BAB II LANDASAN TEORI A.
KEBUDAYAAN
Kata “kebudayaan” berasal dari (bahasa sangsekerta) buddhayah yang adalah bentuk jamak dari kata “budhdi” yang berarti “budi atau akal”. Kebudayaan diartikan sebagai “halhal yang bersangkutan dengan budi dan akal”.
1
Ada juga ahli yang mengupas kata budaya
dengan perkembangan dari majemuk budi-daya yang berarti daya dari budi. Sehingga mereka membedakan budaya dari kebudayaan. Budaya itu daya dari budi yang berupa cipta, karsa dan rasa, dan kebudayaan itu segala hasil dari cipta karsa dan rasa itu.2
Menurut Edward B. Taylor Kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat, dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat oleh seseorang sebagai anggota masyarakat.3 Richard Niebuhr mengatakan bahwa kebudayaan sebagai hasil prestasi manusia, yang mana semuanya dirancang untuk satu atau beberapa tujuan akhir; dunia kebudayaan adalah dunia nilai. Beberapa filsuf berpendapat bahwa manusia harus memenuhi kepentingannya sendiri sebagai nilai yang ada. Karena aktualisasi tujuan ini dicapai dalam bahan sementara dan dapat binasa maka kegiatan budaya menaruh perhatian besar kepada pelestarian nilai-nilai sebagaimana ia ada dengan realisasinya. 4
1
Soerjono Soerkanto.,Sosiologi Suatu Pengantar (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2003), 172 Koentjaraningrat., Pengantar Antropologi (Jakarta: Aksara, 1962), 76 3 http://exalute.wordpress.com/2009/03/29/definisi-kebudayaan-menurut-para-ahli/, di unduh pada hari selasa tanggal 24 Juli 2012, pukul 22.03 WIB 4 Ibid, 38-42 2
8
Jadi sebenarnya kebudayaan yang dibuat oleh manusia memiliki hubungan yang erat dengan apa yang diterima secara turun-temurun dari masyarakat yang adalah hasil kerja dari orang lain yang terus diwariskan dan diberikan kepada masing-masing orang dalam masyarakat tertentu sehingga terciptanya keteraturan dan terpenuhinya kebutuhan hidup. Dalam setiap masyarakat memiliki tiga pokok besar hasil kebudayaan, yaitu ideal yang berkaitan dengan adat dalam masyarakat, aturan-aturan dalam masyarakat, dan benda-benda yang dipercayai memiliki kekuatan. Contohnya dalam kebudayaan Meto kain adat memiliki arti dan makna tertentu bagi setiap klan. Berkaitan dengan tiga bagian kebudayaan di atas maka pernikahan adat termasuk dalam bagian yang pertama ideal (adat). B.
Hukum Adat
Dalam setiap masyarakat di Indonesia memiliki hukum adatnya masing-masing, yang sudah ada sejak dahulu dan masih dipertahankan sampai sekarang ini, dan dalam masyarakat yang masih memegang teguh hukum adat mereka meyakini bahwa setiap hukum adat itu bersifat kelihatan maupun tidak kelihatan yang dipercayai membentuk kehidupan seseorang sejak lahir sampai meninggal. Menurt Prof Soepomo Hukum Adat adalah sinonim dari hukum yang tidak tertulis di dalam peraturan legislatif, hukum yang hidup sebagai konvensi di badan-badan hukum Negara (parlemen, Dewan Propoinsi, dan sebagainya) hukum yang hidup sebagai peraturan kebiasaan yang dipertahankan di dalam pergaulan hidup, baik di dalam kota maupun di desadesa. Hukum adat adalah suatu hukum yang hidup, karena ia menjelmakan perasaan hukum
9
