Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Bab 2 Pengembangan Pariwisata, Manfaat, dan Konflik: Kajian Pustaka
Pendahuluan Pariwisata penting, namun sekarang masih berfokus ke daerah-daerah tertentu, seperti Yogyakarta, Bali, dan Jakarta. Pariwisata belum mendapat perhatian serius hingga kini karena kalah pamor dengan sektor manufaktur. Manufaktur sejak Orde Baru telah menjadi sektor yang diandalkan untuk ekspor dan pembentukan modal serta sektor yang menyerap tenaga kerja yang besar. Arah kebijakan pembangunan dengan pola seperti ini telah lebih menguntungkan beberapa daerah di pulau Jawa yang mempunyai infrastruktur yang lebih baik daripada daerah-daerah di luar pulau Jawa. Wilayah Indonesia Timur yang dalam kondisi aktualnya masih ketinggalan infrastruktur hampir tidak bisa mengimbangi daerah-daerah industri di pulau Jawa. Oleh karena itu wilayah-wilayah ini harus mencari sektor alternatif sebagai sumber pendapatan, dan dalam hal ini sektor pariwisata mungkin lebih menjanjikan. Kebanyakan wilayah di Indonesia Timur masih mempunyai tempat dengan pemandangan alam yang indah dan cocok untuk pariwisata. Ada dua daerah di Indonesia yang sudah mendapat pengakuan sebagai daerah wisata, yaitu Bali dan Yogyakarta. Kedua daerah ini setiap tahun paling banyak menarik wisatawan baik luar negeri maupun dalam negeri. Sekarang Sulawesi Utara merupakan provinsi ketiga di Indonesia yang secara agresif mulai menjadi ikon baru pariwisata di Indonesia Timur. Setiap tahun makin banyak wisatawan yang datang menyelam di perairan berbagai pulau yang ada di provinsi ini. Saat 13
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
ini semakin banyak resort-resort yang dibangun oleh para pengusaha asing untuk menampung wisatawan tersebut. Selain itu semakin banyak hotel berbintang dibangun di kota Manado dalam rangka menarik pemerintah maupun swasta menyelenggarakan seminar di kota ini. Dengan demikian kota ini mulai dikenal dan dapat diandalkan untuk promosi sektor pariwisata Sulawesi Utara. Harapannya pada masa depan Sulawesi Utara akan menjadi daerah tujuan wisata seperti dua daerah lain, yaitu Bali dan Yogyakarta. Kemudian muncul pertanyaan siapa yang akan mendapat manfaat dari pengembangan pariwisata di Sulawesi Utara. Dalam rangka menjawab pertanyaan ini maka berikut ini adalah kajian pustaka yang lebih menekankan pada dampak pariwisata bagi daerah dan penduduk lokal. Penduduk lokal yang dimaksud disini adalah mereka yang berdomisili di sekitar obyek wisata tanpa mempersoalkan daerah asal mereka. Dampak yang dimaksud disini bisa positif dan negatif.
Transformasi Ekonomi Daerah ke Sektor Modern Karya klasik tentang perubahan struktural dari sektor pertanian ke industri dimulai oleh Chenery (1979), yang selalu menjadi dasar analisis perubahan struktural ekonomi pada era 1980-an. Chenery berpendapat bahwa hanya melalui spesialisasi sebuah negara akan mengalami proses transisi ekonomi dari sektor pertanian ke sektor industri. Model ini kemudian didasarkan pada pengalaman negara-negara Eropa dan Amerika pada tahun 1900an. Model yang dikembangkan oleh Chenery sangat populer di beberapa negara berkembang yang berlomba meninggalkan sektor pertanian dan menjadikan sektor industri sebagai kegiatan utama ekonomi negara. Pada tahun 1940-an dan 1960-an, banyak negara di benua Asia dan Afrika berhasil melepaskan diri dari penjajahan. Negara-negara tersebut terjebak dalam persaingan ideologi antara kubu kapitalis negara-negara Barat dan kubu sosialis dari Eropa 14
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Timur. Kebanyakan negara yang baru merdeka merasa lebih tertarik pada ideologi sosialisme daripada ideologi kapitalisme, karena kemerdekaan mereka sering ditunjang negara-negara blok Timur tersebut. Namun ada juga beberapa negara yang sejak awal kemerdekaannya bersekutu dengan negara-negara kapitalis dan telah memprioritaskan pengembangan sektor industrinya dalam upaya meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Transformasi juga terjadi pada negara-negara Eropa Timur setelah bubarnya Uni Sovyet (Conley dan Cipoletti, 2009). Pengalaman transformasi yang berlangsung di Indonesia tidak terlalu berbeda dengan kejadian negara berkembang yang lain. Setelah merdeka Indonesia mencita-citakan suatu masyarakat modern yang mempunyai fondasi ekonomi pada sektor industri (Glassburner, 1971). Namun perkembangan sosial politik di Indonesia membuat negara ini tidak mulus mengembangkan sektor industrinya (Tambunan, 2006). Soekarno sebagai presiden Indonesia pertama kurang memberi perhatian pada pembangunan ekonomi modern karena sibuk membangun kesadaran politik berbangsa. Apalagi pada waktu itu Papua Barat masih dikuasai Belanda, sehingga yang menjadi agenda Sokarno pada waktu itu adalah bermaksud mengintegrasikan wilayah tersebut dengan segala konsekuensi. Dalam situasi yang tidak menentu seperti itu Presiden Soekarno mencetuskan sistem demokrasi terpimpin dan sistem ekonomi terpimpin. Dalam sistem ekonomi terpimpin pemerintah sangat aktif dalam mendorong kegiatan ekonomi dan ini bertentangan dengan prinsip Neo-liberal yang menghendaki keterlibatan pemerintah yang minimal. Kebijakan dari Ekonomi Terpimpin oleh kubu Amerika dilihat sebagai penerapan prinsip ekonomi sosialis Eropa Timur yang memberi peluang peran negara yang lebih besar dalam perekonomian. Salah satu dari kebijakan Soekarno adalah melakukan nasionalisasi terhadap perusahan Belanda pada tahun 1957. Kebijakan ini menyebabkan Indonesia tidak mempunyai akses terhadap pasar luar negeri, 15
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
