BAB II KAJIAN PUSTAKA
A. Kebudayaan Kata kebudayaan berasal dari kata Sansekerta yaitu Buddhayah, yaitu bentuk jamak dari buddhi yang berarti “budi atau akal”. Kebudayaan dalam bahasa Latin berasal dari kata “colere” yang berarti mengolah, mengerjakan terutama mengolah tanah. Dari arti ini berkembang arti culture sebagai segala daya dan usaha manusia untuk merubah alam. Sedangkan pengertian kebudayaan menurut ilmu antropologi, kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan, dan hasil karya manusia dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia dengan belajar. (Koentjaraningrat 1969:76). Istilah kebudayaan umumnya mencakup cara berpikir dan cara berlaku yang telah merupakan ciri khas suatu bangsa atau masyarakat tertentu. Sehubungan dengan itu maka kebudayaan terdiri dari hal-hal seperti bahasa, ilmu pengetahuan, hukum-hukum, kepercayaan, agama, kegemaran makanan tertentu, musik, kebiasaan pekerjaan, larangan-larangan, dan lain-lain. (Ihromi, 1980:7). Ralph Linton menjelaskan bagaimana definisi kebudayaan dalam kehidupan sehari-hari yaitu bahwa kebudayaan adalah seluruh cara hidup dari masyarakat yang manapun dan tidak hanya mengenai sebagian dari cara hidup itu yaitu bagian yang oleh masyarakat dianggap lebih tinggi atau lebih diinginkan. Tiap masyarakat mempunyai kebudayaan, bagaimana sederhananya kebudayaan itu dan setiap manusia adalah mahkluk berbudaya, dalam arti mengambil bagian
7
dalam suatu budaya (Ihromi, 1980:18). Sedangkan menurut Soekmono, kebudayaan ialah hasil usaha manusia untuk mengubah dan memberi bentuk serta susunan baru kepada pemberian Tuhan sesuai dengan kebutuhan jasmani dan rohaninya (Soekmono, 1983:9). Tujuh unsur kebudayaan sebagai cultural universals adalah (Koentjaraningrat, 1969:76): 1. Peralatan dan perlengkapan hidup manusia (pakaian, perumahan, alat-alat rumah tangga, senjata, alat-alat produksi, transport, dan sebagainya) 2. Mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, peternakan, sistem produksi, sistem distribusi, dan sebagainya) 3. Sistem kemasyarakatan (sistem kekerabatan, organisasi politik, sistem hukum, sistem perkawinan) 4. Bahasa (lisan maupun tertulis) 5. Sistem pengetahuan 6. Kesenian 7. Religi Unsur – unsur yang telah disebutkan Koentjaraningrat tersebut dapat dilihat dalam tiga wujud kebudayaan, yaitu : 1. Wujud ideal merupakan ide-ide, gagasan dan norma. Wujud ini sering disebut sebagai sistem budaya. Wujud kebudayaan sebagai suatu yang kompleks dari ide-ide, gagasan-gagasan, nilai-nilai, norma-norma dan sebagainya. Wujud ini berada pada alam pikiran dari warga masyarakat atau dapat pula berisi tulisan-tulisan, karangan-karangan warga yang bersangkutan.
