BAB II LANDASAN TEORI
A. Pengertian Waris Kata waris berasal dari bahasa arab yaitu mi>ra>s|. Bentuk jamaknya adalah
mawa>ri>s} yang berarti harta peninggalan orang meninggal yang meninggal dunia yang akan dibagikan kepada ahli warisnya. Dari segi istilah, mawa>ri>s| adalah ilmu tentang pembagian harta peninggalan setelah seseorang meninggal dunia. Ilmu
mawa>ri>s| merupakan padanan dari Ilmu Fara>id, dengan kata lain ilmu mawaris disebut juga Ilmu Fara>id.1 Kata fara>id merupakan bentuk jamak dari fari>d}ah, yang diartikan para ulama fara>d}iyun semakna dengan kata mafru>d}ah yaitu bagian yang telah ditemukan kadarnya.2 Dari segi istilah, fara>id adalah ilmu tentang bagaimana membagi harta peninggalan seseorang setelah ia meninggal dunia. Dalam kaitannya dengan bagian adalah sebagaimana membagi dan berapa bagian masing-masing ahli waris, menurut ketentuan syara’.3 Selanjutnya lafadz fard}u, sebagai suku kata dari lafadz fari>d}ah, menurut bahasa mempunyai beberapa arti, antara lain4: taqdi>r yaitu suatu ketentuan, qat}’u yakni ketetapan yang pasti, inza>l yakni menurunkan, tabyi>n yakni penjelasan,
1
Departemen Agama RI, Fiqih (Jakarta: Departemen Agama, 2002), hlm. 5.
2
Dian Khairul Umam, Fiqih Mawaris (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hlm. 11.
3
Departemen Agama, op. cit., hlm. 5.
4
Fatchur Rahman, Ilmu Waris, (Bandung: PT. Al Ma’arif, 1975), hlm. 31.
11
12
ih}la>l yakni menghalalkan dan at}a>’ yakni pemberian. Keenam arti tersebut dapat digunakan keseluruhannya, disebabkan dalam ilmu faraidh itu mengandung saham-saham yang telah ditentukan dengan pasti besar dan kecilnya yang fungsinya sebagai suatu pemberian yang bebas dari tegenprestasi dan telah dijelaskan oleh Allah tentang halalnya sesuai dengan peraturan-peraturan yang telah diturunkan. Sedang ilmu faraid oleh sebagian Fara>d}iyun, seperti menurut Muhammad Asy-Syarbi>ni> al-Khati>b dijelaskan dengan:
ِ ِ ك ومع ِرفَ ِة قَ ْد ِر الْوا ِج ِ ِ ِ ِ اب الْمو ِ ِ ِِ ِ الّتَك ِة لِ ُك ِل ْ َ َ َ ص ِل اىل َم ْع ِرفَة ذَل ْ ِ ب م َن َْ ِ س َ َ الْف ْقهُ ال ُْمتَ َعل ُق ِب ْْل ْرث َوَم ْع ِرفَةُ ا ْْل 5 .ِذ ْي َح ٍّق “Ilmu fikih berpautan dengan pembagian harta pusaka, pengetahuan tentang cara perhitungan yang menyampaikan kepada pembagian harta pusaka dan pengetahuan tentang bagian-bagian yang wajib dari harta peninggalan untuk setiap pemilik hak pusaka.” Sedang menurut Muhammad Ali> as}-S}abu>ni> menjelaskan ilmu faraid adalah: 6
.انتقال الشيئ من شخص او من قوم اىل قوم
“berpindahnya sesuatu dari seseorang kepada orang lain, atau dari sesuatu kaum kepada kaum lainnya”. Berdasarkan pengertian-pengertian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pengertian ilmu faraid ialah suatu hukum yang mengatur mengenai perpindahan harta dari orang yang meninggal dunia kepada ahli warisnya. 5
Muhammad Asy-Syarbi>ni al-Kha>ti>b, Mugnil Muh}ta>j (Beirut: Darul Fikri, t.th), Juz II,
hlm. 3. 6
Muhammad ‘Ali> As}-S}abu>ni>, Al-Mawari>s| fi> Syari>atil Isla>miyyah ‘Ala> Kita>b wa Sunnah (Kairo, Darul Hadits, t.th), hlm. 3.
13
14
B. Sumber Hukum Waris Sumber hukum ilmu fara>id (waris) adalah: 1. Al-Qur’an, merupakan sumber hukum waris yang banyak menjelaskan ketentuan-ketentuan fard} tiap-tiap ahli waris. Yaitu tercantum dalam surat an-Nisa>’ ayat 7, 11, 12, 176 dan surat-surat lain 2. Al-Hadi>ts, antara lain hadis yang diriwayatkan Ibnu Abbas r.a:
ِ ِ ض ِِبَ ْهلِ َها فَ َما بَِقى َ ا ْْل ُقوا الْ َف َرائ: عن ابن عباس رضى هللا عنه عن النىب صلى هللا عليه وسلم قال 7 )فَِِلَ ْو َىل َر ُج ٍّل ذَ َك ٍّر (متفق عليه “Dari Abbas r.a., bahwasanya Nabi saw. bersabda: “Berikanlah harta warisan kepada orang-orang yang berhak. Sesudah itu, sisanya untuk laki-laki yang lebih utama.” (HR. Bukhari-Muslim) 3. Ijma’ dan Ijtihad sahabat, imam mazhab dan para mujtahid dapat digunakan dalam pemecahan-pemecahan masalah waris yang belum dijelaskan oleh nas} yang s}ari>h}. Misalnya: status saudara-saudara bersama dengan kakek. Dalam al-Qur’an, masalah ini tidak dijelaskan, kecuali dalam masalah kalalah. Akan tetapi, menurut kebanyakan sahabat dan imam mazhab yang mengutip pendapat Zaid bin Tsabit, saudara-saudara tersebut mendapat bagian waris secara muqa>samah bersama dengan kakek.
