BAB 2 LANDASAN TEORI
Landasan teori ini berisi tentang mengkaji tema yang berkaitan dengan penelitian yang diangkat.Kajian dalam penelitian ini berkaitan dengan perumahan di bantaran kali, Petukangan Utara, menggunakan tahapan Re-development.
2.1 Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini berkaitan dengan keadaan kawasan Jalan Halimah,Cipulir. Jumlah anggota keluarga dan kebiasaan yang dilakukan oleh para warga. 2.2
Pemukiman 2.2.1 Pemukiman Perumahan dan permukiman merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia dan merupakan faktor penting dalam peningkatan harkat dan martabat manusia serta mutu kehidupan yang sejahtera dalam masyarakat yang adil dan makmur. Permukiman menurut Suparno Sastra M. dan Endi Marlina, (Perencanaan dan Pengembangan Perumahan, 2006:37), adalah suatu tempat bermukim manusia untuk menunjukkan suatu tujuan tertentu. Apabila dikaji dari segi makna, permukiman berasal dari terjemahan kata settlements yang mengandung pengertian suatu proses bermukim. permukiman memiliki 2 arti yang berbeda yaitu:
1
1. Isi. Yaitu menunjuk pada manusia sebagai penghuni maupun masyarakat di lingkungan sekitarnya. 2. Wadah. Yaitu menunjuk pada fisik hunian yang terdiri dari alam dan elemen-elemen buatan manusia. Perumahan adalah kelompok rumah yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal / lingkungan hunian yang dilengkapi dengan prasarana dan sarana lingkungan, dimaksudkan agar lingkungan tersebut menjadi lingkungan yang sehat, aman, serasi, dan teratur dan berfungsi sebagaimana yang diharapkan.Sedangkan permukiman adalah bagian dari lingkungan hidup diluar kawasan lindung, baik yang berupa kawasan perkotaan maupun perdesaan yang berfungsi sebagai lingkungan tempat tinggal atau lingkungan hunian dan tempat kegiatan yang mendukung prikehidupan dan penghidupan (UU No 4/1992).
2.2.2 Pemukiman Kumuh Permukiman kumuh memiliki beberapa pengertian dan kriteria. Menurut Yudhohusodo dalam Ridlo (2001:22), permukiman kumuh merupakan kampung atau perumahan liar yang perkembangannya tidak direncanakan terlebih dahulu yang ditempati oleh masyarakat berpenghasilan rendah sampai sangat rendah, memiliki kepadatan penduduk dan kepadatan bangunan tinggi dengan kondisi rumah dan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan maupun teknik dengan pola yang tidak teratur, kurangnya prasarana, kurangnya utilitas dan fasilitas sosial. Permukiman kumuh dicirikan dengan lokasinya yang semakin dekat ke pusat kota sehingga kepadatan penduduknya makin tinggi. Ciri lain yang cukup menonjol adalah berfungsinya daerah
tersebut sebagai tempat transisi antara kehidupan pedesaan dengan kehidupan perkotaan. Ciri-ciri kampung atau permukiman kumuh menurut Sinulingga (2005) terdiri dari: 1. Penduduk sangat padat antara 250-400 jiwa/Ha. Pendapat para ahli perkotaan menyatakan bahwa apabila kepadatan suatu kawasan telah mencapai 80 jiwa/Ha maka timbul masalah akibat kepadatan ini, antara perumahan yang dibangun tidak mungkin lagi memiliki persyaratan fisiologis, psikologis dan perlindungan terhadap penyakit 2. Jalan-jalan sempit dapat dilalui oleh kendaraan roda empat, karena sempitnya, kadang-kadang jalan ini sudah tersembunyi dibalik atap-atap rumah yang sudah bersinggungan satu sama lain 3. Fasilitas drainase sangat tidak memadai, dan malahan biasa terdapat jalanjalan tanpa drainase, sehingga apabila hujan kawasan ini dengan mudah akan tergenang oleh air 4. Fasilitas pembuangan air kotor/tinja sangat minim sekali. Ada diantaranya yang langsung membuang tinjanya ke saluran yang dekat dengan rumah. 5. Fasilitas penyediaan air bersih sangat minim, memanfaatkan air sumur dangkal, air hujan atau membeli secara kalengan. 6. Tata bangunan sangat tidak teratur dan bangunan-bangunan pada umunya tidak permanen dan malahan banyak sangat darurat. Pemilikan hak atas lahan sering legal, artinya status tanahnya masih merupakan tanah negara dan para pemilik tidak memiliki status apa-apa Menurut Suparlan, (2002), dalam Syaiful. A (2002).permukiman dapat digolongkan sebagai permukiman kumuh karena:
a. Kondisi dari permukiman tersebut ditandai oleh bangunan rumah-rumah hunian yang dibangun secara semrawut dan memadati hampir setiap sudut permukiman, dimana setiap rumah dibangun diatas tanah tanpa halaman. b. Jalan-jalan yang ada diantara rumah-rumah seperti labirin, sempit dan berkelok-kelok, serta becek karena tergenang air limbah yang ada disaluran yang tidak berfungsi sebagaimana mestinya. c. Sampah berserakan dimana-mana, dengan udara yang pengap dan berbau busuk. d. Fasilitas umum kurang atau tidak memadai. e. Kondisi fisik hunian atau rumah pada umumnya mengungkapkan kemiskinan dan kekumuhan, karena tidak terawat dengan baik.
