BAB II KAJIAN PUSTAKA 2.1 Otonomi Daerah Kata otonomi tersebut berasal dari kata Yunani yaitu autos berarti sendiri dan nomos berarti hukum atau aturan. Adapun pengertian otonomi daerah menurut Undang-Undang nomor 22 tahun 1999 junto Undang-undang nomor 32 tahun 2004 bahwa otonomi daerah adalah kewenangan daerah otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundangundangan.
Pemberian
kewenangan
itu
sendiri
didasarkan
kepada azas
desentralisasi dalam wujud otonomi yang luas, nyata dan bertanggungjawab. Untuk menyelenggarakan otonomi daerah ini tentunya diperlukan kewenangan dan kemampuan menggali sumber-sumber keuangan sendiri dan juga didukung oleh perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Menurut Kaho (1997) bahwa kemampuan daerah dalam bidang keuangan menentukan keberhasilan penyelenggaraan otonomi daerah, karena kemampuan keuangan merupakan salah satu indikator penting untuk mengukur tingkat otonomi suatu daerah. Adapun prinsip - prinsip pemberian otonomi daerah itu sendiri sebagaimana pada UU Nomor 22 Tahun 1999 junto undang-undang nomor 32 tahun 2004, adalah : 1) penyelenggaraan otonomi daerah dilaksanakan dengan memperhatikan aspek demokrasi, keadilan, pemerataan, serta potensi dan keanekaragaman daerah;
10
11
2) pelaksanaan otonomi daerah didasarkan pada otonomi luas, nyata dan bertanggungjawab; 3) otonomi daerah yang luas dan utuh tersebut diletakkan pada daerah Kabupaten/Kota; 4) pelaksanaannya otonomi daerah harus sesuai dengan konstitusi negara; 5) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan kemandirian daerah otonom; 6) Otonomi daerah harus lebih meningkatkan peranan dan fungsi legislatif; 7) asas dekosentrasi diletakkan pada daerah propinsi; 8) tugas pembantuan dapat dari pemerintah pusat kepada daerah dan dapat juga dari pemerintah daerah kepada desa yang disertai pembiayaannya. Sesuai dengan amanat undang-undang Otonomi daerah Undang –undang Nomor 32 Tahun 2004 dan Nomor 33 Tahun 2004, penyerahan wewenang diikuti dengan penyerahan 3P (Personalia, Pembiayaan dan Prasarana/aset). 1) Personalia, Penyerahan atau pengalihan status pegawai pusat menjadi pegawai daerah dimaksudkan dalam rangka mendukung tugas-tugas yang dibebankan kepada daerah sehingga secara teknis tugas-tugas yang dilimpahkan tersebut tidak terhambat pelaksanaanya sebagai akibat dari tidak tersedianya sumber daya manusia. 2) Pembiayaan, Dari aspek pembiayaan, pelaksanaan undang-undang nomor 32 Tahun 2004 tentang
perimbangan
keuangan
dimaksudkan
untuk
mendukung
terselenggaranya pemerintahan didaerah sesuai dengan kewenangan yan diberikan. Adapun yang menjadi kompenen dari dana perimbangan yang
12
diterima oleh daerah antara lain sebagai berikut : Dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK). 3) Prasarana dan sarana (aset). Dalam mendukung kewenangan yang dilimpahkan ke daerah, maka pemerintah pusat juga menyerahkan berbagai aset sehingga menjadi aset daerah. Beberapa aset tersebut, antara lain berupa gedung-gedung kantor termasuk tanah dan sarana mobilitas. Namun tidak seluruh aset pusat diserahkan kepada daerah, antara lain tempat penginapan dari Departemen Pekerjaan Umum, dan Aset milik Departemen Perhubungan seperti Bandara dan pelabuhan. Hambatan-hambatan
dalam
impledilihat
dari
beberapa
aspek
yaitu
diantaranya: 1)
Aspek Pemerintahan, pelaksanaan
otonomi
daerah
disatu sisi sangat
memberikan harapan untuk cepat-cepat meraih satu kemajuan karena adanya kebebasan seluas-luasnya untuk mengatur sendiri pemerintahan, disisi lain dalam pelaksanaannya belum sepenuhnya ditopang oleh Sumber Daya Manusia yang memadai. 2) Aspek Keuangan, Pendapatan Asli Daerah rendah, karena sebagian besar daerah kabupaten/ kota di Bali, kecuali Kabupaten Badung dan Kota Denpasar memiliki pendapatan asli daerah sangat kecil sehingga tidak mampu membiayai pembangunan sesuai dengan kewenangan yang dilimpahkan. Dalam
13
memenuhi kebutuhan pembiayaan daerah-daerah masih sangat tergantung dari kucuran dana pusat, seperti dana DAU,DAK dan lainnya. 2.2 Kemandirian keuangan daerah Hasil penelitian otonomi daerah yang dilakukan oleh Fisipol UGM bekerja sama dengan Badan Litbang Depdagri (1991) menyatakan bahwa ada 6 macam faktor yang digunakan untuk mengukur kemampuan suatu daerah melaksanakan otonomi daerah, yaitu kemampuan keuangan daerah, kemampuan aparatur, kemampuan aspirasi masyarakat, kemampuan ekonomi, kemampuan organisasi dan demografi. Adapun yang dimaksud dengan kemampuan keuangan itu sendiri adalah kemampuan daerah membiayai segala urusan rumah tangganya baik pemerintahan maupun pembangunan dengan menggunakan pendapatan yang berasal dari daerah itu sendiri atau PAD (Pendapatan Asli Daerah). Kemandirian daerah dapat dilihat dari besarnya derajat desentralisasi fiskal suatu daerah, yaitu dengan
menggunakan
variabel
pokok
kemampuan
keuangan
daerah.
