BAB II LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan definisi dan teori-teori yang dijadikan landasan berpikir penulis dalam melakukan penelitian berkaitan dengan topik pengaruh pemberian goal setting terhadap tingkat kedisipllinan. Penjelasan yang akan diutarakan sepanjang bab dua ini antara lain adalah definisi dari kedisiplinan, metode goal setting, serta penjelasan mengenai permainan futsal.
2.1 Kedisiplinan Sastrohadiwiryo (dalam Gusti, 2012) mendefinisikan disiplin sebagai suatu sikap menghormati, menghargai, patuh, dan taat terhadap peraturan-peraturan yang berlaku, baik yang tertulis maupun tidak tertulis serta sanggup menjalankannya dan tidak mengelak untuk menerima sanksi-sanksinya apabila ia melanggar tugas dan wewenang yang diberikan kepadanya. Sedangkan menurut Knapczyk (2004) disiplin diri adalah kemampuan untuk mengambil tanggung jawab serta hak atas perilaku seseorang. Menurut Hasibuan (1997) kedisiplinan adalah kesadaran dan kesediaan seseorang mentaati semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Kesadaran adalah sikap seseorang yang secara sukarela mentaati semua peraturan perusahaan dan sadar akan tugas dan tanggung jawabnya. Kesediaan adalah suatu sikap, tingkah laku dan perbuatan seseorang yang sesuai dengan peraturan perusahaan baik
yang tertulis maupun tidak. Hasibuan (1997)
menjelaskan lebih lanjut bahwa seseorang akan bersedia mematuhi semua peraturan serta melaksanakan tugas-tugasnya, baik secara sukarela maupun karena terpaksa. Hasibuan (1997) juga menyatakan bahwa kedisiplinan dapat diartikan bilamana seseorang selalu datang dan pulang tepat pada waktunya, mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik, mematuhi semua peraturan perusahaan dan norma-norma sosial yang berlaku. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa definisi umum dari kedisiplinan adalah suatu sikap dari individu untuk mematuhi dan mentaati semua peraturan yang ada serta menjalankannya dengan penuh tanggung jawab. Namun dalam penelitian ini peneliti berfokus pada definisi kedisipinan yang diutarakan oleh Hasibuan (1997). Lebih lanjut peneliti juga menarik beberapa indikator kedisiplinan yang berasal dari arti kedisiplinan menurut Hasibuan (1997) . Pertama, individu datang dan pulang tepat pada waktunya. Kedua, individu mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik. Ketiga, mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku.
2.2 Goal setting Latham dan Locke (dalam Cox, 2012) mengemukakan bahwa goal setting adalah sebuah teori motivasi yang secara efektif memberi energi kepada atlet untuk menjadi lebih produktif dan efektif. Menurut Cox (2012) goal setting dapat dipromosikan sebagai strategi pembelajaran yang baru. Goal setting juga dapat meningkatkan performa melalui pengarahan atensi, peningkatan usaha dan kegigihan, memotivasi atlet untuk mempelajari strategi belajar yang baru, serta meningkatkan perasaan positif. Menurut McCarthy, Jones, Harwood dan Davenport
