BAB 2 LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan definisi dari teori-teori yang dijadikan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik hubungan perilaku mencontek trehadap perilaku konformitas remaja pada siswa SMA di Pekanbaru. Penjelasan yang akan diutarakan sepanjang bab dua ini antara lain adalah definisi dari perilaku mencontek, perilaku konformitas, definisi remaja. 2.1
Perilaku Mencontek Lambert, Hogan dan Barton (2003) dalam penelitiannya menyebutkan
kecurangan akademik (academic cheating) dengan istilah academic dishonesty atau dapat dikatakan dengan ketidak jujuran dalam akademik. Von Dran, Callahan, dan Taylor (dalam Lambert, Hogan dan Barton, 2003) menambahkan bahwa kecurangan akademik merupakan sebuah perilaku yang tidak beretika. Sedangkan menurut Deighton (dalam Irawati, 2008) mengatakan bahwa kecurangan akademik adalah upaya yang dilakukan seseorang untuk mendapatkan keberhasilan dengan cara-cara yang tidak jujur. Kecurangan akademik juga dapat diartikan sebagai perilaku yang dilakukan oleh pelajar secara sengaja, seperti pelanggaran terhadap aturan dalam mengerjakan tugas dan ujian, memberikan keuntungan kepada pelajar lain dalam mengerjakan tugas atau ujian dengan cara yang tidak jujur, dan pengurangan keakuratan yang diharapkan pada performansi pelajar (Cizek, 2006). Hendricks (dalam Riski, 2009) mendefinisikan kecurangan akademik sebagai sebuah perilaku yang mendatangkan
9
10
keuntungan bagi pelajar dengan cara tidak jujur seperti menyontek, plagiarisme, mencuri dan memalsukan sesuatu yang berhubungan dengan akademik. Perilaku mencontek termasuk kedalam salah satu jenis kecurangan akademik, seperti yang dikatakan oleh Marsden, Carroll, dan Neill (2005) bahwa kecurangan akademik dibedakan menjadi perilaku mencontek, plagiat (kegiatan mengutip tanpa menyebutkan sumber), dan falsification (pelaku kecurangan berusaha untuk menyakinkan pembacanya / pendengarnya bahwa apa yang ia kemukakan adalah hal yang telah terbukti kebenarannya). Namun, hanya perilaku menconteklah yang akan di ukur dalam penelitian ini karena hanya perilaku menconteklah yang sesuai dengan tujuan penelitian ini. Peneliti dapat menyimpulkan bahwa perilaku mencontek merupakan sebuah kecurangan yang dilakukan para siswa pada saat mengerjakan ujian seperti melihat jawaban siswa lain, membawa catatan kedalam kelas, dan meminta jawaban pada siswa lain pada saat ujia.
2.1.1 Klasifikasi Perilaku Mencontek Heterington dan Feldman (dalam Anderman dan Murdock, 2007) mengklasifikasikan perilaku mencontek menjadi 4, yaitu: • Social Active Social active adalah mengambil atau meminta jawaban dari orang lain, dalam kondisi ini siswa tersebut mengandalkan siswa lain untuk mencontek. Contohnya pada saat ujian berlangsung, seorang siswa meminta jawaban kepada temannya yang lain. • Social Passive Social passive adalah pada dasarnya siswa tersebut tidak ingin terlibat dalam aktifitas mencontek. Mencontek terjadi ketika peran seorang
11
siswa tersebut pasif dan di andalkan oleh siswa lain untuk mencontek. Seperti contohnya membiarkan orang lain mencontek, pada saat ujian berlangsung siswa membiarkan siswa lainnya mencontek atau bahkan memberikan contekan. • Individualistic Oportunistic Individualistic opportunictic adalah kegiatan mencontek yang dilakukan oleh orang-orang yang impulsif atau melakukannya dengan tiba-tiba dan tidak merencanakannya, dan melakukannya sendirian. Contohnya, membuka buku saat ujian. • Independent Planned Independent planned adalah siswa dengan sengaja merencanakan sendiri kegiatan mencontek yang akan dilakukannya pada saat ujian dan mengandalkan dirinya sendiri. Contohnya membawa materimateri atau catatan kedalam ruangan ujian dengan sengaja. 2.1.2 Faktor Penyebab Kecurangan Akademik Alhadza (2001) menjelaskan bahwa ada empat faktor yang menjadi penyebab kecurangan akademik. Belum ditemukan faktor penyebab perilaku mencontek, yang ditemukan adalah faktor penyebab kecurangan akademik. Maka dari itu yang digunakan adalah faktor penyebab kecurangan akademik dari Alhadza (2001) yaitu: (1) faktor individual atau pribadi, (2) faktor lingkungan atau pengaruh kelompok, (3) faktor sistem evaluasi dan (4) faktor guru, dosen, atau penilai.