Kemampuan keuangan daerah dapat dilihat dari rasio Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (seluruh penerimaan daerah yang bersangkutan), sehingga peningkatan Pendapatan Asli Daerah erat kaitannya dengan kemandirian keuangan suatu daerah. Menurut Santoso (1995), walaupun PAD tidak dapat
seluruhnya
membiayai APBD, tetapi proporsi PAD terhadap total penerimaan
tetap
merupakan indikasi derajat kemandirian keuangan suatu pemerintah daerah. Hal yang sama dikatakan Kuncoro (1995) bahwa indikator desentralisasi fiskal adalah rasio antara PAD dengan total APBD.
14
Menurut Kuncoro (1995), pembangunan terutama fisik yang cukup pesat selama orde baru merupakan akibat dari kebijakan fiskal yang sentralistis, tetapi di sisi lain ketergantungan fiskal antara daerah terhadap pusat juga semakin besar. Kertergantungan daerah yang tinggi terhadap pusat mengakibatkan pemerintah pusat memiliki kontrol yang kuat terhadap daerah dalam berbagai kebijakan pengelolaan keuangan daerah dan pembangunan. Hal ini akan membatasi pemberdayaan masyarakat, prakarsa dan kreatifitas dan peran serta masyarakat. Menurut Halim (2002) kemandirian keuangan daerah dapat dicari dengan rumus Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF), yaitu :
DDFt =
PADt × 100% TPDt
.........................................................
(1)
Sehubungan dengan ini, penelitian yang dilakukan Fisipol UGM bekerja sama dengan Badan Litbang Depdagri untuk mengukur kemampuan daerah tingkat II dalam rangka pelaksanaan otonomi daerah pada tahun 2001, menggunakan nilai persentase PAD terhadap APBD tersebut yang disebut derajat desentralisasi fiskal (DDF). Tingkat kemandirian fiskal antara Pemerintah Pusat dan Daerah dapat dipelajari dengan melihat pada besarnya Derajat Desentralisasi Fiskal (DDF). Menurut hasil Penelitian Tim Fisipol UGM (1991) persentase perbandingan antara PAD terhadap TPD menggunakan skala interval berikut :
15
Tabel 2.1 Skala Interval Derajat Desentralisasi Fiskal PAD/TPD (%)
Kemampuan Keuangan Daerah
0,00 – 10,00
Sangat Kurang
10,10 – 20,00
Kurang
20,10 – 30,00
Sedang
30,10 – 40,00
Cukup
40,10 – 50,00
Baik
> 50,00
Sangat Baik
Sumber : Fisipol UGM (1991)
Penentuan tolok ukur kemampuan keuangan daerah dilihat dari rasio antara Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap Total Pendapatan Daerah (TPD) tersebut dinilai wajar mengingat sebagian besar sumber penerimaan di daerah telah dijadikan pajak sentral dan dipungut oleh Pemerintah Pusat, sehingga kontribusi pajak daerah dan retribusi serta Pendapatan Asli Daerah lainnya terhadap total penerimaan daerah sangat kecil. Berdasarkan hasil penelitian tersebut, Pemerintah Pusat mengkategorikan bagi daerah yang rasio PAD terhadap TPD berada diatas 30 persen dinyatakan cukup mampu dalam pelaksanaan otonomi dilihat dari sisi keuangannya. Menyadari hal tersebut Pemerintah Pusat setiap tahun anggaran selalu memberikan subsidi dan bantuan kepada daerah.
