BAB 2 LANDASAN TEORI 2.1 Teori Kebudayaan Para pakar Antropologi budaya Indonesia umumnya sependapat bahwa kata “kebudayaan” berasal dari bahasa Sansekerta Buddayah. Kata Buddayah adalah bentuk jamak dari Buddhi yang berarti “budi” atau “akal”. Menurut Koentjaraningrat (1974), secara etimologis kata “kebudayaan” berarti hal-hal yang berkaitan dengan akal. namun ada yang beranggapan pula bahwa kata “budaya” berasal dari kata majemuk Budi daya yang berarti “daya dari budi” atau “daya dari akal” yang berupa cipta, karsa, dan rasa. Berikut ini definisi kebudayaan yang dikemukakan oleh beberapa ahli. 1. Tylor (1871), seorang Antropolog Inggris mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan kompleks dari ide dan segala sesuatu yang dihasilkan manusia dalam pengalaman historisnya yang meliputi pengetahuan, kepercayaan, seni, moral, hukum, kebiasaan, dan kemampuan serta perilaku lainnya yang diperoleh manusia sebagai anggota masyarakat. 2. Lowie (1937), pakar Antropolog Amerika Serikat menyatakan bahwa kebudayaan adalah segala sesuatu yang diperoleh individu dari masyarakat, mencakup kepercayaan, adat istiadat, norma-norma artistik, kebiasaan makan, keahlian yang diperoleh bukan karena kreatifitasnya sendiri melainkan merupakan warisan masa lampau yang didapat melalui pendidikan formal atau informal.
10
11 3. Koentjaraningrat (1974) mengemukakan bahwa kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar.
2.2 Teori Keindahan Sejak zaman Yunani kuno, “keindahan” telah dipandang sebagai suatu nilai hakiki dalam kehidupan manusia. Orang Yunani kuno menempatkan keindahan sebagai dasar dan tujuan pendidikannya. Konsep yang mendasari cita-cita pendidikan Yunani kuno disebut Kalos kagatos ( kalos kai agathos: kalos= indah, agathos= berbudi luhur), konsep tersebut mengandung makna orang yang peka terhadap keindahan adalah orang yang berbudi luhur (Maran, 2000: 138). Dalam zaman modern keindahan menurut Windelband dan Rickert (1983), murid dari filsuf Immanuel kant mengemukakan bahwa kehidupan manusia digerakan oleh empat nilai dasar yaitu kebaikan, kebenaran, keindahan, dan ketuhanan. Maran (2000: 139) mengemukakan tentang keindahan, yaitu: Keindahan adalah sesuatu yang abstrak. Hanya melalui media tertentu manusia mengalami keindahan. Sesuatu itu disebut indah karena punya daya pesona. Pokoknya, ada yang menarik pada sesuatu itu, menarik untuk dipandang, dirasakan, dinikmati, dan direnungkan. Seperti yang digambarkan oleh Ikeda (1986: 36) tentang keindahan dari media bunga. 花を美しいと感じるのは人類にとって共通の美意識だと思うので、それ はきわめて遠い昔から、おそらく人類に人間らしい思いやりが芽生えた ときから持ちつづけられた感情であろうと思います。 Rasa dari keindahan bunga biasanya ditunjukan orang dengan cara mengapresiasikan seni, hal ini terjadi sejak zaman dahulu orang menyukai bunga
12 dari semenjak bunga itu kuncup karena bunga selalu memberikan perasaan yang tenang dengan terus menerus. Secara obyektif, keindahan mengacu pada objek atau benda tertentu, seperti alam dan karya seni yang memiliki daya tarik atau daya pesona. Di sini suatu objek menampakkan diri sebagai sesuatu yang pantas disebut indah, misalnya sekuntum mawar merah yang indah, sebuah pemandangan alam yang indah, sebuah lukisan yang indah. Dan yang indah itu, seperti dikatakan oleh penyair Inggris, John Keats (17951882), memberikan perasaan suka cita yang mendalam, dan daya tariknya selalu bertambah.