C. Rukun Waris dan Syarat Mewaris Ada beberapa rukun dan syarat yang harus dipenuhi dalam pembagian warisan. Sebagian mengikuti rukun, dan sebagian berdiri sendiri, yaitu :
Imam Abi Husain Muslim bin Hajaj al Qusairi an-Naisaburi, S}ah}i>h} Muslim, Juz II, no. 1615, hlm. 56. 7
15
1. Al-Muwarris|, yaitu orang yang diwarisi harta peninggalannya atau orang yang mewariskan hartanya. Syaratnya adalah al-muwarris| benar-benar telah meninggal dunia. Apakah meninggal secara h}aqi>qi>, secara yuridis (h}ukmi>) atau secara taqdi>ri berdasarkan perkiraan. a) Mati h}aqi>qi> artinya tanpa melalui pembuktian dapat diketahui dan dinyatakan bahwa seseorang telah meninggal dunia.8 b) Mati h}ukmi> adalah orang yang hilang atau gaib tanpa diketahui hidup atau mati, dan hakim menghukuminya sebagai orang yang telah mati sesudah berlakunya waktu yang ditentukan untuk itu. Para fukaha Imamiyah mengatakan bahwa orang yang gaib dan tidak diketahui keadaannya dihukumi sebagai telah mati bila terdapat bukti-bukti yang menunjukan hal itu.9 c) Mati taqdi>ri>, yaitu anggapan bahwa seseorang telah meninggal dunia. Misalnya karena dia ikut ke medan perang, atau tujuan lain yang secara lahiriyah mengancam dirinya. Setelah sekian tahun tidak diketahui kabar beritanya, dan melahirkan dugaan kuat bahwa ia telah meninggal, maka dapat dinyatakan bahwa ia telah meninggal.10 Menurut Pasal 171 huruf (b) Kompilasi Hukum Islam bahwa yang dimaksud dengan pewaris adalah orang yang pada saat meninggalnya atau yang
8
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 1995), hlm. 22.
9
Muhammad Abu> Zahrah, Hukum Waris (Jakarta: Lentera, 2001), hlm. 70.
10
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 23
16
dinyatakan meninggal berdasarkan putusan Pengadilan beragama Islam, meninggalkan ahli waris dan harta peninggalan.11 2. Al-Wa>ris| atau ahli waris adalah orang yang dinyatakan mempunyai hubungan kekerabatan baik karena hubungan darah, hubungan sebab perkawinan, atau akibat memerdekakan hamba sahaya.12 Sedangkan yang dimaksud dengan ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (c) yaitu orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.13 3. Al-Mauru>s| atau al-Mi>ra>s| yaitu harta peninggalan si mati setelah dikurangi biaya perawatan jenazah, pelunasan utang, dan pelaksanaan wasiat.14 Dalam Kompilasi Hukum Islam dibedakan istilah harta peninggalan dan harta waris. Pada Pasal 171 huruf (d) bahwa yang dimaksud dengan harta peninggalan adalah harta yang ditinggalkan oleh pewaris baik yang berupa benda yang menjadi miliknya maupun hak-haknya, sedangkan pada huruf (e) disebutkan bahwa yang dimaksud dengan harta waris adalah harta bawaan ditambah bagian harta bersama setelah digunakan untuk keperluan pewaris
11
Ibid.
12
Ahmad Rofiq, loc. cit.
13
Tim Permata Press, Kompilasi Hukum Islam, hlm. 53.
14
Ahmad Rofiq, loc. cit.
17
selama sakit sampai meninggalnya, biaya pengurusan jenazah (tajhiz), pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.15
D. Sebab-sebab Mewaris Sebab-sebab terjadinya kewarisan sebagaimana dijelaskan al-Qur’an. Oleh
mufassiri>n dinyatakan bahwa faktornya ada tiga, yakni hubungan nikah, nasab, dan wala>.16 1. Nikah Nikah yang menyebabkan terjadinya kewarisan itu adalah hubungan perkawinan antara suami dan isteri yang dilakukan melalui akad yang sah menurut syari’at. Dengan demikian jika meninggal salah satu dari keduanya, maka yang terkemudian hidupnya akan menjadi ahli waris terhadap harta peninggalannya. Dalam Q.S. an-Nisa>’ ayat 12 disebutkan:
ُ ُ ُ َ١٢َ...۞وَلك ۡمَن ِۡصفَماَتركَأ ۡزو َٰ ُجك َۡم “Dan bagimu (suami-isteri) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh isteri-isterimu...”17 Secara etimologi, kata azwa>jukum berasal dari kata zawjun yang mempunyai makna berpasangan suami istri dalam segala hal. Ini berarti, perkawinan baru dapat dinyatakan sah jika akad nikahnya telah dilakukan sesuai dengan rukun dan syarat perkawinan serta bebas dari halangan perkawinan,
15
Ibid.
16
Sayyid Sabiq, Fiqh Al Sunnah (Beirut: Darul Fikri, t.th), Jilid ke-3, hlm. 293.
17
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 63.
18
sekalipun antara keduanya belum sempat dukhu>l, dan atas dasar ini pula istri tetap menjadi waris terhadap suami yang menceraikannya sepanjang masih berada dalam masa iddah.18 2. Hubungan Nasab Hubungan nasab atau hubungan darah ialah hubungan kekerabatan antara orang yang mewariskan dengan orang yang mewarisi, yang disebabkan oleh kelahiran baik dekat maupun jauh.19 Ahli waris yang berhak menerima harta warisan karena hubungan nasab ini dapat dikelompokkan menjadi furu>’ul mayyit,
us}u>lul mayyit, dan hawa>syi>. 3. Al-Wala>’ Al-Wala>’ yaitu kekerabatan berdasarkan hukum dan dinamakan wala>’ul ‘itqi dan wala>’un ni’mah. Sebabnya ialah nikmat yang dberikan tuan yang membebaskan budaknya. Apabila seorang tuan membebaskan budaknya ia pun menghasilkan hubungan dan ikatan yang dinamakan wala>’ul itqi.20 Apabila orang yang memerdekakan itu tidak mempunyai waris, baik dengan
sebab
kekerabatan
atau
sebab
perkawinan,
maka
tuan
yang
memerdekakannya berhak menerima harta peninggalannya dengan warisan.21
18
Wahidah, Al Mafqud (Kajian Tentang Kewarisan Orang Hilang), (Banjarmasin: Antasari Press, 2008), hlm. 30. 19
Ibid., hlm. 32.
20
Muchamad ‘Ali> As}-S}a>bu>ni>, Ilmu Hukum Waris Menurut Ajaran Islam (Surabaya: Mutiara Ilmu, 1999), hlm. 31. 21
Tengku Muhammad Hasbi Ash-Shiddieqy, op. cit., hlm. 29.