Dinas Tata kota DKI Jakarta (1997) mendefinisikan permukiman kumuh sebagai permukiman yang berpenghuni padat, kondisi sosial ekonomi umumnya rendah, jumlah rumah sangat padat, dan ukurannya di bawah standar, prasarana lingkungan hampir tidak ada, atau tidak memenuhi persyaratan teknis dan kesehatan, umumnya dibangun di atas tanah Negara atau milik orang lain, tumbuh tidak terencana dan umumnya berada di lokasi yang strategis di pusat-pusat kota.
2.2.3 Mengatasi pemukiman kumuh
Masyarakat miskin umumnya ditandai oleh ketidakberdayaan atau ketidakmampuan dalam: (1) pemenuhan kebutuhan-kebutuhan dasar seperti pangan dan gizi, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan, (2) melakukan kegiatan usaha produktif, (3) mengakses sumber daya sosial dan ekonomi, (4) menentukan nasibnya sendiri dan (5) membebaskan diri dari mental dan budaya miskin serta merasa mempunyai martabat dan harga diri yang rendah. (Dadang 2004; Bagong, 2003; Narayan, 2000; dan Bappenas, 2003) Ada beberapa ketentuan untuk mewujudkan suatu permukiman yang baik menurut Sinulingga dalam Siti Umajah (2002:77), yaitu: a. Lokasinya sedemikian rupa sehingga tidak terganggu oleh kegiatan lain, seperti pabrik, yang pada umumnya dapat memberikan dampak pada pencemaran udara atau pencemaran lingkungan lainnya. b. Mempunyai akses terhadap pusat-pusat pelayanan, seperti pelayanan kesehatan, pendidikan, dan perdagangan yang dapat dicapai dengan membuat jalan dan sarana transportasi di permukiman tersebut. Akses ini juga harus mencapai perumahan secara individual melalui jalan lokal. c. Mempunyai fasilitas drainase yang dapat mengalirkan air hujan dengan cepat dan tidak sampai menimbulkan genangan air walaupun hujan yang lebat sekalipun. Hal ini hanya mungkin jika sistem drainase di permukiman tersebut dapat dihubungkan dengan saluran pengumpul atau saluran utama dari sistem perkotaan. d. Mempunyai fasilitas penyediaan air bersih, berupa saluran distribusi yang siap disalurkan ke masing-masing rumah. Ada juga lingkungan yang belum mempunyai
jaringan
distribusi
sehingga
apabila
ingin
membangun
perumahan harus mengadakan pembangungan jaringan distribusi dulu atau mengadakan pengolahan air sendiri. e. Dilengkapi dengan fasilitas pembuangan air kotor/ tinja yang dapat dibuat dengan sistem individual seperti tangki septik dan lapangan rembesan ataupun tangki septik komunal. f. Pemukiman harus dilayani oleh fasilitas pembuangan sampah secara teratur agar lingkungan permukiman tetap nyaman. g. Dilengkapi fasilitas umum, seperti taman bermain bagi anak-anak, lapangan atau taman, tempat ibadah, pendidikan, dan kesehatan yang disesuaikan dengan skala besarnya permukiman. h. Dilayani oleh jaringan listrik dan telepon.
2.2.4
Sarana Pendukung Untuk mewujudkan pemukiman yang baik, perlu adanya sarana
pendukung agar suatu pemukiman dapat berfungsi dengan baik sebagaimana mesti nya. Adapun sarana pendukung tersebut ialah :
Tabel 2.1 Kebutuhan sarana kebudayaan dan rekreasi
Sumber : SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan Kota
Tabel 2.2. Kebutuhan sarana kesehatan
Sumber : SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan Kota
Tabel 2.3. Kebutuhan sarana kebutuhan sarana perdagangan dan niaga
Sumber : SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan Kota
Tabel 2.4. Kebutuhan sarana peribadatan
Sumber : SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan Kota
Tabel 2.5 Kebutuhan sarana pendidikan dan pembelajaran
Sumber : SNI 03-1733-1989, Tata cara perencanaan kawasan perumahan Kota
2.3
Teori yang bersangkutan 2.3.1 Urban Housing Permukiman kota merupakan kebutuhan seluruh dunia terutama negara – negara berkembang. Sebagai hasil dari pertumbuhan kota yang pesat, penduduk pun semakin bertambah dan munculnya permukiman – permukiman kumuh dan illegal. Sumber daya yang ada tidak cukup untuk menampung permukiman – permukiman yang semakin
bertambah.
Permukiman kota merupakan satu solusi untuk memecahkan masalah untuk pemukiman kumuh dan illegal dengan cara memaksimalkan fungsi bangunan. Permukiman kumuh yang terdapat di negara berkembang memiliki karakteristik desentralisasi dan fragmentasi dari lingkup kegiatan ekonomi.
