BAB 2 LANDASAN TEORI
2.1. Teori Kesusastraan Pertanyaan mengenai apa itu sastra selama ini belum juga mendapatkan jawaban yang memuaskan sehingga banyak sastrawan yang mencoba membuat batasan-batasan mengenai sastra. Secara umum menurut Sumardjo & Saini K.M. (1994: 3) sastra dapat dikatakan sebagai ungkapan pribadi manusia yang berupa pengalaman, pemikiran, perasaan, ide, semangat, keyakinan dalam suatu bentuk gambaran kongkret yang membangkitkan pesona dengan alat bahasa. Demikian juga dengan yang dikatakan oleh Esten (1993: 9) yang menyimpulkan bahwa kesusastraan merupakan pengungkapan dari fakta artistik dan imajinatif sebagai manifestasi kehidupan manusia melalui bahasa sebagai medium dan punya efek yang positif terhadap kehidupan manusia (kemanusiaan). Istilah ‘sastra’ sendiri tampaknya paling tepat diterapkan pada seni sastra, yaitu sastra sebagai karya imajinatif (Wellek & Warren, 1989: 14). Pada umumnya teks sastra ditandai dengan adanya unsur fiksionalitas atau rekaan (Luxemburg, Bal & Weststeijn, 1992: 9) . Dunia sastra mempunyai beberapa genre sastra, salah satunya adalah genre prosa. Prosa dalam pengertian kesusastraan dapat disebut juga dengan sebutan fiksi, teks naratif, atau wacana naratif (Nurgiyantoro, 2002: 1-2). Nurgiyantoro (2002: 2-3) mengatakan suatu karya sastra yang disebut fiksi merupakan sebuah karya imajiner yang mengandung nilai estetik. Fiksi menawarkan berbagai permasalahan manusia dan kemanusiaan, hidup dan kehidupan. Penulis
10
menghayati permasalahan tersebut kemudian mengungkapkannya kembali melalui karya fiksi yang ditulis sesuai pandangannya berdasarkan pengalaman dan pengamatannya terhadap kehidupan. Betapapun saratnya pengalaman dan permasalahan kehidupan yang ditawarkan, sebuah karya fiksi harus tetap berupa cerita yang menarik, merupakan bangunan struktur yang koheren dan mempunyai tujuan estetik. Karya fiksi menunjuk pada karya yang berbentuk novel dan cerpen. Sama halnya dengan novel, cerpen sebagai karya fiksi juga menawarkan dunia imajinatif yang dibangun melalui berbagai unsur intrinsiknya seperti peristiwa, alur cerita, tokoh (dan penokohan), latar, sudut pandang dan lain-lain dimana semuanya bersifat imajinatif. Dalam penulisan ini penulis membatasi pokok bahasan yang akan dianalisis yaitu analisis yang terfokus pada tokoh utama fiksi yang dilihat melalui sudut pandang orang ketiga selaku narator dalam cerpen tersebut.
2.2. Teori Karakter (Karakterisasi) Menurut Minderop Istilah karakter dan karakterisasi kerap kali muncul dalam karya fiksi. Karakter bisa berarti orang, masyarakat, ras, sikap mental, dan moral, kualitas nalar, orang terkenal, tokoh dalam karya sastra, reputasi dan tanda atau huruf. Sedangkan karakterisasi berarti pemeranan, pelukisan watak. Metode yang digunakan untuk melukiskan watak para tokoh yang terdapat dalam suatu karya fiksi disebut dengan metode karakterisasi telaah karya sastra. Metode karakterisasi tidak terbatas pada metode langsung (telling) dan metode tidak langsung (showing) saja. Metode lain yang dapat digunakan adalah telaah karakterisasi melalui sudut pandang (point of view), melalui telaah arus kesadaran (stream of consciousness), bahkan melalui telaah gaya bahasa (figurative language). 11