19
E. Penghalang Mewaris Halangan untuk menerima warisan atau disebut mawani’ al-irs| adalah halhal yang menyebabkan gugurnya hak ahli waris untuk menerima warisan dari harta peninggalan al-muwarris|. Adapun hal-hal yang dapat menghalangi tersebut, yang disepakati oleh agama ada tiga, yaitu: 1. Pembunuhan, 2. Perbudakan, 3. Berlainan Agama.22 1. Pembunuhan Pembunuhan
yang
dilakukan
ahli
waris
terhadap
al-muwarris|
menyebabkan tidak dapat mewarisi harta peninggalan orang yang diwarisinya. Demikian kesepakan mayoritas (jumhur) ulama. Golongan Khawarij yang memisahkan diri dari Ali Ibnu Abi T}al> ib dan Mua|wiyah menentang pendapat ini. Alasan mereka, ayat-ayat al-Qur’an tidak mengecualikan si pembunuh. Ayat-ayat
mawa>ris| hanya memberi petunjuk umum. Oleh karena itu, keumuman ayat-ayat tersebut harus diamalkan.23 Dasar hukum yang melarang si pembunuh mewarisi harta peninggalan si mati adalah sabda Rasulullah saw. di antaranya: 24
.)ث َ َ ان رسول هللا صلى هللا عليه وسلم اَنَّهُ ق،عن أيب هريرة ُ (الْ َقاتِ ُل ْلَيَ ِر: ال
“Dari Abu Hurairah, dari Rasulullah saw. bersabda: “Seorang pembunuh tidak mewarisi”
22
Ahmad Rofiq, Fiqih Mawaris (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2001), hlm. 30.
23
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, Hukum Waris Islam (Jakarta: Sinar Grafika, 2004), hlm. 54. Abi Abdillah Muhammad bin Yazid, Sunan Ibn Ma>jah (Beirut: Darul Fikri, 2004), hlm.
24
113.
20
Persoalannya, mengingat banyak jenis dan macam pembunuhan yang mana menghalangi si pembunuh untuk mewarisi korban. Para ulama berbeda pendapat dalam masalah ini. Ulama mazhab Hanafiah menjelaskan bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah: 1) Pembunuhan yang dapat diqisas, yaitu pembunuhan yang dilakukan secara sengaja,
direncanakan
dan
menggunakan
peralatan
yang
dapat
menghilangkan nyawa orang lain, seperti pedang, golok, atau benda tajam lainnya. 2) Pembunuhan yang hukumannya berupa kafarat, yaitu: Pembunuhan mirip sengaja (syibh al-‘amd), seseorang sengaja memukul atau menganiaya orang lain tanpa disertai niat membunuhnya, tetapi tibatiba orang yang dipukul meninggal dunia. Pembunuhnya dikenakan kafarat. Menurut Imam Abu Yusuf dan Muhammad Al-Syaibani, pembunuhan mirip sengaja dikategorikan sengaja, dengan menitikberatkan pada kematian korban. Jadi, bukan teknis memukul atau menganiaya yang dilihat. Pemahaman ini membawa implikasi terhadap jenis hukumannya, karena tidak lagi kafarat tetapi berubah menjadi qisas. 3) Pembunuhan khilaf (qatl al-khata>’). Ini dapat dibedakan pada dua. Pertama, khilaf maksud. Misalnya seseorang menembakkan peluru kepada sasaran yang dikira binatang dan mengenai sasaran, lalu mati. Ternyata yang terkena sasaran adalah manusia. Kedua, khilaf tindakan, seperti
21
seseorang menebang pohon, tiba-tiba mengenai keluarga yang melihatnya dari bawah hingga tewas. Abd Al-Qadir Audah dalam buku al-Tasyri>’ al-Jina>’i> al-Isla>mi> memberi contoh, seseorang melepaskan tembakan pada suatu sasaran dengan maksud latihan, tetapi mengenai keluarganya. Kekeliruan ini terletak pada tindakannya yang tidak mengenai sasaran yang dimaksud justru mengenai sasaran lain yang berakibat keluarganya meninggal dunia. 4) Pembunuhan dianggap khila>f (al-ja>r majra> al-khata>’). Contohnya, seseorang membawa beban, tanpa disengaja beban tersebut menimpa saudaranya hingga tewas. Dalam hal ini pembawa beban tadi dikenakan hukuman kafarat. Lebih lanjut Ulama Hanafiah mengatakan bahwa pembunuhan yang tidak menghalangi hak seseorang untuk mewarisi ada empat, yaitu: 1) Pembunuhan tidak langsung (tasabbub), 2) Pembunuhan karena hak, seperti algojo yang diserahi tugas membunuh si terhukum, 3) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, 4) Pembunuhan karena uzur, seperti membela diri.25 Ulama mazhab Malikiyah menyatakan bahwa pembunuhan yang menjadi penghalang mewarisi adalah: 1) Pembunuhan sengaja, 2) Pembunuhan mirip sengaja, 25
Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 89.
22
3) Pembunuhan tidak langsung yang disengaja.26 Sementara pembunuhan yang tidak menjadi penghalang mewarisi adalah: 1) Pembunuhan karena khilaf, 2) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum, 3) Pembunuhan yang dilakukan karena hak, seperti algojo melaksanakan hukuman qis}as}, dan 4) Pembunuhan karena uzur.27 Ulama mazhab Syafi’iyah menyatakan secara mutlak bahwa semua jenis pembunuhan merupakan penghalang mewarisi. Di sini mereka tidak membedakan jenis pembunuhan, apakah yang dilakukan secara langsung maupun tidak langsung, beralasan atau tidak beralasan. Jadi, seorang algojo misalnya, yang melakukan tembakan terhadap terhukum yang masih ada hubungan keluarga, maka ia tidak berhak mewarisi harta peninggalan si terhukum, kendatipun tidak ada ahli waris lainnya. Dasar hukum yang digunakan adalah keumuman sabda Rasulullah saw. riwayat An-Nasa’i seperti dikutip terdahulu. Selain itu, diperkuat lagi bahwa tindakan makar pembunuhan dengan segala macam tipenya itu memutuskan tali perwalian, di mana justru perwalian itu sendiri menjadi dasar saling mewarisi. Dengan demikian, tindakan itulah yang mewujudkan adanya penghalang (mawani’) untuk dapat mewarisi.28
26
Ibid., hlm. 26.
27
Ibid.
28
Ibid., hlm. 91.
23
Ulama Hanabilah mengemukakan pendapat yang lebih realistis, yaitu pembunuhan yang diancam hukuman qis}as}, kafarat dan diyatlah yang dapat menjadi penghalang mewarisi bagi ahli waris. Rinciannya adalah: 1) Pembunuhan sengaja, 2) Pembunuhan mirip sengaja, 3) Pembunuhan yang dianggap khilaf, 4) Pembunuhan khilaf, 5) Pembunuhan tidak langsung, dan 6) Pembunuhan oleh orang yang tidak cakap melakukan perbuatan hukum.29 Dari uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa mayoritas ulama berpendapat bahwa semua jenis pembunuhan adalah menjadi penghalang mewarisi, kecuali pembunuhan yang hak yang dibenarkan oleh syariat Islam, seperti algojo yang melaksanakan hukuman qis}as}, atau hukuman bunuh lainnya. Di dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 173 juga disebutkan bahwa: “seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.30
29
Suhrawardi K. Lubis dan Komis Simanjuntak, op. cit., hlm. 27.
30
Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 54.