8
2. Merupakan suatu komplek tindakan atau aktivitas yang berpola dari manusia dalam masyarakat. Wujud ini sering disebut wujud sosial. 3. Wujud kebudayaan fisik sebagai hasil nyata dari karya manusia yang disebut artefak. Wujud kebudayaan ini sebagai benda-benda hasil karya manusia, yang berupa kebudayaan fisik yang berbentuk nyata yang merupakan hasil karya masyarakat yang bersangkutan. (Koentjaraningrat, 1984: 207). Ketiga wujud dari kebudayaan tersebut, tentu tidak terpisah dari satu dengan yang lain. Kebudayaan ideal dengan adat-istiadat mengatur dan memberi arah kepada perbuatan dan karya manusia. Baik pikiran-pikiran dan ide-ide, maupun perbuatan dan karya manusia, menghasilkan benda-benda kebudayaan fisiknya. Bahwa kebudayaan tidaklah bersifat statis, ia selalu berubah, tanpa adanya gangguan yang disebabkan leh masuknya unsur budaya assing sekalipun suatu kebudayaan dalam masyarakat tertentu, pasti akan berubah dengan berlalunya waktu. Dalam setiap kebudayaan selalu ada suatu kebebasan tertentu pada para individu dan kebebasan individu diperkenalkan variasi dalam cara-cara berlaku dan variasi itu yang pada akkhirnya dapat menjadi milik bersama, dan dengan demikian di kemudian hari menjadi bagian dari kebudayaan. (Ihromi, 1980: 32). Dua ahli antropologi A.L. Kroeber dan C. Kluckhohn telah menyimpulkan dalam buku “Culture, a Critical Review of Concepts and Definitions bahwa kebudayaan terdiri dari pola-pola yang nyata maupun tersembunyi, dari, dan untuk perilaku yang diperoleh dan dipindahkan dengan simbol-simbol, yang menjadi hasil-hasil yang tegas dari kelompok-kelompok manusia, termasuk
9
perwujudannya dalam barang-barang buatan manusia, inti yang pokok dari kebudayaan terdiri dari gagasan tradisional yaitu yang diperoleh dan dipilih secara historis dan khususnya nilai-nilai yang tergabung. Dilain pihak, sistem kebudayaan dapat dianggap sebagai hasil tindakan sedangkan dipihak lain sebagai unsur-unsur yang mempengaruhi tindakan selanjutnya. (Budiono Herusatoto, 1984:9). B. Upacara Tradisional Tradisi (Bahasa Latin : traditio, “diteruskan”) atau kebiasaan, dalam pengertian yang paling sederhana adalah sesuatu yang telah dilakukan sejak lama dan menjadi bagian dari kehidupan suatu kelompok masyarakat. Biasanya dari suatu negara, kebudayaan, waktu, atau Agama yang sama.
Hal yang paling
mendasar dari tradisi adalah adanya informasi yang diteruskan dari generasi ke generasi baik tertulis maupun (sering kali) lisan, karena tanpa adanya ini, suatu tradisi dapat punah. Dalam pengertian lain tradisi adalah adat-istiadat atau kebiasaan yang turun-temurun yang masih dijalankan di masyarakat. “Upacara tradisional merupakan suatu kegiatan sosial yang melibatkan warga masyarakat pendukungnya dalam usaha bersama untuk mencapai tujuan keselamatan, yang mengandung aturan-aturan yang wajib dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga masyarakat”(Depdikbud, 1984: 1). Upacara-upacara tradisional merupakan perwujudan dari pelaksanaan proses sosialisasi dalam masyarakat tradisional sebagai kegiatan sosial yang melibatkan masyarakat pendukungnya dan dapat menimbulkan pengaruh terhadap perkembangan aspek-
10
aspek kehidupan lain, seperti gotong royong, solidaritas, kekeluargaan, ketaqwaan, dan lain-lain. Selain itu upacara tradisional juga mengandung pengertian sebagai berikut: ”Istilah upacara menunjuk pada sebuah prosesi kegiatan tertentu, oleh karena itu upacara dapat berupa aturan resmi, seremoni, rangkaian tindakan yang terikat pada aturan, kebiasaan yang berlaku sebagaimana dari sebuah perayaan”. (Badudu dan Zain, 1994: 1595). Badudu dan Zain juga menjelaskan bahwa apa yang dilakukan itu sudah menurut tradisi atau adat istiadat atau sudah menjadi kebiasaan dan tetap dilakukan seperti itu secara turun menurun dari dahulu hingga sekarang. Dari beberapa pengertian di atas, terdapat beberapa hal yang penting yaitu: 1. Upacara tradisional sebagai suatu kegiatan sosial yang dilakukan oleh sekelompok warga masyarakat, dimana warga masyarakat tersebut memiliki keyakinan bahwa hal tersebut sebagai sarana untuk mencapai tujuan. 2. Upacara tradisional dalam pelaksanaannya mengandung aturan-aturan yang harus dipenuhi dan dilaksanakan oleh warga pendukungnya. 3. Upacara tradisional dilakukan menurut tradisi atau adat istiadat atau sudah menjadi kebiasaan dan tetap dilakukan secara turun temurun dari dahulu hingga sekarang. (Badudu dan Zain, 1994: 1595).