Metode telling mengandalkan pemaparan watak tokoh pada eksposisi dan komentar langsung dari pengarang. Melalui metode ini keikutsertaan atau turut campurnya pengarang dalam menyajikan perwatakan tokoh sangat terasa, sehingga pembaca memahami dan menghayati perwatakan tokoh berdasarkan paparan pengarang. Metode showing memperlihatkan pengarang menempatkan diri di luar kisahan dengan memberikan kesempatan kepada para tokoh untuk menampilkan perwatakan mereka melalui dialog percakapan dan tindakan;tingkah laku tokoh.(Minderop, 2005: 2-50) Metode karakterisasi melalui sudut pandang berhubungan dengan narator atau pengisah cerita, dimana metode ini merupakan metode narasi yang menentukan sudut pandang dari mana cerita disampaikan. Teori sudut pandang dapat digunakan tanpa meninggalkan metode telling dan showing. Ada tiga bentuk dasar karakterisasi melalui sudut pandang yaitu sudut pandang impersonal, orang ketiga dan orang pertama, serta sudut pandang dramatik. Sudut pandang impersonal adalah bila si percerita berada di luar cerita dan bergerak secara bebas dari satu tokoh ke tokoh yang lainnya, suatu tempat ke tempat lainnya, satu episode ke episode lainnya yang dapat memberikan akses terhadap pikiran dan perasaan tokoh dengan bebasnya. Dalam sudut pandang orang ketiga, si pengarang memilih seorang tokoh dan cerita, dengan demikian si tokoh menyampaikan visinya sendiri. Sedangkan sudut pandang dengan pencerita orang pertama, cerita disampaikan oleh orang pertama sebagai salah satu tokoh dalam cerita. Sudut pandang dramatik adalah bila cerita tidak disampaikan oleh siapapun melainkan melalui dialog dan lakuan (Minderop, 2005: 89-90). Perwatakan adalah kualitas nalar dan perasaan para tokoh dalam suatu karya fiksi yang dapat mencakup tidak saja tingkah laku dan kebiasaan, tetapi juga penampilan. Hubungan sudut pandang dengan pencerita tidak dapat dipisahkan bila si pengarang 12
menggunakan pencerita atau narator dengan sudut pandangnya dalam menyampaikan kisah. Pencerita adalah orang yang menyampaikan cerita, dimana pencerita bisa berada dalam cerita selaku tokoh atau berada di luar cerita bila tidak selaku tokoh. Pencerita dapat dibedakan menjadi pencerita “akuan” sertaan dan “akuan” tak sertaan; lalu pencerita “diaan” terbatas dan “diaan” mahatahu. Pencerita “diaan” biasanya digunakan bila si pengarang berada di luar cerita dan narator tidak selamanya pengarang cerita. Dalam cerpen ini pengarang menggunakan sudut pandang orang ketiga dengan pencerita “diaan” terbatas, dimana pencerita hanya memaparkan segala yang ia amati dari luar. Dalam teknik “dia” terbatas sering pula digunakan teknik narasi aliran kesadaran (stream of consciousness) yang menyajikan kepada pembaca pengamatan-pengamatan luar yang berpengaruh terhadap pikiran, ingatan, dan perasaan yang membentuk kesadaran total pengamatan, dimana sudut pandang cerita menjadi objektif (objective point of view). Pengarang tidak mengganggu dengan memberikan komentar dan penilaian yang bersifat subjektif terhadap peristiwa, tindakan tokoh-tokoh yang diceritakan. Ia hanya berlaku sebagai pengamat (observer) yang melaporkan segala sesuatu yang dialami dan dijalani oleh seorang tokoh. Pencerita “diaan” terbatas adalah pencerita yang hanya memaparkan segalanya yang diamatinya dari luar. Narator atau pencerita adalah seseorang yang menampilkan tokoh-tokoh cerita dengan menyebutkan nama, atau kata gantinya: ia, dia, mereka. Nama-nama tokoh cerita, khususnya yang utama kerap, terus menerus disebut dan sebagai variasi, pengarang menggunakan kata ganti. Dalam percakapan antar tokoh banyak penyebutan “aku” dan “engkau”, sebab tokoh-tokoh “dia” oleh pencerita sedang dibiarkan mengungkapkan diri mereka sendiri. Cerita antara showing, telling, narasi dan dialog menyebabkan cerita menjadi lancar,
13
hidup dan alamiah. Hal ini antara lain yang menjadi kelebihan teknik sudut pandang “dia” atau “diaan” (Minderop, 2005: 95-119).