12
Sedangkan Hendricks (dalam Riski, 2004) menambahkan beberapa faktor kecurangan akademik yang belum disebutkan oleh Alhadza (2001), antara lain: (1) Individual, terdapat berbagai faktor yang dapat mengidentifikasikan karakteristik individu untuk memprediksi perilaku curang, seperti: • Usia. Pelajar yang lebih muda lebih banyak melakukan kecurangan daripada pelajar yang lebih tua. • Jenis kelamin. Pelajar berjenis kelamin laki-laki lebih banyak melakukan kecurangan dari pada perempuan. Penjelasan utama dari pernyataan tersebut dapat dijelaskan oleh teori sosialisasi peran jenis gender yakni wanita dalam bersosialisasi lebih mematuhi aturan dari pada laki-laki. • Prestasi akademik. Hubungan prestasi akademik dengan kecurangan akademik bersifat konsisten. Pelajar yang memiliki prestasi belajar rendah lebih banyak melakukan kecurangan akademik daripada pelajar yang memiliki prestasi belajar tinggi. Karena, biasanya pelajar yang memiliki prestasi belajar rendah berusaha mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi dengan cara berperilaku curang. • Pendidikan orang tua. Pelajar dengan latar belakang pendidikan orang tuanya yang tinggi akan lebih mempersiapkan diri dalam mengerjakan tugas dan ujian. • Aktivitas ekstrakurikuler. Pelajar dengan ekstrakulikuler yang lebih banyak dilaporkan lebih banyak melakukan kecurangan akademik.
13
(2) Kepribadian • Moralitas. Pelajar dengan level kejujuran yang rendah akan lebih sering melakukan perilaku curang, namun penelitian yang dilakukan Kohlberg menunjukkan hanya ada sedikit hubungan diantara perkembangan moral dengan menggunakan tahapan moral. • Variabel yang berkaitan dengan pencapaian akademik. Variabel yang berkaitan dengan kecurangan akademik adalah motivasi, pola kepribadian dan pengharapan terhadap kesuksesan. Motivasi berprestasi memiliki hubungan yang positif dengan perilaku curang. • Impulsifitas, afektivitas dan variabel kepribadian yang lain. Terdapat hubungan antara perilaku curang dengan impulsifitas dan kekuatan ego. Selain hal tersebut, pelajar yang memiliki level kecemasan yang tinggi lebih cenderung melakukan perilaku curang.
(3) Faktor kontekstual • Keanggotaan perkumpulan, pelajar yang tergabung dalam suatu perkumpulan pelajar akan lebih sering melakukan perilaku curang. Pada perkumpulan pelajar diajarkan norma, nilai dan kemampuan-kemampuan yang berhubungan dengan mudahnya perpindahan perilaku curang. Pada umumnya dalam suatu perkumpulan mereka dapat saling berbagi catatan ujian yang
14
lama, tugas-tugas, tugas laboratorium dan tugas akademik lain mudah untuk dicari dan didapatkan. • Perilaku teman sebaya, perilaku teman sebaya memiliki pengaruh
yang
penting
terhadap
kecurangan
akademik.
Hubungan tersebut dijelaskan dengan menggunakan teori pembelajaran sosial dari Bandura dan teori hubungan perbedaan dari Edwin Sutherland. Teori-teori tersebut mengemukakan bahwa perilaku manusia dipelajari dengan mencontoh perilaku individu lain yang memiliki perilaku menyimpang akan berpengaruh terhadap peningkatan perilaku individu yang menirunya. • Penolakan teman sebaya terhadap perlaku curang, penolakan teman sebaya terhadap perilaku curang merupakan salah satu faktor penentu yang penting dan dapat berpengaruh terhadap perubahan perilaku curang pada pelajar.