Pembangunan rumah secara universal mengabaikan hal – hal yang menjadi kebutuhan dasar pada kawasan tersebut.Oleh karena itu, perlu adanya standar yang sesuai dan layak. Pemukiman kota harus dirancang sesuai keadaan kawasan
dan bertindak sebagai panduan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat. Kebijakan ini harus merespon kebutuhan khusus penduduk untuk masa yang akan datang. Perencanaan pembangunan permukiman di negara berkembang bertujuan untuk memberikan perlindungan pada rakyat miskin dengan cara membagi zoning pada kawasan dan membangun infrastruktur yang memadai, seperti jalan, air, dll. Berikut elemen – elemen yang terjadi pada permukiman kumuh dan illegal :
•
House Extensions Keterbatasan lahan dan ruang gerak yang mereka miliki membuat mereka mengambil lahan yang ada untuk melakukan aktifitas yang mereka lakukan
Gambar : 2.1 House extentions Sumber : Time saver standar for urban design book
•
Workplaces
pemukiman kumuh dan liar tidak hanya sebagai tempat tinggal bagi para penghuni, melainkan tempat bekerja. Tidak seperti perumahan pada umumnya, dimana tempat bekerja dan tempat tinggal terpisah secara fisiik. Pekerjaan yang dilakukan para warga yang berada di pemukiman kumuh tersebut ialah pekerjaan industri rumahan yang berpartispasi dalam kegiatan ekonomi. Industry rumahan tersebut diantaranya:
Gambar : 2.2 Workplaces Sumber : Time saver standar for urban design book
•
Small shops toko – toko kecil ini berorientasi pada kebutuhan masyarakat sekitar. Dimana peletakan toko – toko ini berada di jalan utama yang banyak dilalui oleh orang orang atau diruang terbuka yang menjadi tempat berkumpul.Toko-toko ini selain
untuk memenuhi kebutuhan sekitar, para warga juga mendistribusikan barangnya sesuai dengan kebutuhan.
Gambar : 2.3 Small Shops Sumber : Time saver standar for urban design book
•
Trees Tidak adanya Pepohonan atau ruang terbuka merupakan masalah yang banyak ditemui di pemukiman kumuh.jumlah penduduk yang terus meningkat membuat pohon pohon besar di tebang dan lahan tersebut duibah menjadi bangunan. Kurangnya perhatian akan kebutuhan Pohon – pohon dan ruang terbuka hijau menyebabkan suasana menjadi gersang. Pohon – pohon besar tidak hanya memberikan keteduhan, tetapi banyak memberikan manfaat.Diantaranya : sebagai tempat pertemuan orang – orang sekitar, sebagai pengganti arcade dan juga menutupi ruang luar yang merupakan bagian dari struktur perkotaan.
Gambar : 2.4 Trees Sumber : Time saver standar for urban design book
•
Public structures menerapkan identitas kawasan berupa landmark dalam kawasan tersebut
•
Vehicles kendaraan yang lalu lalang di permukiman kumuh sangat terbatas. Ini tidak berarti bahwa permukiman kumuh tidak mempunyai lebar jalan yang memadai. Kendaraan yang biasanya lewat di permukiman kumuh ialah sepeda, sepeda motor yang digunakan untuk mencari penghasilan
•
Access streets standar untuk tipe lebar jalan bervariasi, lebar ini disesuaikan dengan kebutuhan yang ada. pada pemukiman kumuh jalan – jalan yang ada pada umumnya mempunyai lebar yang tidak memadai dengan fungsi yang sama
Tabel 2.6 Accees Streets
Sumber : Time saver standar for urban design book
2.3.2 Urban Waterways Daerah Aliran Sungai yang selanjutnya disebut DAS adalah suatu wilayah daratan yang merupakan satu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air yang berasal dari curah hujan ke danau atau ke laut secara alami. Banyak kotayang terletak di sepanjang sungai yang mempunyai ketergantungan pada transportasi air. Semua air yang melewati kota harus dikelola sehingga jumlah
air tidak berlebihan yang dapat mengakibatkan banjir dan kualitas air yang dihasilkan untuk dikonsumsi juga baik. Pembangunan kota memiliki pengaruh yang besar terhadap kualitas sungai. Tidak sedikit pembangunan kota tidak memperhatikan kebutuhan ekologi, pohon pohon yang ada di tebang. Tempat – tempat yang berfungsi sebagai daaerah resapan berubah menjadi jalan, tempat parkir dan sebagainya, permukaan tanah tersebut tidak memungkinkan air hujan untuk meresap ke dalam tanah. Akibatnya sebagian besar hujan berubah menjadi limpasan stormwater.Limpasan stormwater selanjutnya dibuang ke sungai, waduk atau muara. Berikut dampak yang ditimbulkan oleh stormwater :
•
Declining water quality Perubahan
kimiawi
air
tanah
dapat
berasal
dari
berbagai
sumber
kegiatan.Perubahan kimiawi air tanah dapat mengarah kepada penurunan kualitas air tanah, atau pada tingkat yang lebih berat lagi yaitu pencemaran air tanah.Hal ini menyebabkan perubahan sifat-sifat fisik, kimiawi, dan biologi air tanah tersebut. Sumber penurunan kualitas air tanah tidak terbatas jumlah dan macamnya, namun yang diperkirakan merupakan sumber dan penyebab utama dari penurunan ini adalah dampak penggunaan air.