yang nyata dari rakyat. Sesuai dengan fitratnya sendiri, hukum adat terus menerus dalam kebudayaan tumbuh dan berkembang seperti hidup itu sendiri”.5 Hukum adat adalah hukum yang meliputi aturan-aturan tingkah laku dalam pergaulan hidup sehari-hari, hukum adat disamping sifatnya yang tradisional juga mempunyai coraknya “dapat berubah” dan mempunyai kesanggupan untuk menyesuikan diri dengan situasi dan kondisi yang berkembang. Ciri-ciri hukum adat adalah hukum adat mempunyai corak keagamaan dan kepercayaan kepada Tuhan yang Maha Esa ini mempengaruhi tingkah laku manusia dalam pergaulan hidup, sifat kebersamaan, hukum adat bersifat tradisional artinya bersifat turun temurun sejak dahulu hingga sekarang tetap dipakai, tetap diperhatikan dan dihormati, Hukum adat bertumbuh dan berkembang sesuai dengan perkembangan masyarakat Sedangkan untuk aturan hukum adat perkawinan sudah ada sejak masyarakat dulu, dan aturan untuk hukum adat perkawinan terus berkembang dan maju dalam kehidupan masyarakat. Budaya perkawinan dan aturannya yang berlaku pada suatu masyarakat juga dipengaruhi oleh lingkungan, kebudayaan, dan pergaulan masyarakat. Begitu juga dalam budaya perkawinan di Indonesia tidak hanya dipengaruhi oleh pengetahuan dan pengalaman tetapi juga dipengaruhi oleh ajaran dari agama. Karna itu jika di Indonesia telah memiliki hukum perkawinan Negara tetapi pada kenyataannya masyarakat Indonesia ada yang masih memegang adat dan tata cara upacara adat dalam kebudayaan yang berbeda. Dalam pasal 1 UU no. 1-1974 dikatakan bahwa perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan wanita dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan ketuhanan yang Maha Esa. 6 5
Soepomo, Bab-Bab Tentang Hukum Adat, (penerbit Universitas), 1967,12.
10
Menurut Prof Hilman, hukum adat perkawinan di Indonesia bukan hanya sebagai “perikatan perdata” tetapi juga merupakan “perikatan adat” dan juga merupakan perikatan kekerabatan dan ketetanggan.7 Pernikahan dalam arti “pernikahan adat” ialah perkawinan yang mempunyai ikatan hukum terhadap hukum adat yang berlaku dalam masyarakat bersangkutan. Setelah terjadi ikatan perkawinan maka timbul hak-hak dan kewajibankewajiban orang tua (termasuk anggota keluarga/kerabat) menurut hukum adat setempat, yaitu dalam pelaksanaan upacara adat dan selanjutnya dalam peran serta membina dan memelihara kerukunan, keutuhan, kelanggengan, dan kehidupan anak-anak mereka yang terikat dalam perkawinan.8Seperti yang terjadi didalam kehidupan adat istiadat orang meto, yang memiliki kepercayaan bahwa setelah resmi menjadi pasangan suami istri maka keluarga mereka telah menjadi satu dan mereka wajib untuk melakukan upacara dalam setiap keluarga dan mengikuti setiap aturan keluarga masing-masing pihak. Tidak hanya melakukan setiap upacara dalam masing-masing keluarga tetapi juga memenuhi tugas dan tanggung jawab sebagia anak yang harus menghormati orang tua. Menurut Prof Hilman Hukum adat perkawinan adalah hukum masyarakat (hukum Rakyat) yang tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Negara yang mengatur tata tertip perkawinan. Jika terjadi pelanggaran dalam hukum adat maka yang akan mengadili adalah dengan mengunakan peradilan adat.9 Dalam kebudayaan orang meto jika terjadi masalah dalam kehidupan keluarga atau marga maka akan di selesaikan secara kekeluargaan dengan mengunakan cara adat, mendiskusikan masalah yang terjadi dan mencari jalan keluar secara bersama-sama. Dan dalam menyelesaikan masalah yang terjadi maka yang berperan 6
.Hukum Perkawinan Indonesia. Bandung: Mandar Maju. Hal 7
7
Hilman Hadikusima, Hukum Perkawinan Indosnesia. (CV Mandar Maju, 1990, 8) 8 Ibbid, 9 9 Hilman Hadikusima, Hukum Perkawinan Adat. (Bandung, 1997, 16)
11