2.3 Pendapatan Asli Daerah (PAD)
16
Menurut UU Nomor 32 tahun 2004, Bab V Keuangan Daerah, pasal 6 bahwa sumber-sumber Pendapatan Asli Daerah meliputi : 1) pajak daerah; 2) retribusi daerah; 3) perusahaan milik daerah dan hasil pengelolaan kekayaan daerah lainnya yang dipisahkan; 4) lain-lain pendapatan asli daerah yang sah, meliputi: (1) hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak terpisahkan; (2) hasil jasa giro; (3) pendapatan Bunga; (4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing dan; (5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh daerah. Adapun pengertian pajak daerah menurut UU nomor 28 tahun 2009 adalah Pajak Daerah, yang selanjutnya disebut Pajak, adalah kontribusi wajib kepada Daerah yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan Undang-Undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan Daerah bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Jenis pajak menurut pasal 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tersebut adalah sebagai berikut :
1) Jenis Pajak provinsi (ayat 1) terdiri atas:
17
(1) Pajak Kendaraan Bermotor; (2) Bea Balik Nama Kendaraan Bermotor; (3) Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor; (4) Pajak Air Permukaan; dan (5) Pajak Rokok. 2) Jenis Pajak kabupaten/kota (ayat 2) terdiri atas: (1) Pajak Hotel; (2) Pajak Restoran; (3) Pajak Hiburan; (4) Pajak Reklame; (5) Pajak Penerangan Jalan; (6) Pajak Mineral Bukan Logam dan Batuan; (7) Pajak Parkir; (8) Pajak Air Tanah; (9) Pajak Sarang Burung Walet; (10) Pajak Bumi dan Bangunan Perdesaan dan Perkotaan; dan (11) Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan. Sedangkan pengertian Retribusi Daerah menurut UndangUndang Nomor 28 Tahun 2009 yang selanjutnya disebut Retribusi, adalah pungutan Daerah sebagai pembayaran atas jasa atau pemberian
izin
tertentu
yang
khusus
disediakan
dan/atau
diberikan oleh Pemerintah Daerah untuk kepentingan orang
18
pribadi atau Badan. Secara garis besar obyek retribusi dapat digolongkan menjadi 3 bagian yaitu retribusi : (1) Jasa Umum; (2) Jasa Usaha; dan (3) Perizinan Tertentu. Pengertian perusahaan daerah berdasarkan UU nomor 52 tahun 1962, yaitu badan usaha milik daerah yang didirikan oleh pemerintah daerah dengan tujuan untuk menambah pendapatan daerah dan mampu memberikan rangsangan berkembangnya perekonomian daerah tersebut. Halim (2002) mengartikan perusahaan daerah merupakan unit organisasi dalam tubuh pemerintah daerah yang didirikan untuk menghasilkan pendapatan bagi pemerintah daerah yang mendirikan, dan prestasi perusahaan daerah tersebut diukur berdasarkan perbandingan antara laba yang dihasilkan dengan nilai investasi yang sudah dilakukan oleh pemerintah daerah sebagai investor. Sementara itu lain-lain pendapatan asli daerah yang sah diperoleh antara lain dari hasil : 1) penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan; 2) hasil jasa giro; 3) pendapatan bunga; 4) keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing; 5) komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau jasa oleh Daerah.
19
PAD diharapkan menjadi salah satu sumber APBD yang paling dominan karena kemampuan suatu daerah dalam membiayai urusan rumah tangganya dapat dilihat dari besar kecilnya PAD tersebut. Tanpa tersediannya sumber keuangan ini, maka akan kesulitan bagi daerah dalam upaya melaksanakan pelayanan dan pembangunan bagi masyarakat secara efektif dan efisien (Kaho:1997). Dengan demikian dapat dikatakan bahwa kemampuan daerah untuk melaksanakan otonomi daerah tersebut tergantung kepada 2 faktor yaitu : 1) kemampuan daerah tersebut untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri seperti pajak daerah, retribusi daerah, BUMD dan usaha-usaha lainnya; 2) bentuk perimbangan keuangan antara pusat dan daerah serta antar propinsi dan kabupaten/kota. Dari kedua faktor tersebut, faktor kemampuan daerah untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri tentunya menjadi faktor yang sangat penting, mengingat keterbatasan dan bahkan semakin terbatasnya keuangan pemerintah pusat itu sendiri, sehingga tepat apabila dikatakan bahwa indikator kemampuan keuangan suatu daerah dalam melaksanakan otonomi daerah dapat dilihat dari persentase. Perkembangan Pendapatan Asli Daerah belum menunjukkan perubahan yang signifikan dari kondisi sebelumnya dan berdasarkan permasalahan tersebut maka alternatif pemecahan masalah dapat dikemukakan sebagai berikut : 1) Perlu disediakan data yang akurat mengenai potensi sumber-sumber PAD yang dapat dikembangkan. 2) Diupayakan penataan tertib administrasi pemungutan yang lebih baik.