sehingga mengalami masalah dalam cadangan devisa. Kekurangan cadangan devisa ini telah membawa dampak kepada terbatasnya kemampuan Indonesia mengganti suku cadang mesin pabrik. Hal ini membuat sektor manufaktur mati suri karena kekurangan suku cadang (Mackie, 1971). Kebijakan ini ternyata membawa dampak negatif dengan kenaikan inflasi yang sangat tinggi sehingga menjadi biang kejatuhan Soekarno dan naiknya Soeharto sebagai presiden Indonesia kedua yang menandai era pemerintahan Orde Baru. Sejak awal berkuasa pemerintahan Orde Baru merancang pembangunan ekonomi melalui percepatan perkembangan sektor industri (Siahaan, 2000; Hill, 1991). Ternyata memang Indonesia mengalami kemajuan industrialisasi yang cukup pesat walaupun lebih banyak juga ditunjang oleh peranan modal asing. Proses transformasi ekonomi pun berlangsung pesat dengan semakin besar sumbangan sektor non-pertanian dalam perekonomian Indonesia (Hill, 1996; Rahardjo, 1986). Transformasi sruktural berlangsung lebih cepat di Jawa daripada di luar Jawa. Daerah industri tumbuh dengan cepat dan tersebar di sekitar DKI Jakarta, Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa Timur (Tambunan, 2006). Penyebaran industri manufaktur terjadi di daerah urban, sehingga jangan heran jika daerah perkotaan di Jawa mengalami proses urbanisasi yang luar biasa (Firman, 1997; Rahardjo, 1986). Daerah luar Jawa mempunyai pola pembangunan yang sedikit berbeda dengan Jawa. Transformasi ekonomi seperti yang berlangsung di Jawa tidak begitu kelihatan di Indonesia Timur. Indonesia Timur di sini meliputi provinsi-provinsi yang ada di kepulauan Nusa Tenggara, Sulawesi, Maluku, dan Papua. Oleh karena wilayah-wilayah ini kaya dengan sumber daya mineral, maka sektor ekstraktif menjadi andalan (Hill, 1996). Namun masalahnya adalah sebagian besar pendapatan dari sektor ini dikuasai pemerintah pusat, sehingga keberadaan sektor ini tidak terlalu membawa dampak yang berarti 16
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
pada perekonomian lokal. Bahkan, sebagian besar dari penduduk masih menjadikan sektor pertanian sebagai sumber nafkah utama. Sebenarnya gambaran tentang kondisi perekonomian Indonesia Timur masih belum keluar dari teori “kutukan sumberdaya alam,” (natural resource curse). Kutukan sumber daya alam adalah suatu teori yang mengatakan bahwa pada umumnya negara-negara yang kaya sumberdaya alam terbelit kemiskinan (Mehlum, et al., 2006). Teori ini lebih banyak berlaku di negara-negara Afrika yang kaya sumberdaya alamnya namun tidak mampu memiliki teknologi dan sumberdaya manusia yang memadai untuk mengolah sumberdaya mineral yang ada di negara mereka. Pengecualian untuk teori ini adalah negara seperti Australia yang telah mengandalkan sektor ekstraktif sebagai sumber utama pendapatan negara tapi makmur (Mehlum, et al., 2006). Pada tahun 1998, setelah terjadi krisis ekonomi dan politik Soeharto meletakkan jabatan sebagai presiden. Sejak Orde Baru tumbang mulai era baru dengan memberi otonomi yang lebih luas kepada daerah. Baik pada masa Orde Lama maupun pada masa Orde Baru konsentrasi keputusan politik berada di Jakarta dan daerah dibuat tergantung. Proses otonomi ini kelihatan baik namun dalam pelaksanaan masih banyak daerah belum siap dari sisi sumberdaya manusianya (Basri, 2009). Oleh karena itu ada daerah tertentu yang berhasil memanfaatkan momen otonomi, tapi ada juga daerah tertentu yang tidak berhasil. Gambaran di atas menunjukkan situasi ekonomi politik setelah reformasi. Barangkali karena terlalu lama berada di bawah kendali rejim otoriter banyak kepala daerah masih bersifat pasif menunggu instruksi dari pusat. Padahal dalam era otonomi saat ini yang dibutuhkan adalah kepala daerah sebagai perencana ekonomi dan bukan administrator. Kondisi ini diperparah dengan melihat kualitas kandidat kepala daerah yang tidak memadai, namun karena memiliki banyak uang terpilih menjadi kepala daerah. Keadaan seperti yang menyebabkan daerah bersangkutan selalu 17
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
tertinggal karena kemampuan dan kapasitas dari pimpinan daerah yang rendah.
Peranan Pariwisata dalam Perekonomian Daerah Pariwisata dapat menjadi andalan sumber pendapatan suatu daerah. Di Indonesia saat ini, Bali adalah satu-satunya provinsi yang selalu mengandalkan pariwisata sebagai sumber pendapatan utama. Lombok sebagai imbas dari perkembangan pariwisata Bali juga mulai bergantung pada pariwisata secara ekonomi. Kemudian Thailand dan Singapura adalah dua negara yang juga mengandalkan sektor pariwisata sebagai bagian dari penerimaan negara. Sumbangan dari sektor pariwisata dalam perekonomian suatu daerah dapat dilihat dari data statistik pertumbuhan sektor bangunan dan akomodasi, dan data tentang tenaga kerja (Sorensen dan Epps, 2003). Jika terjadi penurunan peran di sektor primer, dan penurunan tenaga kerja di sektor pertanian berarti ada indikasi terjadinya perubahan struktural. Lebih lanjut jika terjadi lonjakan tenaga kerja di sektor jasa dapat dilihat sebagai indikasi terjadinya kenaikan peran sektor pariwisata dalam perekonomian suatu wilayah. Salah satu contoh adalah proses perubahan dari pertanian ke pariwisata di Australia Barat. Wilayah Australia Barat mempunyai padang yang luas untuk pemeliharaan peternakan. Namun perpindahan penduduk besar-besaran ke daerah perkotaan menyebabkan daerah pedesaan kekurangan jumlah penduduk. Akibatnya banyak padang yang menganggur karena ternak semakin berkurang. Padang-padang ini kemudian menjadi daya tarik turis sehingga semakin banyak orang berkunjung ke sana (Sorensen dan Epps, 2003). Daerah yang tadinya hanya mengandalkan basis perekonomiannya dari sektor peternakan sekarang lebih mengandalkan sektor pariwisata. Transformasi di atas terjadi karena ada permintaan dan juga pengusaha lokal aktif melakukan pemasaran.
18
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Masih terjadi perdebatan hingga saat ini apakah pariwisata bisa diandalkan sebagai sektor yang mendorong pembangunan suatu wilayah atau tidak mempunyai dampak ekonomis. Sektor ini sangat terbuka secara global terhadap pengusaha dari mana saja, baik luar daerah maupun dari dalam daerah bersangkutan. Ada dua pendapat yang berkembang dalam hal ini, yaitu kelompok yang percaya bahwa pariwisata dapat diandalkan menjadi sumber pendapatan utama suatu wilayah dan ada kelompok lain yang melihat pengembangan pariwisata dapat merugikan daerah yang bersangkutan. Masing-masing aspek pandangan ini akan dibahas, pertama kelompok yang mempunyai pandangan positif terhadap pengembangan pariwisata akan dibahas lebih dahulu dan setelah itu baru dibahas kemudian pandangan kelompok yang mempunyai pandangan negatif.