•
Diminishing groundwater recharge and quality Perubahan pola tata guna lahan dari kehutanan-pertanian-perkebunan menjadi non kehutanan-pertanian-perkebunan di wilayah DAS terjadi sangat pesat,
sehingga berdampak pada berkurangnya kawasan resapan air hujan. Apabila kawasan resapan air berkurang, maka air hujan yang seharusnya melalui beberapa proses sebelum mencapai permukaan tanah akan langsung menjadi aliran permukaan/limpasan permukaan. Jika limpasan permukaan ini berkumpul pada suatu wilayah dataran rendah dan bertambah banyak, ditambah dengan air hujan yang jatuh di atas sungai oleh karena kapasitas sungai berkurang akibat erosi dan sedimentasi serta sampah maka akan menyebabkan peristiwa banjir.
Padahal jika kawasan resapan air (hutan, kebun/lahan bervegetasi) masih tersedia, maka air hujan yang turun tidak semuanya akan langsung jatuh ke permukaan tanah. Akan tetapi, air hujan tersebut akan ditahan sementara oleh tajuk tanaman dan kemudian diuapkan kembali ke atmosfer (intersepsi), sebagian dari curah hujan yang sampai ke tajuk akan jatuh langsung ke permukaan tanah (troughfall) dan sebagiannya mengalir melalui cabang, ranting dan batang dan akhirnya sampai ke permukaan tanah (stemflow).
Curah hujan yang sampai ke
permukaan tanah apabila tanah tersebut tertutupi oleh tanaman (tanah akan menjadi poros akibat perakaran tanaman), maka air tersebut akan masuk ke dalam tanah secara vertikal (infiltrasi), dan jika mencapai lapisan kedap air ia akan menjadi air tanah (ground water) dan sebagiannya akan mengalir (perkolasi) di dalam tanah secara horizontal dan akan muncul sebagai aliran antara (sub surface run off) sebagai debit sungai. •
Degradation of stream channels Degradasi lahan adalah lahan yang telah mengalami proses penurunan tingkat produktivitasnya. Sumberdaya alam utama yang terdapat dalam suatu DAS yang harus diperhatikan dalam pengelolaan DAS adalah sumberdaya hayati, tanah dan
air. Sumberdaya tersebut peka terhadap berbagai macam kerusakan (degradasi) seperti kehilangan keanekaragaman hayati (biodiversity), kehilangan tanah (erosi), kehilangan unsur hara dari daerah perakaran (kemerosotan kesuburan tanah atau pemiskinan tanah), akumulasi garam (salinisasi), penggenangan (water logging), dan akumulasi limbah industri atau limbah kota (pencemaran). Menurunnya kualitas air yang disebabkan baik oleh sedimen yang bersumber dari erosi maupun limbah industri (polusi) di daerah aliran sungai yang berpenduduk padat. •
Flooding banjir terjadi karena volume limpasan yang lebih besar dari kapasitas saluran air
•
2.4
Floodplain expansion
Sustainable Architecture Arsitektur berkelanjutan memiliki banyak pengertian dari berbagai pihak. Beberapa diantaranya adalah pengertian yang dikutip dari buku James Steele,
Suistainable
Architectureadalah
”Arsitektur
yang
memenuhi
kebutuhan saat ini, tanpa membahayakan kemampuan generasi mendatang, dalam memenuhi kebutuhan mereka sendiri. Kebutuhan itu berbeda dari satu masyarakat ke masyarakat lain, dari satu kawasan ke kawasan lain dan paling baik bila ditentukan oleh masyarakat terkait. ” Secara umum, pengertian dari arsitektur berkelanjutan adalah sebuah konsep terapan dalam bidang arsitektur untuk mendukung konsep berkelanjutan, yaitu konsep mempertahankan sumber daya alam agar bertahan lebih lama, yang dikaitkan dengan umur potensi vital sumber daya alam dan lingkungan ekologis manusia, seperti sistem iklim planet, sistem
pertanian, industri, kehutanan, dan tentu saja arsitektur. Kerusakan alam akibat eksploitasi sumber daya alam telah mencapai taraf pengrusakan secara global, sehingga lambat tetapi pasti, bumi akan semakin kehilangan potensinya untuk mendukung kehidupan manusia, akibat dari berbagai eksploitasi terhadap alam tersebut.