24
Persoalan lain yang muncul sehubungan dengan masalah ini perlu kiranya dipertimbangkan. Banyak cara ditempuh si pembunuh untuk merealisasikan niat jahatnya. Seseorang bisa saja melakukan pembunuhan dengan meminjam tangan orang lain, atau menggunakan racun misalnya. Dalam kasus seperti ini, tentu tidak mudah menentukan siapa pelaku pembunuhan itu. Oleh karena itu, peran hakim dalam menemukan kebenaran materil menjadi tumpuan terakhir untuk menentukan jenis pembunuhan. Apakah berakibat menjadi penghalang mewarisi atau tidak.31 2. Perbudakan atau Hamba Sahaya Seseorang yang berstatus sebagai budak tidak mempunyai hak untuk mewarisi sekalipun dari saudaranya. Karena bila ia mewarisi sesuatu maka barang itu diambil oleh tuannya. Sebab segala sesuatu yang dimiliki budak, secara langsung menjadi milik tuannya. Itulah sebabnya semua jenis budak merupakan penggugur hak untuk mewarisi dan hak untuk diwarisi disebabkan mereka tidak mempunyai hak milik32. Terhalangya budak dalam waris-mewarisi dapat ditinjau dari dua jurusan, yakni:33 mewarisi harta peninggalan dari ahli warisnya dan mewariskan harta peninggalan kepada ahli warisnya.
3. Berlainan Agama
31
Ahmad Rofiq, op. cit., hlm. 24-28.
32
Ibid., hlm. 34.
33
Fatchur Rahman, op. cit., hlm. 84.
25
Fukaha sepakat bahwasanya berlainan agama antara orang yang mewarisi dengan orang yang mewariskan, merupakan salah satu penghalang. Dengan demikian, orang kafir tidak bisa mewarisi harta orang Islam dan seorang muslim tidak dapat mewarisi harta orang kafir.34 Yang dimaksud dengan perbedaan agama yang menghalangi pusaka ialah adanya perbedaan agama antara ahli waris dengan muwwaris|, sehingga ahli waris gugur haknya dalam memperoleh harta warisan. Dalam hal ini sama saja apakah muwaris yang bukan Islam atau ahli waris yang bukan Islam. Oleh sebab itu tidak ada hak pusaka mempusakai antara suami yang muslim dengan istrinya yang bukan muslim. Demikian juga tidak ada hak pusaka mempusakai antara ayah yang muslim dengan anaknya yang bukan muslim, walaupun mereka memenuhi syarat dan memiliki sebab waris mewarisi yakni ikatan perkawinan dan ikatan kekeluargaan.35 Rasulullah saw. bersabda :
.36ث ال ُْم ْسلِ ُم الْ َكافِ َر َوالْ َكافِ ُر ال ُْم ْسلِ َم ُ َْليَ ِر “Orang Islam tidak mewarisi orang kafir demikian juga orang kafir tidak mewarisi orang Islam” (Riwayat Jamaah). Adapun orang murtad ialah orang yang meninggalkan Agama Islam dengan kemauan sendiri. Para ulama sependapat menetapkan bahwa orang yang murtad, laki-laki atau perempuan, tidak berhak menerima warisan dari
34
Wahidah, op. cit., hlm. 35.
35
Hasniah Hasan, Hukum Kewarisan dalam Islam, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1994),
hlm23. 36
Imam Abu Husain, op. cit., hlm. 56.
26
keluarganya yang beragama Islam. Demikian juga keluarganya yang Islam tidak berhak menerima warisan dari muwawris| yang murtad.37 Orang murtad tidak dapat mewarisi harta peninggalan keluarganya yang beragama Islam, karena ia lebih rendah derajatnya dari pada keluarganya yang muslim. Dari segi yang lain pusaka-mempusakai itu merupakan suatu silah syar’iyyah (penyambung ruh keagamaan). Sedang riddah (kemurtadan) itu merupakan pemutus silah syar’iyyah.38 Dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 172 bahwa ahli waris dipandang beragama Islam apabila diketahui dari Kartu Identitas atau pengakuan atau amalan atau kesaksian, sedangkan bagi bayi yang baru lahir atau anak yang belum dewasa, beragama menurut ayahnya atau lingkungannya.39
F. Ketentuan Kewarisan Cucu Cucu-cucu laki-laki pancar laki-laki adalah termasuk far’u waris|, yaitu anak turun si mati yang mempunyai hak mewarisi. Hak pusaka far’u waris| itu ada kalanya dengan jalan fard}, seperti anak perempuan dan cucu perempuan pancar laki-laki, betapapun rendah menurunnya dan adakalanya dengan jalan us}ubah, seperti anak laki-laki dan cucu laki-laki pancar laki-laki, betapapun rendah menurunnya.
37
Hasniah Hasan, op. cit, hlm. 24
38
Fatchur Rahman, loc.cit.,
39
Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 119.
27
Hukum pusaka cucu-cucu pancar laki-laki didasarkan pemakaian istilah walad secara mutlak, yang dapat diterapkan untuk anak turun betapa jauh derajat menurunnya. Di samping itu, terdapat juga perkataan salah seorang sahabat ulama ilmu fara>id yang terkenal, yaitu Zaid bin Sabit r.a., yang dapat digunakan sebagai sumber untuk menetapkan pusaka cucu laki-laki atau perempuan pancar laki-laki, yang mengatakan:
، ذكرهم كذكرهم وانثاهم كانثاهم يرثون كما يرثون،ولد اْلبناء مبنزلة اْلبناء اذامل يكن دوهنم ابناء
فان ترك ابنة وابن بن ذكر فللبنت النصف وْلبن، وْليرث ولدبن مع ابن ذكر،حيجبون كما حيجبون
.اْلبن مابقى
“Cucu-cucu pancar laki-laki menduduki derajat anak-anak laki-laki bila si mati tidak meninggalkan anak-anak. Kelaki-lakian mereka (cucu-cucu) seperti kelaki-lakian anak-anak dan keperempuanan mereka (cucu-cucu) seperti keperempuanan anak-anak, yakni mereka dapat mewarisi sebagaimana halnya anak-anak mewarisi dan dapat menghijab sebagaimana halnya anak-anak menghijab da,n cucu-cucu pancar laki-laki. Oleh karena itu bila seseorang meninggalkan seorang anak perempuan dan cucu laki-laki pancar laki-laki, maka untuk anak perempuan mendapat separoh dan untuk cucu laki-laki mendapat sisanya.” 40 1. Pusaka cucu laki-laki pancar laki-laki Hak pusaka cucu laki-laki pancar laki-laki itu ialah us}ubah dengan ketentuan sebagai berikut:41 a. Jika si mati tidak mempunyai anak dan tidak ada ahli waris yang lain, ia menerima seluruh harta peninggalan secara us}ubah. Kalau ada ahli waris
as}a>bul-furud} ia menerima sisa dari as}a>bul-furud}.