penting dan yang mengambil keputusan adalah saudara laki-laki yang paling tua yang biasanya disebut Atoin Amaf atau Om. Ketika menjalin suatu hubungan maka ada harapan atau tujuan yang diinginkan akan tercapai. Begitu juga dalam perkawinan tujuan menurut undang-undang adalah untuk membina keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan keTuhanan yang Maha Esa. 10 Tujuan perkawinan menurut Hukum adat yang bersifat kekerabatan adalah untuk mempertahankan dan meneruskan keturunan menurut garis kebapakan atau keibuan untuk kebahagiaan rumah tangga keluarga/kerabat, untuk memperoleh nilai adat budaya dan kedamaian dan untuk mempertahankan ke warisan.11 Menurut agama Kristen tujuan perkawinan adalah untuk membentuk suatu persekutuan hidup yang kekal antara pria dan wanita berdasarkan cinta kasih dan untuk melahirkan anak dan mendidik serta saling tolong menolong antara suami, isteri.12 Jadi tujuan dari perkawinan adalah untuk membina kehidupan yang harmonis, terus memupuk rasa cinta dan kasih sayang sesuai dengan ajaran agama masing-masing, melanjutkan keturunan dan saling mendukung satu dengan yang lain baik dalam susah maupun senang. Ketika telah resmi menjadi pasangan suami istri maka mereka dituntut untuk mengikuti setiap aturan bahkan upacara-upacara yang berlaku yang dalam kehidupan keluarga, baik tujuannya untuk melestarikan dan mempertahankan kebudayaan atau untuk keselamatan kehidupan keluarga. Seperti dalam kebudayaan orang meto jika ada pasangan suami isti yang telah menikah maka mereka diharuskan untuk melakukan upacara pernikahan adat kepada orang tua dari mempelai perempuan. 10
Hilman Hadikusima, Hukum Perkawinan Indosnesia. (CV Mandar Maju, 1990, 22) ibbid 23) 12 Ibbid, 25 11
12
Op ut tes tua dalam perkawinan menurut adat orang meto adalah penghormatan yang ditujukan kepada orang tua yang telah melahirkan dan membesarkan anaknya. Orang tua adalah komponen keluarga yang terdiri dari ayah dan ibu, dan merupakan hasil dari sebuah ikatan perkawinan yang sah yang dapat membentuk sebuah keluarga. Orang tua memiliki tanggung jawab untuk mendidik, mengasuh dan membimbing anak-anaknya untuk mencapai tahapan tertentu yang menghantarkan anak untuk siap dalam kehidupan bermasyarakat. Pengertian orang tua di atas, tidak terlepas dari pengertian keluarga, karena orang tua merupakan bagian keluarga besar yang sebagian besar telah tergantikan oleh keluarga inti yang terdiri dari ayah, ibu dan anak-anak. Orang tua merupakan orang yang lebih tua atau orang yang dituakan. Namun umumnya di masyarakat pengertian orang tua itu adalah orang yang telah melahirkan kita yaitu Ibu dan Bapak. Ibu dan bapak selain telah melahirkan kita ke dunia ini, ibu dan bapak juga yang mengasuh dan yang telah membimbing anaknya dengan cara memberikan contoh yang baik dalam menjalani kehidupan sehari-hari, selain itu orang tua juga telah memperkenalkan anaknya ke dalam hal-hal yang terdapat di dunia ini dan menjawab secara jelas tentang sesuatu yang tidak dimengerti oleh anak. Maka pengetahuan yang pertama diterima oleh anak adalah dari orang tuanya. Karena orang tua adalah pusat kehidupan rohani si anak dan sebagai penyebab berkenalnya dengan alam luar, maka setiap reaksi emosi anak dan pemikirannya dikemudian hari terpengaruh oleh sikapnya terhadap orang tuanya di permulaan hidupnya dahulu.13 Karena itu anak harus menghargai dan menghormati orang tua, dengan mendengarkan tanpa melanggar apa yang dikatakan oleh orang tua kepada anaknya. Tetapi ketika anak tersebut tidak mendengarkan apa yang dikatakan oleh orang tua maka anak tersebut akan mendapatkan masalah atau bencana dalam
13
http://www.pengertiandefinisi.com/2011/11/pengertian-orang-tua.html, di unduh pada hari minggu 22 Juli 2012, pukul 18.25 WIB.