2.4.1
Sustainable Ecology Pembangunan berkelanjutan dari definisi yang dipaparkan dalam
brundtland report, pbb (1987), diartikan sebagai proses pembangunan (lahan, kota, bisnis, masyarakat, dsb) yang berprinsip “memenuhi kebutuhan sekarang tanpa mengorbankan pemenuhan kebutuhan generasi masa depan”. salah satu faktor yang harus dihadapi untuk mencapai pembangunan berkelanjutan adalah bagaimana memperbaiki kehancuran lingkungan tanpa mengorbankan kebutuhan pembangunan ekonomi dan keadilan sosial, sedangkanIstilah ekologi pertama kali diperkenalkan oleh Emst Haeckel, ahli dari ilmu hewan pada tahun 1869 sebagai ilmu interaksi dari segala jenis makhluk hidup dan lingkungan. Arti kata ekologi dalam bahasa yunani yaitu “oikos” adalah rumah tangga atau cara bertempat tinggal dan “logos” bersifat ilmu atau ilmiah. Ekologi dapat didefinisikan sebagai ilmu yang mempelajari tentang hubungan timbal balik antara makhluk hidup dan lingkungannya (Frick Heinz, Dasar-dasar Ekoarsitektur, 1998). Prinsip-prinsip ekologi sering berpengruh terhadap arsitektur (Batel Dinur, Interweaving Architecture and Ecology - A theoritical Perspective). Adapun prinsip-prinsip ekologi tersebut antara lain :
a. Flutuation Prinsip fluktuasi menyatakan bahwa bangunan didisain dan dirasakan sebagai tempat membedakan budaya dan hubungan proses alami. Bangunan seharusnya mencerminkan hubungan proses alami yang terjadi di lokasi dan lebih dari pada itu membiarkan suatu proses dianggap sebagai proses dan bukan sebagai penyajian dari proses, lebihnya lagi akan berhasil dalam menghubungkan orang-orang dengan kenyataan pada lokasi tersebut. b. Stratification Prinsip stratifikasi menyatakan bahwa organisasi bangunan seharusnya muncul keluar dari interaksi perbedaan bagian-bagian dan tingkat-tingkat. Semacam organisasi yang membiarkan kompleksitas untuk diatur secara terpadu c. Interdependence (saling ketergantungan) Menyatakan bahwa hubungan antara bangunan dengan bagiannya adalah hubungan timbal balik. Peninjau (perancang dan pemakai) seperti halnya lokasi tidak dapat dipisahkan dari bagian bangunan, saling ketergantungan antara bangunan dan bagian-bagiannya berkelanjutan sepanjang umur bangunan
2.4.2Wetland Lahan Basah adalah kawasan yang terletak di zona peralihan antara daratan yang kering secara permanen dan perairan yang berair secara permanen (Maltby, 1991).Menurut EPA lahan basah adalah suatu area dimana air selalu menutupi tanah, baik dimasa saat ini maupun di sebagian besar waktu dalam setahun, termasuk pada musim pertumbuhan (EPA,2006). Jenis-jenis lahan basah
(wetland) tergantung dari perbedaan regional dan lokal pada tanah, topografi, iklim, hidrologi, kualitas air, vegetasi dan berbagai faktor lain termasuk juga aktifitas manusia. Dua jenis umum lahan basah yang dikenal yaitu tidal wetland dan non-tidal wetland. 1. Tidal wetland : adalah lahan basah yang berhubungan dengan estuari, dimana air laut bercampur dengan air tawar dan membentuk lingkungan dengan bermacam-macam kadar salinitas. Fluktuasi pemasukan air laut yang tergantung pada pasang surut seringkali menciptakan lingkungan yang sulit bagi vegetasi, salah satu yang dapat beradaptasi disini adalah tumbuuhan mangrove dan beberapa tanaman yang tahan terhadap salinitas. 2. Non-tidal wetland : adalah lahan basah yang biasanya berada di sepanjang aliran sungai, di bagian yang dangakal dikelilingi oleh tanah kering. Keberadaannya tergantung musim, dimana mereka akan mengering pada satu atau beberapa musim di setiap tahunnya. Tipei ni bisa di ditemui di Amerika atau Alaska. (EPA,2006)
2.4.3 Jenis Tanah Jenis tanah yang terdapat di Indonesia bermacam-macam, antara lain: a) Organosol atau Tanah Gambut atau Tanah Organik Jenis tanah ini berasal dari bahan induk organik seperti dari hutan rawa atau rumput rawa, dengan ciri dan sifat: tidak terjadi deferensiasi horizon secara jelas, ketebalan lebih dari 0.5 meter, warna coklat hingga
kehitaman,
tekstur
debu
lempung,
tidak
berstruktur,
konsistensi tidak lekat-agak lekat, kandungan organik lebih dari 30%
untuk tanah tekstur lempung dan lebih dari 20% untuk tanahtekstur pasir, umumnya bersifat sangat asam (pH 4.0), kandungan unsur hara rendah. b) Aluvial Jenis tanah ini masih muda, belum mengalami perkembangan, berasal dari bahan induk aluvium, tekstur beraneka ragam, belum terbentuk struktur , konsistensi dalam keadaan basah lekat, pH bermacammacam, kesuburan sedang hingga tinggi. Penyebarannya di daerah dataran aluvial sungai, dataran aluvial pantai dan daerah cekungan (depresi). c) Regosol Jenis tanah ini masih muda, belum mengalami diferensiasi horizon, tekstur pasir, struktur berbukit tunggal, konsistensi lepas-lepas, pH umumnya netral, kesuburan sedang, berasal dari bahan induk material vulkanik piroklastis atau pasir pantai.Penyebarannya di daerah lereng vulkanik muda dan di daerah beting pantai dan gumuk-gumuk pasir pantai. d) Litosol Tanah mineral tanpa atau sedikit perkembangan profil, batuan induknya batuan beku atau batuan sedimen keras, kedalaman tanah dangkal (< 30 cm) bahkan kadang-kadang merupakan singkapan batuan induk (outerop).Tekstur tanah beranekaragam, dan pada umumnya berpasir, umumnya tidak berstruktur, terdapat kandungan batu, kerikil dan kesuburannya bervariasi.Tanah litosol dapat dijumpai pada segala