20
3) Perlu perencanaan dan pengawasan yang intensif guna mencegah timbulnya kebocoran dalam penerimaan. 4) Perlu
dilakukan
sosialisasi
dan
penyuluhan-penyuluhan
kepada
masyarakat secara berkesinambungan untuk meningkatkan kesadaran para wajib pajak/retribusi memenuhi kewajibannya. 2.4 Faktor –faktor yang Memengaruhi Potensi Pendapatan Asli Daerah Menurut Halim (2002) potensi PAD masing-masing daerah adalah berbeda sehingga memengaruhi kemandirian keuangan daerah. Beberapa variabel yang dapat memengaruhi potensi sumber-sumber PAD sebagai tolok ukur kemandirian daerah adalah sebagai berikut : 1) Kondisi awal suatu daerah (keadaan ekonomi dan sosial suatu daerah) Struktur ekonomi dan sosial suatu masyarakat menentukan tinggi rendahnya tuntutan akan adanya pelayanan publik sehingga menentukan besar kecilnya keinginan pemerintah daerah untuk menetapkan pungutan untuk meningkatkan kemandirian keuangan daerahnya. Tuntutan akan adanya pelayanan publik yang ada di masyarakat industri dan atau jasa adalah lebih besar daripada tuntutan pada masyarakat agraris (berbasis pertanian) 2) Perkembangan PDRB perkapita riil Semakin tinggi PDRB perkapita riil suatu daerah, semakin besar pula kemampuan masyarakat daerah tersebut untuk membiayai pengeluaran rutin dan pembangunan pemerintahannya. Dengan kata lain, semakin
21
tinggi PDRB per kapita riil suatu daerah, semakin besar pula potensi sumber penerimaam daerah tersebut, sehingga daerah dapat lebih mandiri 3) Pertumbuhan penduduk Besarnya pendapatan dapat dipengaruhi oleh jumlah penduduk. Jika jumlah penduduk meningkat maka pendapatan yang dapat ditarik akan meningkat dan kemandirian daerah juga dapat ditingkatkan. 4) Tingkat Inflasi Inflasi akan meningkatkan penerimaan PAD yang penetapannya didasarkan pada omzet penjualan, misalnya pajak hotel dan restoran. 5) Perubahan Peraturan Adanya peraturan-peraturan baru, khususnya yang berhubungan dengan pajak dan atau retribusi, dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah membuka peluang yang lebih luas untuk meningkatkan PAD. 6) Peningkatan cakupan atau ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan PAD. Ada tiga hal penting yang harus diperhatikan dalam usaha peningkatan cakupan ini, yaitu a) menambah objek dan subjek pajak dan atau retribusi; b) meningkatkan besarnya penetapan;
c) mengurangi
tunggakan. 7) Penyesuaian tarif Peningkatan pendapatan sangat tergantung pada kebijakan penyesuaian tarif. Untuk pajak atau retribusi yang tarifnya ditentukan secara tetap (flat) maka dalam penyesuaian tarif perlu mempertimbangkan laju inflasi.
22
Kegagalan menyesuaikan tarif dengan laju inflasi akan menghambat peningkatan PAD. Dalam rangka penyesuaian tarif retribusi daerah, selain harus memperhatikan laju inflasi, perlu juga ditinjau hubungan antara biaya pelayanan jasa dengan penerimaan PAD. 8) Pembangunan Baru Penambahan PAD juga dapat diperoleh bila ditopang oleh pembangunan sarana dan prasarana baru, seperti pembangunan pasar, pembangunan terminal, pembangunan jasa pengumpulan sampah, dan lain-lain. 9) Sumber Pendapatan Baru Adanya kegiatan usaha baru dapat mengakibatkan bertambahnya sumber pendapatan pajak atau retribusi yang sudah ada. Misalnya usaha persewaan laser disc, usaha persewaan komputer/internet dan lain-lain. 2.5 Otonomi Daerah dan Kemandirian Keuangan Daerah Menurut Undang-Undang Nomor 32 tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah, daerah otonom mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintah dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundanganperundangan, sedangkan desentralisasi adalah penyerahan wewenang pemerintah oleh pemerintah pusat kepada daerah otonom untuk mengatur dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, menggalakkan prakarsa dan peran serta aktif masyarakat serta peningkatan pendayagunaan potensi daerah secara optimal dan terpadu, secara nyata, dinamis dan bertanggung jawab sehingga memperkuat persatuan dan kesatuan bangsa, mengurangi beban pusat dan campur tangan di daerah yang akan memberikan peluang untuk koordinasi tingkat lokal. Jadi
23
dengan otonomi, daerah diharapkan lebih mandiri dan dapat mengurangi ketergantungan terhadap pemerintah pusat. Hal ini sesuai dengan Halim (2002) yang menyatakan bahwa ciri utama yang menunjukkan suatu daerah otonomi mampu berotonomi terletak pada kemampuan keuangan daerahnya. Artinya daerah otonomi harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan sendiri, sedangkan ketergantungan pada bantuan pemerintah pusat harus seminimal mungkin, sehingga otonomi daerah diharapkan dapat meningkatkan kemandirian keuangan daerah. Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah adalah dengan melihat lebih jauh seberapa besar kontribusi masing-masing sumber PAD terhadap total PAD, dan seberapa efektifnya targettarget perencanaan terhadap realisasinya serta dengan pola data masa lampau dipakai untuk mempelajari faktor-faktor penyebab perubahan untuk dimanfaatkan sebagai perencanaan masa yang akan datang, yaitu melalui : 1) Analisis Kontribusi Untuk mengetahui besarnya kontribusi masing-masing sumber APBD terhadap total APBD, kontribusi masing-masing sumber PAD terhadap total PAD, kontribusi masing-masing jenis pajak daerah terhadap total pajak daerah, kontribusi masing-masing jenis retribusi daerah terhadap total retribusi daerah, dan kontribusi masing-masing BUMD terhadap total bagian laba BUMD maka digunakan formulasi sebagai berikut (Widodo, 1990): KKSP =
KSP × 100 % TSP
........................................................