2.3. Teori Psikoanalisis Sigmund Freud Menurut psikoanalisis kunci utama dalam memahami manusia ialah dengan mengenali insting-insting seksual dan agresi-dorongan biologik yang membutuhkan kepuasan. Insting tersebut berkembang sejalan dengan pertumbuhan usia, dimana perkembangan biologik menyediakan bagian-bagian tubuh tertentu untuk menjadi pusat sensasi kepuasan. Sepanjang hidupnya manusia akan menghadapi gangguan, mengalami konflik yang mengganggu proses pencapaian kepuasan. Semua penyebab ketidakpuasan itu harus dihilangkan, kalau orang ingin kembali hidup dalam kepuasan-hidup sehat. Energi psikis yang dimiliki setiap orang harus dimanfaatkan untuk sesuatu yang positif. Jika energi psikis disalahgunakan orang tidak dapat lagi memperoleh kepuasan secara wajar, sehingga memunculkan simptom-simptom neurotik. Psikoanalisis mencoba menjelaskan bagaimana membebaskan energi yang dipakai oleh simptom neurotik, mengembalikan jalur energi instingtif ke aktivitas yang dikehendaki (Alwisol, 2004: 3). Sebelum menemukan teori psikoanalisis Sigmund Freud terlebih dahulu merumuskan teori mengenai mimpi, yang mengatakan bahwa mimpi adalah ungkapan kegiatan dan isi yang paling primitif dari jiwa manusia. Freud yakin mimpi merupakan bentuk dari pemenuhan hasrat. Mimpi adalah cara berkedok untuk mewujudkan suatu keinginan yang direpresi (Bertens, 2006: 16). Teori psikoanalisis pertama kali dikemukakan oleh Sigmund Freud. Dalam teorinya Freud mengatakan pentingnya peranan ketidaksadaran beserta insting-insting seks dan agresi yang ada di dalamnya 14
dalam pengaturan tingkah laku. Sistematika yang dipakai Freud dalam mendeksripsikan kepribadian terbagi menjadi tiga pokok bahasan, yaitu: Struktur kepribadian, Dinamika kepribadian, dan Perkembangan Kepribadian. Dalam penulisan ini penulis hanya akan membahas dua pokok bahasan, struktur kepribadian dan dinamika kepribadian, karena hanya dua pokok bahasan tersebut yang akan digunakan dalam penelitian. 1. Struktur Kepribadian Struktur kepribadian menurut Freud dibagi menjadi tiga bagian yaitu id, ego dan superego. 1.1. Id Id adalah sistem kepribadian yang asli, dibawa sejak lahir yang kemudian memunculkan ego dan superego. Id berada dan beroperasi dalam daerah bawah sadar, dimana cara kerjanya berdasar pada prinsip kenikmatan dan menghindar dari rasa sakit. Bagi id, kenikmatan adalah keadaan yang relatif inaktif atau tingkat energi yang rendah, dan rasa sakit adalah tegangan atau peningkatan energi yang mendambakan kepuasan. Id hanya mampu membayangkan sesuatu tetapi tidak mampu membedakan khayalan itu dengan kenyataan yang benar-benar dapat memuaskan kebutuhan. Untuk dapat memperoleh kenyataan yang dimaksud secara nyata, yang dapat memberi kepuasan tanpa menimbulkan ketegangan baru khususnya masalah moral, id memunculkan ego. 1.2. Ego Ego berkembang dari id agar orang mampu menangani realita sehingga ego bekerja mengikuti prinsip realita. Ego adalah pelaksana dari kepribadian yang berusaha memenuhi kebutuhan id sekaligus juga memenuhi kebutuhan moral dan kebutuhan berkembang mencapai kesempurnaan dari superego. Ego sesungguhnya bekerja untuk memuaskan id, karena itu ego tidak memiliki energi sendiri dan memperoleh energi dari 15
id. Ego yang dominan adalah penanda dari jiwa yang sehat. Jika ego tidak cukup kuat, ego tidak akan mampu mendapatkan energi dari id sehingga muncullah tingkah laku menyimpang. Jika id tetap menguasai bagian besar energi psikis, orang menjadi cepat bertindak, tanpa berpikir (impulsif), semaunya sendiri (self-indulgent), serta melakukan tindakan kekerasan dan merusak (primitif). 1.3. Superego Superego adalah kekuatan moral dan etik dari kepribadian yang bekerja berdasarkan prinsip idealistik sebagai lawan dari prinsip kepuasan id dan prinsip realistik dari ego. Superego berkembang dari ego dan sama dengan ego, superego tidak mempunyai energi sendiri, mendapat energinya dari id. Prinsip idealistik terdiri dari dua subprinsip berupa suara hati (conscience) dan standar kesempurnaan (ego ideal). Superego pada hakekatnya merupakan elemen yang mewakili nilai-nilai orang tua yang diajarkan kepada anak melalui berbagai larangan dan perintah. Suara hati yang diterima anak mencakup apapun tingkah laku yang dilarang, dianggap salah, dan dihukum oleh orang tua. Sedangkan apapun yang disetujui, dihadiahi dan dipuji orang tua akan diterima menjadi standar kesempurnaan (ego ideal). Superego bersifat irasional dalam menuntut kesempurnaan, menghukum keras kesalahan ego, baik yang telah dilakukan maupun baru dalam pikiran. Superego dan ego sama dalam hal mengontrol id, tidak hanya menunda pemuasan tetapi juga merintangi pemenuhannya. Superego berfungsi mendorong ego menggantikan tujuan-tujuan realistik dengan tujuan-tujuan moralistik, merintangi impuls id terutama impuls seksual dan agresi yang bertentangan dengan standar nilai masyarakat dan mengejar kesempurnaan. Ketiga sistem tersebut, id-ego-superego bekerja sama sebagai team di
16
bawah arahan ego. Tingkah laku abnormal akan timbul jika terjadi konflik antara tiga sistem tersebut (Alwisol, 2004: 17-22).
