Kementrian Agama :untuk mengaktifkan UKS. 2. Kementrian Dalam Negeri : untuk pemberdayaan masyarakat melalui PKK. 3. Kementrian Lingkungan Hidup : pengembangan surveilans berdasarkan iklim. g. Menggalang kemitraan dibidang kesehatan dengan mitra kerja masing-masing daerah (misalnya : perguruan tinggi, media massa, organisasi dan komponen masyarakat lainnya) dalam PSN (Ditjen PP & PL, 2011). Pada tanggal 14 – 15 Juni 2011 yang lalu Indonesia berhasil menyelenggarakan Asean Dengue Conference untuk pertama kalinya di Jakarta yang dihadiri oleh Negara yang tergabung dalam Asean dan menetapkan tanggal 15 Juni sebagai Hari Dengue se-Asean. Bersamaan dengan itu telah dilaksanakan pula dialog
Universitas Sumatera Utara
nasional yang dipimpin oleh Menteri Kesehatan dan Menteri Dalam Negeri serta dihadiri oleh perwakilan daerah se-Indonesia dan perwakilan WHO yang menghasilkan Deklarasi Nasional tahun 2011 yaitu : a. Meningkatkan mutu sumber daya manusia untuk lebih mampu mengatasi permasalahan demam berdarah. b. Meningkatkan upaya promosi kesehatan pencegahan demam berdarah. c. Meningkatkan mutu sistem pengamatan penyakit secara terus menerus (surveilans). d. Menyiapkan logistik serta pendanaan operasional yang memadai. e. Meningkatkan kerjasama antar lintas sektor pemerintah, swasta, dan masyarakat. f. Mengembangkan wilayah bebas jentik baik di institusi pemerintah , swasta, dan masyarakat, terutama di lingkungan sekolah dan tempat-tempat umum lainnya. g. Menggerakkan peran serta masyarakat mulai dari lembaga pendidikan, karang taruna, pramuka, PKK untuk lebih aktif dan tanggap terhadap demam berdarah. h. Meningkatkan peran pemerintah pusat dalam pengendalian demam berdarah. i. Melakukan revitalisasi Pokjanal, demam berdarah di berbagai tingkatan baik pusat, provinsi, kabupaten atau kota. j. Membuat regulasi daerah untuk pencegahan dan pengendalian demam berdarah (Ditjen PP & PL, 2011). Guru Besar Penyakit Dalam FK UI Prof. Nelwan mengatakan sejak 1975 Malaysia telah menerapkan undang-undang yang tidak memperkenankan adanya jentik nyamuk di rumah. Begitu juga dengan Singapura sejak 1996 memberlakukan
Universitas Sumatera Utara
ketentuan serupa yang disebut Destruction of Disease Bearing Insect untuk mengendalikan penularan demam berdarah melalui pengontrolan jentik di negaranya. Lewat aturan tersebut tiap pemilik rumah didenda bila dijumpai jentik nyamuk di rumah. Bagi Malaysia dan Singapura aturan khusus itu juga bisa menjadi sumber pendapatan negara. Singapura mengumpulkan uang penalti hingga 317 ribu dolar Singapura. Sedangkan Malaysia mencapai 2,4 juta ringgit Malaysia. Rita Kusriastuti berpendapat kalau pemerintah Indonesia berniat mengeluarkan aturan seperti itu harus dilaksanakan konsekuen sehingga tidak menjadi sia-sia. Beliau setuju terhadap aturan tersebut mengingat Indonesia belum ada regulasi seperti halnya Singapura atau Malaysia. Di Indonesia perkara mengeluarkan sebuah aturan memang bukan gampang setidaknya butuh waktu dan biaya apalagi pembuatan regulasi setingkat UU harus mengikutsertakan parlemen (Bantors, 2007). Berbagai gerakan yang pernah ada di masyarakat seperti Gerakan Disiplin Nasional (GDN), Gerakan Jumat Bersih (GJB), Adipura, Kota Sehat dan gerakan lain serupa dapat dihidupkan kembali untuk membudayakan Perilaku Hidup Bersih Sehat (PHBS). Negara Sri Lanka menggunakan Green Home