Manfaat Pengembangan Pariwisata Kelompok yang dasarnya mempunyai pandangan positif mengangkat tiga hal penting yaitu, sumbangan sektor ini terhadap pemasukan devisa, penciptaan lapangan kerja, pengembangan usaha dan keterkaitan dengan sektor lain. Dalam aras makro, target pengembangan pariwisata yang dicanangkan dalam aras negara selalu dikaitkan dengan pemasukan devisa (Tetsu 2006; Neto, 2003; Bardgett, 2000). Devisa dibutuhkan suatu negara dalam rangka menunjang program pembangunan di negara tersebut. Devisa yang masuk melalui sektor pariwisata akan menambah cadangan devisa negara. Jika pariwisata berkembang berarti negara mempunyai cadangan devisa yang cukup untuk membiayai impor barang-barang modal dan bahan baku dalam rangka menunjang pengembangan sektor industri yang lain. Dengan demikian maka pengembangan pariwisata akan mempunyai dampak positif terhadap pembangunan ekonomi negara. Menurut Mitchell dan Faal (2007), Gambia adalah negara di Afrika yang telah memanfaatkan andalan sektor pariwisata bagi 19
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
pembangunan ekonomi negara. Peran positif pariwisata dalam pembangunan ekonomi hanya bisa terjadi jika kegiatan sektor pariwisata kurang menggunakan komponen impor (Meyer, 2006; Neto, 2003). Jika kegiatan pariwisata lebih banyak menggunakan produk impor maka yang terjadi adalah mengalirnya devisa ke luar negeri. Lebih lanjut Neto (2003) juga mengatakan bahwa pemerintah masih memperoleh keuntungan dari pengembangan pariwisata, yaitu pendapatan dari pajak dan pungutan lain. Dalam kaitan dengan tujuan makro di atas maka sasaran utama pemasaran pariwisata adalah wisatawan luar negeri karena mereka dianggap sebagai sumber devisa. Pemerintah membuat kebijakan menarik jumlah wisatawan asing sebanyak mungkin dan mencoba untuk membuat mereka betah tinggal cukup lama di negara tersebut (Neto, 2003). Semakin lama wisatawan tinggal di suatu daerah diharapkan semakin banyak uang yang dibelanjakan. Namun untuk itu negara harus mampu menjamin keamanan dan kenyamanan wisatawan agar mereka mau tinggal lama. Krisis politik dapat menyebabkan wisatawan menghindari bepergian ke negara tersebut. Misalnya, krisis politik tahun 1998 di Indonesia menyebabkan adanya larangan bepergian (travel warning) dari beberapa negara karena Indonesia dianggap tidak aman bagi warga mereka (Prabawa, 2010). Kondisi ini akan berpengaruh terhadap pemasukan devisa bagi negara. Dari perspektif mikro, aktivitas pembangunan pariwisata menciptakan lapangan kerja baik secara langsung maupun tidak langsung (Bardgett, 2000). Terciptanya lapangan kerja sebagai dampak langsung pengembangan pariwisata dapat dilihat dari terserapnya tenaga kerja di sektor perhotelan, rumah makan, biro perjalanan, dan tempat-tempat rekreasi lainnya. Pengembangan pariwisata sering menyerap tenaga kerja yang cukup banyak. Hal ini karena sifat industri pariwisata itu sendiri yang lebih banyak menggunakan tenaga kerja daripada mesin. Selain itu industri pariwisata menyerap tenaga kerja dari berbagai kualifikasi, dari 20
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
mereka yang mempunyai pendidikan mulai rendah hingga yang tinggi. Lebih lanjut industri pariwisata banyak mempekerjakan perempuan sehingga banyak perempuan yang telah mengalami pemberdayaan melalui pengembangan sektor ini. Oleh karena perempuan memainkan peran penting dalam ekonomi rumah tangga, maka keterlibatan mereka dengan sendirinya akan ikut mengurangi kemiskinan pada aras rumah tangga (Neto, 2003). Penyerapan tenaga kerja bisa secara tidak langsung terjadi jika pengembangan sektor pariwisata mendorong perkembangan sektor lain di luar pariwisata. Allcock (2006) dan Tetsu (2006), berpendapat bahwa pariwisata juga dapat menjadi bagian integral pembangunan ekonomi suatu negara jika dapat menggerakkan sektor yang lain. Keterkaitan antar sektor dapat dijelaskan sebagai akibat permintaan sektor pariwisata terhadap produk dari sektor lain. Misalnya, berbagai hotel membutuhkan beras, sayur-sayuran, ikan, dan daging yang bisa disediakan para petani, nelayan, dan peternak lokal. Para sosiolog melihat keterkaitan antar sektor sebagai hubungan simbiosis, sedang para ekonom menyebutnya sebagai multiplier effect (Meyer, 2006). Jika terdeteksi multiplier effect di suatu daerah karena akibat pengembangan pariwisata maka dengan sendirinya diyakini telah terjadi peningkatan kesejahteraan masyarakat. Selain itu dengan demikian maka perkembangan kegiatan pariwisata akan mendorong berkembangnya entrepreneur lokal. Para pengusaha lokal terlibat dengan membuka usaha sesuai dengan kebutuhan para wisatawan. Meyer (2006) dalam penelitian di negara negara-negara Karibia menemukan bahwa pembangunan pariwisata mempunyai dampak langsung terhadap perekonomian lokal jika masyarakat lokal dapat berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata. Dalam hal ini jelas berbagai usaha masyarakat tumbuh sebagai tanggapan atas permintaan barang dan jasa baik secara langsung dari para wisatawan, maupun oleh hotel dan restoran yang ada di sana. Memang para pengusaha dari mana 21
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
pun asalnya secara sengaja juga mendukung perkembangan usaha masyarakat setempat dengan selalu memprioritaskan pembelian produk yang dihasilkan masyarakat setempat. Pengusaha lokal akhirnya dapat dianggap sebagai mitra usaha pengusaha besar. Lebih lanjut ketika membangun relasi usaha dengan masyarakat lokal berarti para pengusaha besar mewujudkan tanggung jawab sosial mereka secara nyata dengan lingkungan usahanya. Bentukbentuk pariwisata tertentu adalah seperti: pariwisata sebagai alat pengurangan kemiskinan (poverty alleviation), dan environmental
friendly.
Sisi Negatif Pengembangan Pariwisata Ada pendapat lain juga, bahwa pembangunan pariwisata tidak selamanya menguntungkan bagi daerah yang menjadi target pembangunan. Dalam beberapa kasus ternyata muncul kebocoran (leakages), karena sebagian pengusaha berasal dari luar daerah bersangkutan (Meyer, 2006; Neto, 2003; Cattarinich, 2001: 68). Banyaknya pengusaha dari luar daerah yang masuk memberi peluang terjadinya transfer modal dan keuntungan ke luar daerah, sehingga menguntungkan juga perekonomian daerah lain, pada umumnya adalah pada daerah asal dari pengusaha. Dana tersebut seharusnya dapat dipakai untuk menggerakan ekonomi daerah tujuan wisata. Untuk mengurangi kebocoran tersebut beberapa penulis telah menganjurkan agar sebanyak mungkin melibatkan pengusaha lokal dalam kegiatan ekonomi pariwisata di daerah. Dengan demikian keuntungan dan modal akan tetap bertahan di daerah dan mendorong aktivitas ekonomi daerah berkembang (Ghimire, 1997; Shah dan Gupta, 2000). Namun demikian dalam hal ini tidak berarti ada daerah yang menolak pengusaha asing. Selama pariwisata dilihat sebagai sumber penghasil devisa maka target konsumen adalah wisatawan luar negeri dan disini peran pengusaha asing menjadi signifikan. Dalam kenyataan hampir sebagian besar negara berkembang 22
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
masih tergantung pada pengusaha dari luar yang mempunyai jaringan dan keahlian berhubungan untuk dengan konsumen internasional (Neto, 2003). Pada umumnya ternyata hanya sedikit pengusaha lokal yang siap terlibat di dalam kegiatan ekonomi pariwisata, sehingga mau tidak mau pengusaha dari luar masih menjadi andalan suatu daerah menjaring wisatawan internasional. Beberapa pengusaha lokal sudah suka membangun jaringan usaha dengan pengusaha dari luar menjaring wisatawan. Di Yogyakarta misalnya, beberapa biro perjalanan menggalang kerja sama dengan mitra internasional mereka ketika terjadi krisis wisatawan setelah kerusuhan 1998 yang menyebabkan tumbangnya rejim Soeharto. Para pengusaha lokal ternyata tertolong karena mereka mampu memanfaatkan jaringan usaha yang ada dikala krisis (Prabawa, 2010).