11
C. Jenis – Jenis Upacara Tradisional Upacara – upacara di Indonesia secara garis besarnya dapat di bagi menjadi: 1. Upacara tradisional kaitannya dengan alam, upacara yang berhubungan dengan dunia gaib dan peristiwa – peristiwa alam. 2. Upacara – upacara yang berhubungan dengan sosial. Upacara tradisional ini berhubungan erat dengan adanya suatu harapan keselamatan seseorang maupun keselamatan orang tertentu agar tercapai tujuan keselamatan dalam hidupnya, serta dijauhkan dari makhluk halus dan perbuatan yang dapat menyebabkan kecelakaan atau kerugian. 3. Upacara tradisional yang berkaitan dengan mitos, yaitu upacara yang mengandung pemujaan terhadap seorang tokoh yang memiliki kekuasan terhadap alam. 4. Upacara tradisi yang berkaitan dengan legenda, dalam kaitannya dengan jenis ini dapat dilakukan klasifikasi sebagai berikut a. Legenda yang dianggap mempunyai daya kemampuan hebat atau benarbenar terjadi di kehidupan masyarakat setempat. b. Legenda yang menceritakan tentang kejadian di suatu tempat baik menyangkut nama tempat, maupun bentuk topografi. (James Danandjaja, 1984:75). Dalam hal ini Grebeg Gethuk menggunakan jenis upacara tradisional yang berhubungan dengan sosial.
12
D. Kerumunan Kerumunan adalah sekumpulan orang yang berada di suatu tempat tanpa ada hubungan yang tetap satu dengan yang lain. Ciri-ciri kerumunan yaitu : 1. Orang-orang dalam suatu kerumunan tidak saling mengenal. Mereka semua relatif asing. 2. Suatu kerumunan tidak terorganisasi. Didalamnya tidak terdapat struktur, tingkatan kedudukan atau tingkatan jabatan. 3. Meskipun dalam suatu kerumunan sosial terdapat kedekatan fisik, kontak batin maupun hubungan sosial tidak ada. Bilamana terjadi hubungan tersebut sifatnya sangat lemah dan singkat. 4. Tingkah laku orang dalam kerumunan hampir tidak terpengaruh oleh kerumunan itu. Setiap orang dapat masuk dan keluar dengan bebas, karena ia merasa bebas dari kontrol resmi masyarakat. Bahkan orang dapat berbuat sesuatu hal yang janggal yang tidak ia lakukan bilamana ia berada di dalam kelompoknya atau keluarganya. 5. Kebanyakan kerumunan hanya terwujud hanya pada tempat tertentu dan hanya untuk sementara waktu. Pengaruhnya di luar tempat dan waktu tersebut hampir tidak ada karena tidak adanya kesinambungan dalam perjumpaan mereka. 6. Sebagai pengaruh kumulatif dari ciri-ciri diatas orang di dalam kerumunan kehilangan identitasnya, atau bahkan dengan sengaja menyembunyikan kepribadiannya, tidak mau diperlakukan sesuai dengan status sosialnya. (Hendropuspito, 1989: 35-36).
13
Kerumunan dalah kehadiran seseorang secara fisik,dan seseorang tersebut juga bersifat sementara (temporer). Kerumunsn dibsgi menjadi 3 yaitu: 1. Kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial. Formal audience (halayak penonton/pendengar formal) kerumunan yang perhatiannya dan tujuan yang sama namun bersifat pasif. Contoh: para jamaah sholat Idul Adha. Planned expressive group Kerumunan yang tak mementingkan pusat perhatian tetapi punya persamaan tujuan yang di cerminkan dalam kegiatan kerumunan tersebut. Contoh: orang berekreasi, berdansa, pesta. 2. Kerumunan yang bersifat sementara Inconvenient agregantion (kerumunan yang tidak menyanangkan) suatu kerumunan di katakana kurang menyenangkan karena ada orang lain yang menghalangi tujuannya. Contoh: antrian tiket mudik lebaran Panic crowds (kerumunan dalam keadaan panik) orang yang ada pada satu tempat tertentu karena berusaha menyelamatkan diri dari suatu bahaya. Contoh: kerumunan pengungsi gempa bumi Spector causar crowds (kerumunan penonton) terjadi karena orang-orang ingin melihat suatu peristiwa tertentu, biasanya kerumunan ini berhubungan dengan khalayak penonton.