Movement yaitu menempelkan stiker hijau bagi rumah yang memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan termasuk bebas dari jentik nyamuk Aedes aegypti dan menempelkan stiker hitam pada rumah yang tidak memenuhi syarat kebersihan dan kesehatan. Bagi pemilik rumah yang ditempeli stiker hitam diberi peringatan 3 kali untuk membersihkan rumah dan lingkungannya dan jika tidak dilakukan maka orang tersebut didenda (BPPN, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Untuk mengoptimalkan upaya pemberdayaan masyarakat dalam PSN DBD maka pada tahun 2004 WHO memperkenalkan suatu pendekatan baru yaitu Komunikasi Perubahan Perilaku / KPP ( Communications for Behavioral Impact / COMBI ), tetapi beberapa Negara di dunia seperti Negara Asean (Malaysia, Laos, Vietnam), Amerika Latin telah menerapkan pendekatan ini dengan hasil yang baik. Di Indonesia sudah diterapkan daerah uji coba yaitu di Jakarta Timur dan memberikan hasil yang baik. Pendekatan ini lebih menekankan kepada kekompakan kerja tim, yang disebut sebagai tim kerja dinamis dan penyampaian pesan, materi dan media komunikasi direncanakan berdasarkan masalah yang ditemukan oleh masyarakat dengan cara pemecahan masalah yang disetujui bersama. Diharapkan dengan pendekatan KPP / Combi ini, perubahan perilaku masyarakat kearah pemberdayaan PSN dapat tercapai secara optimal (Ditjen PP & PL,2008). DKI Jakarta telah memiliki Perda No.6 Tahun 2007 tentang pengendalian penyakit DBD dimana dalam pasal 21 disebutkan bahwa setiap orang yang melanggar ketentuan dan pada tempat tinggalnya ditemukan ada jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk Aedes albopictus dikenakan sanksi sebagai berikut: a. Teguran tertulis. b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada Masyarakat melalui penempelan stiker di pintu rumah. c. Denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (Lima Puluh Juta Rupiah) atau pidana kurungan paling lama 2 (dua) bulan.
Universitas Sumatera Utara
Pasal 22 menyebutkan bahwa setiap pengelola, penanggung jawab atau pimpinan yang karena kedudukan, tugas, atau wewenangnya bertanggung jawab terhadap urusan kerumahtanggaan dan atau kebersihan lingkungan masyarakat yang melanggar ketentuan dan ditemukan jentik nyamuk Aedes aegypti atau jentik nyamuk Aedes albopictus pada lingkungan masyarakat yang menjadi lingkup tanggung jawabnya dikenakan sanksi sebagai berikut : a. Teguran tertulis b. Teguran tertulis diikuti pemberitahuan kepada masyarakat melalui penempelan stiker di lobbi atau pintu masuk kantor c. Denda paling sedikit Rp. 1.000.000,- (satu juta rupiah) atau denda paling banyak Rp. 50.000.000,- (lima puluh juta rupiah) atau pidana kurungan paling lama 3 (tiga) bulan. Program pencegahan dan pemberantasan DBD telah berlangsung lebih kurang 43 tahun dan berhasil menurunkan angka kematian dari 41,3% pada tahun 1968 menjadi 0,87 % pada tahun 2010, tetapi belum berhasil menurunkan angka kesakitan. Jumlah penderita cenderung meningkat, penyebarannya semakin luas, menyerang tidak hanya anak-anak tetapi juga golongan umur yang lebih tua. Pada tahun 2011 sampai bulan Agustus tercatat 24.362 kasus dengan 196 kematian (CFR: 0,80 %). Berdasarkan rekapitulasi data kasus yang ada sampai tanggal 22 Agustus 2011 tercatat hanya Provinsi Bali yang masih memiliki angka kesakitan DBD diatas target nasional (Ditjen PP & PL, 2011).