(4) Faktor situasional • Belajar terlalu banyak, kompetisi dan ukuran kelas, pelajar yang belajar terlalu banyak dan menganggap dirinya berkompetisi dengan pelajar lain lebih cenderung melakukan kecurangan dibandingkan pelajar yang tidak belajar terlalu banyak. Ukuran kelas juga menentukan kecenderungan perilaku curang pelajar dimana pelajar akan lebih berperilaku curang jika berada di dalam ruangan kelas yang besar.
15
• Lingkungan
ujian,
pelajar
lebih
cenderung
melakukan
kecurangan pada saat ujian jika menurut mereka hanya ada sedikit resiko ketahuan ketika melakukan kecurangan.
2.1.3 Akibat Yang Ditimbulkan Dari Kecurangan Akademik Mulyawati, dkk. (2010) menyatakan bahwa tingkat produktifitas pendidikan di Indonesia sangat rendah, proses belajar mengajar dalam lembaga pendidikan gagal untuk mendidik generasi muda yang diidamkan. Sistem pendidikan yang ada malah menghasilkan manusia yang tidak jujur (menyontek) yang kemudian akan menjadi menjadi seorang polisi, guru, dokter, jaksa, pengusaha, hakim, dan profesi lainnya yang bisa lebih melakukan tindak ketidak jujuran yang lebih canggih lagi. Mulyawati, dkk. (2010) menambahkan bahwa akibat dari kecurangan akademik akan memicu perilaku atau watak yang tidak percaya diri, tidak disiplin, tidak bertanggung jawab, tidak kreatif, tidak berprestasi, tidak mau membaca buku pelajaran tapi siswa menjadi lebih rajin membuat catatan-catatan kecil untuk bahan menyontek. Maraknya budaya menyontek merupakan indikasi bahwa sudah tergantikannya
budaya
disiplin
dalam
lembaga
pendidikan
yang
dampaknya tidak hanya akan merusak integritas dari pendidikan itu sendiri, namun bisa menyebabkan perilaku yang lebih serius seperti tindakan kriminal (Mulyawati, dkk. 2010). Anitsal, Anitsal, dan Elmore (2009) mempertegas pernyataan Mulyawati bahwa memang ada korelasi positif antara kecurangan akademik dengan perilaku tidak etis.
16
2.2
Konformitas Teman Sebaya Konformitas secara umum adalah tekanan untuk berperilaku dalam aturan yang
menunjukkan bagaimana kita harus atau seharusnya berperilaku (Baron, Brascombe, & Byane, 2008). Sedangkan konformitas teman sebaya adalah muncul ketika individu meniru sikap atau tingkah laku orang lain dikarenakan tekanan yang nyata maupun yang dibayangkan oleh mereka (Santrock, 2003). Konformitas terhadap teman sebaya pada remaja dapat menjadi positif atau negatif (Camarena dalam Santrock, 2003). Soekanto (2009) mengatakan bahwa konformitas adalah proses penyesuaian diri dengan masyarakat dengan cara mengindahkan nilai-nilai masyarakat yang biasanya menghasilkan ketaatan atau kepatuhan. Grinman (2002) mengatakan hubungan dengan teman sebaya dapat diukur dengan melihat bagaimana perasaan seseorang bahwa ia cocok dengan kelompok tersebut (belonging), serta dalam hal seberapa banyak ia disenangi oleh anggota kelompoknya (acceptance). Belonging biasanya dianggap sebagai persepsi individu mengenai penerimaan mereka dalam sebuah kelompok sosial. Sedangkan acceptance lebih objektif, mencerminkan tingkat penerimaan bagaimana anggota kelompok terhadap anggota kelompok yang lainnya. Santor, Messervey, & Kusumakar (dalam Grinman, 2002) menambahkan bahwa konformitas teman sebaya didefinisikan sebagai disposisi perilaku yang berkaitan dengan keinginan individu untuk mengikuti rekan-rekan mereka. Sekali seseorang mengkategorikan dirinya sebagai anggota dari sebuah kelompok, mereka berpikir untuk mengikuti aturan kelompok, standar, dan keyakinan tentang perilaku dan sikap yang tepat. Dapat disimpulkan bahwa konformitas teman sebaya adalah bagaimana seseorang berprilaku agar diterima dalam sebuah kelompok pertemanan. 2.2.1 Jenis Konformitas Teman Sebaya
17
Berndt (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) membagi perilaku yang ditemukan dalam konformitas teman sebaya ke dalam tiga hal berikut, yaitu: 1.