(dalam Cox, 2012) perasaan positif terkait dengan meningkatnya motivasi, performa dan komitmen. Shilts, Horowitz dan Townsend (2004) berpendapat bahwa goal setting mempunyai potensi sebagai fasilitator penting pada perubahan perilaku. Cox (2012) menambahkan bahwa goal setting adalah salah satu strategi motivasi terbaik bagi atlet, ia pun mengatakan bahwa atlet dan pelatih harus menjadi “SMART” dalam menetapkan goal. “SMART” yang dimaksud adalah specific, measurable, action-oriented, realistic, timely. Specific goal adalah sesuatu yang terfokus tepat pada tujuan yang ingin dicapai. Measurable goal adalah sesuatu yang dapat dihitung, dalam arti individu tahu seberapa dekat posisinya sekarang dalam mencapai tujuan. Action–oriented goal, sesuatu yang bisa dinilai, dan satu-satunya cara untuk menilainya adalah dengan mengobservasinya melalui perilaku. Realistic goal diartikan bilamana atlet yakin bahwa goal yang ia tetapkan dapat dicapai. Timely goal adalah saat atlet menentukan berapa waktu yang dibutuhkan untuk menyelesaikan goal tersebut. Menurut Gould (dalam Cox, 2012) ada tiga fase yang harus diperhatikan dalam membuat goal setting. Pertama adalah planning phase, dalam fase ini pelatih bertugas untuk mencatat seluruh kekurangan maupun kelebihan baik tim secara keseluruhan maupun pada tiap individu. Kekurangan maupun kelebihan dapat dikategorikan mengenai skills ataupun physical fitness. Kedua adalah meeting phase, pada fase ini pelatih akan bertemu dengan setiap pemain secara empat mata. Pada pertemuan itu pelatih akan memberitahu kekurangan serta kelebihan tiap individu. Individu akan mengetahui hal-hal apa saja yang harus ia tingkatkan. Setelah itu, pelatih harus menginstruksikan atlet atau pemain menuliskan goal mereka berdasarkan prinsip SMART. Pelatih harus menjelaskan cara menulis goal pada lembar goal setting yang diberikan kemudian atlet atau pemain harus menuliskan goal mereka masing-masing. Setelah atlet
menuliskan goal mereka, harus tercapai kesepakatan antara pelatih dan atlet mengenai goal yang dibuat. Ketiga adalah evaluation phase, goal yang sudah dibuat harus terus dimonitor secara rutin. Hal yang harus diperhatikan adalah proses serta peforma atlet terkait goal yang telah dibuat.
2.3 Perkembangan usia remaja Menurut Santrock (2003) perkembangan adalah pola gerakan atau perubahan yang dimulai pada waktu konsepsi dan berlanjut sepanjang siklus hidup. Sebagian besar perkembangan mencakup pertumbuhan, walaupun juga mencakup penurunan. Lebih lanjut Santrock (2003) menjelaskan bahwa remaja diartikan sebagai masa perkembangan transisi antara masa anak dan masa dewasa yang mencakup perubahan biologis, kognitif dan sosio-emosional. Masa remaja awal (early adolescence) kira-kira sama dengan masa sekolah menengah pertama dan mencakup kebanyakan perubahan pubertas. Masa remaja akhir (late adolescence) menunjuk pada kira-kira setelah usia 15 tahun. Minat pada karir, pacaran, dan eksplorasi identitas seringkali lebih nyata dalam masa remaja akhir ketimbang dalam masa remaja awal. Rosenberg (dalam Santrock, 2003) mengatakan bahwa diri remaja akan terus memiliki cirri ketidakstabilan hingga tiba suatu saat di mana seorang remaja berhasil membentuk teori mengenai dirinya yang lebih utuh, dan biasanya tidak terjadi hingga masa remaja akhir atau bahkan di awal masa dewasa. Lebih lanjut Brown dan Larson (2007) berpendapat bahwa seringkali ditemukan bahwa remaja mengalami pengalaman emosi secara pribadi untuk menemukan siapa diri mereka sebenarnya. Santrock (2003) mengatakan bahwa remaja laki-laki biasa bertingkah laku asertif, sombong, sinis, dan sangat berkuasa, karena mereka
menyadari bahwa tingkah laku seperti itu menambah kualitas seksualitas dan daya tariknya. Erikson (dalam Santrock, 2003) menambahkan bahwa dikarenakan struktur genitalnya, laki-laki menjadi lebih berani tampil dan agresif.