(2)
24
di mana : KKSP KSP TSP
adalah kontribusi komponen sumber penerimaan adalah besaran komponen sumber penerimaan adalah besaran total sumber penerimaan
2) Rasio Efektivitas Rasio efektivitas mengukur tingkat output dari organisasi sektor publik terhadap target-target pendapatan sektor publik. Pengkuran tingkat efektivitas memerlukan data-data realisasi pendapatan dan anggaran atau target pendapatan. Bila diformulasikan dalam rumus sebagai berikut (Mardiasmo, 2000) : Efektivita s =
Realisasi Penerimaan ×100 % Target Penerimaan
....................................
(3)
Efektivitas pemungutan suatu komponen penerimaan PAD dikatakan efektif bilamana persentase yang diperoleh dari rumus di atas semakin besar, demikian sebaliknya dikatakan tidak efektif bila persentase yang diperoleh semakin kecil. 3) Analisis Trend Linear Analisis trend ini digunakan untuk mengetahui pola data masa lampau, sehingga dapat digunakan untuk mempelajari faktor-faktor penyebab perubahan di masa lampau yang selanjutnya dapat dimanfaatkan untuk perencanaan masa mendatang (Boedijoewono, 1987). Menurut Nata Wirawan (2002), analisis ini digunakan untuk mengetahui Perkiraan penerimaan komponen potensial sumber-sumber PAD. Rasio Trend Sumber-sumber Penerimaan PAD daerah menggunakan persamaan trend linear yaitu Y = a + b X, dimana Y adalah nilai perkiraan kemandirian keuangan daerah, sedangkan X adalah periode waktu.
25
Trend dari sumber-sumber PAD Kabupaten Klungkung tahun 2009-2011 dengan rumus sebagai berikut : Y’ = a + b X
.............................................................................
(4)
di mana : Y’ adalah Penerimaan daerah yang diperkirakan (diestimasikan) a adalah intercept Y (nilai koefisien konstanta) yakni besarnya nilai Y, apabila X = 0 b adalah kemiringan garis trend (nilai koefisien X), yaitu perubahan variabel Y untuk setiap perubahan satu unit variabel X X adalah Pengkodean (periode waktu) Dimana dalam rumus ini untuk mencari nilai a dan nilai b adalah sebagai berikut : a =Σ Yi n b =Σ XiYi Σ Xi2 Rumus ini bisa dipergunakan jika tahun yang ditengah sama dengan nol. 2.6 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) adalah sejumlah nilai tambah (value added) yang timbul dari berbagai unit produksi disuatu wilayah dalam jangka waktu tertentu yang dinyatakan dalam rupiah. Mardiasmo (2000) menyebutkan bahwa unit-unit produksi tersebut dikelompokkan menjadi 10 sektor lapangan usaha, yaitu: a) Pertanian, b) Industri pengolahan c) Pertambangan dan Penggalian, d) Listrik, gas dan air bersih, e) Bangunan, f) Perdagangan, hotel dan restoran, g) Pengangkutan dan Komunikasi, h) Keuangan, persewaan dan jasa perusahaan i) Perbankan daerah, dan j) Jasa-jasa. Lincolin Arsyad (1993) memaparkan bahwa pembangunan yang berorientasi kepada kenaikan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) dan peningkatan
26
terhadap pendapatan perkapita masyarakat belumlah sepenuhnya memecahkan permasalahan dalam pembangunan. Meskipun target kenaikan Produk Domestik Regional Bruto pertahun telah tercapai, namun kehidupan masyarakat ini tidak mengalami perbaikan sama sekali. Dengan kata lain masalah distribusi pendapatan dalam masyarakat merupakan permasalahan yang perlu mendapat perhatian tersendiri. Produk Domestik Regional Bruto dapat dibedakan atas dasar harga berlaku dan atas harga konstan. PDRB atas dasar harga berlaku menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan berdasarkan harga-harga tahun berjalan. Sedangkan PDRB atas dasar konstan menunjukkan nilai tambah barang dan jasa yang dihasilkan berdasarkan harga tahun dasar. PDRB menurut harga konstan banyak digunakan untuk menganalisis suatu perkembangan, karena data ini memberikan informasi yang lebih riil setelah dikoreksi atas pengaruh inflasi. Berkaitan dengan hal itu maka PDRB dapat dihitung dengan 3 pendekatan (approach) yaitu; 1) Pendekatan produksi (production approach). 2) Pendekatan pengeluaran (expenditure approach). 3) Pendakatan pendapatan (income approach).