Perspektif Teoritis Pengembangan Pariwisata Sejak tahun 1980-an para peneliti kepariwisataan sudah mulai mengembangkan beberapa pendekatannya dalam rangka pengembangan pariwisata. Paling tidak ada dua model pendekatan teoritis yang berkembang, yaitu, perspektif ketergantungan (dependency perspective), oleh Britton (1982), dan model daur hidup (life-cycle model), terdahulu oleh Butler (1980). Perspektif ketergantungan ini membangun argumen bahwa pembangunan pariwisata suatu negara hampir selalu melibatkan baik pengusaha global maupun juga pengusaha lokal dari wilayah tersebut. Pada awalnya relasi usaha yang dibangun menguntungkan kedua belah pihak, namun dengan berjalannya waktu pengusaha lokal mulai didikte oleh pengusaha dari luar. Hal ini terjadi karena posisi pengusaha luar lebih dominan daripada pengusaha lokal. Para pengusaha dari luar mengendalikan pasar wisatawan global dan menguasai jaringan. Para pengusaha lokal berada dalam posisi yang lebih lemah dan semakin terpinggirkan, karena selain tidak mengendalikan pasar global, persaingan antar pengusaha lokal 23
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
juga cukup ketat. Dalam keadaan seperti ini maka keuntungan pengusaha lokal semakin mengecil dan bahkan hanya untuk menutup biaya operasi rutin. Teori Tourism Area Life Cycle kemudian dikembangkan Butler menunjukkan pola perkembangan daerah tujuan wisata yang secara umum terjadi di dunia. Dalam konsep teori tersebut dikatakan ada 6 tahap perkembangan daerah tujuan wisata. Pertama, tahap explorasi (exploration stage). Pada tahap ini mulanya digambarkan wilayah yang masih sangat murni. Jumlah wisatawan sedikit. Wisatawan yang datang mengatur sendiri segala keperluan perjalanannya. Mereka yang datang ke wilayah tersebut karena tertarik dengan keunikan budaya atau alamnya. Fasilitas khusus untuk wisatawan belum ada. Wisatawan bergaul dan terlibat secara intensif dengan masyarakat lokal. Hal-hal ini merupakan salah satu hal yang justru menarik bagi wisatawan. Kunjungan wisatawan belum memberikan dampak signifikan terhadap masyarakat lokal baik secara ekonomi maupun sosial. Kedua, tahap keterlibatan (involvement stage). Ketika jumlah pengunjung meningkat dan mulai menjadi terpola, sejumlah penduduk lokal mulai menyediakan fasilitas-fasilitas penting atau bahkan secara khusus dibutuhkan oleh wisatawan. Kontak antara pengunjung dan penduduk lokal tetap tinggi, terlebih bagi mereka yang menyediakan kebutuhan wisatawan. Mulai ada musim turis dan penyesuaian-penyesuaian pola sosial terutama bagi mereka yang terlibat dalam kegiatan pariwisata. Mulai ada juga kegiatan dalam pengaturan perjalanan wisatawan. Akhirnya. mulai terjadi tekanan-tekanan pada pemerintah untuk membangun infrastruktur dan transportasi bagi wisatawan. Ketiga, yaitu ketika memasuki tahapan pengembangan (development stage). Wilayah pasar parawisatawan sudah tetap terutama oleh karena adanya promosi besar-besaran di wilayahwilayah pasar potensial. Pada tahap ini, keterlibatan dan kontrol 24
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
terhadap pengembangan oleh masyarakat menurun dengan cepat. Fasilitas yang disediakan oleh masyarakat lokal akan hilang dan digantikan oleh fasilitas-fasilitas yang lebih besar, lebih komplet dan maju yang diselenggarakan oleh investor luar terutama untuk akomodasi. Atraksi-atraksi alam dan budaya akan dikembangkan dan dipasarkan secara khusus ditambah dengan atraksi-atraksi dari luar yang buatan. Perubahan fisik akan nampak namun tidak semuanya diterima hasilnya oleh masyarakat lokal. Keterlibatan pemerintah lokal dan nasional dalam perencanaan dan penyediaan fasilitas menjadi penting namun tidak selalu sesuai dengan minat masyarakat lokal. Jumlah wisatawan pada musim turis bisa sama atau bahkan lebih dari jumlah penduduk. Tenaga kerja dari luar dan fasilitas-fasilitas bagi industri wisata mulai diperlukan di obyek wisata. Jenis wisatawan juga berubah – institutionalised tourists. Keempat, tahap konsolidasi walaupun tingkat rata-rata pertumbuhan parawisatawan menurun, namun total jumlah wisatawan tetap meningkat. Jumlah total wisatawan lebih dari jumlah penduduk setempat. Ekonomi lokal kenyataannya secara umum tergantung dari pariwisata. Pemasaran dan promosi meluas serta ada upaya-upaya untuk memperpanjang musim turis dan wilayah pasar. Banyak usaha-usaha franchise dan chains yang berkembang. Meningkatnya jumlah wisatawan yang datang dan fasilitas wisatawan menimbulkan perlawanan dan ketidakpuasan diantara para penduduk terutama mereka yang tidak terlibat dalam kegiatan pariwisata karena aktivitas mereka menjadi terbatas atau terganggu. Kelima, tahap stagnan - ketika jumlah wisatawan sudah mencapai puncak. Level kapasitas untuk variabel-variabel lain telah tercapai atau melewati batas, sehingga mulai timbul masalah lingkungan, sosial dan ekonomi. Wilayah sudah mempunyai image yang mapan tetapi menjadi tidak lagi populer. Mulai timbul ketergantungan pada kunjungan berulang dan konvensi-konvensi 25
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
atau kegiatan sejenis di daerah tujuan wisata. Kapasitas tempat tidur sudah melampaui batas sehingga terus diperlukan upayaupaya mempertahankan tingkat kunjungan. Daya tarik alam dan budaya yang alami sudah mulai digantikan dengan fasilitas artifisial. Image resort sudah terlepas sama sekali dari konteks lingkungan geografis. Properti yang ada cenderung berpindah tangan dengan cepat. Mass tourism mendominasi. Terakhir, tahap penurunan - dimana wilayah mulai tidak mampu lagi berkompetisi dengan daerah tujuan wisata baru dan mulai kehilangan pasar. Tidak lagi menarik bagi mereka yang ingin berlibur, lebih banyak digunakan untuk menghabiskan weekend atau kunjungan singkat. Fungsi sebagai daerah tujuan wisata hilang sama sekali. Sebelum mengalami penurunan, maka tahap rejuvenation bisa dilakukan. Namun demikian, agar proses rejuvenation terjadi diperlukan perubahan total pada daya tarik. Evolusi terjadi sebagai akibat dari berbagai faktor termasuk perubahan selera dan kebutuhan wisatawan, merosotnya kualitas fisik dan fasilitas di daerah tujuan wisata, perubahan atau hilangnya daya tarik alam dan budaya yang pada mulanya menjadikan daerah tujuan wisata tersebut populer di kalangan para wisatawan. Model daur hidup kemudian melihat persaingan secara lebih positif dibanding dengan model ketergantungan. Para penganut model ini percaya bahwa melalui persaingan baik di aras global maupun aras lokal, para pengusaha akan berupaya mencapai skala ekonomi. Skala ekonomi adalah suatu situasi dimana setiap tambahan jumlah wisatawan akan menurunkan unit biaya karena biaya tetap (fixed cost). Dalam kondisi seperti ini baik pengusaha lokal maupun wisatawan akan diuntungkan (Ashley et al, 2007). Pengusaha lokal diuntungkan karena mereka akan menerima semakin banyak wisatawan, sedangkan para wisatawan dapat membelanjakan uangnya secara lebih efisien. 26
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Model daur hidup tidak menutup kemungkinan terhadap adanya usaha di sektor pariwisata yang tidak berhasil. Kegagalan adalah hal yang wajar karena selalu dilihat sebagai akibat dari manajemen usaha yang tidak mampu memenuhi skala ekonomi. Jika ada usaha yang tutup maka akan selalu digantikan oleh usaha yang baru. Dengan demikian usaha yang bertahan adalah mereka yang telah membuktikan diri tahan terhadap seleksi alam yang ketat. Para penganut model ketergantungan mendapat kritik karena analisis mereka lebih menekankan pada aras global dan sistem dunia (Corbridge, 1986). Mereka meremehkan kekuatan tawar-menawar dari pengusaha lokal. Pengusaha lokal dalam perspektif ketergantungan selalu dilihat sebagai agen yang pasif menunggu nasib yang ditentukan pengusaha luar negeri. Dalam kenyataannya ada banyak pengusaha lokal melakukan perlawanan terhadap tuntutan para pengusaha luar yang tidak masuk akal. Pengembangan pariwisata yang melibatkan pihak luar biasanya melalui proses negosiasi dalam rangka mencapai kesepakatan bersama. Oleh karena itu agak terlalu awal membuat kesimpulan bahwa pengusaha lokal selalu berada dalam dominasi pengusaha dari luar (Preister, 1989:20). Hal lain yang dilupakan para penganut model ketergantungan adalah peran pemerintah daerah. Pemerintah daerah tidak mungkin berpangku tangan membiarkan pengusaha mereka didikte oleh pengusaha luar. Pemerintah akan melakukan berbagai upaya untuk melindungi pengusaha mereka. Selain itu adalah para penganut dari teori ketergantungan melupakan ada program-program pemberdayaan masyarakat. Pendekatan pemberdayaan pengusaha lokal jadi memungkinkan mereka dapat melakukan negosiasi yang baik dengan pengusaha dari luar negeri (Milne dan Ateljevic, 2001; Murphy, 1985).