Anti-sosial: merupakan suatu perilaku yang dapat merugikan diri sendiri bahkan orang lain (Santor, Messervey, & Kusumakar dalam Grinman, 2002). Selain itu, Berger (2003) menyatakan bahwa sikap antisosial seringkali dipandang sebagai sikap dan perilaku yang tidak mempertimbankan penilaian dan keberadaan orang lain di sekitarnya. Contoh pertanyaan untuk mendeteksi perilaku antisosial pada konformitas teman sebaya adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah yang akan ia lakukan jika salah satu teman sebayanya menginginkan ia untuk mencuri permen.
2.
Netral: melakukan segala sesuatu karena keinginan atau ajakan orang lain agar tidak disisihkan atau tidak menyinggung perasaan orang lain (Berndt, 1979 dalam Koban, 2000). Dalam hal ini dijelaskan bahwa remaja tidak selalu menuruti kehendak temantemannya, tetapi pada akhirnya remaja mengikuti teman-temannya karena berusaha menjaga perasaan mereka (Sumarlin, 2012). Contoh pertanyaan untuk mendeteksi perilaku netral pada konformitas teman sebaya adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah ia akan mengikuti saran teman sebayanya untuk mengikuti aktivitas yang ia tidak tertarik untuk ikuti (Santrock, 2006).
3.
Pro-sosial : melakukan sesuatu sesuai dengan norma-norma sosial atau nilai-nilai yang berisi mengenai hal-hal positif (Berndt, 1979
18
dalam Koban, 2000). Dalam hal ini dijelaskan bahwa remaja tidak hanya prososial terhadap kelmpoknya, tetapi juga terhadap lingkungan tempat tinggalnya (Sumarlin, 2012). Contoh pertanyaan untuk mendeteksi perilaku prososial pada konformitas teman sebaya adalah dengan menanyakan kepada remaja, apakah ia mengandalkan saran orang tua dalam memutuskan sesuatu, misalnya magang di perpustakaan atau mengajari anak-anak berenang.
2.2.2 Faktor-Faktor yang Mendukung Konformitas Teman Sebaya Berndt (dalam Santor, Messervey, & Kusumakar, 2000) tidak menjelaskan faktor-faktor yang mendukung konformitas teman sebaya, oleh karena itu faktor pendukung konformitas teman sebaya dijelaskan oleh Baron, Branscombe, & Byrne (2008) yang mengatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mendukung terjadinya konformitas, antara lain: 1. Normative Social Influence (Keinginan untuk disukai). Salah satu cara yang paling berhasil agar disukai oleh orang lain adalah menjadi sama dengan orang tersebut. Salah satu alasan melakukan konformitas adalah
belajar
atau
mencoba
melakukannya
sehingga
bisa
mendapatkan penerimaan dari orang lain. Aronson, Wilson dan Akert (2010) mengatakan ada beberapa sitasi yang menyebabkan individu melakukan konformitas, yaitu; Pertama, situasi yang ambigu. Ambigu saat individu tidak tahu bagaimana harus merespon dengan situasi yang dihadapinya, maka individu tersebut akan terbuka terhadap pengaruh dari individu lain. Semakin ambigu situasi yang dihadapi,
19
individu akan semakin bergantung pada orang lain. Kedua, situasi yang gawat. Situasi yang gawat akan membuat seseorang bertindak tidak rasional. Selain itu, orang kan lebih cepat merasakan panik, dan membutuhkan keputusan akan apa yang harus dilakukannya, dengan cepat. Untuk itu, biasanya dalam situasi yang krisis, orang akan melihat bagaimana kebanyakan orang berperilaku. Ketiga, ada individu yang lebih ahli. Bagaimanapun situasi yang dihadapi individu tersebut, apakah ambigu atau situasi yang gawat, individu akan lebih percaya pada individu lain yang lebih berpengalaman dalam situasi tersebut (Allison; Cialdini & Trost dalam Aronson, Wilson & Akert, 2010). 2. Informational Social Influences (Keinginan untuk menjadi benar). Ketergantungan pada orang lain atau sebaliknya sering menjadi sumber kuat untuk melakukan konformitas. Tingkah laku dan pendapat orang lain menjadi realiti sosial bagi seseorang, sehingga ia menggunakannya sebagai panduan bagi perilaku dan opininya. Fakta dari penelitian mengatakan bahwa motivasi yang kuat seseorang untuk benjadi benar merupakan sumber paling besar dari konformitas. Terkait dengan kondisi ini, ada 3 situasi yang mempengaruhi seseorang untuk melakukan konformitas, yaitu; Pertama, strength. Kondisi ini menjelaskan bagaimana peran kelompok terhadap individu. Semakin penting kelompok tersebut, maka individu akan semakin konform pada kelompoknya. Kedua, immediacy. Kondisi ini terkait bagaimana hubungan individu dengan kelompoknya, dan bagaimana hubungan tersebut mempengaruhi individu. Semakin