2.7 Hasil Penelitian Terdahulu Penelitian yang berkaitan dengan kemampuan keuangan suatu daerah untuk melaksanakan otonomi daerah sudah banyak dilakukan, dan dari beberapa penelitian tersebut ternyata hasilnya, kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluarannya di era sebelum otonomi maupun setelah otonomi
27
masih sangat rendah, akan tetapi penelitian yang sama ditujukan khusus pada Kabupaten Klungkung belum pernah dilakukan, nantinya hasil penelitian ini akan menjawab apakah akan sejalan dengan hasil penelitian yang dilakukan terdahulu tersebut.
Adapun beberapa hasil penelitian terdahulu yang mengkaji kemampuan keuangan suatu pemerintah daerah dalam membiayai pemerintahannya, antara lain sebagai berikut : 1) Kuncoro (1995), melakukan penelitian yang berkaitan dengan desentralisasi fiskal di Indonesia. Penelitian tersebut melihat sejauh mana upaya desentralisasi di Indonesia yang dikaitkan dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah berdasarkan derajat desentralisasi fiskal daerah. Variabel-variabel yang diamati dalam penelitian ini di antaranya APBD dan PAD serta belanja daerah untuk kurun waktu 1984-1990 dan alat analisis yang digunakan yaitu analisis kontribusi. Adapun kesimpulan yang diperoleh dari penelitian tersebut bahwa kontribusi Pendapatan Asli Daerah (PAD) terhadap total penerimaan daerah di 27 propinsi di Indonesia selama tahun 1984/1985 - 1990/1991 masih rendah rata-rata hanya 15,4 persen dan PAD hanya membiayai pengeluaran rutin daerah sebesar kurang dari 30 persen, ini berarti ketergantungan daerah terhadap pemerintah pusat tinggi. Penyebab utama ketergantungan fiskal di Indonesia setidaknya meliputi : kurang berperannya perusahaan daerah sebagai sumber pendapatan daerah; tingginya derajat sentralisasi dalam bidang perpajakan; kendati pajak daerah
28
cukup beragam ternyata hanya sedikit yang bisa diandalkan sebagai sumber penerimaan;
adanya
kekhawatiran
kecenderungan
disintegrasi
dan
separatisme: kelemahan dalam pemberian subsidi. Adapun alternatif solusi yang ditawarkan antara lain meningkatkan peran BUMD; meningkatkan penerimaan daerah; mengubah pola pemberian subsidi; meningkatkan pinjaman daerah; 2)
Gustiar (1996), menganalisis tentang otonomi keuangan daerah tingkat II dengan studi kasus di Kabupaten Sambas, Kabupaten Pontianak dan Kabupaten Sintang Propinsi Kalimantan Barat tahun 1992 – 1995. Variabel yang digunakan dalam penelitan tersebut adalah APBD dan PDRB, sedangkan alat analisis yang digunakan adalah analisis kontribusi dan analisis regresi berganda (multiple regression). Temuan utama dalam penelitian ini, bahwa kemampuan pemerintah daerah dalam meningkatkan pendapatan asli daerah serta peranan PAD pada umumnya masih rendah, sementara di lain pihak penerimaan bantuan pemerintah pusat dalam keseluruhan
penerimaan
APBD
tingkat
II
cukup
besar.
Tingkat
perkembangan ekonomi daerah (PDRB) dan bantuan pemerintah pusat dikatakan secara bersama-sama mempunyai pengaruh yang nyata, walaupun secara sendiri-sendiri terdapat variabel bebas yang tidak berpengaruh secara nyata terhadap derajat otonomi keuangan daerah; 3)
Radianto (1997), menganalisis tentang peranan Pendapatan Asli Daerah (PAD) dalam membiayai pembangunan di seluruh Daerah Tingkat II Maluku mengatakan bahwa peranan PAD tersebut masih rendah. Ini dapat dilihat
29
dari Indeks Kemampuan Rutin (IKR) daerah tingkat II Maluku yang rendah, dan jauh di bawah rata-rata IKR daerah tingkat II se Indonesia. Selain itu dikatakan bahwa tingkat perkembangan ekonomi daerah dan jumlah penduduk mempunyai pengaruh positif terhadap perubahan derajat otonomi fiskal daerah; 4)
Mardiasmo (2000), dalam kajiannya tentang implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah menyatakan bahwa terjadi perubahanperubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengelolaan keuangan sebagai akibat dari otonomi daerah tersebut. Perubahan-perubahan dimaksud yaitu perubahan porsi dan struktur baik APBN maupun APBD karena adanya dana perimbangan. Selain daripada itu dikatakan bahwa keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata pada usaha peningkatan PAD akan tetapi juga bagaimana kewenangan/keleluasaan menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari luar berupa dana perimbangan atau yang lainnya tersebut;
5)
Boadway (2001), meneliti tentang pentingnya perimbangan keuangan (fiscal sharing) antar daerah di negara bagian Amerika Serikat. Variabel yang
diamati
dalam
penelitian
tersebut
di
antaranya
pelaksanaan
perimbangan keuangan, keuntungan dan biaya desentralisasi, serta formula dari subsidi/bantuan pemerintah pusat. Penelitian ini tidak menggunakan alat analisis
tertentu
dan
bersifat
deskriptif.