Peran Pemerintah dalam Pengembangan Pariwisata Pariwisata suatu daerah akan berkembang jika pemerintah 27
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
membuat kebijakan khusus untuk mendukung pengembangannya. Beberapa daerah berhasil karena pemerintah dengan sistematis memberikan prioritas pada pariwisata sebagai sektor yang perlu dikembangkan. Untuk itu pemerintah perlu membuat kebijakan yang meliputi aspek infrastruktur, peraturan, dan promosi. Aspekaspek tersebut dianggap sebagai faktor pendukung perkembangan pariwisata. Hampir sebagian besar negara maju memberi perhatian yang seimbang untuk ketiga aspek tersebut. Bagi negara yang baru tumbuh sektor pariwisatanya, Korea Selatan adalah salah satu contoh negara yang berhasil mendorong sektor pariwisatanya setelah krisis ekonomi 1997, dengan memperhatikan peran dari ketiga aspek tersebut (OECD, 2002). Kebanyakan negara yang sedang berkembang agak kurang memberikan perhatian pada pembangunan ketiga aspek tersebut. Khususnya promosi masih kurang mendapat perhatian pemerintah karena masih dianggap mahal. Walaupun ketiga aspek tersebut berperan cukup strategis, dalam kajian-kajian selanjutnya yang dibahas hanya masalah infrastruktur.
Pembangunan Infrastruktur dan Pariwisata Pembangunan infrastruktur selalu menjadi faktor kunci dan prioritas dalam upaya kegiatan pengembangan pariwisata di suatu wilayah. Pembangunan infrastruktur yang memadai seperti jalan, jembatan, air, pelabuhan, dan pelabuhan udara, fasilitas penanganan sampah, dan telekomunikasi, sangat penting dalam rangka menjaga kenyamanan wisatawan sehingga mereka betah tinggal di daerah bersangkutan (Allcock, 2006; Tetsu, 2006). Biaya pembangunan infrastruktur seperti yang diungkapkan di atas sangat mahal jika dilakukan swasta, karena itu pemerintah harus menanggung biaya pembangunan. Oleh karena pembiayaan dilakukan melalui Anggaran Belanja Negara, maka fasilitas infrastruktur tersebut menjadi barang publik. Dengan demikian pembangunan infrastruktur tidak hanya dimanfaatkan untuk 28
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
kepentingan pariwisata tapi dimanfaatkan pula oleh penduduk lokal (Neto, 2003). Penduduk lokal dapat memanfaatkan berbagai fasilitas infrastruktur untuk mengembangkan industri pendukung pariwisata, atau memanfaatkan infrastruktur jalan yang ada untuk melancarkan transportasi produk dari daerah mereka ke daerah lain. Sebaliknya, dengan keberadaan dari infrastruktur tersebut mendorong penanaman modal ke daerah pedesaan (Allcock, 2006; Neto, 2003). Dalam rangka mempertahankan kebijakan pembangunan yang berkelanjutan, maka dalam perencanaan pengembangan pariwisata, pemerintah daerah perlu memperhatikan daya dukung (carrying capacity) (Klaric et al., 1999). Penelitian tentang daya dukung sangat penting dalam rangka mengetahui kemampuan suatu daerah menampung jumlah turis. Sering terjadi pemerintah daerah tidak memperhatikan daya dukung dan membiarkan eksploitasi sumberdaya alam yang berlebihan sehingga pada akhirnya membawa dampak negatif terhadap lingkungan. Salah satu contoh adalah pengembangan pantai Kuta di Bali tanpa memikirkan daya dukung sehingga kehadiran berbagai fasilitas pariwisata sudah mulai mengancam keindahan pantai itu sendiri. Kondisi seperti ini akan mengancam obyek wisata itu sendiri karena dalam jangka panjang para wisatawan akan mencari tempat lain yang lebih terjamin otentitasnya. Masalah yang sering muncul adalah pembangunan fasilitas yang terjadi tanpa memperhatikan estetika pemandangan alam. Pembangunan berbagai fasilitas pariwisata tanpa perencanaan yang sistematis sehingga lokasi obyek wisata menjadi semrawut dan pemandangan yang tadinya bagus menjadi tidak menarik. Terkadang arsitektur hotel atau resort tidak serasi dengan pemandangan alam yang ada di sekitarnya. Misalnya, Davies dan Cahill (2000) memberi contoh pembangunan hotel di Jerusalem, ternyata konsep estetika arsiteknya tidak serasi dengan keindahan arsitektur lama yang sekarang masih ada di kota tersebut, sehingga 29
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
menimbulkan polusi visual (visual pollution). Keadaan seperti ini terjadi karena pemerintah ketika mengatur Tata Ruang sering hanya lebih menekankan pada pemanfaatan ruang tapi jarang memperhatikan bentuk bangunan. Ketika merancang Tata Ruang maka untuk pariwisata diperlukan keserasian bentuk bangunan dengan pemandangan sekitar menjadi penting.
