BAB 2
LANDASAN TEORI
Bab ini menguraikan teori-teori yang berkaitan dengan penerimaan teknologi mobile phone, kohesi bertetangga, serta kerangka berpikir. 2.1
Kohesi Bertetangga
Kohesivitas merupakan sebuah kelekatan antar anggota kelompok atau komunitas. Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal (Lott & Lott, 1965). Kohesivitas adalah sebuah kesatuan kelompok.
Banyak
teori-teori
yang
menjelaskan
hal
tersebut
sebagai
“belongingness” atau “we-ness”, yang merupakan esensi dari kohesivitas kelompok. Anggota-anggota dalam kelompok yang kohesif memberikan rasa kebersamaan yang tinggi kepada kelompoknya, dan mereka sadar bahwa terdapat persamaan antar anggota dalam kelompok. Individu dalam kelompok yang kohesif dimana kohesivitas diartikan sebagai perasaan Kuat dari sebuah keberadaan komunitas yang terintregasi akan lebih efektif dalam kelompok, lebih bersemangat,
dalam
menghadapi
masalah-masalah
sosial
maupun
interpersonal. Kohesivitas merupakan sebuah ketertarikan. Beberapa teori mempertimbangkan kohesivitas sebagai sebuah ketertarikan personal (Lott & Lott, 1965).
Menurut Mitchell (1994, dalam Maharani 2009) ada 3 karakteristik kohesi sosial, yaitu: (1) komitmen individu untuk norma dan nilai umum, (2) saling
ketergantungan yang muncul karena adanya niat untuk berbagi (shared interest), dan (3) individu yang mengidentifikasi dirinya dengan grup tertentu. Istilah kohesi sosial digunakan untuk menggambarkan proses yang lebih dari kondisi atau keadaan akhir, itu dipandang sebagai rasa yang melibatkan komitmen, dan keinginan atau kemampuan untuk hidup bersama dalam harmoni (Jenson, 1998). Komitmen yang ada di dalam sense of community membuat individu dari komunitas memiliki identitas sosial sebagai anggota dari kehidupan bertetangganya menurut Herek & Glunt (1995, dalam Buckner, 1988).
Kohesi bertetangga adalah individu merasa masuk dalam komunitas di dalam lingkungannya; individu merasa menjadi bagian komunitas di dalam lingkungannya; individu mempunyai daya tarik untuk hidup tetap di dalam lingkungan tersebut, dan tingkat individu dalam berinteraksi pada lingkungannya (Buckner, 1988). Masyarakat harus berusaha untuk dapat meningkatkan rasa psikologis dengan tetangga, ini berguna untuk meningkatkan kekompakan rasa psikologis antar tetangga. Tetangga yang kohesif adalah kelompok tetangga yang mempunyai “sense of belongingness”, individu mempunyai rasa identifikasi saat berasa di kelompok tersebut, dan adanya situasi psikologis yang memungkinkan mereka mempunyai perasaan yang bersatu dan tujuan untuk bekerja sama untuk mencapai tujuan tersebut (Buckner, 1988).
Perry (2001) menyatakan bahwa social bonding merupakan hubungan antara seseorang dengan orang yang lain dan melalui social bonding terbentuklah attachment (ikatan kasih sayang). Berkenaan dengan attachment, menyatakan “attachment refers to a special bond characterized by the unique qualities of the special bond that forms in maternal-infant or primary caregiverinfant relationships.” Menurut Perry, attachment merupakan suatu hubungan
antar manusia (bond) yang ditandai oleh sifat-sifat yang spesifik dalam hubungan individu dan tetangga–tetangganya. Selanjutnya Perry (2001) menegaskan bahwa attachment terbentuk melalui bonding dalam dalam attachment bond terdapat elemen-element sebagai berikut: (1) An attachment bond is an enduring emotional relationships with specific person, (2) The relationship brings safety, comfort, soothing and pleasure, (3) Loss or threat of loss of person evokes intense distress, dalam Buckner (1988).