Universitas Sumatera Utara
DBD sangat endemis di Indonesia, penyebab meluasnya penyakit DBD di Indonesia multi faktorial antara lain: a. Faktor Manusia dan Sosial Budaya 1. Faktor manusia, kepadatan penduduk sangat berpengaruh pada kejadian kasus DBD, makin padat penduduk makin tinggi kasus DBD di kota tersebut. Hal ini karena berkaitan dengan penyediaan infrastruktur yang kurang memadai seperti penyediaan sarana air bersih, sarana pembuangan sampah, sehingga terkumpul barang-barang bekas yang dapat menampung air dan menjadi tempat perkembang biakan nyamuk Aedes, penular DBD. 2. Mobilitas manusia : perpindahan manusia dari satu kota ke kota lain mempengaruhi penyebaran penyakit DBD. 3. Perilaku manusia : kebiasaan menampung air untuk keperluan sehari-hari seperti menampung air hujan, air sumur, harus membeli air didalam bak mandi, membuat bak mandi atau drum/tempayan sebagai tempat perkembangbiakan nyamuk . 4. Kebiasaan menyimpan barang-barang bekas atau kurang memeriksa lingkungan terhadap adanya air-air yang tertampung didalam wadah-wadah dan kurang melaksanakan kebersihan dan 3M Plus ( menguras, menutup dan mengubur, serta Plus yaitu menaburkan larvasida , memelihara ikan pemakan jentik dll. ) b. Faktor Agen dan Lingkungan.
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor agen/ virus DBD : ada 4 serotipe yang tersebar luas di seluruh wilayah Indonesia, dan bersirkulasi sepanjang tahun, dipertahankan siklusnya didalam tubuh nyamuk. 2. Faktor nyamuk penular, yaitu Aedes aegypti yang tersebar luas diseluruh pelosok tanah air, populasinya meningkat pada saat musim hujan. 3. Faktor lingkungan: Musim hujan meningkatkan populasi nyamuk, namun di Indonesia musim kering pun populasinya tetap banyak karena orang cenderung menampung air dan didaerah sulit air orang menampung air didalam bak-bak air/drum, sehingga nyamuk dan jentik selalu ada sepanjang tahun. c. Standar Operasional Prosedur 1. Kurangnya pemahaman tentang penegakan diagnosis dan penatalaksanaan penderita DBD sesuai standar pada sebagian klinisi baik di Rumah Sakit, Puskesmas maupun sarana pelayanan kesehatan lainnya, sehingga sering terjadi over diagnosis. 2. Belum semua rumah sakit menggunakan form KD-RS (Kewaspadaan Dini Rumah Sakit) DBD dan seringnya keterlambatan pelaporan kasus dari rumah sakit ke Dinas Kesehatan atau ke Puskesmas. Jika sesuai standar, seharusnya setiap kasus yang ditemukan dilaporkan dalam waktu kurang dari 24 jam agar dapat dilakukan langkah-langkah penanggulangan kasus secara cepat dan tepat sebelum terjadi penyebaran lebih luas lagi. d. Ketersediaan Tenaga Pelayanan
Universitas Sumatera Utara