2.3 Teori Kebebasan Pada umumnya, kata “kebebasan” berarti ketiadapaksaan. Ada bermacammacam paksaan dan kebebasan. Kebebasan fisik adalah ketiada paksaan fisik. Kebebasan moral adalah ketiadapaksaan moral hukum atau kewajiban. Kebebasan psikologis adalah ketiadapaksaan psikologis. Kant (1978), mengatakan bahwa kebebasan itu tidak dapat dibuktikan oleh akal teoritis, mengakui bahwa manusia itu bebas, berdasarkan
keyakinannya atas rasa
kewajiban yang dianggapnya sebagai satu hal yang eviden dari pihak akal praktek. Menurut Leahy (2001: 207) kebebasan itu adalah: Kebebasan adalah suatu kemampuan yang begitu penting dan begitu besar sehingga hanya dapat diberikan kepada kita untuk sesuatu yang sangat penting. Melalui kebebasan yang sejati, kita membagi dalam arti tertentu, kekuasaan mencipta sendiri dari Tuhan. Namun, satu-satunya hal yang dapat kita cipta adalah kepribadian moral kita sendiri, dan tampaknya kebebasan diberikan kepada kita hanya untuk realisasi tujuan tertinggi itu.
13
Sedangkan menurut Gibran (2003: 74) kebebasan itu adalah: Hidup tanpa kebebasan seperti tubuh tanpa jiwa, dan kebebasan tanpa pikiran seperti jiwa yang tersesat… hidup, kebebasan dan pikiran adalah tiga hal dalam satu kesatuan, abadi, dan tak akan pernah hilang.
2.4 Teori Kesederhanaan Menurut Rikyu (1587), mengatakan bahwa suatu realitas adalah sederhana apabila ia tidak mempunyai bagian-bagian yang sungguh berbeda. Bagian-bagian itu dapat disebut kesederhanaan essensial atau integral. Yaitu kesederhanaan yang dimiliki Jiwa. Kesederhanaan essensial dapat dimengerti dengan mudah oleh jiwa. Karena bagian essensial adalah bagian-bagian yang merupakan esensi suatu hal yang ada. Seperti yang dikatakan Plato (1981): “kodrat jiwa adalah sederhana dan mirip dengan ide-ide. Maka ide-ide itu tidak bisa dihancurkan. (inilah bukti yang didasarkan atas spiritualitas jiwa, sedang spiritualitas itu sendiri akhirnya dibuktikan melalui kegiatan intelektual). Kesederhanaan digambarkan Rikyu (1587) melalui konsep wabi yaitu konsep kesederhanaan dikarakteristikkan dengan ketulusan hati, ketenangan, kealamian, ketidaksempurnaan terlihat dalam materi-materi. Rikyu menggambarkan kesederhanaan sebagai berikut: Keindahan dari Kesederhanaan wabi adalah dengan menghubungkan hati dari ketidaksempurnaan pada kesempurnaan, asimetris ke simetris, dari cabang ke buah; dari tak seimbang menjadi seimbang, buruk dan cantik, kemiskinan dan kesederhanaan dari ketidaksempurnaan adalah kemiskinan yang mulia dan sumber kekayaan hati.
14
2.5 Teori Zen Budha 2.5.1 Kealamiahan Zen telah memberikan dorongan yang besar terhadap rasa untuk alam, tidak hanya dengan mempertajamnya menuju derajat sensitifitas yang tinggi tetapi juga dengan memberikannya latar belakang metafisik dan religius. Suzuki (1988: 352) mengatakan: Zen purposes to respect nature, to love nature, to live its own life; Zen recognizes that our nature is one with objective nature, not in the mathematical sense, but in the sense that nature lives in us and we in nature. Zen bertujuan untuk menghormati alam, mencintai alam. Menjalani hidupnya; Zen mengakui bahwa alam kita satu dengan alam obyektif, tidak dalam hitungan matematis, tetatapi dalam hitungan bahwa alam hidup dalam diri kita dan kita di dalam alam.
2.5.2 Ketenangan Dalam puisi Zen yang menggambarkan ketenangan: “After the wind stops I see a flower falling. Because of the singing bird I find the mountain calmness.” Yang terjemahannya adalah “setelah angin berhenti saya melihat bunga berjatuhan. Karena dari nyanyian burung saya menemukan ketenangan dari burung.” Sebelum kita merasakan ketenangan, kita merasakan dahulu ketidaktenangan (Suzuki, 1986:133).
15
2.5.3 Cinta Menurut Zen (867): “love is the essence of humanity, love needs something to bestow itself upon; human beings must live together in order to lead a life of mutual love.” Yang terjemahannya adalah “cinta adalah keindahan dari kemanusiaan, cinta memerlukan sesuatu untuk memberikan diri kita; manusia harus hidup bersama-sama menjalani kehidupan dengan cinta yang saling menguntungkan.”