Dikatakan
bahwa
alasan
dilakukannya perimbangan keuangan antar daerah tersebut adalah untuk menciptakan efisiensi dan pemerataan antardaerah serta meningkatkan
30
kesejahteraan daerah. Adapun parameter yang pantas digunakan dalam skema perimbangan keuangan tersebut yaitu derajat desentralisasi fiskal daerah; komitmen politik untuk pemerataan keuangan; perangkat-perangkat daerah yang dimiliki; 6)
Bahl (2002),
telah
mengevaluasi
pelaksanaan desentralisasi fiskal di
Indonesia. Di mana variabel-varibel yang menjadi bahan evaluasi di antaranya DAU (Dana Alokasi Umum), formula DAU, pajak daerah, dana kontigensi, pelaksanaan otonomi khusus, sistem pengawasan dan evaluasi serta koordinasi pemerintah pusat. Penelitian/evaluasi tersebut tidak menggunakan alat analisis tertentu dan bersifat deskriptif. Salah satu isu penting yang disoroti adalah tentang pajak daerah. Dikatakan bahwa daerah harus mempunyai wewenang dalam penentuan pajak daerah tersebut untuk mengontrol perdagangan daerah dan penerimaan daerah. Dikatakan juga bahwa Undang-Undang nomor 22, 25 dan 34 terlalu luas, sementara aturan pelaksanaanya terlalu sempit. Untuk itu ketentuan tentang pajak daerah tersebut harus segera ditinjau ulang dan dianjurkan agar pemerintah pusat hati-hati di dalam menentukan seberapa besar wewenang yang diberikan kepada daerah dalam menentukan kebijakan pajak daerah tersebut. 7)
M Sabirin
(2003), telah menganalisis kemampuan Daerah dari Aspek
Keuangan Daerah Dalam rangka otonomi Daerah (Studi Kasus di Kota Pontianak, 1989/1990 – 2001), variabel-variabel yang menjadi bahan analisis diantaranya APBD, TPD, PAD, Pajak Daerah, Restribusi, Bagian Laba BUMD dan Total Rutin Pengeluaran Daerah. Penelitian ini dilakukan secara
31
diskriptif analitik yang memberikan gambaran mengenai situasi yang terjadi berdasarkan data dengan rujukan teori. Sumber APBD menunjukan trend yang negatif, tetapi tidak signifikan, sumber penerimaan PAD. Pada kesimpulan nomor 3 dinyatakan bahwa jenis pajak daerah yang menunjukkan trend kontribusi yang negatif terhadap total pajak daerah dan signifikan adalah Pajak Hiburan. Retribusi pasar maupun retribusi terminal menunjukkan trend kontribusi yang negatif terhadap total retribusi daerah dan signifikan. Penulis menyarankan upaya-upaya perbaikan misalnya meninjau ulang dewan dereksi BUMD tersebut, perbaikan sistem manajemen secara keseluruhan dan perbaikan sistem pengawasan perlu dipertimbangkan dan segera dilakukan Pemda; pajak daerah dan penerimaan lain-lain yang menunjukkan trend kontribusi yang positif terhadap total PAD dan signifikan, sedangkan retribusi daerah dan bagian laba BUMD menunjukkan trend kontribusi yang negatif dan tidak signifikan, ulang subjek dan objek pajak dan penerapan sangsi perlu terus ditingkatkan; 8) Mayun (2004), yang meneliti tentang analisis kemampuan pendapatan asli daerah dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Denpasar, yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah bagaimana kontribusi total PAD terhadap total penerimaan daerah dan kontribusi sumber-sumber PAD terhadap total PAD, bagaimana pertumbuhan masing-masing sektor pajak dan retribusi daerah yang dominan, bagaimana kinerja daerah yakni berupa nilai efektivitas dalam menggali potensi pada sektor-sektor pajak dan retribusi daerah yang dominan. Teknik analisis data yang digunakan dalam
32
penelitian ini adalah analisis statistik regresi linear berganda, dengan maksud mendistribusikan tanpa maksud membuat kesimpulan yang berlaku umum. Hasil dari penelitian ini adalah Kemampuan PAD untuk melaksanakan otonomi daerah yang cukup memadai. Sumber-sumber PAD secara keseluruhan selama kurun waktu pengamatan yaitu tahun 1993/1994-2002 kontribusi penerimaan PAD terbesar di sektor pajak. 9)
Handayani (2006), dalam penelitian yang berjudul Dampak Otonomi Daerah terhadap
Kemandirian
dan
Pemerataan
Pembangunan
Daerah
Kabupaten/Kota Se-bali, menyimpulkan bahwa Kabupaten/Kota se-Bali memiliki variasi kemandirian yang berbeda dari delapan kabupaten dan satu kota yang ada, selama penelitian dari tahun 1997-2001, hanya Kabupaten Badung yang tergolong mandiri dalam pengelolaan keuangan daerahnya, sedangkan kabupaten/kota lainnya belum menampakan kemandirian baik sebelum maupun memperlihatkan
setelah
dampaknya
otonomi terhadap
daerah,
otonomi
kemandirian
Kabupaten/kota se-Bali, karena pengaruh
daerah
belum
keuangan
daerah
otonomi daerah terhadap
kemandirian keuangan daerah Kabupaten/kota se-Bali adalah tidak signifikan dengan taraf signifikansi 0,629 persen (lebih besar dari 5 persen). 10) Marlina (2007), dalam penelitian yang berjudul Analisis Keuangan, Kamandirian dan Posisi Fiskal Periode Pemberlakuan UU No. 18/1997 dan UU No. 34/2000 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, Studi Kasus di Propinsi Lampung, menyimpulkan bahwa dengan penyerahan sebagian kewenangan dalam mendapatkan, mengelola sumber-sumber pembiayaan
33
dalam otonomi daerah, disimpulkan bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan yang penting, karena kontribusinya besar terhadap PAD. Untuk mengetahui perbandingan antara penelitian terdahulu dengan penelitian ini dapat dilihat pada Tabel 2.2 Tabel 2.2 Perbandingan Penelitian Terdahulu dengan Penelitian ini No 1.