1. Faktor pelaksana program yang sering berganti-ganti, kurangnya petugas lapangan dan khususnya kurangnya pendanaan bagi pelaksanaan program pengendalian DBD. 2. Kegiatan pemeriksaan jentik berjalan namun tidak menyeluruh karena keterbatasan tenaga. Puskesmas melaksanakan PJB ( Pemeriksaan Jentik Berkala) dimana kader-kader jumantik melaksanakan pemeriksaan jentik seminggu sekali di lingkungannya, namun tidak tersedia dana operasional maupun biaya pengganti transport bagi para kader jumantik sehingga kegiatannya mengendur. Beberapa kota seperti Jakarta Timur, Pekalongan, Mojokerto sangat aktif melaksanakan kegiatan Pemeriksaan Jentik melalui peran serta masyarakat dan Jumantik. e. Kondisi Sarana Pendukung Mesin fogging tersedia disetiap Dinas Kesehatan kota atau Puskesmas jumlahnya bervariasi, namun biasanya tidak disertai biaya pemeliharaan. Oleh karena itu mesin-mesin yang rusak tidak tersedia suku cadang , sering kali diambil dari mesin-mesin yang ada, sehingga banyak mesin fogging yang rusak. f. SumberPembiayaan 1. Masalah DBD belum dianggap sebagai masalah prioritas di beberapa wilayah sehingga alokasi dana APBD untuk penanggulangan DBD masih tergolong kecil di masing-masing wilayah endemis. 2. Untuk penyemprotan suatu area , luas radius 100 meter ( 1 HA , estimasi hanya untuk 20-40 rumah ) dibutuhkan biaya Rp.300.000 - 500.000 / 2 siklus. Area
Universitas Sumatera Utara
yang disemprot harus memenuhi kriteria PE tersebut, dengan tujuan membunuh nyamuk yang mengandung virus. Oleh karena itu apabila masyarakat meminta penyemprotan yang tidak memenuhi kriteria PE, mereka harus menanggung biaya itu sendiri. Penyemprotan liar ini biasanya dilakukan oleh perusahaan penyemprot/ pihak swasta yang hanya mengutamakan aspek keuntungan saja. 3. Peningkatan kasus yang umumnya terjadi bulan Januari hingga Maret dimana pada bulan-bulan tersebut dana operasional belum turun dari APBD, ini membuat hambatan dalam pelaksanaan penanggulangan kasus di lapangan. g. Faktor kerjasama atau peran serta lintas sektor (Ditjen PP &PL, 2011).
2.5. Demam Berdarah Dengue 2.5.1. Pengertian DBD Demam Berdarah Dengue (DBD) adalah penyakit yang disebabkan oleh virus dari golongan Arbovirus yang ditandai dengan demam tinggi mendadak tanpa sebab yang jelas, berlangsung terus menerus selama 2‐7 hari, manifestasi perdarahan (petekie, purpura, perdarahan konjungtiva, epistaksis, perdarahan mukosa, perdarahan gusi, hematemesis, melena, hematuri) termasuk uji tourniquet (Rumple Leede) positif, trombositopeni (jumlah trombosit ≤ 100.000/l
), hemokonsentrasi (peningkatan
hemotokrit ≥ 20%) disertai atau tanpa pembesaran hati (hepatomegali) (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.5.2. Etiologi DBD Penyakit DBD disebabkan oleh virus Dengue yang termasuk kelompok B anthropida borne virus (Arboviruses). Dikenal sebagai genus Flavivirus, famili Flaviviridae dan mempunyai 4 jenis serotype, yaitu :DEN–1, DEN–2, DEN–3 dan DEN–4. Salah satu infeksi serotypeakan menimbulkan antibodi terhadap serotype yang bersangkutan, sedangkan antibodi yang terbentuk terhadap serotype lain dan sangat kekurangan, sehingga tidak dapat memberikan perlindungan terhadap serotype yang lain. Keempat serotype virus Dengue dapat ditemukan di berbagai daerah di Indonesia. Serotype DEN-3 merupakan serotype yang dominan dan diasumsikan banyak yang menunjukkan manifestasi klinis berat. Serotype DEN–3 berasal dari Asia, ditemukan pada populasi dengan tingkat imunitas rendah dengan tingkat penyebaran
yang
tinggi,
sudah
diketahui