40
Fachtur Rahamn, Ilmu Waris, (Bandung: Alumni, 1981), hlm 196.
41
Ibid.
28
b. Jika cucu itu mewarisi bersama-sama dengan saudari-saudarinya, ia membagi seluruh harta peninggalan atau sisa harta dari as}abul-furud} dengan saudari-saudarinya menurut perbandingan dua banding satu (2 : 1). Untuk orang laki-laki menerima bagian dua kali lipat bagian orang perempuan. 2. Cucu perempuan pancar laki-laki Cucu perempuan pancar laki-laki ialah anak perempuan dari anak laki-laki orang yang meninggal (bintu-ibni) dan anak perempuannya cucu laki-laki pancar laki-laki (bintu-ibnil-ibni) betapa pun jauh menurunnya. Hak pusaka cucu perempuan pancar laki-laki itu ada 6 macam: a. Separoh, bila ia hanya seorang diri. b. Dua pertiga, bila ia dua orang atau lebih. Penerimaan separoh dan dua pertiga ini bila tidak bersama-sama dengan ahli waris yang menjadikan mereka as}a>bah bersama (muas}shib bil-gair). c. Us}ubah, bila ia mewarisi bersama-sama dengan orang laki-laki yang sederajat yang menjadikan mereka as}a>bah bersama. Dalam keadaan ini ada tiga kemungkinan. 1) Jika tidak ada as}abul-furud} seorangpun, maka menerima seluruh harta peninggalan secara us}ubah, dengan ketentuan bahwa mereka yang laki-laki mendapatkan bagian dua kali lipat bagian perempuan. 2) Jika ada as}abul-furud}, mereka hanya menerima sisa harta dari as}abulfurud} juga dengan cara pembagian seperti tersebu di atas.
29
3) Jika harta peninggalan telah dihabiskan oleh as}abul-furud } mereka tidak menerima bagian sedikitpun.42 Sementara itu, menurut A. Sukris Sarmadi dengan adanya Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam maka cucu lelaki atau perempuan pancar perempuan beroleh hak waris sebagaimana hak para cucu lelaki atau perempuan pancar lelaki. Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam dapat ditafsirkan sebagai berikut : a. Cucu laki-laki atau perempuan pancar laki-laki atau anak turun-anak laki-laki pewaris mengambil saham as}a>bah sebagaimana orang tua mereka. Baik ketika ia sendirian tunggal laki-laki ataupun tunggal perempuan. Apabila ia berkumpul lelaki dan perempuan, mereka mengambil bagian as}a>bah orang tua mereka kemudian diantara mereka berbagi 2:1, lelaki memperoleh bagian yang sama dengan dua perempuan berdasar pada Q.S. an-Nisa>’ ayat 11, 12 dan 76. b. Cucu laki-laki atau perempuan pancar perempuan atau anak turun anak perempuan pewaris mengambil saham anak perempuan ½ fard}. Baik ketika ia sendirian tunggal laki-laki ataupun tunggal perempuan, berbilang tunggal lakilaki atau perempuan berbagi sama rata 1:1, dan jika berkumpul lelaki dan perempuan berbagi 2:1, lelaki memperoleh bagian yang sama dengan bagian dua orang perempuan (Pasal 185) Q.S. an-Nisa>’ ayat 11, 12, 76. Para cucu lakilaki dan perempuan, pancar laki-laki atau perempuan tidak boleh memperoleh saham melebihi dari perolehan orang-orang yang sederajat dengan orang yang mereka ganti (Pasal 185). Jika mereka menggantikan anak lelaki padahal ada anak perempuan pewaris, maka bagian mereka tidaklah boleh melebihi bagian 42
Ibid., hlm. 174.
30
dari anak perempuan tersebut. Alasannya karena derajat anak perempuan adalah seperti derajat orang yang diganti (anak lelaki) sedang orang yang mengganti naik derajatnya karena matinya orang tua mereka.43
G. Ahli Waris Pengganti dan Dasar Hukum Dalam Kompilasi Hukum Islam di Indonesia terdapat pasal baru jika dibandingkan dengan pemahaman mapan selama ini, yaitu ketentuan mengenai ahli waris pengganti. Ahli waris pengganti adalah ahli waris yang menggantikan posisi orang tuanya yang terlebih dahulu meninggal daripada pewaris.44 Menurut M. Yahya Harahap, sebagaimana dikutip Badrian, ketentuan Pasal 185 KHI yang melembagakan ahli waris pengganti (plaatsvervuling) merupakan terobosan terhadap pelenyapan (pe-mahjub-an) hak cucu atas warisan ayah apabila ayah lebih meninggal lebih dahulu dari kakek. Pelembagaannya melalui pendekatan kompromistis dengan hukum Adat dan nilai-nilai hukum Eropa. Motivasi pelembagaan waris pengganti didasarkan atas rasa keadilan dan prikemanusiaan, agar anak yatim tidak melarat dan miskin. Yang dimaksud oleh M. Yahya Harahap dengan nilai-nilai hukum Eropa kemungkinan besar adalah Pasal 841 B.W. Pemikiran Hazairin mengenai ahli waris pengganti bisa jadi diilhami oleh Pasal 841 B.W. tersebut.45 43
A. Sukris Sarmadi, Dekonstruksi Hukum Progresif Ahli Waris Pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam (Yogyakarta: Aswaja Presindo, 2012) hlm. 3. 44
Badrian, Kewarisan Ahli Waris Pengganti Ahli Waris yang Mah}ru>m (Onwaardig) Menurut Hukum Islam dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (BW), Makalah yang tidak dipublikasikan, Fakultas Syariah dan Ekonomi Islam Banjarmasin Tahun 2015. 45
Ibid.
31
Dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam disebutkan “Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya.46 Mengenai ahli waris pengganti ini ada beberapa pendapat, di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Menurut Hazairin : Waris pengganti atau mawa>li> adalah “ahli waris karena tidak ada lagi penghubung antara mereka dan si pewaris”.47 Tidak ada penghubung dimaksud adalah yang masih hidup, misalnya: antara cucu si pewaris dengan pewaris manakala anak si pewaris yang menjadi penghubung dalam keturunan itu telah meninggal lebih dahulu. 2. Menurut Sayuti Thalib : Waris pengganti dengan kata mawa>li>, yaitu ahli waris yang menggantikan seseorang untuk memperoleh bagian warisan yang tadinya akan diperoleh oleh orang yang digantikannya itu. Sebab orang yang digantikannya itu adalah orang yang seharusnya menerima warisan kalau dia masih hidup, tetapi dalam kasus bersangkutan dia telah meninggal terlebih dahulu dari pewaris. Orang yang digantikan itu hendaklah merupakan penghubung antara dia yang menggantikan ini dengan pewaris yang meninggalkan harta peninggalan. Mereka yang menjadi
mawa>li> ialah keturunan anak pewaris, keturunan saudara pewaris atau keturunan
46
Kompilasi Hukum Islam, op. cit, hlm. 57.