13
kehidupannya, tetapi sebaliknya jika anak mematuhi orang tua maka anak tersebut akan mendapatkan doa dari orang tua sehingga kehidupan anak tersebut menjadi sukses. Jadi, orang tua atau ibu dan bapak memegang peranan yang penting dan amat berpengaruh atas pendidikan anak dari kecil sampai anak hendak dewasa dan hendak menikah dengan pasangan hidupnya. Peranan orang tua yang paling penting adalah memberikan berkat berupa doa atau kutukan kepada anak-anaknya. Penghormatan tidak hanya diberikan kepada orang tua yang masih hidup, tetapi juga diberikan kepada yang telah meninggal dunia dengan keyakinan bahwa, almarhum memiliki eksistensi atau memiliki kemampuan untuk mempengaruhi keberuntungan orang hidup. Beberapa kelompok menghormati nenek moyang mereka, beberapa komunitas agama, khususnya Gereja Katolik , menghormati orang-orang kudus sebagai perantara dengan Tuhan. Dalam beberapa budaya Timur tujuan pemujaan leluhur adalah untuk memastikan nenek moyang terus menganugrahkan kesejahteraan. Salah satu cara mematuhi perkataan orang tua dalam kebudayaan orang meto adalah penghormatan anak laki-laki yang sudah menikah kepada orang tua yang biasanya disebut op ut,tes tua, penghormatan ini biasanya dilakukan dengan ritual-ritual yang telah ada dan diwariskan secara turun temurun. C. Alasan penghormatan kepada orang tua. Untuk menggambarkan Allah, sumber segala sesuatu yang ada, manusia tidak mempunyai “perlengkapan” lain dari pengalaman mengenai dunia ini. Tapi pengalaman kita tentang dunia ini ditandai secara mendalam oleh pengalaman kita tentang kedua tokoh yang merupakan asal mula eksistensi kita sendiri, yakni bapak dan ibu. Oleh karena itu tidaklah mengherankan bila orang tua asal usul adanya kita sendiri, bagi manusia dapat menjadi
14
simbol untuk asal segala sesuatu, yaitu Allah sumber yang mutlak. Baik gambaran tentang bapak maupun gambaran tentang ibu memainkan peran dalam terbentuknya gambaran seseorang mengenai Allah.14 Ada dua simbol yang berbicara tentang orang tua, pertama simbol itu hasil pengalaman pribadi seseorang. Setiap simbol merupakan suatu pola yang bersifat mental dan efektif. Pola itu tertera dalam ingatan dan afeksi manusia berdasarkan pengalaman orang yang bersangkutan dengan dunia, lebih-lebih dengan sesama manusia. Menurut dimensi pertama ini, simbol atau gambaran “bapak” dihasilkan dalam kesadaran si anak oleh kehadiran bapaknya sendiri dan oleh pergaulan si anak dengannya. Simbol-bapak – menurut dimensi yang pertama ini-merupakan buah hasil dari semua hubungan afektif yang terjadi antara anak dan bapaknya. Untuk sebagian, citra-bapak dihasilkan oleh pengalaman sesorang dengan ayahnya sendiri pada masa muda. Ayah itu bisa seseorang yang keras, kuat, ramah, pemarah, pengasih dan lain sebagainya. Dimesi pertama dari simbol-bapak dan simbol-ibu ini dapat disebut: gambaran berupa – ingatan.15 Kedua, di samping pengalaman pribadi masih ada faktor-faktor lain yang ikut membentuk dan mengisi citra- orang tua seseorang yaitu bahasa, adat istiadat, tata hukum, dan terutama konstelasi keluarga. Konstelasi keluarga memberikan kedudukan istimewa kepada bapak. Patut diperhatikan bahwa arti-arti tersebut memang terlepas dari watak, tabiat dan bakat yang dimiliki oleh ayah yang konkret ini atau itu. Yang penting dalam dimesi kedua ini bukan orang lain melainkan peranan dan fungsi orang tua itu: fungsi sang bapak dalam keluarga. Fungsi ini untuk sebagian besar ditentukan oleh kebudayaan, maka dalam kebudayaan patriakal dan matriakal fungsi itu berlainan. Oleh karena itu harus dikatakan
14 15
N. Syukur Dister, Bapak Dan Ibu Sebagai Simbol Allah, (Jakarta; gunung mulia, 1983) hal 48-49 Ibbid, 49
15