sejak
300
tahun
yang
lalu
penanggulangannya belum juga tuntas (Depkes RI, 2005). 2.5.3. Cara Penularan DBD Terdapat tiga faktor yang memegang peranan pada penularan infeksi virus dengue, yaitu manusia, virus, dan vektor perantara. Virus dengue ditularkan kepada manusia melalui gigitan nyamuk Aedes aegypti. Nyamuk Aedes albopictus, Aedes polynesiensis dan beberapa spesies yang lain dapat juga menularkan virus ini, namun merupakan vektor yang kurang berperan. Nyamuk Aedes tersebut dapat mengandung virus dengue pada saat menggigit manusia yang sedang mengalami viremia. Kemudian virus yang berada di kelenjar liur berkembang biak dalam waktu 8-10 hari
Universitas Sumatera Utara
(extrinsic incubation period) sebelum dapat ditularkan kembali kepada manusia pada saat gigitan berikutnya. Virus dalam tubuh nyamuk betina dapat ditularkan kepada telurnya (transovanan transmission), namun perannya dalam penularan virus tidak penting. Sekali virus dapat masuk dan berkembangbiak di dalam tubuh nyamuk, nyamuk tersebut akan dapat menularkan virus selama hidupnya (infektif). Di tubuh manusia, virus memerlukan waktu masa tunas 46 hari (intrinsic incubation period) sebelum menimbulkan penyakit. Penularan dari manusia kepada nyamuk hanya dapat terjadi bila nyamuk menggigit manusia yang sedang mengalami viremia, yaitu 2 hari sebelum panas sampai 5 hari setelah demam timbul. Penyebaran nyamuk Aedes aegypti dipengaruhi oleh keadaan sekitarnya terutama keadaan lingkungan fisik, seperti kebersihan halaman rumah, jenis kontainer, perilaku dan sosial ekonomi masyarakat. Nyamuk ini dapat hidup dan berkembang biak sampai ketinggian daerah kurang lebih 1000 meter, nyamuk ini tidak dapat berkembang biak lebih dari ketinggian tersebut, suhu udara terlalu rendah sehingga tidak memungkinkan bagi kehidupan nyamuk untuk berkembang biak (Depkes RI, 2005). 2.5.4. Epidemiologi Secara epidemiologi dapat dilihat bahwa, kasus DBD dapat menyerang semua golongan umur, jenis kelamin, terutama anak – anak. Tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat ada kecenderungan peningkatan porsi penderita DBD pada golongan dewasa. Kasus DBD menunjukkan fluktuasi musiman, biasanya meningkat pada musim
Universitas Sumatera Utara
penghujan atau bebarapa minggu setelah musim hujan, maka kasus DBD memperlihatkan siklus 5 (lima) tahun sekali (Depkes RI, 2005). Peningkatan kasus diprediksikan akibat lemahnya surveilans epidemiologi dan upaya pemberdayaan masyarakat untuk memantau jentik sebagai upaya pencegahan kurang terlaksana secara optimal. Demikian juga dengan angka kematian meningkat akibat keterlambatan mendapat pertolongan, perilaku masyarakat membersihkan sarang nyamuk masih kurang (Sungkar, 2007). 