47
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Qur’an dan Hadith (Jakarta : Tinta Mas, 1982), hlm. 32.
32
orang yang mengadakan semacam perjanjian mewaris (bentuknya dapat saja dalam bentuk wasiat) dengan si pewaris.48 3. Menurut Raihan A. Rasyid Waris pengganti adalah sistem kewarisan di mana orang yang sejak semula bukan ahli waris tetapi karena keadaan tertentu ia menjadi ahli waris dan menerima warisan dalam status sebagai ahli waris. Misalnya, pewaris tidak meninggalkan anak tetapi meninggalkan cucu laki-laki atau perempuan dari anak laki-laki.49 4. Menurut J. Satrio : Waris pengganti atau ahli waris karena pergantian tempat adalah ahli waris yang merupakan keturunan (keluarga sedarah) dari pewaris yang muncul sebagai pengganti tempat orang lain, sedianya akan mewaris.50 Sebagaimana telah disebutkan bahwa dasar hukum waris pengganti adalah Kompilasi Hukum Islam Pasal 185 yang berbunyi: (1) Ahli waris yang meninggal lebih dahulu dari pada si pewaris maka kedudukannya dapat digantikan oleh anaknya, kecuali mereka yang tersebut dalam Pasal 173; (2) Bagian ahli waris pengganti tidak boleh melebihi dari bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.51
48
Sayuti Thalib, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: Sinar Grafika, 2000), hlm. 80-81. 49
Raihan A, Rasyid, “Pengganti Ahli Waris dan Wasiat Wajibah”, Mimbar Hukum No. 23, Tahun VI, November 1995. 50
J. Satrio, Hukum Waris (Bandung : Alumni, 1992), hlm. 56.
51
Kompilasi Hukum Islam, op.cit., hlm. 54
33
Pengecualian tersebut dalam Pasal 173 adalah karena adanya halangan khusus berbunyi, “seseorang terhalang menjadi ahli waris apabila dengan putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap, dihukum karena : a. dipersalahkan telah membunuh atau mencoba membunuh atau menganiaya berat para pewaris; b. dipersalahkan secara memfitnah telah mengajukan pengaduan bahwa pewaris telah melakukan suatu kejahatan yang diancam dengan hukuman 5 tahun penjara atau hukuman yang lebih berat.52 Hukum kewarisan Kompilasi Hukum Islam memiliki beberapa asas di antaranya adalah sebagaimana yang tercantum dalam Penjelasan Buku II berikut : a. Asas bilateral/parental, yang tidak membedakan laki-laki dan perempuan dari segi keahliwarisan, sehingga tidak mengenal kerabat
z|awi< al-arh}a>m. Asas ini didasarkan atas : (1) Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam tidak membedakan antara kakek, nenek dan paman baik dari pihak ayah atau dari pihak ibu.53 (2) Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam mengatur ahli waris pengganti, sehingga cucu dari anak perempuan, anak perempuan dari saudara laki-laki dan anak perempuan/anak laki-laki dari saudara perempuan, bibi dari pihak ayah dan bibi dari pihak ibu serta keturunan dari bibi adalah ahli waris pengganti. (3) Yurisprudensi Mahkamah Agung Republik Indonesia. b.
Asas ahli waris langsung dan asas ahli waris pengganti.
(1) Ahli waris langsung (eigen hoofde) adalah ahli waris yang disebut pada Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam. (2) Ahli waris pengganti (plaatsvervulling) adalah ahli waris yang diatur dalam Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam, yaitu ahli waris pengganti/keturunan dari ahli waris yang disebutkan dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam. Di antaranya keturunan dari pihak lakilaki/perempuan, keturunan dari paman, keturunan dari kakek dan nenek, yaitu bibi dan keturunannya (paman walaupun keturunan kakek dan nenek bukan ahli waris pengganti karena paman sebagai 52
Ibid.
53
Ibid.
34
ahli waris langsung yang disebut dalam Pasal 174 Kompilasi Hukum Islam).54 Penerapan ketentuan pergantian ahli waris ini bersifat kasuitis, menghasilkan produk hukum yang berbeda-beda walaupun kasusnya sama-sama menyangkut persoalan waris pengganti. Kompilasi Hukum Islam memberlakukan penggantian ahli waris dengan kasus per kasus demi kemaslahatan ahli waris secara kesluruhan. Hal ini disebabkan oleh bunyi Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam pada kata “dapat” yang berarti boleh dilaksanakan dan boleh juga tidak dilaksanakan. Penggantian ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam, berbeda dengan penggantian ahli waris dalam hukum Islam. Perbedaannya antara lain bahwa pengganti ahli waris dalam Kompilasi Hukum Islam dapat menerima bagian harta warisan bersama-sama dengan orang tua dan anak-anak pewaris, sedangkan pengganti ahli waris menurut hukum Islam tidak mungkin karena mereka baru dapat mewaris apabila tidak ada lagi ahli waris nasabiyah dari golongan z>awi> al-
furu>d} dan as}a>bah. Adapun persamaan antara penggantian ahli waris dalam KHI dan penggantian ahli waris menurut hukum Islam adalah: a.
Ahli waris yang diganti telah meninggal dunia lebih dahulu dari pewaris dan dialah yang menjadi penghubung antara pengganti ahli waris dengan pewaris.
54
Mahkamah Agung Republik Indonesia Direktori Jenderal Badan Peradilam Agama “ Pedoman pelaksanaan Tugas dan Administrasi Agama Buku II”, Edisi Revisi 2010, 2010 hlm. 164.