iklim, umumnya di topografi berbukit, pegunungan, lereng miring sampai curam. e) Latosol Jenis tanah ini telah berkembang atau terjadi diferensiasi horizon, kedalaman dalam, tekstur lempung, struktur remah hingga gumpal, konsistensi gembur hingga agak teguh, warna coklat merah hingga kuning. Penyebarannya di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 300 – 1000 meter, batuan induk dari tuf, material vulkanik, breksi batuan beku intrusi. f) Grumosol Tanah mineral yang mempunyai perkembangan profil, agak tebal, tekstur lempung berat, struktur kersai (granular) di lapisan atas dan gumpal hingga pejal di lapisan bawah, konsistensi bila basah sangat lekat dan plastis, bila kering sangat keras dan tanah retak-retak, umumnya bersifat alkalis, kejenuhan basa, dan kapasitas absorpsi tinggi, permeabilitas lambat dan peka erosi. Jenis ini berasal dari batu kapur, mergel, batuan lempung atau tuf vulkanik bersifat basa. Penyebarannya di daerah iklim sub humid atau sub arid, curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun. g) Podsolik Merah Kuning Tanah mineral telah berkembang, solum (kedalaman) dalam, tekstur lempung hingga berpasir, struktur gumpal, konsistensi lekat, bersifat agak asam (pH kurang dari 5.5), kesuburan rendah hingga sedang, warna merah hingga kuning, kejenuhan basa rendah, peka erosi.Tanah ini berasal dari batuan pasir kuarsa, tuf vulkanik, bersifat
asam.Tersebar di daerah beriklim basah tanpa bulan kering,curah hujan lebih dari 2500 mm/tahun. h) Podsol Jenis tanah ini telah mengalami perkembangan profil, susunan horizon terdiri dari horizon albic (A2) dan spodic (B2H) yang jelas, tekstur lempung hingga pasir, struktur gumpal, konsistensi lekat, kandungan pasir kuarsanya tinggi, sangat masam, kesuburan rendah, kapasitas pertukaran kation sangat rendah, peka terhadap erosi, batuan induk batuan pasir dengan kandungan kuarsanya tinggi, batuan lempung dan tuf vulkan masam. Penyebaran di daerah beriklim basah, curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun tanpa bulan kering, topografi pegunungan i) Andosol Jenis tanah mineral yang telah mengalami perkembangan profil, solum agak tebal, warna agak coklat kekelabuan hingga hitam, kandungan organik tinggi, tekstur geluh berdebu, struktur remah, konsistensi gembur dan bersifat licin berminyak (smeary), kadangkadang berpadas lunak, agak asam, kejenuhan basa tinggi dan daya absorpsi sedang, kelembaban tinggi, permeabilitas sedang dan peka terhadap erosi. Tanah ini berasal dari batuan induk abu atau tuf vulkanik. j) Mediteran Merah – Kuning Tanah mempunyai perkembangan profil, solum sedang hingga dangkal, warna coklat hingga merah, mempunyai horizon B argilik, tekstur geluh hingga lempung, struktur gumpal bersudut, konsistensi teguh dan lekat bila basah, pH netral hingga agak basa, kejenuhan basa tinggi, daya
absorpsi sedang, permeabilitas sedang dan peka erosi, berasal dari batuan kapur keras (limestone) dan tuf vulkanisbersifat basa. Penyebaran di daerah beriklim sub humid, bulan kering nyata. Curah hujan kurang dari 2500 mm/tahun, di daerah pegunungan lipatan, topografi Karst dan lereng vulkan ketinggian di bawah 400 m. Khusus tanah mediteran merah – kuning di daerah topografi Karst disebut terra rossa. k) Hodmorf Kelabu (gleisol) Jenis tanah ini perkembangannya lebih dipengaruhi oleh faktor lokal, yaitu topografi merupakan dataran rendah atau cekungan, hampir selalu tergenang air, solum tanah sedang, warna kelabu hingga kekuningan, tekstur geluh hingga lempung, struktur berlumpur hingga masif, konsistensi lekat, bersifat asam (pH 4.5 – 6.0), kandunganbahan organik. Ciri khas tanah ini adanya lapisan glei kontinu yang berwarna kelabu pucat pada kedalaman kurang dari 0.5 meter akibat dari profil tanah selalu jenuh air. Penyebaran di daerah beriklim humid hingga sub humid, curah hujan lebih dari 2000 mm/tahun. l) Tanah sawah (paddy soil) Tanah sawah ini diartikan tanah yang karena sudah lama (ratusan tahun) dipersawahkan memperlihatkan perkembangan profil khas, yang menyimpang dari tanah aslinya. Penyimpangan antara lain berupa terbentuknya lapisan bajak yang hampir kedap air disebut padas olah, sedalam 10 – 15 cm dari muka tanah dan setebal 2 – 5 cm. Di bawah lapisan bajak tersebut umumnya terdapat lapisan mangan dan besi, tebalnya bervariasi antara lain tergantung dari permeabilitas tanah. Lapisan tersebut dapat merupakan lapisan padas yang tak tembus perakaran, terutama bagi tanaman semusim.Lapisan bajak tersebut nampak jelas