2. Dinamika Kepribadian Menurut Alwisol (2004, 23) Freud berpendapat manusia sebagai sistem yang kompleks memakai energi untuk bernapas, bergerak, mengamati, dan mengingat. Kegiatan psikologik juga membutuhkan energi yang disebut energi psikik, yaitu energi yang ditransform dari energi fisik melalui id beserta insting-instingnya. 2.1. Insting Insting adalah perwujudan psikologik dari kebutuhan tubuh yang menuntut pemuasan. Hasrat, motivasi atau dorongan dari insting secara kuantitatif adalah energi psikik. Kumpulan energi dari seluruh insting yang dimiliki seseorang merupakan energi yang tersedia untuk menggerakkan proses kepribadian. Energi insting dapat dijelaskan dari sumber, tujuan, objek dan daya dorong yang dimilikinya. 1. Sumber insting adalah kondisi jasmaniah atau kebutuhan yang bertujuan menghilangkan perangsangan jasmaniah. 2. Tujuan insting berkaitan dengan sumber insting, yaitu memperoleh kembali keseimbangan. Tujuan insting bersifat regressive (kembali asal), berusaha kembali ke keadaaan tenang seperti sebelum munculnya insting dan juga bersifat konservatif, mempertahankan keseimbangan organisme dengan menghilangkan stimulasi yang mengganggu. 3. Objek insting adalah segala sesuatu yang menjembatani antara kebutuhan yang timbul dengan pemenuhannya, termasuk seluruh proses untuk mendapatkannya hingga objek didapat. 17
4. Daya dorong insting adalah kekuatan/intensitas kegiatan yang berbeda-beda setiap waktu. Misal insting lapar dari orang yang tidak makan seharian tentu lebih besar dari insting lapar orang yang makannya teratur. Insting menurut Freud dibedakan menjadi dua jenis, insting hidup dan insting mati. Insting hidup disebut juga Eros, merupakan dorongan yang menjamin keselamatan dan reproduksi, seperti lapar, haus dan seks. Energi yang dipakai oleh insting hidup disebut libido. Sedangkan insting mati yang disebut juga sebagai thanatos karena prosesnya yang bekerja secara sembunyi-sembunyi, pengetahuan mengenai insting mati tidak banyak diketahui kecuali kenyataan bahwa akhirnya tiap orang pasti menghadapi kematian. Insting mati mendorong orang untuk merusak diri sendiri. (Hall & Lindzey, 1993: 69-75). 2.2. Kecemasan Kecemasan merupakan komponen kepribadian yang utama sebagai dampak dari konflik yang menjadi bagian kehidupan yang tak terhindarkan. Kecemasan adalah fungsi ego untuk memperingatkan individu tentang kemungkinan datangnya suatu bahaya sehingga dapat disiapkan reaksi adaptif yang sesuai. Sumber pertama kecemasan manusia muncul ketika bayi yang lahir merasa tidak mampu menangani dunia eksternal. Kecemasan timbul bila orang tidak siap menghadapi ancaman. Freud membagi kecemasan menjadi tiga, yaitu: 1. Kecemasan realistik adalah takut kepada bahaya yang nyata dari dunia luar. Kecemasan realistik menjadi asal mula timbulnya kecemasan neurotik dan kecemasan moral. 2. Kecemasan neurotik adalah ketakutan terhadap hukuman yang bakal diterima dari orang tua atau figur penguasa dimana seseorang yakin kalau ia memuaskan 18
insting
dengan
caranya
sendiri,
ia
yakin
tindakannya
tersebut
akan