35
b. Pengganti ahli waris menempati tempat yang digantikan dan memperoleh bagian yang semestinya diterima oleh yang diganti seandainya ia masih hidup, jika penggantian terjadi khusus bagi zawi>
al-arh}a>m, kecuali dalam Kompilasi Hukum Islam, bagian pengganti ahli waris dibatasi tidak boleh melebihi bagian ahli waris yang sederajat dengan yang diganti.55 Dengan demikian terdapat perbedaan yang mendasar mengenai istilah penggantian waris antara hukum waris Islam dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia. Adapun lembaga yang agak menyerupai penggantian ahli waris dalam hal menggantikan hak mewaris orang yang telah meninggal lebih dahulu dari pewaris adalah wasiat wajibah yang diperkenalkan oleh Undang-undang Wasiat Mesir Nomor 71 Tahun 1946. Tetapi tampaknya wasiat wajibah yang diberlakukan di negara-negara muslim selain Mesir, hanya diperuntukan kepada cucu atau cucucucu yang ayah atau ibunya meninggal dunia lebih dahulu ataupun bersamaan waktunya daripada pewaris (dalam hal ini kakek/nenek penerima wasiat wajibah). Persamaan wasiat wajibah yang diatur oleh Kitab Undang-Undang Hukum Wasiat Mesir dengan ahli waris pengganti menurut Kompilasi Hukum Islam adalah: a. Adanya kematian orang yang digantikan itu mendahului meninggalnya pewaris (orang yang diwarisi). b. Bagian pengganti tidak lebih besar dari bagian orang yang digantikan. 55
Asni Zubair dan Lebba, “Penggantian Ahli Waris Menurut Tinjauan Hukum Islam”, Jurnal Asy-Syir’ah Vol. 42 No. II, 2009, hlm. 355.
36
c. Dalam wasiat wajibah, yang dapat menggantikan kedudukan khusus hanya cucu-cucu baik laki-laki maupun perempuan yang orang tuanya telah meninggal lebih dahulu dari pewaris.56 Sedangkan perbedaan wasiat wajibah dengan ahli waris pengganti dalam Kompilasi Hukum Islam adalah: dalam wasiat wajibah, yang diganti kedudukannya adalah berupa hak memperoleh bagian orang tua dengan batasan tidak boleh melebihi 1/3 harta warisan. Sedangkan menurut Kompilasi Hukum Islam, ahli waris pengganti menempati kedudukan orang tuanya yang telah meninggal dengan memperoleh hak dari harta warisan kemudian bagian yang diperoleh pengganti tidak boleh melebihi bagian orang/ahli waris yang sederajat dengan yang digantikannya. Apabila Pasal 185 Kompilasi Hukum Islam menempuh jalan dengan pengganti ahli waris bagi cucu atau cucu-cucu dari pewaris yang ayahnya/ibunya meninggal lebih dahulu daripada pewaris, maka di negara-negara muslim lainnya kebanyakan menempuh jalan dengan wasiat wajibah. Pakistan dan Indonesia sama-sama menempuh jalan penggantian ahli waris, tetapi apabila di Pakistan berlaku penggantian ahli waris tanpa melihat kasus dari kasus, maka di Indonesia sebaliknya, seperti yang diatur dalam Kompilasi Hukum Islam yaitu memberlakukan penggantian ahli waris dengan kasus per kasus demi kemaslahatan ahli waris secara keseluruhan.57 Dalam Kitab undang-undang Hukum Perdata dikenal ada 3 (tiga) macam penggantian (representasi atau bij-plaatsvervulling), yaitu: 56
Ibid., hlm. 356.
57
Ibid., hlm. 357.
37
a. Penggantian dalam garis lencang ke bawah Penggantian dalam garis lencang ke bawah. Ini dapat terjadi dengan tiada batasnya. Tiap anak yang meninggal dunia lebih dahulu digantikan oleh semua anak-anaknya, begitu pula jika dari pengganti-pengganti itu ada salah satu yang meninggal dunia lebih dahulu lagi, ia juga digantikan oleh anak-anaknya dan begitu seterusnya, dengan ketentuan, bahwa segenap turunan dari satu orang yang meninggal dunia lebih dahulu harus dianggap sebagai suatu staak (cabang) dan bersama-sama memperoleh bagian orang yang mereka gantikan. Dengan demikian jika semua anak-anak telah meninggal dunia lebih dahulu, sehingga hanya ada cucu saja, maka mereka ini mewaris atas dasar penggantian, artinya tidak langsung (uit-eigen-hoofde) apabila semua anak si meninggal ternyata (“onwaardig”, “onterfd) atau menolak warisan. Dalam hal ini tidak mungkin terjadi penggantian sebab anak si meninggal masih hidup dan hanya orang telah mati saja dapat digantikan. Tetapi dalam keadaan tersebut tidak terdapat ahli waris dalam tingkat kesatu, maka cucu-cucu tersebut tampil ke muka sebagai golongan ahli waris yang terdekat dan karenanya mereka itu lalu mewarisi atas dasar kedudukannya sendiri-sendiri (uit-eigenhoofde). b. Penggantian dalam garis ke samping Penggantian dalam garis ke samping (zijlinie), di mana tiap-tiap saudara si meninggal dunia, baik sekandung maupun saudara tiri, jika meninggal dunia lebih dahulu, digantikan oleh anak-anaknya. Juga penggantian ini dilakukan dengan tiada batasnya (Pasal 853, jo Pasal 856 jo 857).
38
c. Penggantian dalam garis ke samping menyimpang Penggantian dalam garis ke samping menyimpang dalam hal datuk dan nenek baik dari pihak ayah maupun dari pihak ibu, maka harta peninggalan diwarisi oleh golongan keempat, yaitu paman sebelah ayah dan sebelah ibu. Pewarisan ini juga dapat digantikan oleh keturunannya sampai derajat keenam (Pasal 861 KUH Perdata atau B.W.).58 Akan tetapi, kalau dikaji lebih jauh masalah ahli waris pengganti bukan hanya diberlakukan di Indonesia. Di beberapa negara muslim lainnya telah terlebih dahulu memberlakukan hal serupa. Namun berbeda dengan Kompilasi Hukum Islam di Indonesia yang menerapkannya melalui lembaga plaatsvervuling atau penggantian ahli waris, negara-negara muslim lainnya menerapkannya melalui lembaga wasiat wajibah. Hukum waris Mesir tahun 1946 menyatakan bahwa seorang anak yang lebih dahulu meninggal dunia dan meninggalkan anak, maka si cucu itu menggantikan ayahnya dalam mewarisi kakek atau neneknya dengan cara wasiat wajibah, memperoleh tidak lebih dari sepertiga harta. Adapun yang menetapkan wasiat wajibah itu ialah pengadilan karena si mati memang tidak meninggalkan wasiat sendiri. Ide wasiat wajibah ini adalah untuk membantu cucu yatim. Langkah Mesir itu ternyata diikuti dan diberlakukan oleh Syiria, Tunisia, Maroko, dan Pakistan dengan beberapa modifikasi. Di Mesir aturan wasiat wajibah itu berlaku bagi semua cucu, baik dari anak laki-laki maupun perempuan. Di Syiria dan Maroko wasiat wajibah itu aturan wasiat wajibah sama
58
M. Idris Ramulyo, Perbandingan Pelaksanaan Hukum Kewarisan Islam Dengan Kewarisan Menurut Kitab Undng-undang Hukum Perdata (B.W), (Jakarta: Sinar Grafika: 2000), hlm. 129-130.