pada tanah latosol, mediteran dan regosol, samara-samar pada tanah aluvial dan grumosol. 2.4.4 Vegetasi Pemilihan jenis vegetasi dapat dipertimbangkan juga bagi berbagai kepentingan, antara lain: kesehatan dan pendidikan bagi masyarakat sekitar. Pemilihan jenis vegetasi juga harus dipertimbangkan sebagai penyangga bantaran sungai, agar akar vegetasi mampu menahan erosi tanah pada saat arus air sungai deras dan debit air yang tinggi.Dengan demikian bantaran Kali dapat berfungsi sebagai areal perlindungan berlangsungnya fungsi ekosistim dan penyangga kehidupan, karena mampu sebagai wadah berlangsungnya hubungan timbal balik antara vegetasi dan mahluk hidup termasuk manusia sebagai fungsi ekosistim. Penanaman vegetasi yang dipilih dapat berkategori : Vegetasi Aromatik, menurut Nugrahani (2003) dapat memperbaiki aroma udara,yang diperoleh dari aroma bunga, buah, daun, batang maupun akarnya. Di Indonesia, menurut Heyne (1950) tercatat ada 60 species vegetasi aromatik. Untuk menikmati aroma vegetasi aromatik, penanamannya membutuhkan area yang cukup luas.Aroma vegetasi dapat juga menyegarkan aroma udara yang memberikan rasa nyaman pada manusia disekitarnya. Disamping itu vegetasi aromatik karena kandungan minyak atsirinya, menurut Ketaren (1985) dalam Nugrahani (2003), dapat : -
Membantu proses penyerbukan dengan mengeluarkan aroma yang menarik serangga atau hewan lain.
-
Mencegah kerusakan tanaman oleh hewan atau serangga dengan aroma yang kurang enak
-
2.5
Sebagai cadangan makanan dalam tanaman
SUDS (Sustainable Urban Drainage System) Drainase mempunyai arti mengalirkan, menguras, membuang, atau mengalihkan air.Secara umum, drainase didefinisikan sebagai serangkaian bangunan air yang berfungsi untuk mengurangi dan/atau membuang kelebihan air dari suatu kawasan atau lahan, sehingga lahan dapat difungsikan secara optimal (Suripin, 2004). Sampai saat ini perancangan drainase didasarkan pada filosofi bahwa air secepatnya
mengalir
dan
seminimal
mungkin
menggenangi
daerah
layanan.Tapi dengan semakin timpangnya perimbangan air (pemakaian dan ketersedian) maka diperlukan suatu perancangan draianse yang berfilosofi bukan saja aman terhadap genangan tapi juga sekaligus berasas pada konservasi air (Sunjoto, 1987). Metode konservasi air yakni sebagai berikut: (Arsyad, 2006) 1. Metode vegetatif: pengelolaan lahan miring menggunakan tanaman untuk menahan air hujan agar tidak langsung mengenai permukaan tanah 2. Metode mekanik: pengelolaan lahan dengan menggunakan sarana fisik seperti tanah dan batu sebagai sarana konservasi 3. Metode kimia: pemanfaatan soil conditioner dalam hal memperbaiki struktur tanah sehingga tetap resistensi terhadap erosi. Fungsi drainase ialah sebagai media pembuangan air di permukaan secara langsung dan cepat ke sungai. Metode ini menimbulkan berbagai permasalahan karena perbedaan siklus dengan metode alami. Sedangkan
pada SUDS, sistem drainase mneyerupai siklus alami.Oleh sebab itu, sistem drainase yang paling cocok diterapkan ialah sistem drainase yang Berkelanjutan, prioritas utama kegiatan harus ditujukan untuk mengelola limpasan permukaan dengan cara mengembangkan fasilitas untuk menahan air hujan. Berdasarkan fungsinya, fasilitas penahan air hujan dapat dikelompokkan menjadi dua tipe, yaitu tipe penyimpanan dan tipe peresapan (Suripin, 2004). Sustainable Urban Drainage Systems merupakan suatu sistem yang terdiri dari satu atau lebih struktur yang dibangun untuk mengelola limpasan permukaan air. SUDS sering digunakan dalam perancangan tapak untuk mencegah banjir dan polusi. SUDS didukung oleh berbagai struktur terbangun untuk mengontrol limpasan air. Adapun empat metode umum yang biasa dilaksanakan, yakni: terasering buatan, saluran filtrasi, permukaan berdaya serap, kolam dan lahan basah. Pengontrol tersebut haruslah ditempatkan sedekat mungkin dengan sumber air limpasan, untuk memperlambat kecepatan aliran air sehingga dapat mencegah banjir dan erosi. (CIRIA, 2000)
Beberapa media yang harus diterapkan ke dalam perancangan SUDS, sebagai berikut : 1. Terasering buatan Merupakan permukaan yang ditutupi oleh vegetasi sehingga air dapat meresap ke dalam tanah selama proses pengaliran. Saluran ini biasanya terintegrasi dengan ruang terbuka maupun tepi jalan.