2.5.5. Tanda dan Gejala Klinis Penyakit DBD pada umumnya menyerang anak-anak, tetapi dalam dekade terakhir ini terlihat adanya kecenderungan kenaikan proporsi pada kelompok dewasa. Sedangkan masa inkubasi DBD biasanya berkisar antara 4-7 hari (Depkes RI, 2005). Diagnosa penyakit DBD ditegakkan berdasarkan kriteria diagnosa WHO tahun 1997 terdiri dari kriteria klinis, ini dimaksudkan untuk mengurangi diagnosa yang tidak berhubungan dengan penyakit DBD (over diagnosis). Kriteria klinis tersebut seperti: a. Demam tinggi tanpa sebab yang jelas yang berlangsung 2-7 hari. b. Terdapat manifestasi perdarahan yang ditandai dengan uji tornique positif, petekia, purpura, perdarahan mukosa, epistaksis, perdarahan gusi, hematemesis dan melena. c. Pembesaran hati. d. Adanya syok yang ditandai dengan nadi cepat dan lemah serta penurunan tekanan nadi, hipotensi, kaki dan tangan dingin, kulit lembab dan penderita tampak
Universitas Sumatera Utara
gelisah. Kriteria laboratorium seperti trombositopenia 100.000 / ul atau kurang dan hemokonsentrasi yang dapat dilihat peningkatan hemotokrit 20% atau lebih. Dua kriteria klinis ditambah hematokrit cukup untuk menegakkaan diagnosis klinis DBD (Depkes RI, 2005). WHO (1997) membagi derajat DBD dalam 4 (empat) derajat, yaitu : Derajat I : Demam disertai gejala tidak khas dan satu satunya manifestasi perdahan ialah uji torniqet positif. Derajat II : Derajat I disertai perdarahan spontan dikulit atau perdarahan lain. Derajat III : Ditemukannya kegagalan sirkulasi, yaitu nadi cepat dan lembut, tekanan jadi menurun ( < 20 mmHg ) atau hipotensi disertai kulit yang dingin, lembab dan penderita menjadi gelisah. Derajat IV : Renjatan berat dengan nadi yang tidak dapat diraba dan tekanan darah yang tidak dapat diukur (Depkes RI, 2005). Panduan WHO di
tahun 2009 telah diterbitkan yang
merupakan
penyempurnaan dari panduan sebelumnya yaitu WHO 1997, penyempurnaan ini dilakukan karena dalam temuan di lapangan ada hal-hal yang kurang sesuai dengan panduan WHO 1997 tersebut. Diusulkan adnya redefenisi kasus terutama untuk kasus infeksi dengue berat. Sering juga ditemukan kasus DBD yang tidak memenuhi ke empat kriteria WHO 1997 namun terjadi syok. Sehingga disepakatilah panduan terbaru WHO tahun 2009 :
Universitas Sumatera Utara
Klasifikasi kasus yang disepakati sekarang adalah : a. Dengue tanpa tanda bahaya (dengue without warning signs) yakni : 1.
Bertempat tinggal di daerah endemik dengue atau bepergian ke daerah endemik dengue
2.
Demam disertai 2 dari hal berikut : mual ataupun muntah, ruam, sakit dan nyeri, uji torniqet positif, leukopenia.
b. Dengue dengan tanda bahaya (dengue with warning signs)yakni : nyeri perut, muntah berkepanjangan, terdapat akumulasi cairan, perdarahan mukosa, letargi atau lemah, pembesaran hati > 2cm, kenaikan hematokrit seiring dengan penurunan jumlah trombosit yang cepat. c. Dengue berat (severe dengue ) yakni : 1. Kebocoran plasma berat yang dapat menyebabkan syok (DSS), akumulasi cairan dengan distress pernafasan. 2. Perdarahan hebat, sesuai pertimbangan dokter / petugas kesehatan. 3.
Gangguan organ berat, hepar (AST atau ALT≥ 1000, gangguan kesadaran, gangguan jantung, dan organ lain) (Primal, 2010). Prognosis DBD sulit di ramalkan dan pengobatan yang spesifik untuk DBD
tidak ada, karena obat terhadap virus dengue belum ada. Prinsip dasar pengobatan penderita DBD adalah penggantian cairan tubuh yang hilang karena kebocoran plasma (Depkes RI, 2005).