2.4 Pemainan futsal Menurut Alvarez dkk (2008) Futsal yang merupakan nama resmi untuk permainan sepak bola dalam ruangan diperkenalkan pada tahun 1930 dengan tujuan memungkinkan sepakbola untuk dimainkan di dalam ruangan yang terbatas. Futsal semakin spektakuler dan popularitasnya semakin naik pada beberapa tahun terakhir. Permainan ini dimainkan di seluruh dunia baik liga profesional maupun amatir oleh laki-laki dan perempuan. Organisasi futsal berada dibawah naungan FIFA. Futsal adalah olahraga yang menuntut fisik yang prima, teknik tinggi serta taktik. Sebuah tim dalam permainan futsal terdiri dari lima pemain (empat pemain dan 1 kiper), dengan jumlah yang tidak dibatasi saat substitusi pemain, sehingga intensitas dan ritme permainan sangat tinggi dan tidak menurun saat pertandingan berlangsung. Jumlah maksimal pemain dalam skuad untuk bertanding adalah 12 pemain (10 pemain dan 2 kiper). Setiap pertandingan dipimpin oleh dua orang wasit. 2.5 Kerangka Berpikir Berikut terpapar diagram singkat maupun penjelasan deskriptif mengenai proses kerangka berpikir.
Gambar 2.1 Penjelasan Deskriptif Proses Kerangka Berpikir Berangkat dari pengalaman peneliti yang sekaligus berperan sebagai pelatih, para siswa yang mengikuti ekstrakurikuler futsal memiliki tingkat kedisiplinan yang rendah. Hal itu dapat terlihat dari melalui indikator-indikator kedisiplinan menurut Hasibuan (1997) yaitu pertama, individu datang dan pulang tepat pada waktunya. Kedua, individu mengerjakan semua pekerjaannya dengan baik. Ketiga, mematuhi semua peraturan dan norma yang berlaku. Siswa yang mengikuti ekstrakuriluer seringkali datang dan pulang tidak sesuai dengan jadwal yang ditentukan. Mereka juga sering melanggar peraturan yang telah pelatih tetapkan. Menurut Maksum (2007) Atlet yang ingin berprestasi harus mempunyai tujuh trait kepribadian salah satunya komitmen. Atlet yang memiliki komitmen adalah atlet yang mencintai profesinya, fokus terhadap tugas, disiplin dan tanggung jawab terhadap tugas, serta rela mengorbankan kepentingan lain demi profesi yang dipilhnya. Kedisiplinan merupakan salah satu aspek dari trait komitmen. Karena itulah peneliti menarik kesimpulan bahwa kedisiplinan harus menjadi salah satu aspek yang ditekankan saat melakukan ekstrakurikuler futsal.
Melihat pentingnya kedisiplinan yang harus ditanamkan sejak dini, peneliti berusaha untuk mencari metode yang dapat meningkatkan perilaku kedisiplinan siswa yang mengikuti ekstrakurikuler futsal. Latham dan Locke (dalam Cox, 2012) mengemukakan bahwa goal setting adalah sebuah teori motivasi yang secara efektif memberi energi kepada atlet untuk menjadi lebih produktif dan efektif. Menurut Cox (2012) goal setting dapat dipromosikan sebagai strategi pembelajaran yang baru. Goal setting juga dapat meningkatkan performa melalui pengarahan atensi, peningkatan usaha dan kegigihan, memotivasi atlet untuk mempelajari strategi belajar yang baru, serta meningkatkan perasaan positif. Menurut McCarthy, Jones, Harwood dan Davenport (dalam Cox, 2012) perasaan positif terkait dengan meningkatnya motivasi, performa dan komitmen. Dari paparan mengenai metode SMART goal setting di atas, peneliti menarik kesimpulan bahwa metode ini dapat meningkatkan perasaan positif, salah satunya adalah komitmen. Kedisiplinan merupakan salah satu aspek di dalam komitmen. Oleh karena itu peneliti ingin menggunakan metode SMART goal setting yang nantinya akan diajarkan kepada siswa. Para siswa akan mencoba untuk membuat goal atau tujuan mereka masingmasing melalui lembar goal setting. Melalui metode inilah peneliti berharap tingkat kedisiplinan para siswa bisa meningkat.