14
3. Kerumunan yang berlawanan dengan norma-norma hukum Actinglawless crowds (kerumunan emosional) kerumunan dengan tujuan tertentu yang menggunakan kekuatan fisik yang berlawanan dengan normanorma pergaulan hidup bersangkutan. Contoh: demonstrasi Immoral lawless crowds (kerumunan tak bermoral) kerumunan berlawanan dengan norma-norma pergaulan hidup bersangkutan. Contoh: para pemabuk (Douglas J. Goodman, 2003: 70). “Grebeg” berasal dari kata “gumrebeg” yang berarti riuh, ribut, dan ramai atau secara umum kerumunan . Grebeg mempunyai arti dihadiri atau dikerumuni orang banyak secara bersama-sama. Tentu saja ini menggambarkan suasana kebersamaan dalam perayaan grebeg yang memang ramai dan riuh. Grebeg Gethuk ini menggunakan teori kerumunan berartikulasi dengan struktur sosial. E. Simbolisme Segala bentuk simbolisme itu adalah merupakan sebuah alat perantara aau media untuk menuliskan segala macam bentuk pesan atau pengertian atau pengetahuan kepada masyarakat. Hal tersebut dapat dipertanggung-jawabkan dengan penjelasan sebagai berikut : 1. Bertujuan atau mengandung maksud untuk dapat dilihat, diingat, dipahami dalam simbol tersebut. 2. Tidak semua simbol dapat dituliskan dalam sebuah surat atau buku. 3. Maksud untuk mengadakan komunikasi seluas-luasnya, termasuk juga komunikasi religius, maka jalan keluarnya dapat ditempuh melalui sarana atau media sebagai berikut:
15
a. Dengan bahasa lesan, seperti semboyan yang dapat disebarluaskan dengan cara berantai dari stau orang ke yang lainya, agar mencapai jangkauan yang luas dan mudah. b. Dengan tindakan, yang seperti yang disimbolkan dalam upacara-upacara tradisi dan budaya, hal ini dapat mudah ditiru dan dicontoh dengan gampang seluas-luasnya. c. Dengan benda-benda,dengan membuat benda-benda dengan bentuk tertentu, atau menggunakan benda-benda tertentu, dapat dititipkan pesan-pesan yang tertentu atau terbatas sesua kondisi atau keadaan ketika benda-benda atau bentuk-bentu dibuat. d. Dengan hal-hal seperti misalnya suasana yang syahdu atau riang gembira, suasana yang remang-remang atau ceria, suasana yang melankolik atau yang hingar bingar, suasana tersebut dapat menyampaikan pesan duka atau bahagia. Bahwa sebenarnya simbolisme dari yang paling primitif sampai yang modern merupakan suatu media penyampaian pesan dari suatu generasi kepada masyarakat segenerasinya ataupun kepada generasi-generasi berikutnya. Biasanya pesan yang ingin disampaikan adalah pesan moral. (Budiono Herusatoto, 2008:191-193). F. Makanan Makanan adalah yang tumbuh di sawah, ladang dan kebun. Ia juga dapat berasal dari laut, atau dipelihara di halaman, padang rumput atau di daerah peternakan, yang dapat dibeli di pasar, di warung, dan di rumah makan. Walaupun
16
ada orang yang senag untuk mencoba mencicipi makanan asing, namun pada umumnya orang-orang lebih senang dengan menu yang sudah terbiasa bagi mereka (James Danandjaja, 1984: 182-184). Cara penyajian makanan dapat bersifat sederhana, tetapi dapat juga megah. Tujuan penyajian makanan dapat untuk orang hidup, tetapi juga untuk roh orang mati, roh pribadi yang masih hidup, roh leluhur, roh halus lainnya atau juga untuk Tuhan. Perbedaan perlakuan ini diadakan karena maksudnya berbeda. Yakni jika maksud persembahan kepada dewa adalah untuk menunjukkan rasa bakti, hormat, terimakasih. Cara penyajian makanan untuk sehari-hari memang