20
penting kehadiran individu, maka semakin individu akan konform pada tekanan kelompoknya. Ketiga, number. Hal ini terkait banyak sedikitnya anggota kelompok tersebut. Semakin banyak anggota kelompoknya, maka pengaruh setiap individu di dalamnya akan semakin besar. Hal tersebut menyebabkan individu merasakan adanya pengaruh kelompok untuk melakukan konform.
2.2.3 Hal-hal yang Mempengaruhi Konformitas Teman Sebaya Asch (dalam Baron, Brascombe, & Byane, 2008) dari penelitian yang dilakukannya menemukan beberapa faktor yang memengaruhi konformitas, antara lain: • Cohesiveness (Kekompakan). Faktor paling kuat yang mempengaruhi kecenderungan seseorang melakukan konformitas adalah ketertarikan pada suatu kelompok dan keinginan untuk berada di kelompok tersebut. Semakin seseorang ingin berada dalam sebuah kelompok sosial dan semakin ingin merasa diterima di kelompok tersebut, maka mereka
akan
semakin menghindari melakukan
hal-hal yang
menyebabkan mereka terpisah dari kelompok tersebut. • Group Size (Ukuran kelompok). Konformitas semakin meningkat saat jumlah anggota kelompok semakin banyak. • Descriptive and Injuctive Social Norms. Maksud dari Descriptive and Injuctive Social Norms adalah bagaimana norma dapat mempengaruhi perilaku seseorang. Descriptive norms adalah bagaimana kebanyakan orang berperilaku jika dihadapkan dalam sebuah situasi. Injuctive
21
norms adalah bagaimana seseorang seharusnya berperilaku agar perilaku tersebut diterima atau ditolak dalam sebuah situasi.
2.3
Remaja
Perkembangan remaja menurut Erikson (dalam Santrock, 2007) berada pada tahapan ke 5, identitas versus difusi peran yaitu pada usia 10-20 tahun. Menurutnya selama masa remaja individu mencari identitas dirinya untuk saat ini dan untuk masa yang mendatang agar dapat mengintegrasikan pengalaman hidup ke dalam kesan diri. Dalam tahap ini juga remaja bereksplorasi dan mencari identitas dirinya dengan berusaha menjelaskan siapa dirinya, apa peranannya dalam masyarakat, serta bagaimana orang lain menerima dirinya. Erikson (dalam Sprinthall & Collins, 2002). Erikson sebelumnya pernah menjelaskan bahwa pembentukan identitas diri pada remaja pada akhirnya akan mempengaruhi perilaku remaja. Hal ini di dukung oleh teori Hill (dalam Sprinthall & Collins, 2002) yang menyatakan bahwa pembentukan identitas diri merupakan perubahan sekunder yang terjadi pada remaja. Identitas yang terbentuk akan terlihat dengan perilaku yang mereka munculkan. Santrock (2007) juga mengelompokkan remaja menjadi dua kelompok, yaitu: o Remaja awal (Early adolescence) Ditujukan pada individu yang berusia 10 sampai 12 tahun. Pada umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah pertama dan individu ini tengah mengalami banyak perubahan dalam puberitas. Secara tradisional dianggap sebagai periode “badai dan tekanan”, dimana masa itu emosi meninggi sebagai akibat dari perubahan fisik dan kelenjar. Pada masa remaja awal anak berusaha menyesuaikan diri terhadap pola
22
perilaku baru dan harapan sosial yang baru. Peran teman sebaya juga sangat berpengaruh dalam tahap ini. o Remaja akhir (late adolescence) Ditujukan pada individu yang berusia diatas 15 tahun dan masa ini berakhir pada usia 18 sampai 22 tahun. Umumnya sama dengan siswa yang duduk di sekolah menengah atas atau mahasiswa pada awal tahun perkuliahan. Ciri-ciri emosional akhir yaitu “pemberontakan” karena perubahan dari masa kanak-kanak awal menuju masa kanak-kanak akhir yang mengalami konfilk dengan orang tua mereka, sering kali melamun, dan memikirkan masa depan mereka ingin menjadi apa.