Nama dan penelitian terdahulu Kuncoro (1995) Penelitiannya terkait dengan desentralisasi fiskal di Indonesia untuk melihat sejauh mana upaya desentralisasi dikaitkan dengan kemampuan untuk melaksanakan otonomi daerah
2.
Menggunakan analisis kontribusi, ratio efektivitas dan analisis trend linear serta PDRB
Radianto (1997) Menganalisis PAD dalam membiayai pembangunan di seluruh daerah tingkat II di Maluku dengan menggunakan Indek Kemampuan Rutin (IKR)
4.
Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah
Gustiar (1996) Menganalisis tentang otonomi keuangan daerah tingkat II dengan menggunakan analisis kontribusi dab analisis regresi berganda
3.
Penelitian ini
Untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di satu kabupaten saja.
Mardiasmo (2000) Implikasi APBN dan APBD dalam konteks otonomi daerah akan terjadi perubahan mendasar berupa reformasi kelembagaan dan mekanisme pengeluaran keuangan. Keberhasilan otonomi daerah bukan semata-mata hanya pada
Hanya ingin mengetahui sejauh mana sumber-sumber PAD dapat membiayai pengeluaranpengeluaran daerah di era otonomi daerah.
34
usaha peningkatan PAD saja tetapi juga terletak pada bagaimana kewenangan menggunakan sumber-sumber dana yang ada baik dari dalam maupun dari luar yang berupa dana perimbangan atau lainnya. 5.
Broadway (2001) Penelitian ini bersifat deskriptif, meneliti pentingnya perimbangan keuangan antar daerah di negara bagian Amerika Serikat untuk menciptakan efesiensi dan pemerataan antar daerah dan meningkatkan kesejahteraan daerah.
6.
Bahl (2002) Mengevaluasi pelaksanaan desentralisasi fiskal di Indonesia dengan menggunakan vartiabel dau, Pajak, Dana Kontijensi, Pelaksanaan Otonomi Khusus, Sistem Pengawasan, Evaluasi dan Koordinasi Pemerintah Pusat
7.
Penelitian bersifat deskriptif hanya untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.
M. Sabirin (2003) Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD dan Total Rutin Pengeluaran
8.
Penelitian bersifat deskriptif untuk mengetahui kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah.
Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD.
Mayun (2004) Meneliti kemampuan PAD dalam pelaksanaan otonomi daerah di Kota Denpasar dengan melihat kontribusi TPD terhadap TPAD dengan menggunakan teknik analisis statistik regresi linear berganda. Hasilnya kemampuan
Penelitian yang dilakukan hampir sama, hanya pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di
35
Kota Denpasar otonomi daerah memadai. 9.
melaksanakan Kabupaten Klungkung. sudah cukup
Handayani (2006) Meneliti dampak otonomi daerah terhadap kemandirian dan pemerataan pengelolaan keuangan daerah di Kabupaten Badung dan ternyata Kabupaten Badung tergolong sudah mandiri dalam pengelolaan keuangan daerahnya.
10.
Menganalisis kemampuan daerah dari aspek keuangan daerah dalam rangka otonomi daerah dengan menggunakan variabel APBD, TPD, PAD, Pajak, Retribusi, Bagian Laba BUMD.
Marlina (2007) Menganalisa kemampuan keuangan, kemandirian dan posisi Fiskal. Kesimpulannya bahwa pajak daerah dan retribusi daerah merupakan sumber penerimaan yang penting karena ternyata kontribusinya besar terhadap PAD.
Penelitian yang dilakukan hampir sama, hanya pada penelitian ini yang ingin diketahui adalah kemampuan keuangan daerah dalam membiayai pengeluaran daerah di era otonomi daerah di Kabupaten Klungkung.