Sense Community Sebagai Komponen Kohesi Bertetangga Muniz & O’Guinn (2001) menyatakan ada tiga konsep komunitas, yang pertama adalah kesadaran untuk merefleksikan hubungan sesama anggota dan perasaan berbeda dari mereka yang
tidak termasuk di dalam kehidupan
bertetangga. Kedua, terdapat sebuah ritual dan tradisi yang merefleksikan norma dan nilai dari perilaku kehidupan bertetangga. Yang ketiga adalah tanggung jawab moral yang merefleksikan rasa kewajiban pada komunitas dan kewajiban pada sesama anggota di dalam kehidupan bertetangga. Peneliti secara konsisten mencatat bahwa komunitas kecil yaitu komunitas bertetangga sangat kohesif dalam hal “sense of belongingness” , “weness”,
rasa identifikasi, dan keadaan psikologis yang memungkinkan orang
untuk merasakan kesatuan perasaan dan tujuan menuju tujuan bersama (Buckner, 1988). Dalam tataran geografis dan hubungan, sebuah sense of community yang kuat berkaitan dengan keluaran positif dari individu maupun dari kehidupan bertetangganya. Dalam level kehidupan bertetangga, orang-orang yang memiliki sense of community yang kuat cenderung memiliki perasaan aman yang lebih
mendalam, dan lebih banyak berpartisipasi di dalam acara-acara yang diadakan di kehidupan bertetangga (Schweitzer, 1996). Seymour Sarason (1974) Yaitu adanya rasa kesamaan antar anggota, kebergantungan satu
dengan lainnya dan keinginan untuk mempertahankan
kebergantungan ini, lebih jauh lagi sense of community didefinisikan dengan seorang anggota merupakan bagian dari sebuah kehidupan bertetangga yang stabil (157). Mc Millan & Chavis (1986) menjelaskan sense of community sebagai “ a
feeling that members have of belonging, a feeling that members
matter to one another and to the group, and a shared faith that members’ needs will be met through their commitment to be together”. Yaitu perasaan yang dimiliki anggota dalam sebuah
komunitas
bertetangga yang meliputi rasa saling memiliki, rasa pentingnya keberadaan anggota di dalam komunitas bertetangga dan terhadap anggota lainnya, dan kepercayaan bahwa kebutuhan anggota akan terpenuhi di dalam kehidupan bertetangga melalui adanya komitmen untuk terus bersama. 2.2
Dimensi Penerimaan Teknologi Mobile Phone Penerimaan teknologi mobile phone didefinisikan sebagai kesediaan
pengguna
untuk
menggunakan
mobile
phone
secara
sukarela
dalam
menjalankan dan mendukung aktivitasnya (Teo, 2011). Ada banyak model yang dikembangkan oleh para peneliti untuk mengukur penerimaan sistem informasi oleh pengguna, salah satunya adalah model Technology Acceptance Model (TAM). Model TAM dikembangkan oleh Davis & Venkatesh,(2004). Berikut ini adalah dimensi – dimensi penerimaan teknologi:
Persepsi Kegunaan (Perceived Usefulness / Performance Expectancy). Persepsi kegunaan didefinisikan sebagai tingkat dimana pemakai percaya bahwa menggunakan mobile phone
tertentu akan meningkatkan kinerjanya dalam
bekerja. Definisi ini menunjukkan bahwa persepsi kegunaan merupakan suatu kepercayaan tentang penggunaan mobile phone dalam hal ini menerima dan menggunakannya. Mobile phone akan digunakan apabila pemakai percaya bahwa mobile phone akan memberi manfaat. Ini menunjukkan sejauh mana kepercayaan seseorang dalam menggunakan mobile phone akan meningkatkan kinerjanya, produktivitasnya, dan keefektivannya dalam bekerja. Persepsi Menyenangkan (Perceived Playfulness / Hedonic Motivation), Persepsi menyenangkan adalah motivasi intrinsik seseorang untuk menerima dan menggunakan mobile phone atau dengan kata lain pribadi orang tersebut senang dengan aktivitas menggunakan mobile phone. Dalam studi ini, persepsi kesenangan adalah sejauh mana seseorang memandang aktivitas menggunakan mobile phone menyenangkan secara pribadi dalam dirinya. Orang yang secara intrinsik merasa senang dengan mobile phone tidak melihat penggunaan mobile phone sebagai usaha yang serius dan melaksanakan tugas-tugasnya dengan lebih
cepat,
serta
berniat
untuk
menggunakan
mobile
phone
secara
berkesinambungan. Persepsi Kemudahan Penggunaan (Perceived Ease of Use / Effort Expectancy). Persepsi kemudahan penggunaan didefinisikan sebagai tingkat dimana pemakai percaya bahwa menggunakan mobile phone akan bebas dari usaha. Kemudahan penggunaan mobile phone merupakan suatu kepercayaan tentang proses pengambilan keputusan. Mobile phone akan digunakan apabila pemakai
percaya
bahwa
sistem
tersebut
mudah
digunakan.