Pariwisata Berwawasan Lingkungan (Eco-Tourism) dan Pengurangan Kemiskinan Pariwisata berwawasan lingkungan adalah kegiatan pariwisata yang mengandalkan alam sebagai daya tarik pariwisata dan sekaligus menjaga pelestarian alam tersebut. The International Eco-Tourism Society mendefinisikan pariwisata yang berbasis lingkungan sebagai kegiatan pariwisata di wilayah konservasi dengan lingkungan yang alami dan menjamin kelangsungan pendapatan penduduk lokal dengan melibatkan mereka dalam kegiatan pariwisata (Denman, 2001:2). Dengan demikian prinsip pengembangan eko-wisata meliputi dua hal, yaitu, mendorong konservasi alam, dan memberi manfaat ekonomis bagi penduduk sekitar (United Nations, 2001). Dalam rangka prioritas mendorong konservasi alam, perlu perencanaan yang matang jika ingin mengembangkan suatu obyek menjadi eko-wisata. Perencanaan pengembangan eko-wisata harus bersifat holistik melibatkan berbagai disiplin, seperti dari kehutanan, pertanian, sosiologi, antropologi, dan ekonomi. Agar program ekowisata bermanfaat bagi penduduk sekitar maka keterlibatan masyarakat sekitar menjadi sangat penting mengingat mereka yang tinggal dekat wilayah obyek wisata yang langsung berhubungan dengan satwa dan tanaman yang ada. Jika masyarakat sekitar memperoleh manfaat dari eko-wisata mereka dengan sendirinya akan menjaga eco-system yang ada, sehingga dengan sendirinya konservasi alam juga terjaga. Komunitas yang tinggal di sekitar obyek wisata oleh Davies dan Cahill (2000), disebut sebagai “gateway communities”. Komunitas inilah yang sering berpartisipasi dalam aktivitas 30
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
pariwisata baik secara umum dan khususnya yang berwawasan lingkungan. Sering terjadi beberapa daerah mengeluh mereka tidak mampu menjaring wisatawan karena kurang memiliki fasilitas yang memadai untuk menarik wisatawan. Pengembangan pariwisata yang berwawasan lingkungan sangat cocok untuk daerah yang mempunyai fasilitas terbatas, karena para turis yang menyukai alam lebih senang dengan fasilitas seadanya. Mereka lebih menghargai otentisitas daripada fasilitas yang mewah. Daerah yang mempunyai keunikan alam dan satwa dapat menjual paket wisata kepada jenis turis petualang yang tidak menuntut fasilitas bermacam-macam, kecuali keamanan. Daerah-daerah yang mempunyai keanekaragaman hayati menjadi berpeluang menawarkan sumberdaya tersebut kepada wisatawan. Misalnya, para wisatawan membawa berbagai peralatan untuk mengamati burung, atau berjalan di hutan melihat aneka fauna dan tanaman (United Nations, 2001). Biasanya mereka datang berwisata dengan membawa serta tenda dan makanan seadanya untuk menginap beberapa hari sampai beberapa minggu. Ekowisata sangat baik untuk pengembangan masyarakat pedesaan dan daerah terpencil. Hal ini karena pada umumnya lokasi obyek wisata yang diminati wisatawan terletak di daerah pedesaan yang terpencil (Neto, 2003). Dalam hal ini banyak wilayah di Indonesia Timur yang fasilitas pariwisatanya belum memadai dapat memanfaatkan peluang ini. Kegiatan pariwisata yang berwawasan lingkungan diharapkan memberi dampak positif terhadap masyarakat sekitar lokasi konservasi. Program ekowisata mendorong usaha kecil dan menengah (UKM) berkembang dan pada umumnya dioperasikan oleh penduduk lokal (United Nations, 2001). Masyarakat yang tinggal di sekitar tempat itu bisa menjadi pemandu wisata, buruh mengangkat barang, atau menjadi pedagang barang-barang souvenir. Kegiatan sebagai pemandu wisata dan UKM pengusaha memerlukan pelatihan khusus dan 31
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
untuk itu pemerintah perlu merancang pelatihan semacam ini karena sedikit penduduk lokal mempunyai kemampuan mengikuti pelatihan dengan membayar sendiri. Selanjutnya muncul suatu pertanyaan apakah program pariwisata yang telah berwawasan lingkungan dapat mengurangi tingkat kemiskinan pedesaan. Memang ada konsep pengembangan pariwisata yang berpihak pada kaum miskin (pro-poor tourism) yang pada dasarnya bertujuan mengurangi kemiskinan melalui kegiatan usaha pariwisata. Tentu hal ini agak berbeda dengan pengembangan pariwisata konvensional baik eco-tourism dalam konteks sustainable tourism yang jelasnya lebih menekankan pada pengembangan pariwisata sebagai sumber pendapatan masyarakat dan dalam rangka konservasi lingkungan. Dalam pro-poor tourism yang ditekankan adalah keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata agar mereka lebih sejahtera. Oleh karena itu pengembangan pariwisata baik eko-wisata atau sustainable tourism harus memberi tekanan pada pengurangan kemiskinan, dimana masyarakat harus terlibat (Neto, 2003). Bagaimana pengembangan pariwisata mampu mengurangi kemiskinan. Neto lebih lanjut mengemukakan tiga alasan, pertama, industri ini bisa menyerap tenaga kerja yang banyak. Kedua, industri ini saling terkait dengan sektor informal yang mempunyai efek multiplier positif terhadap kelompok orang miskin. Ketiga, pariwisata lebih banyak mengandalkan modal alamiah, seperti, tumbuh-tumbuhan dan fauna, pemandangan, dan warisan kultural, yang banyak dimiliki penduduk miskin. Oleh karena program pariwisata yang berwawasan lingkungan ini berada di daerah pedesaan maka biaya awal membangun usaha lebih murah karena mereka tinggal disana. Dengan demikian keterlibatan masyarakat lokal dalam kegiatan pariwisata di daerah terpencil sangat dimungkinkan. Dalam kaitan dengan peran pengembangan pariwisata dalam pengurangan kemiskinan di pedesaan, Ashley (2000), lebih menyoroti hadirnya keterkaitan program pariwisata berwawasan 32
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
lingkungan dengan cara pemenuhan kebutuhan sehari-hari dari masyarakat (livelihood). Menurut Ashley tujuan pengembangan pariwisata berbeda antara ekonom, pengusaha, konservasionis, dan mereka yang berkecimpung di organisasi non-pemerintah (NGO). Para ekonom lebih menekankan pada peran pariwisata bagi proses pertumbuhan ekonomi makro, terutama dalam hal kemampuannya untuk mendatangkan devisa, seperti telah ditulis dari awal. Bagi pengusaha swasta, upaya pengembangan pariwisata dimaksudkan untuk menggerakkan kegiatan usaha komersil. Dalam hal ini yang menjadi perhatian adalah pengembangan produk, persaingan, dan hasil usaha yang diterima para pengusaha. Bagi seorang pencinta alam atau konservasionis, pengembangan pariwisata dimaksudkan untuk menjaga keberlangsungan spesies yang ada di alam. Sedang bagi masyarakat pedesaan dan NGO yang bergerak di aras pedesaan, maka pengembangan pariwisata dimaksudkan untuk pembangunan pedesaan. Tiga pendekatan di atas ternyata masih lebih menekankan pengembangan pariwisata sebagai instrumen demi memperoleh manfaat ekonomi dan ekologi, dan tidak ada satu pun yang berbicara tentang keterkaitan pengembangan pariwisata dengan pembangunan masyarakat pedesaan. Oleh karena itu Ashley (2000) mengusulkan agar dalam kaitan dengan pembangunan pedesaan yang perlu ditekankan adalah pemenuhan kehidupan sehari-hari (livelihood) masyarakat pedesaan. Masyarakat pedesaan di mana pun terlibat dalam berbagai aktivitas ekonomi adalah dalam rangka pemenuhan kebutuhan rumah tangga, yang umumnya pada dua sektor dominan, yaitu, sektor pertanian dan peternakan. Kedua sektor ini memainkan peranan penting dalam pemenuhan kebutuhan sehari-hari rumah tangga. Masyarakat pedesaan sehari-hari hidup dari hasil pertanian dan perkebunan, susu dan daging dari peternakan sapi dan unggas mereka. Namun dalam aras rumah tangga, maka seluruh anggota rumah tangga diharapkan memberi kontribusi pada ekonomi rumah tangga. 33
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Oleh karena itu selain dua sektor dominan di atas, maka sumber pendapatan rumah tangga bisa berasal dari kegiatan di sektor nonpertanian, seperti, perdagangan, pertukangan, atau kiriman dari keluarga yang menjadi pekerja migran di tempat lain. Berbagai aktivitas keluarga tersebut tidak menggeser kegiatan utama mereka di sektor pertanian dan peternakan. Dengan demikian maka kehadiran sektor pariwisata disini dimaksudkan sebagai upaya mendiversifikasi sumber pendapatan rumah tangga pedesaan dalam rangka pemenuhan kebutuhan sehari-hari. Diversifikasi sumber pendapatan menjadi sangat penting, terutama di wilayah yang mempunyai masalah dengan kesuburan tanah. Misalnya Ashley (2000), dalam penelitiannya di Namibia, mereka melihat pengembangan pariwisata safari banyak membantu penduduk pedesaan untuk mendapatkan pendapatan tambahan bagi pemenuhan kebutuhan masyarakat sehari-hari. Mereka bisa juga berperan sebagai tenaga pengangkut barang, pemandu wisata, membuka warung di tempat-tempat istirahat, dan menjual suvenir yang dibuat masyarakat sekitar. Dengan demikian setiap anggota rumah tangga dapat memberi sumbangan pada pendapatan rumah tangga baik dari sektor pertanian dan peternakan mapun dari sektor non-pertanian. Kehadiran kegiatan pariwisata di daerah pedesaan akan mendukung pengurangan kemiskinan. Namun demikian jangan sampai pula dalam upaya ketika menjamin kelangsungan ekonomi masyarakat pedesaan maka sumber-sumber yang ada dieksploitasi secara berlebihan. Dalam hal ini perlu perencanaan yang sitematis dengan masyarakat lokal dengan memperhatikan daya dukung (carrying capacity) obyek wisata yang menjadi daerah tujuan (Ashley, 2000). Bisa terjadi keinginan yang besar menarik wisatawan sebanyak mungkin kesini justru membawa dampak negatif terhadap kelangsungan habitat atau spesies yang ada. Jika hal ini terjadi maka yang muncul sebagai akibat adalah tragedi bersama atau the tragedy of 34
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
the commons seperti yang ditulis oleh Hardin (1968). Hardin membangun teorinya berdasarkan suatu asumsi bahwa eksploitasi terhadap sumberdaya secara terus-menerus karena pertumbuhan penduduk dapat berakibat fatal dengan hancurnya ekologi sumberdaya tersebut. Dalam hal ini dia memberi contoh tragedi padang penggembalaan. Sebuah padang mempunyai daya dukung yang terbatas untuk memberi makan pada ternak dalam jumlah tertentu, namun bila semakin banyak penduduk menggembalakan ternaknya di sana maka padang tersebut tidak mampu lagi untuk menyediakan rumput baru. Hal ini pada akhirnya berakibat fatal bagi kelangsungan ternak yang ada disana karena rumput yang tidak tumbuh akan mematikan ternak yang ada. Jika pemerintah tegas, tragedi seperti di atas hampir tidak mungkin terjadi.