Gambar 2.5Model Terasering Buatan Sumber : Sustainable Urban Drainage Systems Design Manual
2. Kolam dan lahan basah Merupakan kolam buatan sebagai tempat penampungan air sementara untuk mengontrol kuantitas dan kualitas air buangan dan air untuk resapan tanah, serta bermanfaat sebagai habitat akuatik
Gambar 2.6Kontruksi Kolam dan Lahan Basah untuk SUDS Sumber : Sustainable Urban Drainage Systems Design Manual
3. Saluran filtrasi
Merupakan media di atas permukaan tanah dimana di bawahnya terdapat material yang mampu menyimpan air. Air yang melewati permukaan berdaya serap ini mengisi ruang-ruang kosong di bawah permukaannya .
Gambar 2.7Model Saluran Filtrasi Sumber : Sustainable Urban Drainage Systems Design Manual
4. Permukaan berdaya serap Media ini mengalirkan air langsung ke dalam bawah tanah dan tidak memperbolehkan adanya air di permukaan tanah kecuali dalam keadaan hujan deras.
Gambar 2.8Potongan Permukaan Berdaya Serap Sumber : Sustainable Urban Drainage Systems Design Manual
2.5.1 Cara menghitung debit banjir Banjir adalah suatu keadaan dimana saluran drainasae mengalirkan air diatas kondisi batas normalnya. Debit banjir adalah besarnya kelebihan volume air dari batas normal yang melalui saluran drainase persatuan waktu. Perkiraan debit banjir dilakukan dengan cara :
Qp = 0,028C .Ip . A
Qp = air larian (m³) Ip = intensitas hujan yang merata di daerah yang ditinjau C = koefisien pengaliran A = luas daerah yang ditinjau
Tabel 2.7 Nilai koefisien run off TIPE DAERAH TANGKAPAN KOEFISIEN ALIRAN LAPANGAN BERMAIN
0,20-0,35
ASPAL
0,70-0,95
CONBLOCK
0,70-0,85
ATAP
0,75-0,95
TAMAN
0,10-0,25
BETON
0,80-0,95
BATU BATA
0,70-0,85 Sumber :yuniar, 2008
2.6 Studi banding Tabel 2.8 Studi Banding No
1
2
3
Lokasi
Singapore
Seattle
Seattle
Layout
Konsep
Water Conservation
Sustainable Drainage system
Urban Sustainable Drainage system
Urban
32 No
1
2
3
Lokasi
Singapore
Seattle
Seattle
Permeable Pavement
Permeable Pavement
Penerapan sourcing, collection, Konsep
purification and supply of drinking water, to treatment of used
water and turning it into NEWater, drainage of stormwater
Hasil
Mulai
Bahasan
penangkapan air hujan paving block yang dapat semen berongga, jalan hingga
dari Dengan
air
menggunakan Dengan menggunakan
tersebut menyerap
air, ini tidak lagi digenangi
dapat dipakai kembali, perumahan singapura mengurangi banjir
di
dapat menyerap
dapat oleh air air
hujan
dampak hingga 50 %. beberapa
bagian.
Sumber : Data Olahan Pribadi
Dengan melakukan studi banding, maka dapat disimpulkan bahwa beberapa negara berkembang saat ini sudah menggunakan komponen SUDS untuk menanggulangi debit air hujan yang datang agar tidak banjir. Pengaplikasian SUDS yang digunakan di Singapore dan Amerika Antara lain berupa bahan material yang digunakan dapat menyerap air sehingga air hujan tersebut dapat terserap dengan maksimal dan juga penggunaan kembali dari air hujan tersebut untuk kebutuhan sehari hari.
2.7
Kerangka Berpikir
Judul Tugas Akhir Perancangan kawasan perumahan bantaran Pesanggrahan melalui pendekatan SUDS
Latar Belakang Masalah Kawasan bantaran kali pesanggrahan semakin tidak tertata
Maksut dan Tujuan Menata kembali kawasan dan dapat menjadi kawasan mandiri dengan metode SUDS
Permasalahan -
Pemukiman kumuh dan padat Orientasi bangunan yang tidak beraturan Kebiasaan warga membuang sampah ke kali Kurangnya ketersediaan air
Analisa Mengumpulkan data-data permasalahan berdasarkan survei lapangan.literatur, dan membaca teori-teori yang berkaitan
Konsep Bangunan dan Lingkungan Sustainable Ekologi
SKEMATIK DESAIN
PERANCANGAN