39
dengan di Mesir, tetapi hanya untuk cucu generasi pertama. Di Pakistan diberlakukan aturan yang lebih radikal, yaitu bahwa cucu dalam keadaan demikian mendapat bagian yang sama dengan bagian yang semestinya diterima ayahnya bila ia masih hidup.59
H. Golongan Ahli Waris Pengganti Siapakah yang dimaksud golongan ahli waris pengganti? Golongan ahli waris yang mendapat bagian sebagai ahli waris pengganti sebagaimana yang tertulis dalam Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama adalah sebagai berikut: (1) keturunan dari anak mewarisi bagian yang digantikannya. (2) keturunan dari saudara laki-laki/perempuan (sekandung, seayah atau seibu) mewarisi bagian yang ditinggalkannya. (3) kakek dan nenek dari pihak ayah mewarisi bagian dari ayah, masingmasing berbagi sama. (4) kakek dan nenek dari pihak ibu mewarisi dari bagian ibu, masing-masing berbagi sama. (5) paman dan bibi dari pihak ayah beserta keturunannya mewarisi bagian dari ayah apabila tidak ada kakek dan nenek dari pihak ayah.60 Selain itu, berlaku juga asas tetroaktif terbatas bagi ahli waris pengganti yaitu asas yang mengatur bahwa Kompilasi Hukum Islam tidak berlaku surut 59
H.M. Atho Mudzhar, Membaca Gelombang Ijtihad, hlm. 164.
60
Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Peradilan Agama Buku II”, op.cit, hlm.
167.
40
dalam arti apabila harta warisan telah dibagi secara riil (bukan hanya pembagian di atas kertas) sebelum lahirnya Kompilasi Hukum Islam, maka keluarga yang mempunyai hubungan darah karena waris pengganti tidak dapat mengajukan gugatan waris.61 Jika harta warisan tersebut belum dibagi secara riil, maka terhadap kasus waris yang pewarisnya meninggal dunia sebelum Kompilasi Hukum Islam lahir, dapat diberlakukan ketentuan waris pengganti yang dengan sendirinya Kompilasi Hukum Islam dapat berlaku surut. Sebenarnya di dalam al-Qur’an golongan ahi waris yang berhak mendapat warisan telah terpenuhi dengan turunnya surah an-Nisa’ ayat 12 yang berbunyi:
ُ ۡ ۡ ُ ُ ل َفإنََكن َل ُه َّن َو د َّ ۡ ُ َّ ُ َّ د ۡ ُ ُ ۡ ُّ ك ُم ََٱلر ُب ُع ل َفل ِ ٞۚ ۞ولكم َن ِصف َماَترك َأزوَٰجكم َإِنَلم َيكنَلهن َو ۡ ُ َّ ُ ۡ َّ ك ۡمَو د ُ َّ ِ م َِّماَتر ۡكنَ ِم ۢنَب ۡعدَِو ُّ وصنيَبهآَأ ۡوَديۡنَول ُه َّن َٞۚل َ َٱلر ُب ُعَم َِّماَترك ُت ۡمَإِنَلمَيك نَل ٖۚ ٖ ٞۚ ِ ِ صيةَٖي ۡ ٓ ُ ۡ ۡ ُ ُ َّ ِ َم ۢن َب ۡع ِد َو ك ۡم َو د ِ ل َفل ُه َّن َٱثلُّ ُم ُن َم َِّماَترك ُت ٖۚم َن َِإَونََكن فإِنََكن َل ٖۗ ٖ صي ٖة َتوصون َبِهَا َأو َدي ُ ُ ُ ُ د ۡ ْ ُ ۡ ث َكلَٰل ًة َأو ُ ُ ُّ َٱمرأة دَو َُل ٓۥ َأ ٌخ َأ ۡو َأ ۡخ د ُ ۡ ِ َٰ ت َفل ُِك َو َكث َ س َفإِنََكن ٓوا َأ رجل َيور ِ ٞۚ ح ٖد َمِنهماَٱلسد ِ ٓ ُ ۡ ُ ٓ ُ ۡ ٓ َٰ ُ َّ ُ ُّ ٗ َّ ۡ َِِۗص َّيةَمِنَٱّلل وَصَبِهاَأ ۡوَديۡ ٍنَغَۡي صيةَٖي ِ َوَٖٞۚمضار ِ ثَ ِم ۢنَبعدَِو ٖۚ ِ َِفَٱثلل ِ مِنَذَٰل ِكَفهمَُشَك ُء ُ َّ و ِيمَحل د ٌ ٱّللَعل َ١٢َِيم “Dan bagimu (suami-suami) seperdua dari harta yang ditinggalkan oleh istri-istrimu, jika mereka tidak mempunyai anak. Jika istri-istrimu itu mempunyai anak, maka kamu seperempat dari harta yang ditinggalkannya sesudah dipenuhi wasiat yang mereka buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. Para istri memperoleh seperempat harta yang kamu tinggalkan jika kamu tidak mempunyai anak. Jika kamu mempunyai anak, maka istri memperoleh seperdelapan dari harta yang kamu tinggalkan sesudah dipenuhi wasiat yang kamu buat atau atau (dan) sesudah dibayar hutanghutangmu. Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau saudara perempuan (seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu seperenam harta. Tetapi jika saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang, maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu, sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat 61
Ibid., hlm. 166.
41
olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (Allah menetapkan yang demikian itu sebagai ) syari’at yang benar-benar dari Allah, dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Penyantun”.62 Dari ayat di atas Allah telah menjelaskan bagian masing-masing ahli waris sesuai dengan posisi dan kondisi ahli waris. Jika istri meninggal dunia, maka suami mendapat ½ bagian dari harta peninggalan jika tidak mempunyai keturunan dan ¼ bagian dari harta peninggalan jika mempunyai keturunan. Jika suami meninggal dunia, maka istri mendapat ¼ bagian dari harta peninggalan jika tidak ada mempunyai keturunan dan 1/8 bagian dari harta peninggalan jika mempunyai keturunan. Jika seseorang laki-laki maupun perempuan diwarisi secara kala>lah dan baginya ada seorang saudara laki-laki atau seorang saudara perempuan maka bagi saudara itu masing-masing seperenam dari harta peninggalan. Jika seseorang laki-laki atau perempuan diwarisi secara kala>lah dan baginya ada beberapa orang saudara, semuanya laki-laki atau semuanya perempuan atau semuanya campuran antara laki-laki dan perempuan, maka semua saudara itu berbagi sama rata atas sepertiga bagian dari harta peninggalannya.63
62
Departemen Agama RI, op. cit., hlm. 117.
63
Hazairin, Hukum Kewarisan bilateral Berdasarkan Qur’an dan Hadith, op.cit. hlm. 7-8.