2.4
Kerangka berpikir
Mencontek Heterington & Feldman (dalam Anderman & murdock, 2007)
social active
Konformitas Teman Sebaya
social passive
Baron, Branscombe, & Byrne (2008)
individual opportunistic Independent planned
Gambar 2.1 Kerangka Berpikir
23
Kerangka berpikir ini menggambarkan bahwa konformitas teman sebaya akan dilihat hubungannya dengan masing-masing perilaku mencontek, yaitu social active, social passive, individualistic opportunistic, dan independent planned. Perilaku mencontek akan di ukur satu persatu berdasarkan dari masing-masing jenis perilaku menconteknya, karena keempat jenis perilaku mencontek tersebut merupakan jenisjenis yang berbeda sehingga harus di ukur satu persatu. Pertama, hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social active. Mencontek social active merupakan perilaku mencontek saat dimana siswa tersebut mengandalkan siswa lain untuk mencontek, jika siswa tersebut memiliki konformitas teman sebaya yang tinggi maka ia akan semakin aktif meminta jawaban kepada teman yang lain saat ia melihat ada temannya yang lain mencontek juga. Kedua, hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social passive. Mecontek social passive adalah saat siswa tersebut sebenarnya tidak ingin terlibat dalam aktifitas mencontek, dengan kata lain ia selalu dimintai jawaban oleh siswa lain. Peneliti berasumsi bahwa siswa siswa yang memiliki tipe mencontek social active akan memberikan jawaban agar ia dapat diterima dalam sebuah kelompok pertemanan. Ketiga, hubungan konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic. Siswa dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic akan mencontek secara tiba-tiba dan tanpa rencana. Peneliti berasumsi bahwa jika melihat teman-teman yang lain mencontek maka siswa tersebut akan segera mencontek juga dengan anggapan ingin di anggap sama dengan yang siswa yang lain (seperti “kalau siswa lain bisa, kenapa saya tidak?”).
24
Keempat, hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek independent planned. Siswa dengan perilaku mencontek independent planned sudah merencanakan bahwa ia akan mencontek pada saat ujian. Kaitannya dengan konformitas teman sebaya adalah ia akan membuat contekan ketika temantemannya mengajak dan ia juga melihat teman-temannya yang lain membuat contekan. Maka dari itu peneliti ingin melihat bagaimana hubungan antara konformitas teman sebaya dengan masing-masing perilaku mencontek, perilaku mencontek yang manakah yang paling berhubungan dengan konformitas teman sebaya. Dengan asumsi bahwa semakin tinggi konformitas teman sebaya maka semakin tinggi pula perilaku mencontek siswa SMA di Pekanbaru.
2.5
Hipotesa
Ho1 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social active pada siswa SMA di Pekanbaru. Ha1 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social active pada siswa SMA di Pekanbaru.
Ho2 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social passive pada siswa SMA di Pekanbaru. Ha2 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek social passive pada siswa SMA di Pekanbaru.
Ho3 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic pada siswa SMA di Pekanbaru.
25
Ha3 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek individualistic opportunistic pada siswa SMA di Pekanbaru.
Ho4 : Tidak adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek independent planned pada siswa SMA di Pekanbaru. Ha4 : Adanya hubungan antara konformitas teman sebaya dengan perilaku mencontek independent planned pada siswa SMA di Pekanbaru.