sangat sederhana. Namun, untuk pesta atau upacara adalah lebih rumit, bahkan seringkali juga lebih sedap dipandang daripada dimakan. Dari cara menyajikan makanan dapat juga dijadikan ukuran mengenai taraf perkembangan dari kebudayaan suatu bangsa. (James Danandjaja, 1984: 187). Jenis makanan mempunyai arti simbolik dalam arti mempunyai arti sosial, agama, dan lain-lain. Arti sosial dalam arti mempunyai fungsi kemasyarakatan seperti untuk mempererat kesatuan desa, memperkukuh kedudukan golongan tertentu dalam masyarakat, membedakan status golongan berdasarkan perbedaan seks, usia, kasta, dan lain-lain. Secara simbolis makanan memiliki fungsi sebagai berikut : 1. Makanan sebagai ungkapan ikatan sosial Mungkin bagi setiap masyarakat menyajikan makanan mempunyai makna mempersembahkan cinta, kasih dan persahabatan. Dan menerima makanan
17
yang dipersembahkan kepadanya berarti mengakui dan menerima perasaan yang diungkapkan di atas dan membalasnya sesuai dengan itu. 2. Makanan sebagai ungkapan solidaritas kelompok Diantaranya beberapa suku bangsa di Indonesia terutama yang berpendidikan Barat, makan bersama persama pada malam hari sering berfungsi untuk memelihara solidaritas keluarga. Jika hal ini tidak dapat diadakan setiap hari, sedikinya akan dilakukan setiap ada kesempatan, seperti untuk memperingati kejadian penting dalam daur hidup seseorang, hari raya yang berhubungan dengan keagamaan dan lain-lain. Dan biasanya makanan yang disajikan bersifat tradisional baik dari keluarganya maupun suku bangsanya. 3. Makanan dan ketegangan jiwa. Makanan tertentu dapat lebih menggambarkan identitas suatu kelompok dapipada
benda-benda
kebudayaan
lainya
bagi
kelompok
yang
mempergunakannya. Hal ini disebabkan karena ia dapat mengembalikan ketenangan orang yang sedangmengalami ketenangan jiwa. (James Danandjaja, 1984: 187-189). G. Penelitian Yang Relevan Dalam penelitian Hanif Zulianti tahun 2008 tentang “Simbolisme Grebeg Suro Di Kabupaten Ponorogo: Penelitian ini bertujuan untuk mendapatkan gambaran yang lebih memadai tentang nilai-nilai simbolik dalam tradisi Grebeg Suro. Penelitian ini dilakukan di Ponorogo selama enam bulan. Hal ini yang membedakan dengan penelitian Grebeg Gethuk. Dalam penelitian grebeg Gethuk menggunakan kualitatif deskriptif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prosesi
18
Grebeg Suro Ponorogo mengandung nilai-nilai simbolik religius dan budaya. Nilai-nilai religius berupa ungkapan rasa syukur dengan melakukan tirakatan (banyak berdzikir dan beramal soleh) dan kenduri (selamatan berbagi rezeki), serta menjalin silaturahmi antarwarga. Selain nuansa religi, nuansa budaya juga mewarnai pembukaan Grebeg, yaitu dengan diadakannya Tari Reog massal yang diadakan di Alun-alun Ponorogo, kirab pusaka, pemilihan duta wisata, kakang senduk, acara Larung Risalah dan doa. Setiap perlengkapan prosesi mengandung makna simbolik untuk menyampaikan pesan-pesan kebudayaan melalui media seni. (Hanif Zulianti, Skripsi, 2008 tentang “Simbolisme Grebeg Suro Di Kabupaten Ponorogo”).
19
H. Kerangka Berfikir SEJARAH
KEBUDAYAAN
Teknologi
Bahasa
Organisasi Sosial
Religi
Pengetahuan
Kesenian
Mata Pencaharian
Tradisi
Makanan Tradisional
Grebeg
Gethuk
Grebeg Gethuk
Makna simbolik yang terkandung di dalam Grebeg Gethuk di Kota Magelang
Nilai-nilai yang terkandung di dalam Grebeg Gethuk di Kota Magelang
20