Pengembangan Pariwisata dan Konflik Pertumbuhan sektor pariwisata tidak selalu membawa dampak positif bagi masyarakat lokal dan terkadang menimbulkan protes ketidak puasan mereka. Dalam kasus tertentu muncul konflik baik dengan pemerintah maupun dengan pengusaha di bidang pariwisata. Beberapa penelitian telah mengungkapkan dampak negatif pengembangan sektor pariwisata bagi masyarakat lokal secara sosial, kultural, dan lingkungan (Rowe, et al., 2002; Pandey, et al., 1995). Ashley (2000) dalam penelitiannya di Namibia, menemukan konflik antara masyarakat lokal dengan petugas konservasi terjadi karena wilayah penggembalaan semakin sempit oleh karena ada pengembangan pariwisata. Pengembangan pariwisata menutup akses penduduk terhadap sumber mata air (Karim, 2008). Konflik dengan pengusaha bisa juga ada karena pengembangan pariwisata mengambil lokasi di atas tanah yang subur sehingga menghancurkan sumber pendapatan utama masyarakat lokal. Uddhammar, (2006) menemukan selanjutnya ada protes masyarakat Makulekes di Afrika Selatan karena hak-hak ekonomi 35
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
mereka atas hutan tidak diakui pemerintah. Ada komunitas yang tinggal di sekitar taman nasional di sana dipangkas haknya untuk berburu. Dengan alasan konservasi alam, hak perburuan hanya diberikan kepada mereka yang mempunyai lisensi. Pemerintah takut perburuan liar (poaching) oleh penduduk sekitar tidak terkontrol sehingga bisa membahayakan kelangsungan spesies di taman tersebut. Bagi sebagian penduduk taman dahulunya adalah tempat mereka memenuhi kebutuhan seperti, mencari kayu bakar dan berburu, namun faktor kehadiran negara dengan lisensi membuat mereka tidak mempunyai akses lagi terhadap sumber alam tersebut. Hal ini memicu konflik dengan penduduk. Konflik bisa berlangsung dalam bentuk sabotase terhadap kegiatan pariwisata di sana, seperti merusak pagar taman, memberi racun pada satwa, atau melakukan tindakan kriminal terhadap para wisatawan. Lebih lanjut Uddhammar (2006) juga menemukan bahwa ada konflik dengan pemerintah itu terjadi karena pendapatan pengembangan pariwisata yang berwawasan lingkungan sering lebih banyak yang masuk ke kas pemerintah daripada ke penduduk lokal. Misalnya kejadian di Bwindi Forest Park, Uganda, ketika pemerintah mau menawarkan program wisata berwawasan lingkungan kepada wisatawan untuk mengamati gorilla di habitat aslinya. Setiap orang yang ingin melakukan perjalanan ke taman ini dikenakan biaya sebesar USD 360.-. Ratarata setiap tahun ada sekitar 400 perjalanan dan di sana ada 300 ekor gorilla. Dengan demikian seekor gorilla dapat menghasilkan pendapatan sekitar USD 4,800.- per tahun. Secara menyeluruh pendapatan dari sektor ini setiap tahunnya sekitar USD1,4 juta. Masalahnya adalah pendapatan sebesar itu hampir seluruhnya masuk ke kas pemerintah karena dianggap sebagai pengembalian investasi pembangunan di taman tersebut. Hanya sedikit yang dikembalikan untuk konservasi habitat gorilla tersebut atau kepada masyarakat sekitar taman tersebut. 36
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Sebenarnya ada contoh yang bagus pengelolaan taman wisata tanpa konflik karena melibatkan penduduk setempat sejak perencanaan sampai pengeloaannya. Uddhammar (2006) memberi contoh pengelolaan taman konservasi nasional Maasai Mara, Kenya (Uddhammar, 2006). Masyarakat lokal dibiarkan memiliki tanah di dalam taman sehingga dengan sendirinya mereka terhubung dengan pengembangan ekowisata. Masyarakat juga sejak awal dilibatkan dalam perencanaan dan juga dipersiapkan untuk mengelola taman tersebut. Proses penyadaran kepada masyarakat lokal adalah tentang pentingnya menjaga keragaman hayati (bio-diversity) dan ketahanan hayati (bio-security), sehingga mereka dengan sukarela mau menjaga hewan dan tanaman yang ada di taman tersebut. Konflik yang terjadi dengan penduduk lokal seringkali tidak dapat terhindarkan karena kompetisi antara pengusaha pendatang dengan masyarakat lokal. Memang ini bisa menjadi ironi pembangunan jika masyarakat lokal di situ nantinya hanya akan menjadi penonton dari pengembangan pariwisata, karena mereka tidak mempunyai sumber modal dan keahlian untuk berpartisipasi dalam pembangunan pariwisata tersebut (Meyer, 2006). Selain konflik dengan pengusaha pendatang, konflik bisa juga terjadi antar sesama penduduk lokal karena kompetisi dalam berusaha. Ashley (2000) menemukan kenyataan bahwa modal sosial masyarakat di beberapa desa di Namibia hancur karena persaingan usaha antar penduduk lokal dan konflik antar sesama mereka. Konflik dengan penduduk lokal karena pembangunan pariwisata terjadi pula di Indonesia. Salah satu contohnya adalah pengembangan pariwisata di Lombok. Ketika Lombok mulai berkembang sebagai daerah wisata, muncul para spekulator yang membeli tanah. Mereka terdiri dari pejabat pemerintah, tentara, dan polisi yang berasal dari Lombok, Bali, dan Jawa. Pada tahun 1980 tanah tersebut dibeli dengan Rp. 300.000 per are atau Rp. 30.000,- per-m2 (Kamsma dan Bras, 2000; Fallon, 2001). Tanah 37
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
tersebut kemudian dijual dengan harga 10 kali lipat. Pembelian tersebut sering dilakukan dengan tekanan oleh aparat sehingga masyarakat sejak awal sudah antipasti terhadap pengembangan pariwisata di wilayah tersebut. Selain itu terjadi pula konflik terbuka di desa Rowok, Lombok antara pengusaha dan penduduk lokal. PT Sinar Rowok Indah (SRI) mencoba menekan penduduk lokal menjual tanah dengan harga Rp. 3 juta per hektar, namun penduduk menolak. PT SRI dimiliki oleh keluarga pejabat tinggi di pusat dan di NTB.Tanah yang mau dibeli adalah tanah subur dan sebagian besar penduduk Rowok hidup dengan membuka sawah di sana. PT SRI kemudian menggunakan aparat kepolisian dan tentara untuk mengusir penduduk dari tempat tinggal mereka. Ketika penduduk melawan, aparat kemudian menyerang, menangkap para tokohnya, dan membakar rumah penduduk. Para penduduk pada ahkirnya menyerah dan terpaksa harus mengungsi ke tempat lain (Fallon, 2001). Kasus ini terjadi pada masa pemerintahan Orde Baru yang otoriter dimana posisi kekuatan masyarakat sipil sangat lemah.