Ini
juga
menunjukkan sejauh mana kepercayaan seseorang dalam menggunakan mobile phone akan bebas dari usaha. Kondisi Sumber Daya (Facilitating Conditions), persepsi pengguna mobile phone terhadap sumber daya dan dukungan yang tersedia untuk melakukan suatu perilaku. Sejauh mana seorang individu percaya bahwa mobile phone dapat mendukung penggunaan pengguna mobile phone (Brown & Venkatesh, 2005). Pengaruh Sosial (Social Influence), pengaruh sosial adalah sejauh mana pengguna mobile phone merasa bahwa orang lain penting (misalnya, keluarga dan teman) percaya bahwa mereka harus menggunakan mobile phone; kondisi mengacu pada persepsi pengguna mobile phone terhadap sumber daya dan dukungan yang tersedia untuk melakukan suatu perilaku (Brown & Venkatesh, 2005). Kebiasaan (Habit) dianggap sebagai perilaku yang secara otomatis (Aarts et al. 2000). kebiasaan dibentuk oleh dua kondisi yang menguntungkan, kelengkapan penggunaan yang tinggi (yaitu, sejauh mana seorang individu memanfaatkan fungsi yang berbeda / aplikasi yang terdapat di mobile phone) serta frekuensi yang tinggi dari perilaku penggunaan mobile phone (Limayem et al. 2007). Nilai Harga (Price Value), Persepsi individu atau pengguna mobile phone terhadap tingkat harga yang ditawarkan (Kim, Gupta & dkk, 2007). Harga yang positif dari manfaat mobile phone maka memiliki dampak yang positif dari perilaku penggunaan mobile phone. Persepsi Kualitas Isi (Perceived Content Quality), Persepsi kualitas konten/isi mengacu pada karakteristik yang diinginkan, seperti akurasi,
kebermaknaan, dan ketepatan waktu, informasi yang disampaikan melalui mobile phone (Lederer dkk, 2000). Sikap (Attitude), Sikap pengguna untuk teknologi mobile, Melone (1990) menyatakan sikap pengguna mobile phone dalam konteks sebagai predisposisi untuk merespon baik atau tidak baik. Hal ini tergantung pada pandangan kognitif dari pengguna mobile phone itu sendiri. Kepuasan (Satisfaction), Menurut Doll & Torkzadeh. (1988) kepuasan mobile phone dapat dilihat dari pendapat pengguna tentang aplikasi mobile phone tertentu, yang mereka gunakan. Diskonfirmasi (Disconfirmation),
Diskonfirmasi menurut Oliver (1980)
bahwa tanggapan kepuasan atau ketidakpuasan muncul dari proses evaluasi kognitif di mana harapan atau keyakinan sebelumnya tentang mobile phone yang terkait dengan pengalaman. Proses kognitif yang terjadi adalah proses sebelum dan sesudah menggunakan mobile phone. Niat (Behavioral Intention). Behavioral intention menurut Davis (1989) adalah kecenderungan perilaku untuk tetap menggunakan suatu mobile phone. Tingkat penggunaan mobile phone pada seseorang dapat diprediksi dari sikap perhatiannya terhadap mobile phone tersebut, misalnya keinginanan menambah peripheral pendukung, motivasi untuk tetap menggunakan, serta keinginan untuk memotivasi pengguna lain.
2.3
Kerangka Berpikir Perkembangan
teknologi
yang
semakin
canggih
khususnya
perkembangan teknologi mobile yang semakin diminatin oleh dewasa ini.
Menurut riset dari The Nielsen Company menyatakan kepemilikan mobile phone di Indonesia terus melonjak dan pengguna ponsel tertinggi adalah kelompok usia 20-19 tahun. Dari tahun ke tahun penggunaan ponsel terus berkembang pesat ( Indotelko, 2011). Telepon seluler memang membuat kita terhubung dengan teman dan komunitas yang lebih luas. Tetapi, keasyikan kita terhadap ponsel ternyata mengurangi rasa keingintahuan sosial. Bahkan, para pengguna ponsel diketahui lebih egois. Sikap mementingkan diri sendiri yang dimiliki para pengguna ponsel itu, antara lain, disebabkan karena berkurangnya rasa keterhubungan dengan sekitarnya (Kompas, 2012). Dari pemberitaan yang dituliskan oleh kompas, dewasa kini menggunakan ponsel mereka secara terus menerus dalam melakukan aktivitasnya, sehingga dewasa ini tidak memperhatikan kehidupan sosialnya, dalam hal ini adalah kehidupan bertetangganya. Dengan berkembangnya teknologi yang semakin maju, dan penggunaan teknologi mobile phone yang semakin meningkat dikhawatirkan masyarakat semakin rendah dalam bertatap langsung atau berinteraksi secara face to face dengan tetangganya. Budyatna (2005) menyatakan bahwa dengan munculnya penggunaan
ponsel
dapat
mempengaruhi
suatu
proses
yang
bersifat
transaksional dalam interaksi tatap muka. Secara tidak langsung perkembangan teknologi mobile ini telah menggeser komunikasi dan intensitas tatap muka (face to face). masyarakat lebih menggunakan mobile phone dan tidak lagi peduli dengan tetangganya. Berdasarkan alur piker di atas, peneliti berminat untuk mengetahui bagaimana
penerimaan
seseorang
terhadap
teknologi
berhubungan secara prediktif dengan kohesi bertetangga.
mobile
phone
Dari bagan di bawah ini di gambarkan bahwa seseorang yang menggunakan
mobile
phone
akan
rendah
kohesi
bertetangganya,
ini
dikarenakan penggunaan mobile phone yang mengakibatkan rendahnya kelekatan bertetangga.
Dimensi penerimaan Tehc. Mobile
―
Kohesi Bertetangga
Gambar 2.3 Bagan Kerangka Berpikir Sumber: Diolah oleh Penulis