Universitas Sumatera Utara
2.6. Landasan Teori Model implementasi kebijakan publik yang dikemukakan oleh George Edward III (1980) menunjukkan empat variabel yang berperan penting dalam pencapaian keberhasilan implementasi. Empat variabel tersebut adalah komunikasi, sumber daya, disposisi dan struktur birokrasi. a. Komunikasi, yaitu bagaimana petugas kesehatan menyampaikan program dari suatu kebijakan dengan tujuan dan sasaran yang jelas sehingga kelompok sasaran mengetahui hal tersebut. Semakin tinggi pengetahuan kelompok sasaran tentang program tersebut maka akan mengurangi kekeliruan dalam mengaplikasikannya. Dalam hal ini peneliti meneliti apakah masyarakat mengetahui program-program pemberantasan DBD yang ditetapkan Pemerintah Kota Tebing Tinggi. b. Sumber daya, yaitu
sumber daya manusia maupun sumber daya finansial.
Sumber daya manusia adalah kecukupan baik kualitas maupun kuantitas petugas kesehatan yang dapat melingkupi seluruh kelompok masyarakat. Dalam hal ini peneliti meneliti apakah petugas kesehatan yang akan melaksanakan kebijakan memadai jumlahnya, bagaimana kemampuan petugas kesehatan yang akan mengaplikasikan kebijakan tersebut, tingkat pemahaman terhadap tujuan dan sasaran serta aplikasi detail program, dan kemampuan menyampaikan program dan mengarahkan. Sumber daya finansial adalah kecukupan modal investasi atas sebuah kebijakan. Dalam hal ini peneliti akan meneliti apakah program memiliki sarana dan prasarana yang baik dan berjalan dengan baik.
Universitas Sumatera Utara
c. Disposisi, yaitu bagaimana watak karateristik petugas kesehatan. Karateristik yang penting adalah kejujuran, komitmen dan demokratis. Peneliti meneliti tentang karakter petugas kesehatan yaitu bagaimana tingkat komitmen dan kejujurannya yang dapat diukur dengan tingkat konsistensi antara pelaksanaan kegiatan dengan aturan yang ditetapkan, semakin sesuai dengan aturannya maka semakin tinggi komitmennya. Tingkat demokratis dapat diukur dengan intensitas pelaksana melakukan komunikasi dengan kelompok sasaran dan mencari solusi dari masalah yang dihadapi. d. Struktur birokrasi, mencakup dua aspek penting yaitu mekanisme dan struktur organisasi pelaksana sendiri. Mekanisme implementasi program biasanya sudah ditetapkan melalui Standar Operating Procedur (SOP) yang dicantumkan dalam guideline kebijakan. SOP yang baik mencantumkan kerangka kerja yang jelas, sistematis, tidak berbelit dan mudah dipahami oleh siapapun karena akan menjadi acuan dalam bekerjanya implementor. Dalam hal ini peneliti meneliti seberapa jauh rentang kendali antara pimpinan atas dan bawahan dalam sturuktur organisasi pelaksana, semakin jauh berarti semakin rumit, birokratis dan lambat untuk merespon perkembangan program. Struktur organisasi pelaksana harus dapat menjamin adanya pengambilan keputusan atas kejadian luar biasa dalam program secara cepat.
Universitas Sumatera Utara
2.7. Kerangka Konsep Dari landasan teori yang disebut diatas, maka disusunlah kerangka teori bahwa peneliti ingin mengetahui bagaimana implementasi kebijakan dengan variabelnya yaitu komunikasi, sumber daya, disposisi memiliki pengaruh terhadap kejadian DBD di kelurahan Bandar Sakti Kota Tebing Tinggi. Dalam hal ini, peneliti membatasi variabel yang akan diteliti dengan menghilangkan variabel struktur birokrasi dikarenakan variabel tersebut bersifat struktur organisasi dinas kesehatan yang tidak dapat ditanyakan kepada responden masyarakat. Variabel Independen
Variabel Dependen
Implementasi Kebijakan : 1. Komunikasi
Kejadian DBD
2. Sumber Daya 3. Disposisi
Gambar 2.1. Kerangka Konsep Penelitian
Universitas Sumatera Utara