bahwa suatu struktur obyektif, yakni struktur keluarga, memaksakan diri kepada si anak, sekalipun anak tidak menyadarinya. Di samping struktur obyektif ini, masih ada faktor yang memainkan peranan dalam pembentukan citra bapak-menurut dimensi yang kedua ini. Faktor yang kami maksudkan adalah keinginan dan harapan si anak mengenai bapaknya. Anak ingin agar bapanya bersikap begini atau begitu. Dimensi kedua dari simbol-bapak dan simbol-ibu ini dapat disebut: gambaran- berupa-simbol-sensusticto (simbol dalam arti ketat). 16 Freud telah menunjukan bahwa agama seseorang dan terutama gambaran mengenai Allah tidak hanya bersumber pada frustrasi tetapi juga bersumber pada kompleks-oedipus yang harus dihayati oleh setiap orang supaya mencapai kedewasaan. Andaikata agama hanya bersumberkan frustrasi, maka simbol-bapak tidak berbeda peranannya dengan simbol-ibu dalam melambangkan Allah.17 Hubungan antara gamabaran-ibu dan gambaran-Allah hampir sama kuatnya. Pada wanita, korelasi bapak-Allah malah sedikit lebih kuat dari pada korelasi ibu-Allah. Hipotese Strunk berbunyi: hubungan antara citra-orang tua dan citra-Allah dipengaruhi oleh taraf kemajuan sikap religious. 18 D. Ritual Menurut Durkheim ritual “cult” berasal dari bahasa latin cultus „pemujaan‟ yang terdiri dari peristiwa-peristiwa tertentu adalah inti dari kehidupan bersama klan. Di manapun ritualritual itu dilaksanakan, maka tindakan pemujaan kultus ini adalah hal penting yang pernah dilakukan oleh orang-orang klan, ritual-ritual itu adalah sakral; yang lain adalah profan.19
16
Ibbid, 49. Ibbid, 50 18 Ibbid, 51 19 Emile Durkheim, Sejarah Agama (The Elementary Froms Of The Religious Life), 175 17
16
Penggunaan lain tentang ritual yang umum dapat kita temukan pada teori psikoanalistis yang secara khusus menyebutkan bahwa ritual adalah tingkah tidak rasional atau tingkah laku simbolik yang dijadikan sebagai ritual yang berbeda dengan tingkah laku pragmatis yang dengan jelas mengakhiri tingkah laku yang ditujukan kepada hal-hal yang secara rasional berhubungan dengan dewa-dewa empiris. Disini ritual sering dikontraskan dengan ilmu pengetahuan bahkan dengan hal-hal yang rasional.20 Ritual menurut Durkheim adalah suatu sistem ritus, pesta, dan ragam upacara yang mempunyai karakteristik yang selalu diulang-ulang secara periodok untuk mempererat dan memperkuat ikatan antara mereka dengan hal-hal yang sakral tempat mereka bergantung padanya.21 Sedangkan kepercayaan menurut Durkheim adalah perasaan para penganut terhadap hal-hal yang mereka hormati yang selalu ada yang menimbulkan rasa kagum ketimbang rasa takut, terutama berasal dari emosi yang sangat khusus bahwa “keagungan” (majesty) terdapat dalam diri manusia.22Fenomena keagamaan secara alami diatur dalam dua kategori yang mendasar yaitu kepercayaan dan ritual. Singkatnya bahwa kepercayaan adalah pikiran dan ritual adalah tindakan. Ritus dapat dibedakan dengan tindakan-tindakan praktis manusia lainnya misalnya tindakan moral (moral practice) berdasarkan kekhasan akibat apa yang terjadi objeknya. Seperti sebuah ritus, sebuah aturan moral menentukan cara kita bertingkah laku, ini mengekspresikan jenis objek yang berbeda dari objek ritus.23
20
James Hastings, Encyclopaedia of religion and ethics, volume 10, 405 Idem, Sejarah Agama, The Elementary Froms of the Relegion Life, diterjemahkan ridwan Muzir dkk, (Jogyakarta:IRCiSOd,2006), 101. 22 Ibbid, 100. 23 Durkhem, Sejarah Agama-Agama,,,,,66 21
17