mengakibatkan dirinya dihukum. Kecemasan neurotik bersifat khayalan. 3. Kecemasan moral timbul ketika orang melanggar standar nilai orang tua atau rasa takut terhadap suara hati. Pada kecemasan moral orang tetap rasional dalam memikirkan masalahnya berkat energi superego, sedangkan pada kecemasan neurotik orang berada dalam keadaan distres terkadang panik sehingga mereka tidak dapat berpikir jelas. Dalam kecemasan neurotik energi id menghambat penderita membedakan antara khayalan dengan realita (Alwisol, 2004: 28-29). 2.3 Mekanisme pertahanan Freud mengatakan mekanisme pertahanan adalah strategi yang dipakai individu untuk bertahan melawan ekspresi impuls id serta menentang tekanan superego. Deskripsikan tujuh mekanisme pertahanan menurut Freud, ialah: 1. Identifikasi
(identification),
cara
mereduksi
tegangan
dengan
meniru
(mengimitasi) atau mengidentifikasikan diri dengan orang yang dianggap lebih berhasil memuaskan hasratnya dibanding dirinya. 2. Pemindahan/reaksi kompromi (diplacement/reactions compromise) terjadi bila objek asli yang dipilih insting tidak dapat dicapai karena ada rintangan baik dari luar maupun dalam. Insting itu direpresi kembali ke alam bawah sadar atau ego menawarkan objek baru yang berarti pemindahan energi dari satu objek ke objek yang lain sampai ditemukannya objek yang mampu mereduksi tegangan. Proses penggantian objek untuk meredakan tegangan merupakan tindakan kompromi antara tuntutan id dengan realitas ego, sehingga disebut juga reaksi kompromi. Ada tiga macam reaksi kompromi yaitu: 19
•
Sublimasi adalah kompromi yang menghasilkan prestasi budaya yang lebih tinggi, diterima masyarakat sebagai kultural kreatif.
•
Substitusi adalah pemindahan atau kompromi di mana kepuasan yang diperoleh mirip dengan kepuasan aslinya.
•
Kompensasi adalah kompromi dengan mengganti insting yang harus dipuaskan.
3. Represi (repression) adalah proses psikis yang tak sadar di mana suatu pikiran atau keinginan yang dianggap tidak pantas disingkirkan dari kesadaran, dipindahkan ke taraf lain yaitu taraf tak sadar. 4. Fiksasi (fixation) adalah terhentinya perkembangan normal pada tahap perkembangan tertentu karena perkembangan lanjutannya sangat sukar sehingga menimbulkan frustasi dan kecemasan yang terlalu kuat. 5. Regresi (regression). Frustasi, kecemasan dan pengalaman traumatik yang sangat kuat pada tahap perkembangan tertentu dapat menyebabkan seseorang melakukan regersi, dimana orang tersebut mundur ke tahap perkembangan terdahulu ketika ia merasa puas. 6. Pembentukan reaksi (reaction formation) merupakan tindakan defensif dengan cara mengganti impuls atau perasaan yang menimbulkan kecemasan dengan impuls atau perasaan lawannya/kebalikannya. Misal benci diganti cinta. 7. Projeksi (projection) adalah mekanisme mengubah kecemasan neurotik atau pun kecemasan moral menjadi kecemasan realistik. Kecemasan realistik biasanya lebih mudah ditangani oleh ego dibanding kecemasan neurotik atau kecemasan moral.
20
Menurut Freud jarang ada orang yang hanya menggunakan satu mekanisme pertahanan untuk melindungi diri dari kecemasan. Umumnya orang memakai beberapa mekanisme pertahanan baik secara bersama-sama atau secara bergantian sesuai bentuk ancaman yang dihadapinya (Alwisol, 2004: 30-35). Psikoanalisis merupakan studi mengenai kepribadian dan kejiwaan seseorang, karenanya penulis memilih menggunakan teori psikoanalisis untuk memahami kepribadian; perilaku menyimpang tokoh Yoshihide dalam usahanya menyelesaikan lukisan neraka.
21