Pengembangan Kapasitas Masyarakat dan Pariwisata Seperti telah diungkapkan di atas maka pengembangan pariwisata dapat juga menempatkan masyarakat sekitar dalam posisi marjinal sehingga mereka absen dalam kegiatan pariwisata karena jelas tidak mempunyai kapasitas dan ketrampilan untuk berpartisipasi. Oleh karena itu pengembangan pariwisata perlu memperhatikan pengembangan kapasitas masyarakat sekitar. Pengembangan kapasitas komunitas di bidang pariwisata adalah upaya meningkatkan kapasitas dan ketrampilan komunitas di sekitar obyek wisata agar berpartisipasi dalam kegiatan pariwisata (Cupples, 2005). Tidak semua penduduk yang harus ditingkatkan kapasitasnya, hal ini tergantung dari minat anggota rumah tangga. Dalam masyarakat ada juga masalah-masalah sosial dan kultural 38
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
yang menghambat penduduk untuk berpartisipasi dalam sektor pariwisata. Biasanya di dalam satu komunitas yang kecil hanya beberapa orang saja yang tertarik mengikuti pelatihan, padahal keahlian yang mereka peroleh dapat meningkatkan pendapatan sehingga bisa menopang ekonomi keluarga (Aref dan Redzuan, 2009). Upaya meningkatkan kapasitas komunitas di sekitar lokasi tujuan wisata merupakan upaya pemberdayaan kepada masyarakat sekitar sehingga mereka tidak terdorong untuk mengganggu kegiatan perusahan yang melakukan investasi di sana. Dengan kata lain program peningkatan kapasitas dimaksudkan untuk mengurangi resistensi masyarakat lokal terhadap perusahan. Peningkatan kapasitas lokal akhirnya ternyata tidak hanya menguntungkan penduduk setempat tapi juga menguntungkan perusahan yang beroperasi di daerah obyek wisata. Perusahan dapat memperoleh tenaga kerja terampil yang mempunyai komitmen jangka panjang, karena mereka tinggal di tempat tersebut dan peluang untuk pindah ke tempat lain hampir rendah. Jika perusahan memperkerjakan penduduk lain ada kemungkinan mereka pindah ke tempat lain, jika ada tawaran yang lebih menjanjikan (ILO, 2006). Dengan demikian partisipasi perusahan dalam peningkatan kapasitas masyarakat lokal menguntungkan baik perusahan dan komunitas dimana mereka berusaha. Pemberdayaan yang semacam ini juga biasanya dilakukan pemerintah dan Organisasi Non-pemerintah (NGO). Salah satu tugas pemerintah adalah menghapus kemiskinan melalui kebijakan pariwisata (Ashley, 2001). Pemerintah berkepentingan melakukan pelatihan karena semakin banyak penduduk lokal terlibat maka semakin baik kesejahteraan rumah tangga. Selain pemerintah, NGO juga sering melakukan pelatihan dalam rangka pemberdayaan. Berbagai pelatihan tersebut biasanya dibiayai lembaga internasional dan pemerintah dan NGO menjadi penyelenggara. Misalnya, dalam rangka pengembangan pariwisata desa di Maroko, dengan dana dari USAID, masyarakat desa dilatih 39
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
untuk memiliki beberapa ketrampilan seperti, pengembangan produk lokal, menjadi pemandu wisata, dan menjadi pelayan hotel (USAID, 2006). Pelatihan ini akhirnya diharapkan meningkatkan pendapatan rumah tangga masyarakat desa. Upaya peningkatan keterlibatan masyarakat tidak selamanya berjalan lancar, beberapa masalah sering muncul. Hunt (2005), dalam studinya menemukan beberapa masalah yang muncul seperti kurangnya keinginan komunitas berpartisipasi dalam pengembangan pariwisata, tidak seimbangnya kekuasaan pemerintah dengan komunitas lokal, pengetahuan komunitas terbatas tentang usaha pariwisata, program pengembangan bersifat jangka pendek dengan dana terbatas. Kurangnya minat komunitas terhadap pengembangan pariwisata mungkin karena pariwisata adalah sesuatu yang baru dan belum masuk dalam wacana mereka. Oleh karena itu upaya pemberdayaan membutuhkan waktu yang lebih lama. Namun yang menjadi masalah adalah dana yang tersedia terbatas sehingga hampir tidak mungkin untuk merancang program pemberdayaan jangka panjang. Kondisi tidak seimbangnya antara kekuasaan pemerintah dengan komunitas menyebabkan komunitas lebih bersifat pasif menunggu program yang dibuat pemerintah. Ini juga mungkin menjadi salah satu alasan mengapa minat dari komunitas lokal untuk terlibat dalam pengembangan pariwisata rendah.
Kesimpulan Tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat, namun dari berbagai bacaan di atas ternyata ada sisi positif dan ada sisi negatif dari pengembangan tersebut. Sisi positif pengembangan pariwisata, seperti, kemampuan dalam menciptakan lapangan pekerjaan, kemampuan dalam mendorong usaha lokal, dan kemampuan menjadi sumber pendapatan kepada daerah. Sedang sisi negatif pengembangan pariwisata, misalnya, penduduk tersingkir dari 40
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
pekerjaan utama sebagai petani, atau tidak dapat berpartisipasi karena tidak mempunyai ketrampilan dan kapasitas. Masih dalam kaitan dengan sisi negatif adalah penduduk termarjinalkan karena pengembangan pariwisata. Dalam situasi tertekan tidak tertutup kemungkinan konflik dengan penduduk lokal atau stakeholder yang lain karena mereka merasa tidak memperoleh manfaat sama sekali dari pengembangan pariwisata. Konflik yang terjadi bisa dari yang lunak dalam bentuk protes hingga yang keras dalam bentuk sabotase terhadap fasilitas pariwisata. Selain itu konflik dapat pula terjadi antara penduduk lokal dengan pengusaha pendatang dalam sektor pendukung pariwisata. Dalam rangka mengatasi konflik upaya yang dilakukan adalah peningkatan kapasitas (capacity building) masyarakat lokal agar mereka bisa ikut ambil bagian dalam kegiatan pariwisata. Program peningkatan kapasitas bisa dilakukan pemerintah, pengusaha atau investor dan NGO (Non Government Organization). Program peningkatan ketrampilan tersebut akan menguntungkan berbagai pihak, jelas masyarakat lokal juga mengalami perbaikan pendapatan, pengusaha akan mendapatkan tenaga kerja lokal yang terlatih, dan pemerintah serta NGO akan terbantu karena upaya pengurangan tingkat kemiskinan dengan sendirinya berjalan.
41
Pariwisata Bagi Masyarakat Lokal
Gambar 2.1 Pulau Bunaken dari Arah pantai Tongkaina
Gambar 2.2
Sunset di Manado Tua dari arah Bunaken
42