Dalam hubungan dengan ritus perkawinan yang tersurat dalam adat perkawinan ditegaskan tentang kewajiban anak-anak untuk menunjukan penghormatan kepada orang tua mereka, sebab orang tua dipercayai sebagai representasi yang ilahi. Mereka adalah Allah yang kelihatan dengan kata lain Allah dan kehendaknya dimanifestasikan dalam kehendak orang tua. Karena itu menurut Durkheim karakter ritus akan ditentukan oleh kepercayaan. Hanya dengan mendefinisikan kepercayaan maka kita akan dapat mendefinisikan ritus. Durkheim juga membagi ritual dalam dua bagian, yaitu ritual negatif dan ritual positif. Kedua aspek ini saling berhubungan satu dengan yang lain. Ritual negatif berfungsi untuk membedakan antara yang sakral dan yang profan. Yang kemudian juga berhubungan dengan larangan-larangan atau oleh para etnografi disebut sebagai taboo. Sedangkan ritual yang positif adalah hal yang disebut dengan menirukan atau imitatif. Ritual dilakukan dengan cara melakukan gerakangerakan atau teriakan-teriakan, tiruan dari sikap dan aspek hewan-hewan tertentu. Menurut Susanne Langer ritual merupakan ungkapan yang bersifat logis dari pada hanya bersifat psokologis. Ritual memperlihatkan tatanan atas simbol-simbol yang diobjekkan. Simbol-simbol ini mengungkapkan perilaku dan perasaan serta membentuk disposisi pribadi dari pada para pemuja mengikut modelnya masing-masing.24 Ritual dibedakan menjadi 4 macam: 1. Tindakan magi yang dikaitkan dengan pengunaan bahan-bahan yang bekerja karena daya-daya mistis. 2. Tindakan religius, kultus para leluhur, juga bekerja dengan cara ini;
24
Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi agama, (Yogyakarta; kanisius, 1995), 174
18
3. Ritual konstitutif yang mengunakan atau mengubah hubungan sosial dengan merujuk pada pengertian-pengertian mistis, dengan cara ini upacara-upacara kehidupan menjadi khas. 4. Ritual faktitif yang meningkatkan produktifitas atau kekuatan, atau pemurnian dan perlindungan atau dengan cara lain meningkatkan kesejahteraan materi suatu kelompok.25 Tujuan ritual selalu untuk mempromosikan kesadaran klan, untuk membuat orang merasa menjadi bagiannya, dan untuk memeliharanya dalam cara yang terpisah dari yang profan, fungsi dari ritual adalah; pertama ritus itu mengikat anggota-anggota klan menjadi satu, dan yang kedua ritus secara kolektif, dalam saat-saat konsentrasi memperbaharui rasa solidaritas pada mereka. Ritual-ritual ini membangkitkan kegairahan, dimana semua kesadaran individualitas lenyap dan semua orang merasa dirinya sebagai satu kolektifitas didalam dan melalui benda-beda suci mereka.26 Tujuan ritual kadang-kadang untuk menjamin perubahan amat cepat dan menyeluruh pada keadaan ahir yang diinginkan oleh pelaku upacara. Kadang-kadang tujuannya untuk mencegah perubahan yang tidak diinginkan. Kadangkala targetnya juga adalah suatu aspek hakikat bukan manusia; kadang kala manusiawi; kadang kala individu; atau suatu kelompok, perubahan yang dimaksud kadang merupakan suatu perubahan kecil, suatu koreksi yang akan memulihkan keseimbangan dan status quo, melestarikan gerakan sistem dalam ikatan-ikatan;
25 26
Ibbid, 175 Evans E Pritchard, Teori-Teori Tentang Agama Primitive, 81
19
kadang menyakut perubahan sistem yang radikal, tercapainya level keseimbangan baru atau bahkan kualitas baru dalam organisasi.27 Kesimpulan. Demikian deskripsi teoritis tentang makna dan proses perkawinan sebagaimana terstruktur dalam budaya dan lembaga adat masyarakat disertai elemen-elemen nilai yang terkandung di dalamnya antara lain ; penghormatan kepada orang tua ritual-ritual makna dari semua elemen itu sebagaimana yang dipahami oleh para paham budaya dan ilmu-ilmu sosial. Tiba saatnya kita akan mendalami dan mendeskripsikan pemahaman masyarakat suku meto di meto tentang pokok-pokok tadi. Sebagaimana yang di proritaskan dalam tradisi Op ut tes tuadalam ritus perkawinan mereka. Deskripsi itu akan penulis buat dalam bab yang berikut.
27
Mariasusai Dhavamoni, Fenomenologi Agama, (Yogyakarta; kanisius, 1995), 180
20